Tok tok tok!! Akram mengangkat paper bag hingga menutupi wajahnya. Bukan karena dirinya berniat usil, tapi ragu Arum akan membukakan pintu jika langsung melihat wajahnya dari celah pintu. Terdengar suara Arum yang bertanya 'siapa?' namun tentu saja tidak ia jawab. Sesuai saran dari Riswan, ia sudah membeli beberapa menu dari resto ONE-YAN. Sebenarnya Akram juga penasaran bagaimana cara sepupunya tahu jika Arum sedang mengidam coto makassar dari resto tersebut? Tapi ia tidak ingin menghabiskan waktu dan tenaga hanya untuk memikirkan hal itu. Pada dasarnya, dirinyalah yang sudah diuntungkan jika benar Arum sedang ngidam menu yang satu ini. Semangatnya menggebu, bahagia seperti menang undian. Kira-kira seperti itulah gambaran yang dirasakannya karena bisa mengabulkan keinginan dari wanitanya dan juga anaknya. Mungkin kebahagiaan seperti ini yang dirasakan oleh para calon ayah lain di luar sana. Cukup jelas suara grendel pintu dan suara kunci yang diputar beberapa kali membuat detak ja
Harus Akram akui jika Arum adalah spesies wanita paling langka yang pernah ditemuinya. Keras kepala Arum melebihi dugaannya. Jawaban wanita itu membuatnya bungkam. Tuhan benar-benar menghukumnya dengan begitu berat. Meski wanita itu mengatakan 'ya atau tidak' diakhir perdebatan mereka tadi, tetap saja Akram tidak diberi pilihan selain menyetujui pilihan Arum. Disaat wanita lain akan mengemis dan memohon agar diberi pertanggungjawaban, bahkan ada yang rela menjadi rendahan dengan berbagai trik kebohongannya. Tapi Arum justru memilih untuk menghindarinya. Sepertinya Arum benar-benar jijik padanya. Suara debur ombak menyapa pembatas pantai, seolah jadi penghibur disaat Akram hanya bisa bergeming. Memikirkan hidupnya selama 28 tahun ia bernapas tidak ada bedanya selembar kertas yang di atasnya hanya ada coretan. Penuh dengan kata dan kalimat tanpa makna yang berarti. Saat seperti ini ia benar-benar merindukan almarhum adiknya, Firman. Benar yang dikatakan adiknya, hanya dari luar saja d
Ardan mencoba berpegang pada sandaran sofa. Ucapan keponakannya barusan membuat hampir semua sendinya tidak bekerja. Kedua kakinya seakan tidak bisa digerakkan. Kepalanya mendadak pusing dan matanya berembun. Haslan memegangi adik iparnya dan membantunya duduk kembali di sampingnya. Sementara Latief kembali menghampiri putranya untuk memastikan ucapannya tadi. "Kamu yakin?" tanya Latief dan Riswan mengangguk sembari mengulurkan ponselnya. Matanya yang dibingkai kacamata itu membelalak melihat foto-foto di ponsel putranya. Menoleh pada adiknya yang mendongak minta penjelasan, ia beranjak dan ikut duduk di sofa. Sekarang Ardan duduk diapit oleh Latief dan Haslan. "Ya Allah!" seru Ardan tapi Haslan langsung membekap mulut adik iparnya itu sembari melirik pintu ruang kerja tempat mereka berdiskusi. Jangan sampai para wanita tahu dan histeris. "Kamu sudah lapor polisi, Wan?" tanya Haslan. "Belum Om. Akram sendiri yang minta agar masalah itu tidak diperpanjang. Menurutnya itu hanya bega
Suara khas pintu apartemen yang terbuka mengalihkan fokus Akram yang buru-buru menutup percakapan groupnya. Tubuhnya lekas dibaringkan di sofa. Kini fokusnya beralih pada langkah kaki yang diyakini pemilik apartemen tempatnya menumpang menginap malam ini. "Assalamualaikum. Tidak perlu pura-pura Akram, saya tahu kamu belum tidur," sapa pemilik suara yang terdengar bersahaja. Akram terkekeh, menegakkan tubuhnya lalu menoleh ke meja makan. "Bang Rian juga mau tidur di sini? Diusir sama istri?" tanya Akram yang kembali menoleh ke arah pintu. Seolah tahu yang sedang dipikirkan oleh sepupu sahabatnya itu, Rian berujar, "Riswan masih di jalan. Saya ke sini mau bahas masalah kamu." "Ma-masalah aku?" Akram mengernyit lalu beranjak menghampiri Rian. Akram sangat tahu kepribadian polisi yang satu ini tidak suka bercanda. "Masalah mobil kamu yang dirusak pihak tidak bertanggung jawab. Saya sudah mendapatkan pelakunya, tapi belum mendapatkan motif terkait kamu secara pribadi. Dugaan saya, mere
Dua hari berlalu, Riswan kembali pusing. Semalam ia berniat membahas sesuatu dengan Akram, tapi sepupunya itu malah tidak ada di kontrakannya. Kemarin sore Akram masih di kantor dan malamnya tidak bisa dihubungi. Jika saja stok sabarnya menipis, mungkin Riswan sudah membakar kontrakan itu agar Akram sendiri yang datang padanya. Suara motor yang berhenti di depan rumah mengalihkan pikiran Riswan sehingga ia bergegas keluar. "Kau dari mana?!" Pertanyaan itu membuat telinga Akram sakit mendengar suara teriakan sepupunya ketika helm di kepalanya baru saja lepas. "Kenapa kau suka sekali berteriak seperti orang tua saja." Bukannya menjawab pertanyaan Riswan, Akram justru mencibirnya kemudian berlalu begitu saja. Riswan memicing mata dan mengikuti langkah Akram ke dalam rumah. Sebelum melewati pintu rumah, ia menoyor bahu Akram cukup kuat sampai hampir terjatuh. Riswan mengulum senyum kemenangan ketika mendengar suara kekesalan adik sepupunya itu. "Kau mau ke mana?" Pertanyaan kedua Riswa
Ardito termenung memperhatikan dedaunan yang beterbangan. Terkadang karena hembusan angin, kadang pula karena laju kendaraan yang melintas. Lembaran-lembaran kuning kecoklatan itu terlihat berkilau diterpa sinar matahari. Pemandangan di depan gerbang sekolahnya ini mengingatkannya pada Arum yang dulu akan menjemputnya sepulang sekolah TK. Begitu juga saat ia duduk di bangku SD, Randi atau mantan istri kakak sepupunya akan menjemputnya. Sedangkan dua anak pamannya yang lain tidak pernah sekalipun melakukannya karena mereka tinggal di Kalimantan. Berkumpul hanya saat mereka merayakan lebaran saja. Jadwal pulang hari ini memang lebih awal dari biasanya. Ujian semester baru saja berakhir dan Ardito merasa lega. Satu beban pikirannya belakangan ini kini sudah lepas dan menunggu hasilnya saja. Kini tersisa sedikit di antara ratusan siswa yang tadinya bergerombol di depan pagar. Satu persatu mereka sudah pulang ke rumah. Rumah, satu kata yang terdengar nyaman tapi tidak untuk Ardito. Setia
Akram masih terdiam setelah mendengarkan percakapan Arum dan Safwan dari speaker ponsel pria itu. Semua curhatan Arum turut didengarnya sampai berkali-kali ia mengusap air mata. Gadis yang sudah ia nodai itu masih saja memikirkan orang lain selain dirinya sendiri dan janinnya. Kini Akram benar-benar memahami maksud Arum yang mengatakan jangan sampai ada yang terluka. Arum menghawatirkan kedua orang tuanya dan juga keluarga besarnya yang pasti akan malu. Terlebih saat ini papanya adalah salah satu calon walikota dalam pilkada kali ini. Wanita itu tidak ingin egois meski itu untuk anaknya sendiri. Safwan kembali menatap pria yang duduk di hadapannya setelah mengirimkan pesan pada seseorang. "Ini alasanku minta kamu datang ke ruanganku karena di sini kita bisa bicara dengan bebas tanpa takut didengar yang lain. Aku melakukan semua ini demi bundaku juga Akram. Arum adalah karyawan kesayangannya, asisten yang sudah lama bekerja dengan bundaku dan sudah dianggap seperti putri sendiri. Kes
"Sampai saat ini, dia punya nilai plus di mata aku, Pa. Aku yakin Kak Akram sama Kak Riswan juga akan bisa melihat itu dan membolehkan dia jadi pacar aku. Saat aku kasih tahu dia kalau mama niat jodohin aku sama anak temannya, dia langsung jawab kalau dia siap bersaing," kata Adina sembari menoleh ke belakang. Takut tiba-tiba mamanya muncul, gadis itu kemudian kembali menoleh pada papanya dengan berbisik, "Makanya dia mau penuhi tantangan Kak Akram, Kak Riswan sama Alyana dulu. Katanya, dapetin Adina itu kayak ikut pilkada. Dia butuh dukungan tim sukses dari partai utama." Tak ayal ucapan putrinya membuat Ardan tertawa lepas. Adina yang bersandar memeluknya juga ikut bergetar karena tubuh papanya sedikit terguncang. Terlebih ketika Adina kembali berbisik jika gebetannya itu punya postur tubuh tinggi atletis seperti model yang lebih tinggi dari kedua kakaknya. Sangat memenuhi kriterianya yang ingin punya pasangan dengan tubuh tinggi. "Papa tahu? Dia juga orangnya humoris, dan aku yak
"Sayang, maaf ya hari ini aku tidak bisa temani mama kamu ke acara hajatan temannya. Sahabatku sakit, dia tinggal sendirian di kamar kostnya. Rencananya setelah belikan dia makan, aku mau bawa dia berobat ke klinik atau rumah sakit dekat kostnya," jelas kekasih Fatur yang terdengar berat hati menyampaikannya. Fatur melirik pintu kamar mamanya sejenak lalu membalas, "Iya, tidak apa. Nanti aku bilang sama mama. Kamu antarkan teman kamu berobat dulu. Kamu juga jaga kesehatan biar kamu tidak ikutan sakit. Belakangan cuaca memang tidak menentu." "Terima kasih ya, Sayang. Kamu memang pengertian. Makin sayang deh sama kamu," gombal gadis itu tersenyum dari layar ponsel Fatur. Setelah saling balas dengan salam, akhirnya panggilan video itu mereka akhiri. Fatur entah mengapa merasa gamang. Mamanya sudah antusias ingin mengajak kekasihnya itu untuk menghabiskan waktu bersama. Rencananya setelah mampir sebentar ke acara hajatan teman, mamanya berniat ingin mengajak gadis yang hendak dilamar Fa
Dua minggu berlalu setelah acara lamaran Riswan, kini mereka kembali merasakan suasana pesta. Kali ini mereka berkumpul di sebuah taman wisata yang menjadi lokasi akad sekaligus resepsi pernikahan Lintang dan Tasya. Kedua mempelai itu memang memilih taman ini agar segala rangkaian acara berpusat di satu tempat saja tanpa dekorasi berlebih. "Gugup?" tanya Akram pada sahabatnya yang sejak tadi melirik jam tangannya resah. "Mungkin," jawab Lintang mengatur napasnya berkali-kali. Akram mengulum senyum melihat Lintang meremas lutut kirinya. Menyelenggarakan acara di area outdoor seperti ini tidak juga mampu membuatnya bernapas lega. "Di taman ini aku sama Tasya pertama kali ketemu," ungkapnya mengenang kejadian beberapa tahun lalu. "Dan akan jadi gerbang pernikahan kamu," sambung Bian. "Aku sendiri merasa dejavu. Arum juga bilang begitu tadi. Dulu kami menikah di taman belakang Panti Asuhan Pradipta. Nuansanya kurang lebih seperti ini, meski ya… dekorasi kalian lebih mewah. Aku nikahny
Mendengar Alyana menginginkan bulan, rasanya semua tulang Ranu retak. Sempat berpikir mungkin jantungnya juga ikut berhenti berdetak. Otaknya malas berpikir karena semakin lama ia justru putus asa karena tidak kunjung menemukan solusi. Di tengah keramaian Kota Hongkong, Ranu justru merasa sepi. Setelah mengikuti kompetisi game hari ini, ia meminta timnya untuk beristirahat lebih awal. Jangan sampai mereka menyadari jika pikirannya sedang kacau. Berjalan sendiri di trotoar sembari menikmati pemandangan kota malam hari, Ranu hanya berusaha untuk menyegarkan pikiran. Mungkin saja akan menemukan ide baru saat mengamati sekitarnya. Berbeda dengan Jakarta, di tempatnya saat ini lebih banyak pejalan kaki. Melihat beberapa detik lagi lampu lintas akan berubah warna, Ranu menghentikan langkah. Ia menunggu sampai lampu lalu lintas berubah hijau agar bisa menyebrang jalan. Mendongak menatap langit, Ranu tersenyum melihat bulan purnama yang indah itu. "Sulit membawa bulan itu padamu, Al. Kalau
Bian baru saja selesai memberikan kuliah. Rasa penasarannya akan keributan para mahasiswi di depan ruangannya tidak terbendung. Pasalnya, ruangannya yang berada di pojok itu sama sekali tidak memiliki objek menarik. Bukan karena dirinya tidak memiliki barang yang berkenaan dengan passion atau background dirinya sebagai dosen lingkungan. Akan tetapi, baru dua hari ini ruangannya dipindahkan sehingga belum sempat berbenah. Lantas, hal apa yang menarik di sana dan membuat mereka berkerumun? "Kalian kenapa berkumpul di depan ruangan saya?" tanya Bian. "Eh, Pak Bian, itu loh Pak, ada model cover novel ala CEO yang lagi nongkrong di ruangan Bapak," jawab salah seorang mahasiswi dengan mata berbinar. Bian akhirnya berdeham sehingga barisan di depannya mulai bergeser memberinya akses jalan. Ketika netranya mendapati punggung tegap seseorang di balut jas mahal, Bian kembali berdeham. Pria dengan kedua tangan bersembunyi di saku celananya itu berbalik tanpa mengulas senyum. Justru Bian ditat
Begitu mendengar Adijaya Ufraj meminta Riswan mengajak Risa dan putranya datang di acara resepsi pernikahan Akram dan Arum, Latief dan Farah terkejut. Mereka tidak tahu alasan dibalik keputusan pria lanjut usia itu. Riswan langsung mengiyakan, bahkan akan mengajak wanita pilihannya itu untuk segera menemui sang kakek. Kedua orang tuanya hanya tersenyum. Diam-diam Farah berharap suaminya juga tidak akan keberatan. Selama ini Farah seringkali memperhatikan Risa ketika memarkir mobilnya tidak jauh dari toko pakaian anak milik wanita itu. Latar belakang wanita itu juga sudah ia ketahui. Ibu tunggal itu adalah seorang yatim piatu. Pernikahan pertama Risa penuh siksaan ketika mendiang ibu tirinya sengaja menjualnya pada seorang juragan sapi. Kemudian menikahkan Risa dengan putra pertamanya yang pemabuk. Sayangnya, suami Risa seringkali menyiksanya dan parahnya berselingkuh saat Risa hamil. Berbulan-bulan hidup luntang-lantung dengan kerja serabutan demi memenuhi kebutuhan hidup bersama pu
Beberapa bulan kemudian. Akram pulang dan wajahnya tersenyum lebar kala melihat putranya masih tertidur pulas di kasur lipat di ruang bersantai. Begitu pulas dibelai angin sepoi dari pintu taman samping rumah yang terbuka lebar. Boneka menyerupai robot itu masih setia dipeluk Aidan. Setelah mencium kening putranya, Akram beranjak ke kamar. Tentu saja dengan mengendap-endap agar Aidan tidak terusik. Begitu pintu kamarnya tertutup, telinganya mendengar suara percikan air di kamar mandi. Senyumnya merekah karena menduga Arum sedang mandi. Melirik jam tangannya, belum begitu sore, masih pukul 15.12 WITA. Diletakkannya sekotak perhiasan berwarna biru beludru di atas tempat tidur lalu menutup tirai jendela. Seikat bunga arum lili turut ia letakkan berdampingan dengan kotak itu. Setelah menyalakan lampu tidur di nakas, ia turut menyalakan beberapa lilin aroma terapi. Dengan tergesa Akram menabur mahkota bunga mawar merah di lantai. Berharap agar sang istri berlama-lama di dalam sana sampa
"A-aku cuma tidak mau kamu kaget. Lagian masa siang-siang begi-" "Apa kita perlu ganti model plafonnya?" tanya Akram menunjuk ke atas. Arum mendongak dan memindai langit-langit kamar. Menurutnya tidak perlu diganti karena sudah sangat bagus. Sengatan kecil di lehernya membuatnya seketika membeku. Sang suami sudah beraksi tanpa sanggup dicegah lagi. Rosleting dress yang dikenakannya juga sudah ditarik turun. Usapan halus seringan bulu di punggungnya membuat sekujur tubuhnya gemetar. Bibir itu mengeksplorasi leher mulus hingga ke ujung bahunya. Arum membuka matanya kala sang suami menarik diri. Permainan suaminya membuat Arum yang tadinya menolak, hanya bisa pasrah terseret arus gairah. "Tidak ada aturan waktu, Sayang. Setiap kali… saat kita saling menginginkan," bisik Akram mengecup dagu istrinya dan kembali memagut bibir candunya. Tangannya tidak diam saja sehingga mampu membuai sang istri sampai terdengar desahan yang membuatnya menginginkan lebih. Dert… dert…. Suara ponsel mil
"Sayang, Aruuuuum. Aku kenapa kamu cuekin begini Arum? Sayang!" panggilnya lagi saat melihat istrinya malah beranjak. Sudah dua hari lalu istrinya tidak mengajaknya bicara. Selalu saja adik atau mamanya yang jadi perantara. Sejak malam gala premiere itu, Arum seakan menganggapnya robot. Makan dan pakaiannya disiapkan, tapi selalu dihindari. Malam itu bahkan Arum, Adina dan Aidan bermalam di rumah Latief dengan alasan ingin mencoba menu sarapan baru buatan Ardito. Sementara dirinya sudah sampai di rumah lebih dulu karena ia mengantar Haslan, Hastuti dan Alyana pulang. Sementara setahunya, istri dan anaknya ikut pulang bersama papanya. Arum berbalik dan langsung membalas, "Aku kenapa kamu bohongi begini Akram?" Akram tersenyum masam mendengar tawa keluarganya. Bukan tawa bahagia seperti tawa putranya yang sudah bisa telungkup sambil memukul-mukulkan tangannya di atas kasur lipatnya. Mungkin minta ayahnya untuk segera meraihnya. Keluarganya malah tertawa jahat karena seharian ini Ar
Novita tetap kekeuh pada pendiriannya sehingga membuat Akram tidak berkutik. Arum hanya bisa terdiam karena sejak awal ia sudah menyerahkan segala keputusan pada suaminya. Siang ini mereka sudah bisa pulang, begitu juga dengan bayi mereka yang sudah tiga hari ini dipindahkan dari inkubator. Hampir dua pekan berada di rumah sakit membuat Akram rindu rumah kontrakannya. Nara saja sampai bertanya kapan dirinya akan pulang. Mengedarkan pandangan, Akram tersenyum masam tanpa seorang pun yang mau mendukungnya. "Ma, masa Akram masih harus num-" Lirikan tajam Novita pada putranya kembali membuat Akram diam. Inginnya, Akram ulang ke rumah kontrakannya. Dengan percaya diri ia mengatakan bahwa dirinya sudah baik-baik saja, apalagi ada Danu dan Wina serta Nara di rumahnya. "Papa setuju sama mama kamu," sahut Ardan ketika putranya itu menatap penuh permohonan. Tadinya begitu bersemangat ingin segera pulang setelah hampir dua pekan dirawat, tapi kini Akram memelas. "Berharap pada tali rapuh," k