Kalau ceritanya Faiz sama Adina lagi otw, tungguin aja
Arum gelisah di tempat tidurnya. Sudah beberapa kali ia bolak-balik ke kamar mandi. Malam ini tubuhnya dan janinnya seolah tidak bersahabat. Sejak kemarin sore menyadari jika Akram diam-diam membuntutinya, ia belum bisa benar-benar tenang. Setiap kali terdiam, lagi-lagi pria itu yang terbayang. Bisa ia lihat betapa hawatirnya pria itu saat dirinya hampir saja tersandung karena berjalan tidak memperhatikan langkah kakinya sendiri. Justru Arum sibuk mencuri pandang melihat siluet yang sejak beberapa waktu ini coba dihindarinya. Ia tidak mengerti alasan mengapa Akram hanya berdiri di tempat jauh? Harusnya datang menghampiri saja dan bertanya secara langsung seperti kebiasaan Akram selama ini. Hal itu membuatnya merasa diuntit. Arum sudah bisa mengendalikan diri dengan tidak lari kala melihat pria itu seperti beberapa waktu lalu. Sadar bahwa dirinya tidak boleh gegabah karena kalau tidak, akan mempengaruhi kondisi janinnya. Disatu sisi ia bersyukur pria itu tidak mendekat karena tidak ta
Ardan dan Novita terdiam di sofa depan televisi setelah kepergian mendadak Akram. Suara dari panggilan telpon tadi membuat perasaan mereka berkecamuk. Mereka tidak pernah menyangka jika Akram yang keras kepala dan sulit diatur itu punya sisi lain yang mengejutkan. Mulut Akram selalu berkata tidak peduli namun kenyataan berkata lain. Akram diam-diam menjaga keluarganya dan melakukan apa yang papanya inginkan darinya selama ini dengan caranya sendiri. "Papa tahu tentang hal ini?" tanya Novita. "Tidak Ma. Papa juga syok," jawab Ardan menyandarkan kepalanya di punggung sofa dan memandang langit-langit ruangan. "Anak keras kepala kita... huh... papa selalu saja salah paham padanya." "Tidak heran sih, meski dia jauh dari kita beberapa tahun terakhir ini. Tapi Akram masih mendengar baik ucapan om dan tantenya. Dia juga masih punya Riswan yang selalu sabar mengingatkannya kalau dia mulai bertindak aneh," ujar Novita bersandar di bahu suaminya. "Menurut papa siapa pelakunya?" "Ada lima pasa
Sepulang dari rumah orang tuanya, Akram kembali ke rumah kontrakannya. Rumahnya sendiri selama beberapa tahun ini. Rumah kecil dengan dua kamar tidur di sebuah perumahan kelas menengah. Pagi ini ia harus berangkat ke kantor Yayasan HAS untuk bekerja. Sudah beberapa hari ini ia banyak menunda pekerjaannya sejak bertemu Arum dan memikirkan keinginan perjodohan dari kedua orang tuanya. Sebelum ke kantor, ia menyempatkan diri untuk sekedar menunggu beberapa saat di depan sebuah kost-kostan yang diketahuinya sebagai tempat tinggal Arum belakangan ini. Wanita itu tidak lagi tinggal di apartemen khusus karyawan perusahaan Pradipta. Mengetahui itu kost umum, bukan khusus wanita membuatnya resah. Menurutnya itu bukan tempat aman bagi Arum yang tinggal seorang diri. Betapa terkejutnya ia melihat Arum keluar sambil terus melirik jam di pergelangan tangannya. Padahal mungkin saja tidak ada yang menyadari keberadaannya yang sedang duduk di dalam mobilnya sendiri karena terhalang pelindung kaca. A
Hari ini rasanya sangat melelahkan bagi Akram. Inginnya saat ini cepat-cepat tiba di rumah kontrakannya. Ia ingin mandi kemudian tidur. Tidak peduli jika akan kelaparan. Saat ini ia benar-benar tidak punya waktu sekedar untuk singgah ke suatu tempat untuk makan malam atau memesan makanan. Bagaimana mau memesan jika saat ini kedua ponselnya lowbet total? Gara-gara semalam menginap di rumah orang tuanya dan buru-buru ke kantor. Hingga tiba di kantor pun ia disibukkan dengan banyak pekerjaan. Saking sibuknya ia lupa mengisi daya kedua ponselnya sendiri. Sekarang sudah hampir pukul sembilan malam. Akhirnya mobil HR-V hitam itu berhenti di depan sebuah rumah minimalis tanpa pagar. Suasana rumahnya seperti biasa, gelap dan sunyi. Begitu pun ketika si pemilik rumah membuka pintu rumahnya. Langkahnya melenggang begitu saja memasuki kamarnya setelah mengunci kembali pintu utama. Akram tidak menyadari jika di pembatas ruang tamu dan dapur bersih ada yang memperhatikan gerak-geriknya. Sekitar
"Ketiganya." Bukan Akram melainkan Adina yang menjawab. Saat ini Adina menghampiri dan menatap keduanya bergantian. Duduk berjongkok di samping Akram dan menggenggam tangan kiri kakaknya. "Jangan goyah. Kakak tidak lemah, hanya saja kurang berani mengambil tindakan karena tidak ingin menyakiti orang lain lagi. Papa sama mama pasti akan marah, begitu juga yang lain. Bahkan Kak Riswan juga sampai marah kan sama Kakak?" "Bukan cuma kakak yang akan terjebak dengan keadaan ini. Semua orang kecewa dan akan marah sama kakak. Untuk kesekian kalinya Akram Hazami akan membuat ucapan mereka selama ini jadi benar. Kakak tidak lebih dari sekedar pecundang," gumam Akram dan kedua gadis belia itu saling lirik. Jika Adina mendesah pasrah, lain halnya Alyana yang mengernyit. "Tapi apa Kakak akan menyerah dan jadi pegecut?" tanya Adina lagi dan Akram kembali bungkam. "Coba Kakak pikirkan saja baik-baik, siapa prioritas Kakak sekarang? Pandangan orang lain atau mereka berdua? Sebenarnya sih, Adina su
Kesalahan tetaplah sebuah aib sekalipun hal itu tidak disengaja. Satu hal yang bisa berubah adalah jika kau bisa memperbaiki kesalahan itu tanpa mengulanginya lagi. Penyesalan itu bukan hanya sekedar mengungkapkan maaf dengan lisan, karena semua itu butuh tindakan. Seseorang harus memulai dengan memaafkan kesalahan dirinya sendiri. Sulit memang, berat tentu saja. Namun ketika seseorang bisa menentukan sikap untuk meminta maaf, merenungi kesalahannya dan berjanji pada dirinya sendiri agar usahanya bisa memperbaiki sedikit saja kesalahan itu, maka akan lahir secercah harapan. Harapan itu tidak lain adalah kesempatan. Bukankah kita sebagai manusia wajib meyakini jika Sang Maha Kuasa mampu menjadikan sebuah kemustahilan menjadi keajaiban? Maka bujuklah dengan segala ikhtiar yang bisa dilakukan. Beban yang menghimpit di dada akan sedikit berkurang meski tidak mengurangi keseluruhan dari rasa sakitnya. Di sinilah Akram, di dalam mobilnya yang sengaja ia parkir tak jauh dari gerbang kost
Masih dengan napas yang terengah Akram menghampiri. "Jangan dekati dia!" desis Akram sembari menahan lengan seorang pria. Pria yang dicegahnya tersenyum sinis, begitu juga rekannya. Tatapan menuntut yang dilayangkan Akram tidak surut. Namun kedua pria yang berpenampilan mirip preman pasar itu justru balik mendorong bahunya. "Urusi urusanmu, Bung! Jangan ganggu kami!" desis pria yang bertubuh gempal. "Harusnya saya yang bilang seperti itu. Kalian berdua berniat buruk sama istri saya. Apa kalian berniat ingin menyopet karena dia duduk sendirian di sini?" tebak Akram melirik Arum untuk menutupi kebohongannya. "Istri? Hahaha... jangan sok jadi pahlawan!" sentak pria yang satunya lagi sembari masih terkekeh memperhatikan penampilan Akram. Pria yang terlihat hampir setengah abad itu memindai pakaian dan barang-barang yang dikenakan Akram dan tahu jika semua itu barang bermerek. "Saya ke sini mau jemput dia," balas Akram tak gentar. Jangan harap dirinya takut dengan ancaman basi keduanya
Akram Hazami Ardanuansyah membuat kesalahan dengan memporak-porandakan hidupnya. Menawarkan pernikahan yang tak diawali cinta tapi kesalahan. Pria dengan mata setajam tatapan elang itu meminta kesempatan padanya. Bukan dengan bujuk rayu melainkan permintaan yang terdengar begitu realistis. Arum nyaris saja goyah dan hampir mengangguk kala mendengar permohonan maaf yang entah mengapa begitu tulus di rungunya. Penyesalan Akram begitu nyata di mata dan telinga menyapa indranya. Haruskah ia menerima tawaran itu demi menutup aibnya? Bisakah ia hidup dengan pria yang selalu mengingatkannya pada dosa, sakit dan malu? Terlebih memikirkan penolakan keluarga Akram terhadap dirinya membuat nyalinya ciut. Baru membayangkannya saja sudah menyedihkan. Bagaimana jika sampai dirinya dihina habis-habisan? Ingin rasanya berteriak bahwa hatinya sudah lelah untuk disakiti. Enggan baginya mengundang masalah dan menambah beban hidupnya. Cobaan hidupnya seakan tidak ada habisnya sejak ayahnya tiada. Warn