Zio dan Arini masih saling menatap dengan berurai air mata. Beberapa pengunjung terlihat memperhatikan. Mereka diam penuh keingintahuan."Ibu. Ibu Arini.""Nathan. Nathan."Zio dan Arini saling mendekat. Mereka berhadapan. Air mata keduanya sudah bercucuran. Zio langsung memeluk ibu asuhnya. Ibu yang mengandungnya. Arini tak bisa menahan rasa di hatinya. Dia terus memeluk putranya. Putra yang dikandungnya meski bukan darah dagingnya.Lama keduanya larut dalam euforia tangis bahagia. Hingga tak menyadari kalau orang-orang di sekeliling mereka menatap penuh keingintahuan. Suami Arini yang pertama bersuara."Rin. Bawa Nathan ke rumah saja. Sana ngobrol di sana." Sang lelaki yang bernama Yanto dan merupakan suami dari Arini berbicara lembut. Zio dan Arini melepas pelukan. Arini menatap suaminya. Tatapan penuh terima kasih, Arini layangkan untuk suaminya. Sang suami membalas dengan senyum tulus dan tanda pemakluman.Arini mengajak Zio menuju ke rumahnya. Mereka berjalan melewati jalan, me
Fina menatap lalu lintas di depannya, sesekali dia menghembuskan napas dengan kasar. Sahabatnya yang sudah menjadi bidan sesekali terkekeh melihat aksi Fina."Kalau kangen, telepon aja Fin. Jangan gengsi."Fina menatap sahabat bidannya. Wajahnya murung."Kita udah lama gak kontekan, dia gak ngasih kabar aku dan aku merasa gak harus ngabarin dia dulu.""Ya samperin aja ke Merapi. Sekalian nyari wangsit di sana."Fina menghembuskan napasnya. Ada rasa rindu tapi juga malu kalau harus chat duluan. Genap dua belas bulan baik Zio dan Fina menjalani kegiatan intership. Selama itu pula keduanya jarang bertemu. Awalnya mereka masih saling berbalas pesan di bulan pertama hingga bulan ketiga. Setelah itu makin lama makin jarang. Hanya sesekali atau Zio yang akan meneleponnya di akhir pekan. Di bulan kelima, Zio sudah tak pernah menelepon. Jangankan menelepon, chat saja tak pernah dan terus berlanjut hingga akhir bulan delapan. Di bulan ke sembilan, Fina pernah mendapat pasien yang tidak bisa dia
Sepasang pemuda dan pemudi sedang duduk dalam diam di bangku tunggu. Mereka sedang berada di bandara Jogja. Sang pemuda sesekali mengecek arlojinya, memastikan waktu keberangkatan yang tak sampai setengah jam lagi. Sementara si pemudi hanya duduk diam sambil memainkan ujung tuniknya. Meremas-remas dan berakhir dengan hembusan napas yang terlalu keras.Pengumuman kedatangan pesawat dengan nomer yang sama dengan pesawat yang akan dinaiki Zio menjadi penutus keheningan. Zio berdiri, pun dengan Fina. Keduanya bertatapan lalu saling menunduk."Aku pergi, Fin. Jaga diri kamu baik-baik."Fina hanya diam, tetapi setetes, dua tetes air matanya mulai jatuh."Salam buat keluarga di rumah ya Fin. Kalau ketemu Pak Warjo sama Bu Narti, sampaikan maafku karena belum sempat main. Terus bilang ke Om Rayyan juga, maaf belum sempet sungkem."Fina masih diam. Suara keramaian khas bandara sepertinya bukanlah hal yang patut dipusingkan oleh kedua sahabat. Mereka terlalu larut dalam perasaan sedih satu sama
Zio sedang menatap keindahan menara Eiffel yang bertabur cahaya lampu di malam hari. Meski tempat ini sudah sering dia kunjungi semenjak kembali ke Paris satu bulan yang lalu, tetapi Zio tak pernah bosan mengunjungi menara penuh sejarah ini."Kamu gak bosan ke sini terus?""Gak.""Ck. Sekali-sekali ikut aku ke club kenapa?""Gak.""Dih! Mentang-mentang udah menganut agama baru, sok agamis kau!" ucap Lionel dalam bahasa Perancis.Zio tak mempedulikan ocehan sepupunya. Meski Lionel sepupu yang baik, tapi hobby clubingnya mengganggu Zio. Sudah berkali-kali Lionel mengajak Zio, dan berkali-kali Zio menolak pula. Bahkan Lionel sempat memaksa Zio menenggak minuman haram itu dengan bantuan sepupu yang lain. Berakibat keduanya jadi adu duel dan harus diselesaikan lewat perkumpulan keluarga. Sejak saat itu, keduanya terlibat perang dingin. Meski, secara tatap muka, mereka baik-baik saja namun Lionel masih kesal dengan Zio. Menurut Lionel, Zio itu sok agamis. Dan sok ganteng. Padahal memang gan
Lionel dan Flo langsung disidang oleh Felix. Sementara Zio dengan wajah pura-pura bingung hanya menatap drama di depannya. Dalam hati dia merasa senang bisa menjebak Flo sekaligus membuat Lionel kapok. Jujur saja, Zio sudah kesal dengan sikap Lionel yang suka gonta-ganti pacar. Terakhir dia memutuskan mantannya bernama Jessie dalam keadaan hamil. Yang lebih membuat Zio berang, Lionel menyuruh Jessie aborsi. Beruntung Jessie menolak dan memilih mempertahankan bayinya. Jessie sendiri memilih tinggal bersama neneknya di Lyon. "Dad ini gak seperti yang Dad pikir. Flo kira tadi ...?" Flo menatap kesal pada Lionel."Kenapa kamu yang di sofa?""Mana kutahu, aku kan mabuk. Lagian kenapa kamu ke sini? Kamu loh yang nyodorin diri, aku sih tak masalah. Aku cowok normal, ada yang menyerahkan diri ya mau dong, rejeki gak mungkin kutolak.""Apa?! Tapi kamu ...?""Terus aku kenapa? Kamu juga udah biasa kan? Buktinya gak ada darah, gampang-gampang aja aku masuk," sinis Lionel yang merasa kesal perka
Fina menatap kartu undangan di atas meja belajarnya. Berkali-kali dia hanya bisa menghembuskan napas. Rasanya tidak percaya kalau dia akan menikah dengan Nathan. Tapi surat undangan sudah tercetak, tinggal dibagikan."Beneran mau nikah sama Nathan. Ya Allah!" Fina memilih naik ke ranjang, bergelung dengan bantal dan selimut. Bergalau tak berkesudahan.Satu semester ini, Fina melewati program spesialisnya sambil menata hati. Menata hati karena semenjak Zio kembali ke Paris, komunikasi keduanya jadi terputus. Baik Zio dan Fina saling menghindar dan tidak mau menghubungi duluan. Ketidakberadaan Zio, terasa ada ruang kosong di hatinya."Apa kamu baik-baik saja Zi? Kamu udah punya pacar belum? Atau malah udah nikah? Hiks, kamu kok gak menghubungi aku sih? Aku kan kangen."Tanpa dia sadari, air mata Fina mengalir dengan deras."Aku kangen Zi. Aku gak mau nikah sama Nathan. Dia sama ibunya jahat sama keluargaku. Tukang fitnah. Kamu tega Zi ninggalin aku. Coba kamu di sini. Kan aku punya temp
"Kamu yakin gak mau ngasih tahu ke Zizi kalau kamu mau nikah?"Fina menggeleng. "Gak usah.""Heh! Aku gak ngerti deh sama kamu dan Zizi. Kalian aneh. Suka tapi pada gedein gengsi."Fina tersenyum. "Bukannya kamu juga? Udah jelas suka sama Mas Abi tapi masih jaga gengsi. Mau nikah kapan?""Au Ah."Fina tertawa. Setidaknya mengganggu Risa sedikit menghilangkan kegundahan hatinya. Kedatangan sahabat-sahabat Fina membuat kesedihan yang mendera beberapa hari ini sedikit berkurang."Fin, nomer Zizi kok gak bisa dihubungi ya? Udah tahu kan kamu mau nikah?" tanya Yuni yang sekarang sedang hamil anak pertamanya. Akhirnya Yuni bisa menemukan tambatan hati dan move on dari Kahfi.Fina tersenyum lalu menggeleng."Lah, kok gak ngasih tahu?""Mungkin dia sibuk. Gak papa, lagian belum tentu bisa datang." Fina kembali mengulas senyum. Yuni dan Emi saling menatap, lalu keduanya menatap Risa yang memberi kode untuk jangan membahas Zio. Emi dan Yuni pun paham dan memilih mengajak Fina bicara banyak hal
Nathan keluar dari ruangan Mr. Oliver dengan hati yang terasa lapang. Pembicaraan selama dua jam di dalam telah menghasilkan banyak poin-poin penting yang intinya, mereka akan bekerja sama untuk dua tahun mendatang."Yes! Aku sukses Fina. Sukses." Nathan berteriak lalu dia segera mengendarai mobilnya untuk mencari makan.Nathan segera mencari restoran termahal yang bisa dia temukan. Beberapa makanan khas Jerman dia coba. Selesai makan, Nathan membuka ponselnya. Ada banyak chat dan misscalled dari Fina dan keluarganya. Nathan memutuskan untuk cuek dulu ."Maaf Fin. Kata Mom, aku harus fokus. Dan aku memang akan fokus. Setelah ini selesai, percayalah aku akan mengganti semua kesedihanmu dengan kebahagiaan."Selesai dari Jerman. Nathan langsung bertolak ke Paris. Di Paris, dia benar-benar menghindari pertemuan dengan Zio. Dia bersyukur hampir satu bulan di sana, dia tak bertemu dengan Zio."Dad.""Iya.""Dad tidak bekerja sama dengan perusahaan Evrard kan?""Tidak. Mereka kan bergerak d