Sepasang pemuda dan pemudi sedang duduk dalam diam di bangku tunggu. Mereka sedang berada di bandara Jogja. Sang pemuda sesekali mengecek arlojinya, memastikan waktu keberangkatan yang tak sampai setengah jam lagi. Sementara si pemudi hanya duduk diam sambil memainkan ujung tuniknya. Meremas-remas dan berakhir dengan hembusan napas yang terlalu keras.Pengumuman kedatangan pesawat dengan nomer yang sama dengan pesawat yang akan dinaiki Zio menjadi penutus keheningan. Zio berdiri, pun dengan Fina. Keduanya bertatapan lalu saling menunduk."Aku pergi, Fin. Jaga diri kamu baik-baik."Fina hanya diam, tetapi setetes, dua tetes air matanya mulai jatuh."Salam buat keluarga di rumah ya Fin. Kalau ketemu Pak Warjo sama Bu Narti, sampaikan maafku karena belum sempat main. Terus bilang ke Om Rayyan juga, maaf belum sempet sungkem."Fina masih diam. Suara keramaian khas bandara sepertinya bukanlah hal yang patut dipusingkan oleh kedua sahabat. Mereka terlalu larut dalam perasaan sedih satu sama
Zio sedang menatap keindahan menara Eiffel yang bertabur cahaya lampu di malam hari. Meski tempat ini sudah sering dia kunjungi semenjak kembali ke Paris satu bulan yang lalu, tetapi Zio tak pernah bosan mengunjungi menara penuh sejarah ini."Kamu gak bosan ke sini terus?""Gak.""Ck. Sekali-sekali ikut aku ke club kenapa?""Gak.""Dih! Mentang-mentang udah menganut agama baru, sok agamis kau!" ucap Lionel dalam bahasa Perancis.Zio tak mempedulikan ocehan sepupunya. Meski Lionel sepupu yang baik, tapi hobby clubingnya mengganggu Zio. Sudah berkali-kali Lionel mengajak Zio, dan berkali-kali Zio menolak pula. Bahkan Lionel sempat memaksa Zio menenggak minuman haram itu dengan bantuan sepupu yang lain. Berakibat keduanya jadi adu duel dan harus diselesaikan lewat perkumpulan keluarga. Sejak saat itu, keduanya terlibat perang dingin. Meski, secara tatap muka, mereka baik-baik saja namun Lionel masih kesal dengan Zio. Menurut Lionel, Zio itu sok agamis. Dan sok ganteng. Padahal memang gan
Lionel dan Flo langsung disidang oleh Felix. Sementara Zio dengan wajah pura-pura bingung hanya menatap drama di depannya. Dalam hati dia merasa senang bisa menjebak Flo sekaligus membuat Lionel kapok. Jujur saja, Zio sudah kesal dengan sikap Lionel yang suka gonta-ganti pacar. Terakhir dia memutuskan mantannya bernama Jessie dalam keadaan hamil. Yang lebih membuat Zio berang, Lionel menyuruh Jessie aborsi. Beruntung Jessie menolak dan memilih mempertahankan bayinya. Jessie sendiri memilih tinggal bersama neneknya di Lyon. "Dad ini gak seperti yang Dad pikir. Flo kira tadi ...?" Flo menatap kesal pada Lionel."Kenapa kamu yang di sofa?""Mana kutahu, aku kan mabuk. Lagian kenapa kamu ke sini? Kamu loh yang nyodorin diri, aku sih tak masalah. Aku cowok normal, ada yang menyerahkan diri ya mau dong, rejeki gak mungkin kutolak.""Apa?! Tapi kamu ...?""Terus aku kenapa? Kamu juga udah biasa kan? Buktinya gak ada darah, gampang-gampang aja aku masuk," sinis Lionel yang merasa kesal perka
Fina menatap kartu undangan di atas meja belajarnya. Berkali-kali dia hanya bisa menghembuskan napas. Rasanya tidak percaya kalau dia akan menikah dengan Nathan. Tapi surat undangan sudah tercetak, tinggal dibagikan."Beneran mau nikah sama Nathan. Ya Allah!" Fina memilih naik ke ranjang, bergelung dengan bantal dan selimut. Bergalau tak berkesudahan.Satu semester ini, Fina melewati program spesialisnya sambil menata hati. Menata hati karena semenjak Zio kembali ke Paris, komunikasi keduanya jadi terputus. Baik Zio dan Fina saling menghindar dan tidak mau menghubungi duluan. Ketidakberadaan Zio, terasa ada ruang kosong di hatinya."Apa kamu baik-baik saja Zi? Kamu udah punya pacar belum? Atau malah udah nikah? Hiks, kamu kok gak menghubungi aku sih? Aku kan kangen."Tanpa dia sadari, air mata Fina mengalir dengan deras."Aku kangen Zi. Aku gak mau nikah sama Nathan. Dia sama ibunya jahat sama keluargaku. Tukang fitnah. Kamu tega Zi ninggalin aku. Coba kamu di sini. Kan aku punya temp
"Kamu yakin gak mau ngasih tahu ke Zizi kalau kamu mau nikah?"Fina menggeleng. "Gak usah.""Heh! Aku gak ngerti deh sama kamu dan Zizi. Kalian aneh. Suka tapi pada gedein gengsi."Fina tersenyum. "Bukannya kamu juga? Udah jelas suka sama Mas Abi tapi masih jaga gengsi. Mau nikah kapan?""Au Ah."Fina tertawa. Setidaknya mengganggu Risa sedikit menghilangkan kegundahan hatinya. Kedatangan sahabat-sahabat Fina membuat kesedihan yang mendera beberapa hari ini sedikit berkurang."Fin, nomer Zizi kok gak bisa dihubungi ya? Udah tahu kan kamu mau nikah?" tanya Yuni yang sekarang sedang hamil anak pertamanya. Akhirnya Yuni bisa menemukan tambatan hati dan move on dari Kahfi.Fina tersenyum lalu menggeleng."Lah, kok gak ngasih tahu?""Mungkin dia sibuk. Gak papa, lagian belum tentu bisa datang." Fina kembali mengulas senyum. Yuni dan Emi saling menatap, lalu keduanya menatap Risa yang memberi kode untuk jangan membahas Zio. Emi dan Yuni pun paham dan memilih mengajak Fina bicara banyak hal
Nathan keluar dari ruangan Mr. Oliver dengan hati yang terasa lapang. Pembicaraan selama dua jam di dalam telah menghasilkan banyak poin-poin penting yang intinya, mereka akan bekerja sama untuk dua tahun mendatang."Yes! Aku sukses Fina. Sukses." Nathan berteriak lalu dia segera mengendarai mobilnya untuk mencari makan.Nathan segera mencari restoran termahal yang bisa dia temukan. Beberapa makanan khas Jerman dia coba. Selesai makan, Nathan membuka ponselnya. Ada banyak chat dan misscalled dari Fina dan keluarganya. Nathan memutuskan untuk cuek dulu ."Maaf Fin. Kata Mom, aku harus fokus. Dan aku memang akan fokus. Setelah ini selesai, percayalah aku akan mengganti semua kesedihanmu dengan kebahagiaan."Selesai dari Jerman. Nathan langsung bertolak ke Paris. Di Paris, dia benar-benar menghindari pertemuan dengan Zio. Dia bersyukur hampir satu bulan di sana, dia tak bertemu dengan Zio."Dad.""Iya.""Dad tidak bekerja sama dengan perusahaan Evrard kan?""Tidak. Mereka kan bergerak d
Antony berdiri kaku pun wanita di depannya. Meski garis wajah sang wanita sudah merujuk usia tua tapi garis-garis kecantikan di wajahnya masih terlihat. Padahal usianya sudah mendekati usia tujuh puluh tahun. "Grandma, mana Dad? Kok belum kelihatan?" Seorang remaja putri berusia lima belas tahunan bersuara."Iya Grandma, kenapa Dad belum kelihatan?" Dan di samping remaja putri terlihat sosok lelaki yang lebih muda 2-3 tahun dari remaja putri."Sabar Darrel. Beatrice. Dad mungkin baru turun dari pesawat. Kita tunggu saja ya.""Oke." Kompak kedua cucu sang wanita tua.Amber nama wanita tua itu, mengajak kedua cucunya menuju ke bagian kedatangan pesawat untuk penumpang. "Itu Dad. Yeeeee. Dad akhirnya pulang, Grandma." Si remaja perempuan terlihat senang sekali.Dari kejauhan tampaklah sosok pria berusia dua puluh enam tahun dan lelaki berusia empat puluh tahunan berjalan bersama sambil sesekali bercerita. Teriakan sang putri membuat Mr. Oliver yang tadinya fokus ke Nathan jadi teralih
"Assalamualaikum, Nathan.""Waalaikumsalam."Zio mendongak pada gadis yang mengucap salam untuknya. Namanya Aisyah. Dia adalah mahasiswa kedokteran yang sudah menempuh kuliah selama tiga tahun di kampus yang sama dengan Zio. Gadis itu anak dari rekan bisnis sang ayah yang merupakan warga Arab tetapi menikahi perempuan Perancis.Aisyah bisa dikatakan sangat cantik. Dia berkerudung juga. Tapi mau secantik apa pun Aisyah, mau tampilannya bagai bidadari surga, selama dua tahun mengenalnya, Zio merasa biasa saja. Berbeda dengan Aisyah yang sejak awal merasakan debaran setiap bertemu Zio."Nathan sedang mengerjakan tugas?""Iya.""Oh. Aisyah duluan ya?"Nathan hanya mengangguk dan kembali menekuri laptop dan buku-bukunya. Sementara Aisyah pergi ke bagian perpus yang lain. Fatih, yang memiliki darah Yaman dan Perancis mengkode sang sahabat."Aisyah kayaknya suka sama kamu loh, Nat. Gerak-geriknya kelihatan banget tahu. Kamu ngerasa gak?”“Gak.”“Masa sih?”Zio hanya mengedikkan bahu lalu kem