"Siapa?" "Cowok baik hati, santun, rajin sholat, penyayang, perhatian, suka anak kecil, cakep, tinggi, pinter, berprestasi, mandiri, terus dia juga humoris. Kurang sabaran sih, sedikit keras kepala, sedikit berisik, nggak jaim, totalitas, sedikit pemaksa. Hal yang paling aku suka, dia orangnya jujur dan gigih," ungkap Adina. "Limited edition tuh! Kamu coba mengerjai kakak? Mana ada cowok sesempurna itu. Ada-ada saja!" sanggahnya. "Aku tidak mengada-ada. Dia bahkan sudah sabar tunggu aku bilang ya dari dua tahun lalu," cicit Adina karena Akram ragu dengan ucapannya. "Jangan halu, Dek!" pintanya sembari geleng kepala. Melihat reaksi kakaknya, Adina kembali mengumpulkan keberanian dengan berkata, "Dia pernah kok minta izin langsung sama papa sama mama buat kenal dekat sama aku. Tapi sepertinya papa sama mama mengabaikan ucapannya dan menganggap kalau itu cuma omongan bocah ingusan." Adina jadi terkekeh mengingat hal itu. "Apa?! Kapan?!" Akram sampai menegakkan kepalanya. "Waktu ak
"Memangnya kenapa kalau pakai lama?" tanya Akram setelah berhasil meredakan amarahnya. Wajah memelas adiknya cukup membuatnya luluh sejenak. "Saya prihatin, kalau kelamaan mikirnya, bisa stres. Energi tubuh lebih banyak yang terkuras saat berpikir dibandingkan kegiatan fisik. Apalagi masalah cewek itu bukan masalah yang mudah untuk dihadapi," sahut Faiz. Dalam hati Akram membenarkan ucapan Faiz. Terlalu lama berpikir membuatnya stres. Bocah ingusan ini ternyata cukup banyak tahu juga tentang menghadapi wanita. Pantas saja adiknya tanpa ragu bilang berharap jadi istrinya sekalian. Tapi sebagai kakak, ia tidak akan semudah itu mengizinkan adiknya pacaran dengan laki-laki yang tidak ia kenal. Mungkin setelah beberapa kali bertemu nanti, ia bisa menarik kesimpulan tentang laki-laki bernama Faiz itu. "Kakaknya Adina bukan cuma saya saja. Masih ada yang lain. Jangan harap jalan kamu mulus." Akram mencoba menyurutkan semangat Faiz. "Iya, kalau itu saya sudah tahu Kak Akram. Memang sih jaw
Arum gelisah di tempat tidurnya. Sudah beberapa kali ia bolak-balik ke kamar mandi. Malam ini tubuhnya dan janinnya seolah tidak bersahabat. Sejak kemarin sore menyadari jika Akram diam-diam membuntutinya, ia belum bisa benar-benar tenang. Setiap kali terdiam, lagi-lagi pria itu yang terbayang. Bisa ia lihat betapa hawatirnya pria itu saat dirinya hampir saja tersandung karena berjalan tidak memperhatikan langkah kakinya sendiri. Justru Arum sibuk mencuri pandang melihat siluet yang sejak beberapa waktu ini coba dihindarinya. Ia tidak mengerti alasan mengapa Akram hanya berdiri di tempat jauh? Harusnya datang menghampiri saja dan bertanya secara langsung seperti kebiasaan Akram selama ini. Hal itu membuatnya merasa diuntit. Arum sudah bisa mengendalikan diri dengan tidak lari kala melihat pria itu seperti beberapa waktu lalu. Sadar bahwa dirinya tidak boleh gegabah karena kalau tidak, akan mempengaruhi kondisi janinnya. Disatu sisi ia bersyukur pria itu tidak mendekat karena tidak ta
Ardan dan Novita terdiam di sofa depan televisi setelah kepergian mendadak Akram. Suara dari panggilan telpon tadi membuat perasaan mereka berkecamuk. Mereka tidak pernah menyangka jika Akram yang keras kepala dan sulit diatur itu punya sisi lain yang mengejutkan. Mulut Akram selalu berkata tidak peduli namun kenyataan berkata lain. Akram diam-diam menjaga keluarganya dan melakukan apa yang papanya inginkan darinya selama ini dengan caranya sendiri. "Papa tahu tentang hal ini?" tanya Novita. "Tidak Ma. Papa juga syok," jawab Ardan menyandarkan kepalanya di punggung sofa dan memandang langit-langit ruangan. "Anak keras kepala kita... huh... papa selalu saja salah paham padanya." "Tidak heran sih, meski dia jauh dari kita beberapa tahun terakhir ini. Tapi Akram masih mendengar baik ucapan om dan tantenya. Dia juga masih punya Riswan yang selalu sabar mengingatkannya kalau dia mulai bertindak aneh," ujar Novita bersandar di bahu suaminya. "Menurut papa siapa pelakunya?" "Ada lima pasa
Sepulang dari rumah orang tuanya, Akram kembali ke rumah kontrakannya. Rumahnya sendiri selama beberapa tahun ini. Rumah kecil dengan dua kamar tidur di sebuah perumahan kelas menengah. Pagi ini ia harus berangkat ke kantor Yayasan HAS untuk bekerja. Sudah beberapa hari ini ia banyak menunda pekerjaannya sejak bertemu Arum dan memikirkan keinginan perjodohan dari kedua orang tuanya. Sebelum ke kantor, ia menyempatkan diri untuk sekedar menunggu beberapa saat di depan sebuah kost-kostan yang diketahuinya sebagai tempat tinggal Arum belakangan ini. Wanita itu tidak lagi tinggal di apartemen khusus karyawan perusahaan Pradipta. Mengetahui itu kost umum, bukan khusus wanita membuatnya resah. Menurutnya itu bukan tempat aman bagi Arum yang tinggal seorang diri. Betapa terkejutnya ia melihat Arum keluar sambil terus melirik jam di pergelangan tangannya. Padahal mungkin saja tidak ada yang menyadari keberadaannya yang sedang duduk di dalam mobilnya sendiri karena terhalang pelindung kaca. A
Hari ini rasanya sangat melelahkan bagi Akram. Inginnya saat ini cepat-cepat tiba di rumah kontrakannya. Ia ingin mandi kemudian tidur. Tidak peduli jika akan kelaparan. Saat ini ia benar-benar tidak punya waktu sekedar untuk singgah ke suatu tempat untuk makan malam atau memesan makanan. Bagaimana mau memesan jika saat ini kedua ponselnya lowbet total? Gara-gara semalam menginap di rumah orang tuanya dan buru-buru ke kantor. Hingga tiba di kantor pun ia disibukkan dengan banyak pekerjaan. Saking sibuknya ia lupa mengisi daya kedua ponselnya sendiri. Sekarang sudah hampir pukul sembilan malam. Akhirnya mobil HR-V hitam itu berhenti di depan sebuah rumah minimalis tanpa pagar. Suasana rumahnya seperti biasa, gelap dan sunyi. Begitu pun ketika si pemilik rumah membuka pintu rumahnya. Langkahnya melenggang begitu saja memasuki kamarnya setelah mengunci kembali pintu utama. Akram tidak menyadari jika di pembatas ruang tamu dan dapur bersih ada yang memperhatikan gerak-geriknya. Sekitar
"Ketiganya." Bukan Akram melainkan Adina yang menjawab. Saat ini Adina menghampiri dan menatap keduanya bergantian. Duduk berjongkok di samping Akram dan menggenggam tangan kiri kakaknya. "Jangan goyah. Kakak tidak lemah, hanya saja kurang berani mengambil tindakan karena tidak ingin menyakiti orang lain lagi. Papa sama mama pasti akan marah, begitu juga yang lain. Bahkan Kak Riswan juga sampai marah kan sama Kakak?" "Bukan cuma kakak yang akan terjebak dengan keadaan ini. Semua orang kecewa dan akan marah sama kakak. Untuk kesekian kalinya Akram Hazami akan membuat ucapan mereka selama ini jadi benar. Kakak tidak lebih dari sekedar pecundang," gumam Akram dan kedua gadis belia itu saling lirik. Jika Adina mendesah pasrah, lain halnya Alyana yang mengernyit. "Tapi apa Kakak akan menyerah dan jadi pegecut?" tanya Adina lagi dan Akram kembali bungkam. "Coba Kakak pikirkan saja baik-baik, siapa prioritas Kakak sekarang? Pandangan orang lain atau mereka berdua? Sebenarnya sih, Adina su
Kesalahan tetaplah sebuah aib sekalipun hal itu tidak disengaja. Satu hal yang bisa berubah adalah jika kau bisa memperbaiki kesalahan itu tanpa mengulanginya lagi. Penyesalan itu bukan hanya sekedar mengungkapkan maaf dengan lisan, karena semua itu butuh tindakan. Seseorang harus memulai dengan memaafkan kesalahan dirinya sendiri. Sulit memang, berat tentu saja. Namun ketika seseorang bisa menentukan sikap untuk meminta maaf, merenungi kesalahannya dan berjanji pada dirinya sendiri agar usahanya bisa memperbaiki sedikit saja kesalahan itu, maka akan lahir secercah harapan. Harapan itu tidak lain adalah kesempatan. Bukankah kita sebagai manusia wajib meyakini jika Sang Maha Kuasa mampu menjadikan sebuah kemustahilan menjadi keajaiban? Maka bujuklah dengan segala ikhtiar yang bisa dilakukan. Beban yang menghimpit di dada akan sedikit berkurang meski tidak mengurangi keseluruhan dari rasa sakitnya. Di sinilah Akram, di dalam mobilnya yang sengaja ia parkir tak jauh dari gerbang kost
"Sayang, maaf ya hari ini aku tidak bisa temani mama kamu ke acara hajatan temannya. Sahabatku sakit, dia tinggal sendirian di kamar kostnya. Rencananya setelah belikan dia makan, aku mau bawa dia berobat ke klinik atau rumah sakit dekat kostnya," jelas kekasih Fatur yang terdengar berat hati menyampaikannya. Fatur melirik pintu kamar mamanya sejenak lalu membalas, "Iya, tidak apa. Nanti aku bilang sama mama. Kamu antarkan teman kamu berobat dulu. Kamu juga jaga kesehatan biar kamu tidak ikutan sakit. Belakangan cuaca memang tidak menentu." "Terima kasih ya, Sayang. Kamu memang pengertian. Makin sayang deh sama kamu," gombal gadis itu tersenyum dari layar ponsel Fatur. Setelah saling balas dengan salam, akhirnya panggilan video itu mereka akhiri. Fatur entah mengapa merasa gamang. Mamanya sudah antusias ingin mengajak kekasihnya itu untuk menghabiskan waktu bersama. Rencananya setelah mampir sebentar ke acara hajatan teman, mamanya berniat ingin mengajak gadis yang hendak dilamar Fa
Dua minggu berlalu setelah acara lamaran Riswan, kini mereka kembali merasakan suasana pesta. Kali ini mereka berkumpul di sebuah taman wisata yang menjadi lokasi akad sekaligus resepsi pernikahan Lintang dan Tasya. Kedua mempelai itu memang memilih taman ini agar segala rangkaian acara berpusat di satu tempat saja tanpa dekorasi berlebih. "Gugup?" tanya Akram pada sahabatnya yang sejak tadi melirik jam tangannya resah. "Mungkin," jawab Lintang mengatur napasnya berkali-kali. Akram mengulum senyum melihat Lintang meremas lutut kirinya. Menyelenggarakan acara di area outdoor seperti ini tidak juga mampu membuatnya bernapas lega. "Di taman ini aku sama Tasya pertama kali ketemu," ungkapnya mengenang kejadian beberapa tahun lalu. "Dan akan jadi gerbang pernikahan kamu," sambung Bian. "Aku sendiri merasa dejavu. Arum juga bilang begitu tadi. Dulu kami menikah di taman belakang Panti Asuhan Pradipta. Nuansanya kurang lebih seperti ini, meski ya… dekorasi kalian lebih mewah. Aku nikahny
Mendengar Alyana menginginkan bulan, rasanya semua tulang Ranu retak. Sempat berpikir mungkin jantungnya juga ikut berhenti berdetak. Otaknya malas berpikir karena semakin lama ia justru putus asa karena tidak kunjung menemukan solusi. Di tengah keramaian Kota Hongkong, Ranu justru merasa sepi. Setelah mengikuti kompetisi game hari ini, ia meminta timnya untuk beristirahat lebih awal. Jangan sampai mereka menyadari jika pikirannya sedang kacau. Berjalan sendiri di trotoar sembari menikmati pemandangan kota malam hari, Ranu hanya berusaha untuk menyegarkan pikiran. Mungkin saja akan menemukan ide baru saat mengamati sekitarnya. Berbeda dengan Jakarta, di tempatnya saat ini lebih banyak pejalan kaki. Melihat beberapa detik lagi lampu lintas akan berubah warna, Ranu menghentikan langkah. Ia menunggu sampai lampu lalu lintas berubah hijau agar bisa menyebrang jalan. Mendongak menatap langit, Ranu tersenyum melihat bulan purnama yang indah itu. "Sulit membawa bulan itu padamu, Al. Kalau
Bian baru saja selesai memberikan kuliah. Rasa penasarannya akan keributan para mahasiswi di depan ruangannya tidak terbendung. Pasalnya, ruangannya yang berada di pojok itu sama sekali tidak memiliki objek menarik. Bukan karena dirinya tidak memiliki barang yang berkenaan dengan passion atau background dirinya sebagai dosen lingkungan. Akan tetapi, baru dua hari ini ruangannya dipindahkan sehingga belum sempat berbenah. Lantas, hal apa yang menarik di sana dan membuat mereka berkerumun? "Kalian kenapa berkumpul di depan ruangan saya?" tanya Bian. "Eh, Pak Bian, itu loh Pak, ada model cover novel ala CEO yang lagi nongkrong di ruangan Bapak," jawab salah seorang mahasiswi dengan mata berbinar. Bian akhirnya berdeham sehingga barisan di depannya mulai bergeser memberinya akses jalan. Ketika netranya mendapati punggung tegap seseorang di balut jas mahal, Bian kembali berdeham. Pria dengan kedua tangan bersembunyi di saku celananya itu berbalik tanpa mengulas senyum. Justru Bian ditat
Begitu mendengar Adijaya Ufraj meminta Riswan mengajak Risa dan putranya datang di acara resepsi pernikahan Akram dan Arum, Latief dan Farah terkejut. Mereka tidak tahu alasan dibalik keputusan pria lanjut usia itu. Riswan langsung mengiyakan, bahkan akan mengajak wanita pilihannya itu untuk segera menemui sang kakek. Kedua orang tuanya hanya tersenyum. Diam-diam Farah berharap suaminya juga tidak akan keberatan. Selama ini Farah seringkali memperhatikan Risa ketika memarkir mobilnya tidak jauh dari toko pakaian anak milik wanita itu. Latar belakang wanita itu juga sudah ia ketahui. Ibu tunggal itu adalah seorang yatim piatu. Pernikahan pertama Risa penuh siksaan ketika mendiang ibu tirinya sengaja menjualnya pada seorang juragan sapi. Kemudian menikahkan Risa dengan putra pertamanya yang pemabuk. Sayangnya, suami Risa seringkali menyiksanya dan parahnya berselingkuh saat Risa hamil. Berbulan-bulan hidup luntang-lantung dengan kerja serabutan demi memenuhi kebutuhan hidup bersama pu
Beberapa bulan kemudian. Akram pulang dan wajahnya tersenyum lebar kala melihat putranya masih tertidur pulas di kasur lipat di ruang bersantai. Begitu pulas dibelai angin sepoi dari pintu taman samping rumah yang terbuka lebar. Boneka menyerupai robot itu masih setia dipeluk Aidan. Setelah mencium kening putranya, Akram beranjak ke kamar. Tentu saja dengan mengendap-endap agar Aidan tidak terusik. Begitu pintu kamarnya tertutup, telinganya mendengar suara percikan air di kamar mandi. Senyumnya merekah karena menduga Arum sedang mandi. Melirik jam tangannya, belum begitu sore, masih pukul 15.12 WITA. Diletakkannya sekotak perhiasan berwarna biru beludru di atas tempat tidur lalu menutup tirai jendela. Seikat bunga arum lili turut ia letakkan berdampingan dengan kotak itu. Setelah menyalakan lampu tidur di nakas, ia turut menyalakan beberapa lilin aroma terapi. Dengan tergesa Akram menabur mahkota bunga mawar merah di lantai. Berharap agar sang istri berlama-lama di dalam sana sampa
"A-aku cuma tidak mau kamu kaget. Lagian masa siang-siang begi-" "Apa kita perlu ganti model plafonnya?" tanya Akram menunjuk ke atas. Arum mendongak dan memindai langit-langit kamar. Menurutnya tidak perlu diganti karena sudah sangat bagus. Sengatan kecil di lehernya membuatnya seketika membeku. Sang suami sudah beraksi tanpa sanggup dicegah lagi. Rosleting dress yang dikenakannya juga sudah ditarik turun. Usapan halus seringan bulu di punggungnya membuat sekujur tubuhnya gemetar. Bibir itu mengeksplorasi leher mulus hingga ke ujung bahunya. Arum membuka matanya kala sang suami menarik diri. Permainan suaminya membuat Arum yang tadinya menolak, hanya bisa pasrah terseret arus gairah. "Tidak ada aturan waktu, Sayang. Setiap kali… saat kita saling menginginkan," bisik Akram mengecup dagu istrinya dan kembali memagut bibir candunya. Tangannya tidak diam saja sehingga mampu membuai sang istri sampai terdengar desahan yang membuatnya menginginkan lebih. Dert… dert…. Suara ponsel mil
"Sayang, Aruuuuum. Aku kenapa kamu cuekin begini Arum? Sayang!" panggilnya lagi saat melihat istrinya malah beranjak. Sudah dua hari lalu istrinya tidak mengajaknya bicara. Selalu saja adik atau mamanya yang jadi perantara. Sejak malam gala premiere itu, Arum seakan menganggapnya robot. Makan dan pakaiannya disiapkan, tapi selalu dihindari. Malam itu bahkan Arum, Adina dan Aidan bermalam di rumah Latief dengan alasan ingin mencoba menu sarapan baru buatan Ardito. Sementara dirinya sudah sampai di rumah lebih dulu karena ia mengantar Haslan, Hastuti dan Alyana pulang. Sementara setahunya, istri dan anaknya ikut pulang bersama papanya. Arum berbalik dan langsung membalas, "Aku kenapa kamu bohongi begini Akram?" Akram tersenyum masam mendengar tawa keluarganya. Bukan tawa bahagia seperti tawa putranya yang sudah bisa telungkup sambil memukul-mukulkan tangannya di atas kasur lipatnya. Mungkin minta ayahnya untuk segera meraihnya. Keluarganya malah tertawa jahat karena seharian ini Ar
Novita tetap kekeuh pada pendiriannya sehingga membuat Akram tidak berkutik. Arum hanya bisa terdiam karena sejak awal ia sudah menyerahkan segala keputusan pada suaminya. Siang ini mereka sudah bisa pulang, begitu juga dengan bayi mereka yang sudah tiga hari ini dipindahkan dari inkubator. Hampir dua pekan berada di rumah sakit membuat Akram rindu rumah kontrakannya. Nara saja sampai bertanya kapan dirinya akan pulang. Mengedarkan pandangan, Akram tersenyum masam tanpa seorang pun yang mau mendukungnya. "Ma, masa Akram masih harus num-" Lirikan tajam Novita pada putranya kembali membuat Akram diam. Inginnya, Akram ulang ke rumah kontrakannya. Dengan percaya diri ia mengatakan bahwa dirinya sudah baik-baik saja, apalagi ada Danu dan Wina serta Nara di rumahnya. "Papa setuju sama mama kamu," sahut Ardan ketika putranya itu menatap penuh permohonan. Tadinya begitu bersemangat ingin segera pulang setelah hampir dua pekan dirawat, tapi kini Akram memelas. "Berharap pada tali rapuh," k