Haslan dan Hastuti saling lirik ketika melihat sang adik sudah mondar-mandir menunggu kedatangan putra sulungnya. Ardan memang sengaja ke rumah kakak perempuannya itu untuk menemui putranya. Ada hal penting yang penting dan mendesak ingin ia bicarakan dengan Akram.
Istrinya berniat untuk menjodohkan Akram dengan seorang gadis dari keluarga pengusaha batu bara di Kalimantan. Sementara dirinya berniat menjodohkan Akram dengan putri bungsu dari salah satu anggota DPR pusat yang sudah pensiun dari dunia politik karena alasan kesehatan. Tapi sejak beberapa hari lalu mereka mengirim pesan, sama sekali tidak ditanggapi oleh Akram.
Sudah berkali-kali suami istri itu menggeleng melihat Ardan. Sesekali terdengar mengumpat dengan ponselnya yang berdering namun tidak kunjung dijawab putranya. Suara mobil yang cukup familiar menarik perhatian mereka. Tak lama setelah itu muncul keponakan mereka yang lain, Riswan. Laki-laki yang baru beberapa hari lalu genap berusia 31 tahun itu menatap ketiganya bergantian setelah salamnya dibalas.
"Om Ardan di sini? Tumben?" tanya Riswan yang setahunya belakangan ini omnya itu sibuk berkampanye.
"Kamu keberatan om ada di sini?" tanya Ardan sinis.
Kekesalannya pada Akram kini berdampak pada keponakannya yang dulu sangat penurut di matanya. Tapi sejak satu setengah tahun lalu, predikat penurut itu sudah ditanggalkan. Riswan memutuskan untuk melakukan hal yang diinginkannya dan membuat semua anggota keluarganya terkejut. Memilih melepaskan karir bisnis restoran keluarga dan membiarkan orang lain yang mengelolanya.
Sejak saat itu, Riswan merasa bebas meski lebih sibuk dari sebelumnya. Menikmati pekerjaannya sebagai Manajer Utama Pradipta Event Organizer. Jangan salahkan Riswan yang memang menyukai dunia komunikasi. Akram bahkan dituduh sudah meracuni pikiran Riswan untuk jadi seorang pembangkang. Namun kedua sepupu itu tidak ada yang menyangkal sama sekali. Mereka memilih acuh tak acuh dengan komentar keluarga.
"Riswan tidak berhak keberatan Om. Ini kan rumahnya Om Udin sama Tante Uti. Bukan rumahnya Riswan. Heran saja sih, sebenarnya," ujarnya datar sambil menyalimi omnya yang masih kesal. Kemudian beranjak menyalimi Haslan dan Hastuti.
"Sibuk amat, Pak Manajer," sindir Hastuti yang sejak hampir sepekan ini tidak pernah bertemu Riswan yang sibuk ke beberapa kota. Belakangan Riswan memang disibukkan dengan beberapa event.
"Sibuk dong, Tante. Meski capek, Riswan senang karena ini pilihan aku, bukan dipaksa. Mau bagaimana lagi, sebagai keponakan, Riswan harus pelajari pola kampanye di media. Dua dari empat event itu juga acara kampanye dari beberapa bakal calon kepala daerah. Biar Akram berhenti recokin Riswan yang tanya ini itu soal event-event kandidat yang lain. Takut Om Ardan rugi kali?" Riswan bersandar di bahu kiri tantenya sambil menghela lelah.
Masalah yang dibawa Akram kemarin membuat kepalanya pening. Setelah membicarakan masalah itu dengan Rian sahabatnya, setidaknya emosinya mulai surut. Riswan pun menyetujui saran yang diberikan Rian padanya.
Riswan hanya berusaha agar tidak ada anggota keluarganya yang egois. Biar bagaimana pun, Akram sepupunya dan berniat bertanggung jawab atas perbuatannya. Setidaknya Akram tidak ingin jadi pengecut dengan lari dari tanggung jawab. Ada anak yang membutuhkan kedua orang tuanya.
Masalah yang paling berat sekarang adalah membuat orang tua Akram setuju untuk menikahkan Akram dengan Arum. Di sisi lain, Akram sendirilah yang harus berusaha untuk meyakinkan Arum agar mau menikah dengannya. Mengingat kepribadian Arum, Riswan tahu itu bukan hal yang mudah. Tergolong sangat sulit mengingat seperti apa kepribadian Arum selama ini.
"Akram melakukan itu? Untuk apa?" tanya Ardan yang penasaran. Rasanya aneh mendengar Akram yang bertanya tentang event kampanye kandidat calon walikota yang lain. Rasanya terdengar begitu tabu. Selama ini putranya itu seperti antipolitik.
"Mungkin penasaran, Om. Bisa juga sahabatnya yang kepo," jawab Riswan seadanya.
Bisa Riswan lihat dari sudut matanya, Ardan beranjak menghampiri dan ikut duduk bersama mereka. Semua orang dalam keluarga besar mereka tahu. Ardan sangat ingin menjadikan Akram penerusnya di dunia politik. Sayangnya, putra sulungnya itu lebih tertarik dengan dunia sastra.
"Tapi om lebih penasaran lagi Wan. Dia itu selalu menghindar kalau om bahas sedikit saja tentang politik. Nah ini dia sampai tanya tentang event kampanye orang lain? Kenapa bukan tanya tentang kampanye om saja?" tanya Ardan yang tampak belum juga surut rasa kesalnya.
"Sepertinya dalam keluarga kita... tidak ada ayah dan ibu yang benar-benar mengenal putranya. Tidak papaku, tidak juga Om yang memahami Akram," ujar Riswan yang hendak beranjak namun lengan kirinya ditahan Hastuti.
"Kamu kenapa bilang begitu?" tanya wanita itu dengan raut wajah kecewa.
"Tante tolong, aku lapar. Seharian belum sempat makan. Sebulan ini Akram bikin aku pusing buat beberapa event kampanye terselubung. Kemarin ini dia bawa masalah baru yang hampir buat stroke. Dia lagi stres, pikirannya tidak stabil," ungkap Riswan dengan tatapan memohon.
"Dari dulu pikiran Akram memang tidak pernah stabil," timpal Ardan yang lagi-lagi memojokkan putranya.
"Itu karena... Akram? Kenapa berdiri di situ, Nak?" Pertanyaan Hastuti membuat para pria itu menoleh.
Mereka jelas terkejut melihat kedatangan Akram yang datang mengenakan sepasang baju futsal. Anehnya, tertulis nama Riswan di bagian punggungnya. Terlihat jelas ketika Akram berbalik meletakkan sandal jepit yang dipakainya ke rak sepatu. Berdampingan dengan sandal yang dikenakan Riswan.
Langkah panjangnya segera menghampiri mereka bertiga di sofa. Sementara Riswan berdiri di dekat Haslan. Meraih tangan omnya, papanya dan terakhir tantenya. Menatap papanya sekilas kemudian beralih pada tantenya.
"Akram lapar, ada makanan tidak?" tanyanya terdengar lirih dan menyiratkan bahwa dirinya benar-benar kelaparan.
"Kau tidak mengacaukan isi lemariku kan?" Riswan memicing mata curiga.
"Kalau sudah tahu jawabannya, untuk apa lagi bertanya? Baju ini berada di paling atas tumpukan pakaian yang masih terbungkus plastik laundry. Aku tidak membuka lemari yang terkunci. Dasar pelupa! Aku curiga kau sengaja mengunci lemarimu karena tidak mau meminjamkan pakaian untukku!" tuduh Akram.
"Kalau sudah tahu jawabannya, untuk apa lagi bertanya?" Riswan membalas dengan memutar bola matanya.
Laki-laki itu jengah dengan sikap sepupunya yang selalu seenaknya. Sayangnya, ia mudah kesal dengan semua sikap Akram. Namun tidak pernah menanggapinya sampai ke hati. Pertengkaran mereka akan berakhir dimenit yang sama dengan ucapan mereka. Seolah perang kalimat hanya hiburan bagi keduanya.
"Jadi sejak kemarin kamu di tempatnya Riswan? Sengaja menghindari papa?" tanya Ardan menatap tepat di bola mata putranya. Pria 51 tahun itu lalu melirik keponakannya yang juga diam. "Kenapa tidak bilang dari tadi Wan kalau dia di semalam tidur di apartemen kamu?"
"Sejak kemarin sore Akram memang di tempatnya Riswan. Tapi dia keluar mengabaikanku begitu saja. Dia marah, tidak tahan melihatku, jadi aku ditinggal," jawab Akram. Kini ketiga paruh baya itu percaya atas keluhan Riswan.
"Untuk apa aku mengajakmu? Kau bukan anak kecil. Kau juga bukan robot yang bisa diatur karena tidak punya tombol otomatis. Kau punya uang, kendaraan dan yang paling penting kau punya otak. Lagipula aku sibuk, tidak ada waktu untukmu. Kau mau ke mana?" tanya Riswan setelah mengutarakan sindirannya.
"Dapur, sudah aku bilang aku lapar...." Akram beranjak lebih dulu sambil mengusap perutnya.
"Jangan habiskan lauknya!" teriak Riswan karena Akram berbalik memajukan bibir bawahnya kesal. Dirinya juga lapar dan jangan sampai semua lauk itu dieksekusi oleh sepupunya itu.
"Jangan tinggal di situ kalau tidak mau kehabisan! Perutku sekarat!" ujar Akram sambil berlalu. Ingin kabur ketika melihat papanya ingin mengatakan sesuatu.
"Sekarat? Sama seperti hidupmu!" balas Riswan menyindir lagi dan lagi.
Akram tidak membalas dan hanya terdengar tawa keduanya dari dapur yang tengah berebut dan menyerukan kata barter. Namun ucapan itu tampaknya berefek pada Ardan yang sejak tadi menoleh menatap punggung keduanya yang berjalan ke dapur. Mengabaikan panggilan di ponselnya yang berdering. Entah kenapa mendengar keponakannya menyebut hidup anaknya sekarat membuatnya tersentil. Walaupun Akram yang diberi umpatan tersebut justru tertawa mendengarnya.
"Aneh, Ardan mengabaikan ponselnya dan memilih menyusul putranya ke dapur," bisik Haslan pada istrinya.
"Aku saja tersinggung dengan ucapan Riswan barusan. Mungkin Ardan juga merasakan hal yang sama. Lihat saja wajahnya yang tadi sempat terdiam. Ya ampun, lauk di meja hanya ada tempe goreng dan tumis kangkung. Itu pun sisa sedikit. Aku akan ke sana seben-" Haslan menggeleng menghentikan istrinya.
"Jangan, biarkan mereka berdua. Dengar yang dikatakan Riswan tadi? Mereka bukan anak kecil lagi. Kalau mereka mengeluh, ini kesempatan untuk membuat mereka memikirkan tentang pernikahan. Sampai kapan mereka mau melajang dan tidak terurus seperti itu? Sesekali kita berdua harus membuat mereka terdesak," usul Haslanuddin.
"Itu benar juga. Kapan mau dapat menantu sama cucu kalau mereka berdua lamban seperti ini?" ungkap Hastuti mengulas senyum mendengar suara pemantik kompor yang dinyalakan.
Tak lama kemudian tercium aroma khas telur dadar. Teriakan Akram terdengar dari arah dapur yang protes. Riswan tidak mau membagi rata tempe sambal pedas di bawah tudung saji. Mereka berisik seperti bocah kecil yang berebut dan saling olok.
Ketika terdengar suara Haslan yang menegur jika dapur rumahnya tetap berisik, sebaiknya kedua keponakannya itu makan di dapur rumah calon istrinya saja. Tiga detik kemudian tidak lagi terdengar suara perdebatan melainkan suara langkah kaki beradu kembali ke ruang bersantai. Sepenurut itu mereka berdua pada omnya yang satu ini.
"Loh? Papa kamu mana?" tanya Hastuti yang tidak melihat Ardan.
"Jawab telpon di belakang sambil pijat kepala," jawab Akram santai sambil duduk dan mulai menikmati makan malamnya yang terlambat. Begitu juga dengan Riswan yang baru saja meletakkan gelasnya di meja.
Mereka makan malam pukul 21.38 WITA malam. Hastuti mengulum senyum melihat isi piring kedua keponakannya. Sepiring nasi, sedikit tumis kangkung, masing-masing dua iris tempe dan telur dadar yang diberi saus.
"Kalian berdua itu punya pekerjaan dengan gaji jutaan. Apa kalian berdua tidak mampu membeli makanan?" Suara Ardan menginterupsi kunyahan makanan di mulut keduanya. Ingin langsung ditelan begitu saja tapi rasanya begitu sulit.
###
Bersambung....
Ada yang pernah menjadi Akram dan Riswan yang tidak akur dengan ortunya? Share tips dong! #yangpernah
"Bagaimana Pak Ardan? Apakah putra Anda setuju untuk ikut serta dalam kampanye kita awal bulan nanti?" tanya Syarief. Tersirat ada permohonan dari intonasi suara dan pengucapannya.Ardan menarik napas dalam-dalam sembari memijat kepalanya. Kemudian menoleh menatap dua pemuda yang sedang sibuk di dapur. Terlihat keponakannya sedang memasak sesuatu di kompor. Sementara putranya sendiri sibuk mengambil nasi di rice cooker."In sya Allah Pak Syarief. Anda tahu sendiri hubungan saya dan Akram tidak sebaik hubungan Anda dengan anak-anak Anda. Tapi Akram tidak pernah bisa menolak keinginan kakak ipar saya. Jika bujukan saya tidak berhasil, maka Bang Haslan yang akan menyeretnya datang ke acara itu," jelas Ardan yang membuat rekan politiknya itu terkekeh."Keponakan Anda, Riswan, sore tadi mampir di posko induk. Dia bilang sama ketua tim sukses kita kalau tidak bisa hadir saat kampanye. Tapi dia pastikan akan cuti saat hari pemilihan nanti. Dia datang ke posko tidak dengan tangan kosong. Dia
Ardan kembali terdiam menatap punggung putranya yang pamit ingin masuk ke kamar. Sore tadi ia mencari putranya ke rumah kontrakannya. Tapi putra sulungnya tidak ada di sana, karena ternyata Akram berada di apartemen Riswan. Saat ia meminta asisten pribadinya untuk mampir mengecek ada tidaknya mobil putranya di parkiran basemen apartemen Riswan, tidak ada mobil putranya di sana. Harusnya ia meminta mengecek sampai ke pintu unit itu.Mobil Akram ternyata ada di bengkel dan baru saja diantarkan montir ke rumah kakaknya. Sayangnya saat tiba di rumah kakaknya, ia belum juga berhasil menemukan putranya. Seolah Akram sengaja menghindari dirinya dan itu membuatnya sangat kesal. Ada hal penting yang ingin dibicarakannya langsung dengan sang putra. Percuma bicara di telpon karena belum masuk ke topik utama, Akram akan mengakhiri panggilan tersebut.Kalimat panjang putranya tadi membuatnya bungkam. Ini pertama kalinya Ardan merasa jika selama ini ia lupa atau tepatnya tidak menyadari semua itu.
Riswan menatap bingung sepupunya yang kini dengan mudahnya tertidur pulas. Seolah masalah besar yang dihadapinya tidak berarti sama sekali. Sementara dirinya tidak bisa tidur dengan nyenyak. Sahabatnya Rian, baru saja mengirimkan pesan. Arum berada di sebuah klinik swasta tak jauh dari rumah orang tua Akram. Kabar itu akurat karena Rian menjemput ibu mertuanya di klinik itu.Awalnya cukup sulit melacak keberadaan Arum karena ponsel wanita itu tidak aktif. Walau nomor ponselnya sudah berganti, tapi tidak dengan akun email yang masih digunakan Arum untuk penelusuran internet. Dari situlah ahli IT itu tahu jika keberadaan Arum terakhir kali aktif adalah di sebuah pasar tradisional.Setelah tanpa sengaja bertemu dengan Arum. Rian menjelaskan jika adiknya, Tania sedang menemani mertuanya, Nyonya Delia menjenguk tetangganya yang dirawat di Kliknik Mariska. Keduanya bertemu Aluna, Mariska dan kedua anak kembarnya di parkiran klinik. Mereka berteriak pada paramedis untuk segera membantu memin
Suara lantunan ayat suci Al Quran dari pengeras suara di menara mesjid sudah mulai terdengar subuh ini. Sebentar lagi azan akan berkumandang. Riswan mengerjap dan akhirnya membuka lebar pasang matanya. Betapa terkejutnya ia melihat Akram sudah siap dengan pakaian rapi dan sibuk dengan ponselnya. Riswan beranjak dari tempat tidur dan bergegas ke kamar mandi. Serajin itu memang mereka berdua jika berada di rumah ini. Tentu mereka berdua tidak lupa bagaimana dulu Haslanuddin membanting tubuh mereka berdua karena tidak sholat. Meski Riswan dan Akram terkadang masih meninggalkan sholat lima waktunya, tapi lain cerita jika berada di rumah ini. Mereka berdua seakan punya alarm khusus yang sudah terprogram. Terutama Akram yang tahu jika dirinya brengsek dan penimbun dosa. Pernah sekali ia membuat Hastuti tertawa lepas. Kala itu mereka menikmati sarapan pagi dan Akram mengatakan bahwa jika dirinya memasuki pagar rumah ini, ia akan seketika dapat hidayah. Itu bukan kalimat candaan, melainkan p
Riswan memarkir mobilnya di dekat gerbang sekolah Alyana. Gadis itu mendadak mengatakan jika perutnya kram. Minta tolong diantar ke sekolah karena tidak sanggup membawa sepeda motornya sendiri. Ingin izin tidak ke sekolah tapi hari ini ada ulangan harian. Sayangnya itu hanya trik adik sepupunya yang duduk termenung di bangku penumpang tanpa berniat melepas sabuk pengamannya.Riswan yang sejak tadi sibuk membalas pesan di ponselnya belum menyadari. Tapi ketika ia menoleh dan mendapati adik sepupunya sudah duduk miring menatapnya penuh curiga, ia tahu jika dirinya harus punya jawaban untuk pertanyaannya. Jangan lupakan senyum licik mirip senyum tantenya jika mengetahui kesalahannya. Riswan akhirnya sadar jika drama perut kram sebelum berangkat tadi berhasil menjebaknya."Soal hati cewek atau penyakitnya?" tanya Alyana."Maksud kamu?" tanya Riswan kebingungan."Aduh... Kak Riswan jangan pura-pura deh! Alya itu tahu kalau Kak Riswan pasti sudah tahu masalahnya Kak Akram. Kemarin malam itu
"Bukan!!!"Riswan menjawab dengan suara lantang dan ikut membelalak. Tentu saja ia ikut terkejut dengan pertanyaan Safwan barusan. Untung saja ruangan ini kedap suara. Setelah melihat Safwan kembali duduk sambil mengusap dadanya mencoba menenangkan diri, Riswan kembali berujar, "Sembarangan saja kamu ngomong!""Maaf, habisnya Kak Riswan kenapa bisa tahu dia hamil? Kalau bukan Kak Riswan, itu artinya Kak Riswan tahu siapa orang yang sudah tidak bertanggung jawab itu," timpal Safwan. Riswan menghembuskan napas dari mulutnya sampai kedua pipinya menggembungnya. Tebakan adik ipar sahabatnya itu benar adanya."Dia tidak tahu kalau Arum hamil. Dia baru tahu saat bertemu Arum dua hari lalu. Awalnya dia ingin bicara dengan Arum, tapi Arum pergi begitu saja. Mungkin terlalu terkejut atau takut dengan pertemuan mereka. Sampai akhirnya ia sadar jika sepertinya Arum hamil. Setelah dia menemukan kotak susu khusus ibu hamil di kantong belanjaan yang ditinggalkan Arum begitu saja di depan minimarket
Suasana kafe sore ini terlihat terasa lebih ramai dari sebelumnya. Akram sering datang ke tempat ini dulu. Dulu saat adiknya Firman masih hidup. Keduanya akan sering menghabiskan waktu di kafe ini dan membicarakan keseharian adiknya itu di tempat kursus memasak, begitu juga dengan tulisan-tulisannya sendiri. Terbayang olehnya ketika almarhum adiknya itu mengatakan punya resep baru dan akan membuatnya di restoran milik tante mereka, restoran milik orang tua Riswan. Kenangan itu kembali hadir merambah getir. Semalam ia datang ke rumah orang tuanya dan membicarakan masalah perjodohan pilihan mereka. Adiknya Adina tidak memberikan komentar apapun. Sebelum pulang ia sempat membuka pintu kamar kedua adiknya. Adina sudah tidur saat ia akan pulang. Sedangkan di kamar Firrman, hanya kehampaan yang menyambut. Tidak ada yang berubah di dalamnya seolah penghuninya akan kembali. Setelah menyanggupi keinginan papa dan mamanya untuk bertemu gadis yang mereka pilihkan, di sinilah Akram duduk menungg
Fatur:AssalamualaikumPak Akram di mana?Ada investor ingin bertemu.Katanya tertarik program baruTidak mau menyebut namanyaMe:Apa rambutnya putih semua?Pakai cincin giok hijau?Fatur:Benar PakMe:Siapkan kopi tanpa gulaBodyguardnya kasih jus alpukatSebentar lagi saya sampaiNanti saya hubungi dia langsungSantai saja, dia cuma mampirFatur:Baik PakAkram tersenyum lebar mengetahui pria paruh baya yang kaya raya itu tertarik dengan program yang dirintisnya. Walau pria itu sombong, tapi tidak akan segan-segan mengeluarkan banyak uang demi popularitasnya. Jika pria itu sampai disebut sebagai investor pertama dalam program itu, namanya tentu saja akan melejit. Saran dari sahabatnya memang tidak pernah mengecewakannya.Setelah masalah ini selesai diurus, ia akan segera menemui gadis pilihan papanya. Walau sebenarnya ia merasa malas, tapi ia sendiri sadar tidak bisa melakukan hal ini setengah-setengah. Riswan juga sudah berkali-kali mengingatkan dirinya agar tidak memancing kemar
"Sayang, maaf ya hari ini aku tidak bisa temani mama kamu ke acara hajatan temannya. Sahabatku sakit, dia tinggal sendirian di kamar kostnya. Rencananya setelah belikan dia makan, aku mau bawa dia berobat ke klinik atau rumah sakit dekat kostnya," jelas kekasih Fatur yang terdengar berat hati menyampaikannya. Fatur melirik pintu kamar mamanya sejenak lalu membalas, "Iya, tidak apa. Nanti aku bilang sama mama. Kamu antarkan teman kamu berobat dulu. Kamu juga jaga kesehatan biar kamu tidak ikutan sakit. Belakangan cuaca memang tidak menentu." "Terima kasih ya, Sayang. Kamu memang pengertian. Makin sayang deh sama kamu," gombal gadis itu tersenyum dari layar ponsel Fatur. Setelah saling balas dengan salam, akhirnya panggilan video itu mereka akhiri. Fatur entah mengapa merasa gamang. Mamanya sudah antusias ingin mengajak kekasihnya itu untuk menghabiskan waktu bersama. Rencananya setelah mampir sebentar ke acara hajatan teman, mamanya berniat ingin mengajak gadis yang hendak dilamar Fa
Dua minggu berlalu setelah acara lamaran Riswan, kini mereka kembali merasakan suasana pesta. Kali ini mereka berkumpul di sebuah taman wisata yang menjadi lokasi akad sekaligus resepsi pernikahan Lintang dan Tasya. Kedua mempelai itu memang memilih taman ini agar segala rangkaian acara berpusat di satu tempat saja tanpa dekorasi berlebih. "Gugup?" tanya Akram pada sahabatnya yang sejak tadi melirik jam tangannya resah. "Mungkin," jawab Lintang mengatur napasnya berkali-kali. Akram mengulum senyum melihat Lintang meremas lutut kirinya. Menyelenggarakan acara di area outdoor seperti ini tidak juga mampu membuatnya bernapas lega. "Di taman ini aku sama Tasya pertama kali ketemu," ungkapnya mengenang kejadian beberapa tahun lalu. "Dan akan jadi gerbang pernikahan kamu," sambung Bian. "Aku sendiri merasa dejavu. Arum juga bilang begitu tadi. Dulu kami menikah di taman belakang Panti Asuhan Pradipta. Nuansanya kurang lebih seperti ini, meski ya… dekorasi kalian lebih mewah. Aku nikahny
Mendengar Alyana menginginkan bulan, rasanya semua tulang Ranu retak. Sempat berpikir mungkin jantungnya juga ikut berhenti berdetak. Otaknya malas berpikir karena semakin lama ia justru putus asa karena tidak kunjung menemukan solusi. Di tengah keramaian Kota Hongkong, Ranu justru merasa sepi. Setelah mengikuti kompetisi game hari ini, ia meminta timnya untuk beristirahat lebih awal. Jangan sampai mereka menyadari jika pikirannya sedang kacau. Berjalan sendiri di trotoar sembari menikmati pemandangan kota malam hari, Ranu hanya berusaha untuk menyegarkan pikiran. Mungkin saja akan menemukan ide baru saat mengamati sekitarnya. Berbeda dengan Jakarta, di tempatnya saat ini lebih banyak pejalan kaki. Melihat beberapa detik lagi lampu lintas akan berubah warna, Ranu menghentikan langkah. Ia menunggu sampai lampu lalu lintas berubah hijau agar bisa menyebrang jalan. Mendongak menatap langit, Ranu tersenyum melihat bulan purnama yang indah itu. "Sulit membawa bulan itu padamu, Al. Kalau
Bian baru saja selesai memberikan kuliah. Rasa penasarannya akan keributan para mahasiswi di depan ruangannya tidak terbendung. Pasalnya, ruangannya yang berada di pojok itu sama sekali tidak memiliki objek menarik. Bukan karena dirinya tidak memiliki barang yang berkenaan dengan passion atau background dirinya sebagai dosen lingkungan. Akan tetapi, baru dua hari ini ruangannya dipindahkan sehingga belum sempat berbenah. Lantas, hal apa yang menarik di sana dan membuat mereka berkerumun? "Kalian kenapa berkumpul di depan ruangan saya?" tanya Bian. "Eh, Pak Bian, itu loh Pak, ada model cover novel ala CEO yang lagi nongkrong di ruangan Bapak," jawab salah seorang mahasiswi dengan mata berbinar. Bian akhirnya berdeham sehingga barisan di depannya mulai bergeser memberinya akses jalan. Ketika netranya mendapati punggung tegap seseorang di balut jas mahal, Bian kembali berdeham. Pria dengan kedua tangan bersembunyi di saku celananya itu berbalik tanpa mengulas senyum. Justru Bian ditat
Begitu mendengar Adijaya Ufraj meminta Riswan mengajak Risa dan putranya datang di acara resepsi pernikahan Akram dan Arum, Latief dan Farah terkejut. Mereka tidak tahu alasan dibalik keputusan pria lanjut usia itu. Riswan langsung mengiyakan, bahkan akan mengajak wanita pilihannya itu untuk segera menemui sang kakek. Kedua orang tuanya hanya tersenyum. Diam-diam Farah berharap suaminya juga tidak akan keberatan. Selama ini Farah seringkali memperhatikan Risa ketika memarkir mobilnya tidak jauh dari toko pakaian anak milik wanita itu. Latar belakang wanita itu juga sudah ia ketahui. Ibu tunggal itu adalah seorang yatim piatu. Pernikahan pertama Risa penuh siksaan ketika mendiang ibu tirinya sengaja menjualnya pada seorang juragan sapi. Kemudian menikahkan Risa dengan putra pertamanya yang pemabuk. Sayangnya, suami Risa seringkali menyiksanya dan parahnya berselingkuh saat Risa hamil. Berbulan-bulan hidup luntang-lantung dengan kerja serabutan demi memenuhi kebutuhan hidup bersama pu
Beberapa bulan kemudian. Akram pulang dan wajahnya tersenyum lebar kala melihat putranya masih tertidur pulas di kasur lipat di ruang bersantai. Begitu pulas dibelai angin sepoi dari pintu taman samping rumah yang terbuka lebar. Boneka menyerupai robot itu masih setia dipeluk Aidan. Setelah mencium kening putranya, Akram beranjak ke kamar. Tentu saja dengan mengendap-endap agar Aidan tidak terusik. Begitu pintu kamarnya tertutup, telinganya mendengar suara percikan air di kamar mandi. Senyumnya merekah karena menduga Arum sedang mandi. Melirik jam tangannya, belum begitu sore, masih pukul 15.12 WITA. Diletakkannya sekotak perhiasan berwarna biru beludru di atas tempat tidur lalu menutup tirai jendela. Seikat bunga arum lili turut ia letakkan berdampingan dengan kotak itu. Setelah menyalakan lampu tidur di nakas, ia turut menyalakan beberapa lilin aroma terapi. Dengan tergesa Akram menabur mahkota bunga mawar merah di lantai. Berharap agar sang istri berlama-lama di dalam sana sampa
"A-aku cuma tidak mau kamu kaget. Lagian masa siang-siang begi-" "Apa kita perlu ganti model plafonnya?" tanya Akram menunjuk ke atas. Arum mendongak dan memindai langit-langit kamar. Menurutnya tidak perlu diganti karena sudah sangat bagus. Sengatan kecil di lehernya membuatnya seketika membeku. Sang suami sudah beraksi tanpa sanggup dicegah lagi. Rosleting dress yang dikenakannya juga sudah ditarik turun. Usapan halus seringan bulu di punggungnya membuat sekujur tubuhnya gemetar. Bibir itu mengeksplorasi leher mulus hingga ke ujung bahunya. Arum membuka matanya kala sang suami menarik diri. Permainan suaminya membuat Arum yang tadinya menolak, hanya bisa pasrah terseret arus gairah. "Tidak ada aturan waktu, Sayang. Setiap kali… saat kita saling menginginkan," bisik Akram mengecup dagu istrinya dan kembali memagut bibir candunya. Tangannya tidak diam saja sehingga mampu membuai sang istri sampai terdengar desahan yang membuatnya menginginkan lebih. Dert… dert…. Suara ponsel mil
"Sayang, Aruuuuum. Aku kenapa kamu cuekin begini Arum? Sayang!" panggilnya lagi saat melihat istrinya malah beranjak. Sudah dua hari lalu istrinya tidak mengajaknya bicara. Selalu saja adik atau mamanya yang jadi perantara. Sejak malam gala premiere itu, Arum seakan menganggapnya robot. Makan dan pakaiannya disiapkan, tapi selalu dihindari. Malam itu bahkan Arum, Adina dan Aidan bermalam di rumah Latief dengan alasan ingin mencoba menu sarapan baru buatan Ardito. Sementara dirinya sudah sampai di rumah lebih dulu karena ia mengantar Haslan, Hastuti dan Alyana pulang. Sementara setahunya, istri dan anaknya ikut pulang bersama papanya. Arum berbalik dan langsung membalas, "Aku kenapa kamu bohongi begini Akram?" Akram tersenyum masam mendengar tawa keluarganya. Bukan tawa bahagia seperti tawa putranya yang sudah bisa telungkup sambil memukul-mukulkan tangannya di atas kasur lipatnya. Mungkin minta ayahnya untuk segera meraihnya. Keluarganya malah tertawa jahat karena seharian ini Ar
Novita tetap kekeuh pada pendiriannya sehingga membuat Akram tidak berkutik. Arum hanya bisa terdiam karena sejak awal ia sudah menyerahkan segala keputusan pada suaminya. Siang ini mereka sudah bisa pulang, begitu juga dengan bayi mereka yang sudah tiga hari ini dipindahkan dari inkubator. Hampir dua pekan berada di rumah sakit membuat Akram rindu rumah kontrakannya. Nara saja sampai bertanya kapan dirinya akan pulang. Mengedarkan pandangan, Akram tersenyum masam tanpa seorang pun yang mau mendukungnya. "Ma, masa Akram masih harus num-" Lirikan tajam Novita pada putranya kembali membuat Akram diam. Inginnya, Akram ulang ke rumah kontrakannya. Dengan percaya diri ia mengatakan bahwa dirinya sudah baik-baik saja, apalagi ada Danu dan Wina serta Nara di rumahnya. "Papa setuju sama mama kamu," sahut Ardan ketika putranya itu menatap penuh permohonan. Tadinya begitu bersemangat ingin segera pulang setelah hampir dua pekan dirawat, tapi kini Akram memelas. "Berharap pada tali rapuh," k