Arum terdiam di kamar rawat inapnya di Klinik Mariska. Cukup terkejut mengetahui wanita berjilbab maroon itu adalah istri dari sang pemilik klinik dan menempatkannya di kamar VVIP kliniknya. Mengetahui hal itu ketika salah seorang dokter kandungan yang menurutnya masih sangat muda datang memeriksa kondisinya. Dokter bernama Dwi itu pun bertanya tentang hubungannya dengan sang pemilik klinik.
Awalnya bingung karena ia sama sekali tidak tahu siapa pemilik klinik tempatnya berada sekarang. Setelah sang dokter mengatakan jika tadi melihat istri, anak, menantu dan cucu Prof. Hamizan dan beberapa orang di ruangannya, barulah Arum sadar maksud ucapannya. Pertanyaan itu diutarakan sambil menunjuk bordiran snellinya yang berlogo klinik dan terdapat tulisan 'Klinik Mariska' yang akhirnya memahami maksud pertanyaan itu.
Arum akhirnya menjawab jika mereka tidak memiliki hubungan khusus. Dirinya hanya pernah bertemu dua kali dengan wanita paruh baya itu. Pertama kali saat acara resepsi pernikahan Safwan sang atasan dan tadi adalah kedua kalinya. Arum baru menyadari hal itu ketika melihat Prof. Hamizan datang dan langsung menghampiri sang istri, mengecup keningnya setelah sang istri menyaliminya. Kemudian beranjak mengusap sayang kepala kedua cucunya.
Anak dan menantu dihadiahi senyum menawan di wajah tuanya yang masih tampak bugar. Dua jam lalu mereka semua pamit. Meski Delia menawarkan diri untuk menemaninya, Arum menolak dengan halus tawaran wanita itu.
Sedikit risih ditatap dalam seperti itu sebenarnya. Namun di sisi lain ada getar batin yang membuatnya senang karena perhatian yang diterimanya dari Delia. Membuatnya merindukan sosok ibunya. Terutama disaat-saat dirinya rapuh seperti ini.
Flashback on
"Om Capwan benelan cudah cembuh? Ini kepalanya masih ada plestelna?" tanya gadis kecil itu dengan kekhawatirannya.
"Sudah cembuh, Dek. Om Capwan sudah kerja lagi. Cowok itu ndak boleh manja. Iya kan Om?" tanya Alfa. Safwan pun mengangguk hikmat dan kembali melirik istrinya dengan senyum penuh makna.
"Om Capwan bawa apa? Alme lapaaaal banet! Tadi di cekolah bekalnya Alme cepat habis Om. Alme bagi cama teman balunya Alme," ungkapnya. Tania langsung mengacungkan dua jempol untuknya.
"Wah, cinta pertamanya om keren sekali mau bagi bekal sama temannya. Om bawa mie goreng seafood, acar nenas, udang tepung saos asam manis, perkedel kentang, tumis pare sama... coto makassar buat Tante Arum. Dedek bayinya mau makan itu," ungkap Safwan tanpa melirik ke arah Arum dengan santai menarik tangan si kembar ke sofa. Aluna sudah mengeluarkan beberapa kotak nasi dan juga kotak lauk dengan ukuran yang lebih besar.
"Kita cuci tangan dulu yuk!" ajak Bara pada putra dan putrinya.
"Kamu lagi ngidam coto?" tanya Delia penasaran sampai mengernyit. Begitu juga dengan Tania yang penasaran namun langsung tersenyum karena suaminya mungkin mengetahui hal itu saat bertemu Arum beberapa hari lalu.
Tania melihat Arum mengulum bibirnya malu-malu. Tadi ia sempat melihat wanita hamil itu terkejut mendengar ucapan suaminya dan memintanya segera memakannya. Menantu atasannya itu bahkan membukakan mangkuk plastik berisi coto yang memang diinginkannya dan memintanya segera menghabiskannya.
"A' mau makan yang mana? Aku suapin. Hari ini aku yang manjain kamu. Mumpung baby sitter kita check in," ungkap Aluna tanpa rasa bersalah sedikitpun melirik Safwan.
Terkesan sengaja sampai berkali-kali melirik Safwan yang menatapnya kesal. Pesanan yang dititipnya tidak dibelikan. Safwan hanya meringis melirik Bara meminta pertolongan. Tapi Tania justru senang karena kali ini ia justru bersemangat menyuapi si kembar.
"Gagal sudah... padahal aku loh Sayang yang mau disuapin?" gerutu Safwan cemberut pada istrinya. "Arum, itu coto yang kamu mau ya dimakan dong. Aku ngantri loh belinya."
"Alah... bohong banget. Pasti kamu pesan online kok Saf. Sok bilang ngantri!" ledek Aluna.
"Eh, dulu kamu ngidam waktu hamil si kembar, aku juga bela-belain ngantri kerak telor. Antrian di resto pas pesan coto tadi nggak ribet. Nggak panas-panasan kayak ngidamnya kamu dulu. Lagian, aku anggap ini latihan buat ngidamnya Tania nanti," kelakar Safwan mengundang tawa.
Flashback off
Arum iri melihat kebahagian dan kehangatan mereka. Safwan begitu perhatian pada istrinya seakan raja yang mengistimewakan permainsurinya. Begitu juga dengan keluarga Prof. Hamizan dan Mariska. Hal yang selama ini tidak dimilikinya.
Ibunya sudah meninggal sejak usianya masih tiga tahun. Ayahnya pun menyusul sang istri akibat kecelakaan lalu lintas saat usianya masih 13 tahun bersama sang tante. Adik dari ayahnya menghembuskan napas di meja operasi. Meninggalkan bayi mungilnya dan ikut menyusul suaminya. Setelah itu ia tinggal bersama pamannya, saudara tiri ayahnya.
Hidupnya yang dulu mandiri meski seringkali dimanjakan sang ayah, berubah menjadi neraka. Bertahan dengan segala siksa lahir dan batin yang diberikan keluarga pamannya. Istri pamannya memiliki kebiasaan buruk dengan suka memukulinya. Sementara sang paman seringkali menyiksanya dengan sindiran dan cemoohan yang menyayat hati. Jika bukan karena adik sepupunya yang masih bayi saat itu, mungkin ia memilih kabur dari rumah.
Aset-aset ayah dan tantenya dikuasai oleh pamannya. Bersyukur karena dirinya bisa menyelesaikan pendidikannya. Meskipun gelar S1 dan S2 itu ia peroleh dengan beasiswa. Uang tabungan kuliah yang disiapkan ayahnya ia alihkan untuk biaya sekolah adik sepupunya, Ardito.
Arum bersedia menyerahkan sebidang tanah kebun peninggalan sang ayah. Asalkan adik sepupunya Ardito bisa disekolahkan dan diberi fasilitas memadai. Tentunya dengan perjanjian setelah adik sepupunya itu lulus SMP, maka Ardito bisa ikut dengannya tinggal di Makassar.
Paman dan bibi tirinya awalnya setuju. Mereka tidak perlu lagi mencemaskan pengeluaran dan biaya hidup Ardito. Sayangnya karena ulah anak sulung pamannya yang terlibat kasus pidana, menyebabkan usaha mereka bangkrut.
Melihat kebahagiaan Tania tadi, Arum merasa rendah diri. Dulu Tania seringkali minder karena pendidikannya hanya lulusan D3 Tata Boga sedangkan dirinya lulusan magister manajemen. Berprofesi sebagai sekretaris dari Direktur PLZT. Tapi bukan itu yang membuatnya tersentil, melainkan perhatian Safwan pada Tania atau sebaliknya.
Begitu juga ketika melihat Dokter Bara dan Aluna. Keduanya dikaruniai dua batita cerdas dan menggemaskan. Tingkat kepedulian mereka juga tinggi meski masih batita. Lingkungan keluarga yang sehat dan didikan yang tepat. Arum mengusap perutnya lagi berharap anaknya kelak akan seperti Alfathir atau Almeera.
Membesarkan anak seorang diri dan jadi tulang punggung keluarga tidaklah mudah. Tapi ia harus menerima takdir ini. Setidaknya ada satu lagi yang membuatnya bertahan hidup selain Ardito, yakni bayinya. Dirinya tidak bisa lagi memupuk harapan, yang ada dalam pikirannya sekarang adalah bertahan dan bekerja keras untuk melanjutkan hidup.
Ada banyak pintu kebahagiaan yang bisa dibuka. Seperti yang dikatakan Mariska padanya tadi. Wanita itu memotivasi dirinya menjadi lebih kuat. Tidak menyangka jika di dunia ini ada yang iri karena dirinya bisa mengandung meski tanpa suami. Tidak ada tatapan merendahkan dari matanya. Wanita berjilbab maroon tadi mengatakan jika dirinya beberapa kali mengalami keguguran karena rahimnya lemah.
Awalnya juga sempat terpuruk merasa tidak diperlakukan dengan adil oleh takdir. Tapi memiliki seorang anak tiri dan seorang anak angkat lagi membuat hidupnya lebih dari cukup. Setiap utas tali takdir seseorang akan membuat simpul hubungan dengan orang lain. Ada yang kuat dan ada yang rapuh. Kini ia pun mengerti bahwa berharap pada simpul yang rapuh itu hanya akan membuatnya jatuh dan terluka lagi.
Siapa dirinya? Seorang gadis yatim piatu yang mengadu nasib dan beruntung bisa bekerja di salah satu perusahaan besar. Tapi sekarang tidak lagi. Sekarang dirinya hanyalah seorang pengangguran. Tabungannya sudah menipis karena sejak dua bulan ini ia sama sekali tidak bisa bekerja.
Hal yang juga membebani pikirannya adalah uang bulanan yang harus ia kirimkan pada keluarga paman tirinya. Orang yang selama ini merawat adik sepupunya, Ardito. Remaja laki-laki yang kini duduk di kelas 3 SMP. Satu-satunya anggota keluarga Arum yang memiliki hubungan darah dengan dirinya. Tentu ia tidak akan lupa jasa tantenya yang merawatnya. Karenanya, ia juga akan bertahan demi Ardito.
Arum sudah menghubungi pamannya dan memohon. Berharap kakak tiri ayahnya itu mengizinkan agar adik sepupunya itu bisa ikut bersamanya ke Makassar. Tapi suami istri itu justru memerasnya. Jika ingin adik sepupunya itu ikut bersamanya, Arum harus memberikan uang senilai tiga puluh juta rupiah untuk menebus adik sepupunya itu. Itu bukanlah jumlah yang sedikit.
Sejak kakak sepupunya bercerai kemudian tersandung kasus hingga berada di jeruji, kepahitan semakin terasa. Sikap mereka pada Arum dan Ardito pun berubah dan semakin sering menyiksa mereka. Memeras Arum dan memaksa Ardito bekerja di rumah makan mereka sepulang sekolah. Tak jarang adik sepupunya itu mengeluh jika kelelahan dan tugas sekolahnya terabaikan.
Nilai-nilainya merosot dan berusaha bertahan semampunya. Arum setiap kali mengingat hal itu hanya bisa menangis. Berharap uang bulanan lebih yang biasa dikirimkan pada pamannya membuat mereka tidak lagi memaksa Ardito bekerja. Cukup membantu saja saat tidak memiliki kesibukan belajar.
Diam-diam Arum mengirimkan uang jajan pada salah satu guru Ardito yang tidak lain adalah teman sekolahnya dulu. Ia tidak ingin jika adiknya itu sampai tidak memiliki jajan disaat semua teman-temannya menikmati makanan enak di kantin sekolah. Meskipun hal tersebut harus terpaksa ia minta Ardito merahasiakannya dari keluarganya sendiri.
Arum beranjak ingin ke kamar mandi dan terdiam melihat kotak makanan yang masih berisi sebagian coto yang dibawakan oleh mantan atasannya, Safwan Zayyan Pradipta. Pria itu selalu saja ramah dan bersikap baik padanya. Begitupun dengan istrinya yang anggun dan pengertian itu.
Sejujurnya Arum merasa perlu bicara dengan Safwan. Ia tidak ingin pria itu mengatakan kondisinya pada Darwenda Pradipta. Jika ibunya Safwan itu tahu, maka wanita yang dulu menjadikannya asisten pribadi meski berbekal ijazah SMA itu akan memaksanya jujur siapa ayah dari bayinya. Bahkan tidak menutup kemungkinan akan memintanya bertanggung jawab atas kehamilannya.
"Ibu Arum mau ke mana?" tanya seorang perawat yang tiba-tiba membuka pintu. Lebih tepatnya datang memeriksa kondisinya. Wanita yang terlihat lebih tua darinya itu menghampiri ketika dirinya hendak beranjak dari tempat tidur.
"Saya mau ke kamar mandi. Mau ganti pakaian terus pulang," ujar Arum yang melirik botol infusnya sudah hampir habis. Tubuhnya juga sudah sedikit lebih baik dan tidak masalah jika harus pulang ke kontrakannya sekarang.
"Maaf Bu, tapi Ibu Arum masih harus di sini sampai besok siang. Tadi Pak Zayyan dan istrinya sudah pesan akan kembali besok siang. Oh iya, Prof. Hamizan dan Nyonya Mariska menitipkan ini untuk Anda," ujarnya mengulurkan sebuah amplop kecil berwarna biru muda. "Nyonya Aluna berpesan Anda akan dituntut jika pulang sebelum pukul satu siang besok. Hari ini sampai besok harus bedrest total, itu atas saran dokter."
"Ini...." Suara Arum tertahan namun tidak dengan air matanya yang menyapa lebaran kecil di tangannya. Foto ukuran 4R itu hasil USG janin dalam rahimnya.
"Itu foto USG janin Ibu. Alhamdulillah bayinya sehat. Kehamilan ibu sekarang sudah 4 bulan lebih, sudah memasuki minggu ke 18. Pak Zayyan mengatakan akan mengirim sekretarisnya untuk mengantarkan pekerjaan Anda jadi tidak perlu buru-buru pulang," ucap perawat itu.
"Pekerjaan?" batin Arum bertanya-tanya. Sejak tadi Safwan berada di ruang rawat inapnya, pria itu dan istrinya tidak mengatakan apapun.
Ia memang jujur pada pria itu beberapa hari lalu saat tanpa sengaja bertemu di Kafe ARU. Dirinya datang ke sana untuk bertemu seseorang untuk wawancara kerja. Namun sayang, dirinya tidak bisa menerima tawaran kerja dengan penempatan luar kota saat ini. Saat wawancara itu berlangsung, ia tidak tahu jika Daffa sekretaris Safwan, rekan sesama sekretaris di PLZT ternyata melihatnya.
###
Bersambung....
Kita mungkin pernah iri dengan kebahagiaan orang lain, tapi jangan buat hati kita terpuruk dengan berperasangka buruk.
Haslan dan Hastuti saling lirik ketika melihat sang adik sudah mondar-mandir menunggu kedatangan putra sulungnya. Ardan memang sengaja ke rumah kakak perempuannya itu untuk menemui putranya. Ada hal penting yang penting dan mendesak ingin ia bicarakan dengan Akram. Istrinya berniat untuk menjodohkan Akram dengan seorang gadis dari keluarga pengusaha batu bara di Kalimantan. Sementara dirinya berniat menjodohkan Akram dengan putri bungsu dari salah satu anggota DPR pusat yang sudah pensiun dari dunia politik karena alasan kesehatan. Tapi sejak beberapa hari lalu mereka mengirim pesan, sama sekali tidak ditanggapi oleh Akram. Sudah berkali-kali suami istri itu menggeleng melihat Ardan. Sesekali terdengar mengumpat dengan ponselnya yang berdering namun tidak kunjung dijawab putranya. Suara mobil yang cukup familiar menarik perhatian mereka. Tak lama setelah itu muncul keponakan mereka yang lain, Riswan. Laki-laki yang baru beberapa hari lalu genap berusia 31 tahun itu menatap ketiganya
"Bagaimana Pak Ardan? Apakah putra Anda setuju untuk ikut serta dalam kampanye kita awal bulan nanti?" tanya Syarief. Tersirat ada permohonan dari intonasi suara dan pengucapannya.Ardan menarik napas dalam-dalam sembari memijat kepalanya. Kemudian menoleh menatap dua pemuda yang sedang sibuk di dapur. Terlihat keponakannya sedang memasak sesuatu di kompor. Sementara putranya sendiri sibuk mengambil nasi di rice cooker."In sya Allah Pak Syarief. Anda tahu sendiri hubungan saya dan Akram tidak sebaik hubungan Anda dengan anak-anak Anda. Tapi Akram tidak pernah bisa menolak keinginan kakak ipar saya. Jika bujukan saya tidak berhasil, maka Bang Haslan yang akan menyeretnya datang ke acara itu," jelas Ardan yang membuat rekan politiknya itu terkekeh."Keponakan Anda, Riswan, sore tadi mampir di posko induk. Dia bilang sama ketua tim sukses kita kalau tidak bisa hadir saat kampanye. Tapi dia pastikan akan cuti saat hari pemilihan nanti. Dia datang ke posko tidak dengan tangan kosong. Dia
Ardan kembali terdiam menatap punggung putranya yang pamit ingin masuk ke kamar. Sore tadi ia mencari putranya ke rumah kontrakannya. Tapi putra sulungnya tidak ada di sana, karena ternyata Akram berada di apartemen Riswan. Saat ia meminta asisten pribadinya untuk mampir mengecek ada tidaknya mobil putranya di parkiran basemen apartemen Riswan, tidak ada mobil putranya di sana. Harusnya ia meminta mengecek sampai ke pintu unit itu.Mobil Akram ternyata ada di bengkel dan baru saja diantarkan montir ke rumah kakaknya. Sayangnya saat tiba di rumah kakaknya, ia belum juga berhasil menemukan putranya. Seolah Akram sengaja menghindari dirinya dan itu membuatnya sangat kesal. Ada hal penting yang ingin dibicarakannya langsung dengan sang putra. Percuma bicara di telpon karena belum masuk ke topik utama, Akram akan mengakhiri panggilan tersebut.Kalimat panjang putranya tadi membuatnya bungkam. Ini pertama kalinya Ardan merasa jika selama ini ia lupa atau tepatnya tidak menyadari semua itu.
Riswan menatap bingung sepupunya yang kini dengan mudahnya tertidur pulas. Seolah masalah besar yang dihadapinya tidak berarti sama sekali. Sementara dirinya tidak bisa tidur dengan nyenyak. Sahabatnya Rian, baru saja mengirimkan pesan. Arum berada di sebuah klinik swasta tak jauh dari rumah orang tua Akram. Kabar itu akurat karena Rian menjemput ibu mertuanya di klinik itu.Awalnya cukup sulit melacak keberadaan Arum karena ponsel wanita itu tidak aktif. Walau nomor ponselnya sudah berganti, tapi tidak dengan akun email yang masih digunakan Arum untuk penelusuran internet. Dari situlah ahli IT itu tahu jika keberadaan Arum terakhir kali aktif adalah di sebuah pasar tradisional.Setelah tanpa sengaja bertemu dengan Arum. Rian menjelaskan jika adiknya, Tania sedang menemani mertuanya, Nyonya Delia menjenguk tetangganya yang dirawat di Kliknik Mariska. Keduanya bertemu Aluna, Mariska dan kedua anak kembarnya di parkiran klinik. Mereka berteriak pada paramedis untuk segera membantu memin
Suara lantunan ayat suci Al Quran dari pengeras suara di menara mesjid sudah mulai terdengar subuh ini. Sebentar lagi azan akan berkumandang. Riswan mengerjap dan akhirnya membuka lebar pasang matanya. Betapa terkejutnya ia melihat Akram sudah siap dengan pakaian rapi dan sibuk dengan ponselnya. Riswan beranjak dari tempat tidur dan bergegas ke kamar mandi. Serajin itu memang mereka berdua jika berada di rumah ini. Tentu mereka berdua tidak lupa bagaimana dulu Haslanuddin membanting tubuh mereka berdua karena tidak sholat. Meski Riswan dan Akram terkadang masih meninggalkan sholat lima waktunya, tapi lain cerita jika berada di rumah ini. Mereka berdua seakan punya alarm khusus yang sudah terprogram. Terutama Akram yang tahu jika dirinya brengsek dan penimbun dosa. Pernah sekali ia membuat Hastuti tertawa lepas. Kala itu mereka menikmati sarapan pagi dan Akram mengatakan bahwa jika dirinya memasuki pagar rumah ini, ia akan seketika dapat hidayah. Itu bukan kalimat candaan, melainkan p
Riswan memarkir mobilnya di dekat gerbang sekolah Alyana. Gadis itu mendadak mengatakan jika perutnya kram. Minta tolong diantar ke sekolah karena tidak sanggup membawa sepeda motornya sendiri. Ingin izin tidak ke sekolah tapi hari ini ada ulangan harian. Sayangnya itu hanya trik adik sepupunya yang duduk termenung di bangku penumpang tanpa berniat melepas sabuk pengamannya.Riswan yang sejak tadi sibuk membalas pesan di ponselnya belum menyadari. Tapi ketika ia menoleh dan mendapati adik sepupunya sudah duduk miring menatapnya penuh curiga, ia tahu jika dirinya harus punya jawaban untuk pertanyaannya. Jangan lupakan senyum licik mirip senyum tantenya jika mengetahui kesalahannya. Riswan akhirnya sadar jika drama perut kram sebelum berangkat tadi berhasil menjebaknya."Soal hati cewek atau penyakitnya?" tanya Alyana."Maksud kamu?" tanya Riswan kebingungan."Aduh... Kak Riswan jangan pura-pura deh! Alya itu tahu kalau Kak Riswan pasti sudah tahu masalahnya Kak Akram. Kemarin malam itu
"Bukan!!!"Riswan menjawab dengan suara lantang dan ikut membelalak. Tentu saja ia ikut terkejut dengan pertanyaan Safwan barusan. Untung saja ruangan ini kedap suara. Setelah melihat Safwan kembali duduk sambil mengusap dadanya mencoba menenangkan diri, Riswan kembali berujar, "Sembarangan saja kamu ngomong!""Maaf, habisnya Kak Riswan kenapa bisa tahu dia hamil? Kalau bukan Kak Riswan, itu artinya Kak Riswan tahu siapa orang yang sudah tidak bertanggung jawab itu," timpal Safwan. Riswan menghembuskan napas dari mulutnya sampai kedua pipinya menggembungnya. Tebakan adik ipar sahabatnya itu benar adanya."Dia tidak tahu kalau Arum hamil. Dia baru tahu saat bertemu Arum dua hari lalu. Awalnya dia ingin bicara dengan Arum, tapi Arum pergi begitu saja. Mungkin terlalu terkejut atau takut dengan pertemuan mereka. Sampai akhirnya ia sadar jika sepertinya Arum hamil. Setelah dia menemukan kotak susu khusus ibu hamil di kantong belanjaan yang ditinggalkan Arum begitu saja di depan minimarket
Suasana kafe sore ini terlihat terasa lebih ramai dari sebelumnya. Akram sering datang ke tempat ini dulu. Dulu saat adiknya Firman masih hidup. Keduanya akan sering menghabiskan waktu di kafe ini dan membicarakan keseharian adiknya itu di tempat kursus memasak, begitu juga dengan tulisan-tulisannya sendiri. Terbayang olehnya ketika almarhum adiknya itu mengatakan punya resep baru dan akan membuatnya di restoran milik tante mereka, restoran milik orang tua Riswan. Kenangan itu kembali hadir merambah getir. Semalam ia datang ke rumah orang tuanya dan membicarakan masalah perjodohan pilihan mereka. Adiknya Adina tidak memberikan komentar apapun. Sebelum pulang ia sempat membuka pintu kamar kedua adiknya. Adina sudah tidur saat ia akan pulang. Sedangkan di kamar Firrman, hanya kehampaan yang menyambut. Tidak ada yang berubah di dalamnya seolah penghuninya akan kembali. Setelah menyanggupi keinginan papa dan mamanya untuk bertemu gadis yang mereka pilihkan, di sinilah Akram duduk menungg
"Sayang, maaf ya hari ini aku tidak bisa temani mama kamu ke acara hajatan temannya. Sahabatku sakit, dia tinggal sendirian di kamar kostnya. Rencananya setelah belikan dia makan, aku mau bawa dia berobat ke klinik atau rumah sakit dekat kostnya," jelas kekasih Fatur yang terdengar berat hati menyampaikannya. Fatur melirik pintu kamar mamanya sejenak lalu membalas, "Iya, tidak apa. Nanti aku bilang sama mama. Kamu antarkan teman kamu berobat dulu. Kamu juga jaga kesehatan biar kamu tidak ikutan sakit. Belakangan cuaca memang tidak menentu." "Terima kasih ya, Sayang. Kamu memang pengertian. Makin sayang deh sama kamu," gombal gadis itu tersenyum dari layar ponsel Fatur. Setelah saling balas dengan salam, akhirnya panggilan video itu mereka akhiri. Fatur entah mengapa merasa gamang. Mamanya sudah antusias ingin mengajak kekasihnya itu untuk menghabiskan waktu bersama. Rencananya setelah mampir sebentar ke acara hajatan teman, mamanya berniat ingin mengajak gadis yang hendak dilamar Fa
Dua minggu berlalu setelah acara lamaran Riswan, kini mereka kembali merasakan suasana pesta. Kali ini mereka berkumpul di sebuah taman wisata yang menjadi lokasi akad sekaligus resepsi pernikahan Lintang dan Tasya. Kedua mempelai itu memang memilih taman ini agar segala rangkaian acara berpusat di satu tempat saja tanpa dekorasi berlebih. "Gugup?" tanya Akram pada sahabatnya yang sejak tadi melirik jam tangannya resah. "Mungkin," jawab Lintang mengatur napasnya berkali-kali. Akram mengulum senyum melihat Lintang meremas lutut kirinya. Menyelenggarakan acara di area outdoor seperti ini tidak juga mampu membuatnya bernapas lega. "Di taman ini aku sama Tasya pertama kali ketemu," ungkapnya mengenang kejadian beberapa tahun lalu. "Dan akan jadi gerbang pernikahan kamu," sambung Bian. "Aku sendiri merasa dejavu. Arum juga bilang begitu tadi. Dulu kami menikah di taman belakang Panti Asuhan Pradipta. Nuansanya kurang lebih seperti ini, meski ya… dekorasi kalian lebih mewah. Aku nikahny
Mendengar Alyana menginginkan bulan, rasanya semua tulang Ranu retak. Sempat berpikir mungkin jantungnya juga ikut berhenti berdetak. Otaknya malas berpikir karena semakin lama ia justru putus asa karena tidak kunjung menemukan solusi. Di tengah keramaian Kota Hongkong, Ranu justru merasa sepi. Setelah mengikuti kompetisi game hari ini, ia meminta timnya untuk beristirahat lebih awal. Jangan sampai mereka menyadari jika pikirannya sedang kacau. Berjalan sendiri di trotoar sembari menikmati pemandangan kota malam hari, Ranu hanya berusaha untuk menyegarkan pikiran. Mungkin saja akan menemukan ide baru saat mengamati sekitarnya. Berbeda dengan Jakarta, di tempatnya saat ini lebih banyak pejalan kaki. Melihat beberapa detik lagi lampu lintas akan berubah warna, Ranu menghentikan langkah. Ia menunggu sampai lampu lalu lintas berubah hijau agar bisa menyebrang jalan. Mendongak menatap langit, Ranu tersenyum melihat bulan purnama yang indah itu. "Sulit membawa bulan itu padamu, Al. Kalau
Bian baru saja selesai memberikan kuliah. Rasa penasarannya akan keributan para mahasiswi di depan ruangannya tidak terbendung. Pasalnya, ruangannya yang berada di pojok itu sama sekali tidak memiliki objek menarik. Bukan karena dirinya tidak memiliki barang yang berkenaan dengan passion atau background dirinya sebagai dosen lingkungan. Akan tetapi, baru dua hari ini ruangannya dipindahkan sehingga belum sempat berbenah. Lantas, hal apa yang menarik di sana dan membuat mereka berkerumun? "Kalian kenapa berkumpul di depan ruangan saya?" tanya Bian. "Eh, Pak Bian, itu loh Pak, ada model cover novel ala CEO yang lagi nongkrong di ruangan Bapak," jawab salah seorang mahasiswi dengan mata berbinar. Bian akhirnya berdeham sehingga barisan di depannya mulai bergeser memberinya akses jalan. Ketika netranya mendapati punggung tegap seseorang di balut jas mahal, Bian kembali berdeham. Pria dengan kedua tangan bersembunyi di saku celananya itu berbalik tanpa mengulas senyum. Justru Bian ditat
Begitu mendengar Adijaya Ufraj meminta Riswan mengajak Risa dan putranya datang di acara resepsi pernikahan Akram dan Arum, Latief dan Farah terkejut. Mereka tidak tahu alasan dibalik keputusan pria lanjut usia itu. Riswan langsung mengiyakan, bahkan akan mengajak wanita pilihannya itu untuk segera menemui sang kakek. Kedua orang tuanya hanya tersenyum. Diam-diam Farah berharap suaminya juga tidak akan keberatan. Selama ini Farah seringkali memperhatikan Risa ketika memarkir mobilnya tidak jauh dari toko pakaian anak milik wanita itu. Latar belakang wanita itu juga sudah ia ketahui. Ibu tunggal itu adalah seorang yatim piatu. Pernikahan pertama Risa penuh siksaan ketika mendiang ibu tirinya sengaja menjualnya pada seorang juragan sapi. Kemudian menikahkan Risa dengan putra pertamanya yang pemabuk. Sayangnya, suami Risa seringkali menyiksanya dan parahnya berselingkuh saat Risa hamil. Berbulan-bulan hidup luntang-lantung dengan kerja serabutan demi memenuhi kebutuhan hidup bersama pu
Beberapa bulan kemudian. Akram pulang dan wajahnya tersenyum lebar kala melihat putranya masih tertidur pulas di kasur lipat di ruang bersantai. Begitu pulas dibelai angin sepoi dari pintu taman samping rumah yang terbuka lebar. Boneka menyerupai robot itu masih setia dipeluk Aidan. Setelah mencium kening putranya, Akram beranjak ke kamar. Tentu saja dengan mengendap-endap agar Aidan tidak terusik. Begitu pintu kamarnya tertutup, telinganya mendengar suara percikan air di kamar mandi. Senyumnya merekah karena menduga Arum sedang mandi. Melirik jam tangannya, belum begitu sore, masih pukul 15.12 WITA. Diletakkannya sekotak perhiasan berwarna biru beludru di atas tempat tidur lalu menutup tirai jendela. Seikat bunga arum lili turut ia letakkan berdampingan dengan kotak itu. Setelah menyalakan lampu tidur di nakas, ia turut menyalakan beberapa lilin aroma terapi. Dengan tergesa Akram menabur mahkota bunga mawar merah di lantai. Berharap agar sang istri berlama-lama di dalam sana sampa
"A-aku cuma tidak mau kamu kaget. Lagian masa siang-siang begi-" "Apa kita perlu ganti model plafonnya?" tanya Akram menunjuk ke atas. Arum mendongak dan memindai langit-langit kamar. Menurutnya tidak perlu diganti karena sudah sangat bagus. Sengatan kecil di lehernya membuatnya seketika membeku. Sang suami sudah beraksi tanpa sanggup dicegah lagi. Rosleting dress yang dikenakannya juga sudah ditarik turun. Usapan halus seringan bulu di punggungnya membuat sekujur tubuhnya gemetar. Bibir itu mengeksplorasi leher mulus hingga ke ujung bahunya. Arum membuka matanya kala sang suami menarik diri. Permainan suaminya membuat Arum yang tadinya menolak, hanya bisa pasrah terseret arus gairah. "Tidak ada aturan waktu, Sayang. Setiap kali… saat kita saling menginginkan," bisik Akram mengecup dagu istrinya dan kembali memagut bibir candunya. Tangannya tidak diam saja sehingga mampu membuai sang istri sampai terdengar desahan yang membuatnya menginginkan lebih. Dert… dert…. Suara ponsel mil
"Sayang, Aruuuuum. Aku kenapa kamu cuekin begini Arum? Sayang!" panggilnya lagi saat melihat istrinya malah beranjak. Sudah dua hari lalu istrinya tidak mengajaknya bicara. Selalu saja adik atau mamanya yang jadi perantara. Sejak malam gala premiere itu, Arum seakan menganggapnya robot. Makan dan pakaiannya disiapkan, tapi selalu dihindari. Malam itu bahkan Arum, Adina dan Aidan bermalam di rumah Latief dengan alasan ingin mencoba menu sarapan baru buatan Ardito. Sementara dirinya sudah sampai di rumah lebih dulu karena ia mengantar Haslan, Hastuti dan Alyana pulang. Sementara setahunya, istri dan anaknya ikut pulang bersama papanya. Arum berbalik dan langsung membalas, "Aku kenapa kamu bohongi begini Akram?" Akram tersenyum masam mendengar tawa keluarganya. Bukan tawa bahagia seperti tawa putranya yang sudah bisa telungkup sambil memukul-mukulkan tangannya di atas kasur lipatnya. Mungkin minta ayahnya untuk segera meraihnya. Keluarganya malah tertawa jahat karena seharian ini Ar
Novita tetap kekeuh pada pendiriannya sehingga membuat Akram tidak berkutik. Arum hanya bisa terdiam karena sejak awal ia sudah menyerahkan segala keputusan pada suaminya. Siang ini mereka sudah bisa pulang, begitu juga dengan bayi mereka yang sudah tiga hari ini dipindahkan dari inkubator. Hampir dua pekan berada di rumah sakit membuat Akram rindu rumah kontrakannya. Nara saja sampai bertanya kapan dirinya akan pulang. Mengedarkan pandangan, Akram tersenyum masam tanpa seorang pun yang mau mendukungnya. "Ma, masa Akram masih harus num-" Lirikan tajam Novita pada putranya kembali membuat Akram diam. Inginnya, Akram ulang ke rumah kontrakannya. Dengan percaya diri ia mengatakan bahwa dirinya sudah baik-baik saja, apalagi ada Danu dan Wina serta Nara di rumahnya. "Papa setuju sama mama kamu," sahut Ardan ketika putranya itu menatap penuh permohonan. Tadinya begitu bersemangat ingin segera pulang setelah hampir dua pekan dirawat, tapi kini Akram memelas. "Berharap pada tali rapuh," k