Suasana kafe sore ini terlihat terasa lebih ramai dari sebelumnya. Akram sering datang ke tempat ini dulu. Dulu saat adiknya Firman masih hidup. Keduanya akan sering menghabiskan waktu di kafe ini dan membicarakan keseharian adiknya itu di tempat kursus memasak, begitu juga dengan tulisan-tulisannya sendiri. Terbayang olehnya ketika almarhum adiknya itu mengatakan punya resep baru dan akan membuatnya di restoran milik tante mereka, restoran milik orang tua Riswan. Kenangan itu kembali hadir merambah getir. Semalam ia datang ke rumah orang tuanya dan membicarakan masalah perjodohan pilihan mereka. Adiknya Adina tidak memberikan komentar apapun. Sebelum pulang ia sempat membuka pintu kamar kedua adiknya. Adina sudah tidur saat ia akan pulang. Sedangkan di kamar Firrman, hanya kehampaan yang menyambut. Tidak ada yang berubah di dalamnya seolah penghuninya akan kembali. Setelah menyanggupi keinginan papa dan mamanya untuk bertemu gadis yang mereka pilihkan, di sinilah Akram duduk menungg
Fatur:AssalamualaikumPak Akram di mana?Ada investor ingin bertemu.Katanya tertarik program baruTidak mau menyebut namanyaMe:Apa rambutnya putih semua?Pakai cincin giok hijau?Fatur:Benar PakMe:Siapkan kopi tanpa gulaBodyguardnya kasih jus alpukatSebentar lagi saya sampaiNanti saya hubungi dia langsungSantai saja, dia cuma mampirFatur:Baik PakAkram tersenyum lebar mengetahui pria paruh baya yang kaya raya itu tertarik dengan program yang dirintisnya. Walau pria itu sombong, tapi tidak akan segan-segan mengeluarkan banyak uang demi popularitasnya. Jika pria itu sampai disebut sebagai investor pertama dalam program itu, namanya tentu saja akan melejit. Saran dari sahabatnya memang tidak pernah mengecewakannya.Setelah masalah ini selesai diurus, ia akan segera menemui gadis pilihan papanya. Walau sebenarnya ia merasa malas, tapi ia sendiri sadar tidak bisa melakukan hal ini setengah-setengah. Riswan juga sudah berkali-kali mengingatkan dirinya agar tidak memancing kemar
Adina merasa tubuhnya diguyur air dingin sampai seluruh tubuhnya membeku. Akram menjeda kalimatnya dan mencoba mengumpulkan keberaniannya lagi. Keberanian untuk jujur pada sosok yang paling ia percaya untuk menyimpan rahasianya selain Riswan. "Kakak, kakak tidak sadar sudah memaksa dia. Kakak mabuk. Kakak minta maaf sudah mengecewakan kamu. Kakak benar-benar minta maaf," ungkapnya lagi penuh penyesalan. "Aku kecewa sama Kakak...." balasnya. Suara lirih itu rasanya menusuk Akram seperti belati. Ia tahu ini kesalahannya. Tapi mendengar adiknya sendiri mengatakan kecewa kepadanya membuatnya ingin menenggelamkan dirinya ke kolam renang dengan melompat di balkon kamar adiknya. Adina melepas pelukannya dan memilih menatap karpet bulu yang di pijaknya. Kata 'memaksa' yang baru saja dikatakan oleh kakaknya membuat darahnya mendidih. Tidak menyangka jika kakaknya bisa berbuat setega itu. Dari pantulan cermin, Adina melihat Akram yang terdiam menutup wajah dengan kedua telapak tangannya. Sua
"Kakak mau tanggung jawab Dek, itu anaknya kakak! Tidak mungkin kakak biarkan mereka hidup menderita! Apalagi kalau sampai jadi anak orang lain. Tidak akan! Kakak lagi cara supaya dia mau ketemu sama kakak dan kasih kesempatan buat memperbaiki segalanya!" ujar Akram menggebu. "Jadi Kakak sudah yakin mau tanggung jawab?" tanya Adina dan Akram balas dengan jawaban yakin penuh kesungguhan. "Kenapa tidak bilang dari tadi? Aku sudah capek-capek rangkai kalimat panjang karena mengira Kak Akram mau kabur lagi karena tidak mau pusing?" Adina melepas pelukannya sambil mencebik lalu beranjak menarik tissu di atas meja riasnya.Akram hanya melongo melihat reaksi adik perempuannya. Tidak pernah menduga akan dikejutkan untuk kedua kalinya. Sesantai itukah adiknya menanggapi masalah besar yang dihadapinya? Adina mengulurkan beberapa lembar tissu pada Akram yang bergeming. Tanpa tahu sebenarnya Adina hanya berusaha untuk membuat kakaknya lega karena telah mau membagi beban dengannya. Adina tidak in
"Waw! Apa ini keberuntungan untukku?" Seringai jahil itu disertai gelengan kepala adiknya. Akram mencebik, jelas-jelas tadi adiknya mengatakan jika kembar tiga angka maka adiknya akan traktir tiket courtside pertandingan berikutnya."Ini gara-gara Faiz! Aku beneran bisa bangkrut ini!" gerutu Adina yang teringat akan janjinya. Saat waktu tersisa 65 detik, skor pertandingan 105-101. Ia tidak menyangka jika dalam dalam 30 detik terakhir, Raiz dan Faiz kembali menambah skor dengan masing-masing melesatkan tri point. Sorak kemenangan membahana di stadion. Di layar televisi, Adina bisa melihat Faiz dan Raiz menghampiri kedua orangtuanya juga tantenya. Ada juga seorang bocah laki-laki yang sudah berkenalan dengannya beberapa waktu lalu. Para pemain kembali ke tengah lapangan untuk menerima piala."Kenapa harus gara-gara Faiz? Memangnya dia bilang mau cetak banyak poin sampai skor timnya sampai 111, begitu? Lagian memangnya kamu kenal dekat sama dia sampai sewot begitu?" tanya Akram tidak hab
"Siapa?" "Cowok baik hati, santun, rajin sholat, penyayang, perhatian, suka anak kecil, cakep, tinggi, pinter, berprestasi, mandiri, terus dia juga humoris. Kurang sabaran sih, sedikit keras kepala, sedikit berisik, nggak jaim, totalitas, sedikit pemaksa. Hal yang paling aku suka, dia orangnya jujur dan gigih," ungkap Adina. "Limited edition tuh! Kamu coba mengerjai kakak? Mana ada cowok sesempurna itu. Ada-ada saja!" sanggahnya. "Aku tidak mengada-ada. Dia bahkan sudah sabar tunggu aku bilang ya dari dua tahun lalu," cicit Adina karena Akram ragu dengan ucapannya. "Jangan halu, Dek!" pintanya sembari geleng kepala. Melihat reaksi kakaknya, Adina kembali mengumpulkan keberanian dengan berkata, "Dia pernah kok minta izin langsung sama papa sama mama buat kenal dekat sama aku. Tapi sepertinya papa sama mama mengabaikan ucapannya dan menganggap kalau itu cuma omongan bocah ingusan." Adina jadi terkekeh mengingat hal itu. "Apa?! Kapan?!" Akram sampai menegakkan kepalanya. "Waktu ak
"Memangnya kenapa kalau pakai lama?" tanya Akram setelah berhasil meredakan amarahnya. Wajah memelas adiknya cukup membuatnya luluh sejenak. "Saya prihatin, kalau kelamaan mikirnya, bisa stres. Energi tubuh lebih banyak yang terkuras saat berpikir dibandingkan kegiatan fisik. Apalagi masalah cewek itu bukan masalah yang mudah untuk dihadapi," sahut Faiz. Dalam hati Akram membenarkan ucapan Faiz. Terlalu lama berpikir membuatnya stres. Bocah ingusan ini ternyata cukup banyak tahu juga tentang menghadapi wanita. Pantas saja adiknya tanpa ragu bilang berharap jadi istrinya sekalian. Tapi sebagai kakak, ia tidak akan semudah itu mengizinkan adiknya pacaran dengan laki-laki yang tidak ia kenal. Mungkin setelah beberapa kali bertemu nanti, ia bisa menarik kesimpulan tentang laki-laki bernama Faiz itu. "Kakaknya Adina bukan cuma saya saja. Masih ada yang lain. Jangan harap jalan kamu mulus." Akram mencoba menyurutkan semangat Faiz. "Iya, kalau itu saya sudah tahu Kak Akram. Memang sih jaw
Arum gelisah di tempat tidurnya. Sudah beberapa kali ia bolak-balik ke kamar mandi. Malam ini tubuhnya dan janinnya seolah tidak bersahabat. Sejak kemarin sore menyadari jika Akram diam-diam membuntutinya, ia belum bisa benar-benar tenang. Setiap kali terdiam, lagi-lagi pria itu yang terbayang. Bisa ia lihat betapa hawatirnya pria itu saat dirinya hampir saja tersandung karena berjalan tidak memperhatikan langkah kakinya sendiri. Justru Arum sibuk mencuri pandang melihat siluet yang sejak beberapa waktu ini coba dihindarinya. Ia tidak mengerti alasan mengapa Akram hanya berdiri di tempat jauh? Harusnya datang menghampiri saja dan bertanya secara langsung seperti kebiasaan Akram selama ini. Hal itu membuatnya merasa diuntit. Arum sudah bisa mengendalikan diri dengan tidak lari kala melihat pria itu seperti beberapa waktu lalu. Sadar bahwa dirinya tidak boleh gegabah karena kalau tidak, akan mempengaruhi kondisi janinnya. Disatu sisi ia bersyukur pria itu tidak mendekat karena tidak ta
"Sayang, maaf ya hari ini aku tidak bisa temani mama kamu ke acara hajatan temannya. Sahabatku sakit, dia tinggal sendirian di kamar kostnya. Rencananya setelah belikan dia makan, aku mau bawa dia berobat ke klinik atau rumah sakit dekat kostnya," jelas kekasih Fatur yang terdengar berat hati menyampaikannya. Fatur melirik pintu kamar mamanya sejenak lalu membalas, "Iya, tidak apa. Nanti aku bilang sama mama. Kamu antarkan teman kamu berobat dulu. Kamu juga jaga kesehatan biar kamu tidak ikutan sakit. Belakangan cuaca memang tidak menentu." "Terima kasih ya, Sayang. Kamu memang pengertian. Makin sayang deh sama kamu," gombal gadis itu tersenyum dari layar ponsel Fatur. Setelah saling balas dengan salam, akhirnya panggilan video itu mereka akhiri. Fatur entah mengapa merasa gamang. Mamanya sudah antusias ingin mengajak kekasihnya itu untuk menghabiskan waktu bersama. Rencananya setelah mampir sebentar ke acara hajatan teman, mamanya berniat ingin mengajak gadis yang hendak dilamar Fa
Dua minggu berlalu setelah acara lamaran Riswan, kini mereka kembali merasakan suasana pesta. Kali ini mereka berkumpul di sebuah taman wisata yang menjadi lokasi akad sekaligus resepsi pernikahan Lintang dan Tasya. Kedua mempelai itu memang memilih taman ini agar segala rangkaian acara berpusat di satu tempat saja tanpa dekorasi berlebih. "Gugup?" tanya Akram pada sahabatnya yang sejak tadi melirik jam tangannya resah. "Mungkin," jawab Lintang mengatur napasnya berkali-kali. Akram mengulum senyum melihat Lintang meremas lutut kirinya. Menyelenggarakan acara di area outdoor seperti ini tidak juga mampu membuatnya bernapas lega. "Di taman ini aku sama Tasya pertama kali ketemu," ungkapnya mengenang kejadian beberapa tahun lalu. "Dan akan jadi gerbang pernikahan kamu," sambung Bian. "Aku sendiri merasa dejavu. Arum juga bilang begitu tadi. Dulu kami menikah di taman belakang Panti Asuhan Pradipta. Nuansanya kurang lebih seperti ini, meski ya… dekorasi kalian lebih mewah. Aku nikahny
Mendengar Alyana menginginkan bulan, rasanya semua tulang Ranu retak. Sempat berpikir mungkin jantungnya juga ikut berhenti berdetak. Otaknya malas berpikir karena semakin lama ia justru putus asa karena tidak kunjung menemukan solusi. Di tengah keramaian Kota Hongkong, Ranu justru merasa sepi. Setelah mengikuti kompetisi game hari ini, ia meminta timnya untuk beristirahat lebih awal. Jangan sampai mereka menyadari jika pikirannya sedang kacau. Berjalan sendiri di trotoar sembari menikmati pemandangan kota malam hari, Ranu hanya berusaha untuk menyegarkan pikiran. Mungkin saja akan menemukan ide baru saat mengamati sekitarnya. Berbeda dengan Jakarta, di tempatnya saat ini lebih banyak pejalan kaki. Melihat beberapa detik lagi lampu lintas akan berubah warna, Ranu menghentikan langkah. Ia menunggu sampai lampu lalu lintas berubah hijau agar bisa menyebrang jalan. Mendongak menatap langit, Ranu tersenyum melihat bulan purnama yang indah itu. "Sulit membawa bulan itu padamu, Al. Kalau
Bian baru saja selesai memberikan kuliah. Rasa penasarannya akan keributan para mahasiswi di depan ruangannya tidak terbendung. Pasalnya, ruangannya yang berada di pojok itu sama sekali tidak memiliki objek menarik. Bukan karena dirinya tidak memiliki barang yang berkenaan dengan passion atau background dirinya sebagai dosen lingkungan. Akan tetapi, baru dua hari ini ruangannya dipindahkan sehingga belum sempat berbenah. Lantas, hal apa yang menarik di sana dan membuat mereka berkerumun? "Kalian kenapa berkumpul di depan ruangan saya?" tanya Bian. "Eh, Pak Bian, itu loh Pak, ada model cover novel ala CEO yang lagi nongkrong di ruangan Bapak," jawab salah seorang mahasiswi dengan mata berbinar. Bian akhirnya berdeham sehingga barisan di depannya mulai bergeser memberinya akses jalan. Ketika netranya mendapati punggung tegap seseorang di balut jas mahal, Bian kembali berdeham. Pria dengan kedua tangan bersembunyi di saku celananya itu berbalik tanpa mengulas senyum. Justru Bian ditat
Begitu mendengar Adijaya Ufraj meminta Riswan mengajak Risa dan putranya datang di acara resepsi pernikahan Akram dan Arum, Latief dan Farah terkejut. Mereka tidak tahu alasan dibalik keputusan pria lanjut usia itu. Riswan langsung mengiyakan, bahkan akan mengajak wanita pilihannya itu untuk segera menemui sang kakek. Kedua orang tuanya hanya tersenyum. Diam-diam Farah berharap suaminya juga tidak akan keberatan. Selama ini Farah seringkali memperhatikan Risa ketika memarkir mobilnya tidak jauh dari toko pakaian anak milik wanita itu. Latar belakang wanita itu juga sudah ia ketahui. Ibu tunggal itu adalah seorang yatim piatu. Pernikahan pertama Risa penuh siksaan ketika mendiang ibu tirinya sengaja menjualnya pada seorang juragan sapi. Kemudian menikahkan Risa dengan putra pertamanya yang pemabuk. Sayangnya, suami Risa seringkali menyiksanya dan parahnya berselingkuh saat Risa hamil. Berbulan-bulan hidup luntang-lantung dengan kerja serabutan demi memenuhi kebutuhan hidup bersama pu
Beberapa bulan kemudian. Akram pulang dan wajahnya tersenyum lebar kala melihat putranya masih tertidur pulas di kasur lipat di ruang bersantai. Begitu pulas dibelai angin sepoi dari pintu taman samping rumah yang terbuka lebar. Boneka menyerupai robot itu masih setia dipeluk Aidan. Setelah mencium kening putranya, Akram beranjak ke kamar. Tentu saja dengan mengendap-endap agar Aidan tidak terusik. Begitu pintu kamarnya tertutup, telinganya mendengar suara percikan air di kamar mandi. Senyumnya merekah karena menduga Arum sedang mandi. Melirik jam tangannya, belum begitu sore, masih pukul 15.12 WITA. Diletakkannya sekotak perhiasan berwarna biru beludru di atas tempat tidur lalu menutup tirai jendela. Seikat bunga arum lili turut ia letakkan berdampingan dengan kotak itu. Setelah menyalakan lampu tidur di nakas, ia turut menyalakan beberapa lilin aroma terapi. Dengan tergesa Akram menabur mahkota bunga mawar merah di lantai. Berharap agar sang istri berlama-lama di dalam sana sampa
"A-aku cuma tidak mau kamu kaget. Lagian masa siang-siang begi-" "Apa kita perlu ganti model plafonnya?" tanya Akram menunjuk ke atas. Arum mendongak dan memindai langit-langit kamar. Menurutnya tidak perlu diganti karena sudah sangat bagus. Sengatan kecil di lehernya membuatnya seketika membeku. Sang suami sudah beraksi tanpa sanggup dicegah lagi. Rosleting dress yang dikenakannya juga sudah ditarik turun. Usapan halus seringan bulu di punggungnya membuat sekujur tubuhnya gemetar. Bibir itu mengeksplorasi leher mulus hingga ke ujung bahunya. Arum membuka matanya kala sang suami menarik diri. Permainan suaminya membuat Arum yang tadinya menolak, hanya bisa pasrah terseret arus gairah. "Tidak ada aturan waktu, Sayang. Setiap kali… saat kita saling menginginkan," bisik Akram mengecup dagu istrinya dan kembali memagut bibir candunya. Tangannya tidak diam saja sehingga mampu membuai sang istri sampai terdengar desahan yang membuatnya menginginkan lebih. Dert… dert…. Suara ponsel mil
"Sayang, Aruuuuum. Aku kenapa kamu cuekin begini Arum? Sayang!" panggilnya lagi saat melihat istrinya malah beranjak. Sudah dua hari lalu istrinya tidak mengajaknya bicara. Selalu saja adik atau mamanya yang jadi perantara. Sejak malam gala premiere itu, Arum seakan menganggapnya robot. Makan dan pakaiannya disiapkan, tapi selalu dihindari. Malam itu bahkan Arum, Adina dan Aidan bermalam di rumah Latief dengan alasan ingin mencoba menu sarapan baru buatan Ardito. Sementara dirinya sudah sampai di rumah lebih dulu karena ia mengantar Haslan, Hastuti dan Alyana pulang. Sementara setahunya, istri dan anaknya ikut pulang bersama papanya. Arum berbalik dan langsung membalas, "Aku kenapa kamu bohongi begini Akram?" Akram tersenyum masam mendengar tawa keluarganya. Bukan tawa bahagia seperti tawa putranya yang sudah bisa telungkup sambil memukul-mukulkan tangannya di atas kasur lipatnya. Mungkin minta ayahnya untuk segera meraihnya. Keluarganya malah tertawa jahat karena seharian ini Ar
Novita tetap kekeuh pada pendiriannya sehingga membuat Akram tidak berkutik. Arum hanya bisa terdiam karena sejak awal ia sudah menyerahkan segala keputusan pada suaminya. Siang ini mereka sudah bisa pulang, begitu juga dengan bayi mereka yang sudah tiga hari ini dipindahkan dari inkubator. Hampir dua pekan berada di rumah sakit membuat Akram rindu rumah kontrakannya. Nara saja sampai bertanya kapan dirinya akan pulang. Mengedarkan pandangan, Akram tersenyum masam tanpa seorang pun yang mau mendukungnya. "Ma, masa Akram masih harus num-" Lirikan tajam Novita pada putranya kembali membuat Akram diam. Inginnya, Akram ulang ke rumah kontrakannya. Dengan percaya diri ia mengatakan bahwa dirinya sudah baik-baik saja, apalagi ada Danu dan Wina serta Nara di rumahnya. "Papa setuju sama mama kamu," sahut Ardan ketika putranya itu menatap penuh permohonan. Tadinya begitu bersemangat ingin segera pulang setelah hampir dua pekan dirawat, tapi kini Akram memelas. "Berharap pada tali rapuh," k