Keluarga Nathan sedang mengadakan acara makan bersama. Sesekali obrolan terlontar dari bibir mereka."Nathan.""Iya, Mom.""Kamu ada hubungan sama Fina?"Nathan sedikit mendengkus. "Masih berusaha, Mom.""Kenapa?""Fina belum nerima Nathan.""Kamu kan ganteng. Emang kurangnya kamu apa? Sampai Fina gak mau sama kamu."Nathan lalu menceritakan masalahnya, bagaimana dia berusaha meraih hati Fina, hubungan Fina dan Zio dan semua hal yang dia lakukan untuk mendapatkan Fina."Kamu jangan kalah sama si Zio, kamu harus dapatkan dia. Lagian kamu gak kalah ganteng sama Zio, dan kekayaan keluarga kita tidak kalah dengan keluarga Evrard.""Iya, Mom. Nathan akan terus berusaha kok.""Bagus, Mom dukung. Dan kamu tenang saja, Mom akan bantu kamu."Winda dan Nathan terus berbicara tentang Nathan dan Fina sementara Antony lebih memilih menyelesaikan makan dan menyimak pembicaraan kedua anak dan istrinya. "Besok kita buatin rumah sakit buat Nathan ya Sayang." Winda meminta pada sang suami.Antony ters
Hujan sedang mengguyur sebagian besar kota Jogja sejak kemarin. Menyebabkan aktivitas istirahat manusia semakin nyaman dengan bergelung di balik selimut di kasur masing-masing. Namun bagi beberapa orang yang memiliki aktivitas di malam hari, hujan sedikit mengganggu namun mereka tetap menjalankan aktivitas seperti biasa. Pun dalam sebuah rumah sakit yang dikelola oleh Azada. Rumah sakit yang sengaja dibangun sang mertua yang awalnya hanya sebuah klinik lama kelamaan menjadi rumah sakit yang cukup mendapat nama berkat tangan dingin sang menantu. Di rumah sakit itu, para petugas shift malam tetap menjalankan aktivitasnya.Zio keluar dari mobilnya, berlari sambil menenteng sesuatu menerobos hujan. Sampai di bagian pendaftaran, dia memberikan senyum terbaiknya pada pak satpam dan dua perawat penjaga."Wah, makasih Mas Dok." Pak Satpam mengucapkan terima kasih atas makanan yang dibawa oleh Zio."Iya. Fin Fin mana?""Mbak Dok lagi di ruang istirahat kayaknya. Kecapean.""Oke. Aku kesana ya?
"Pergi!""Hahaha. Ayo kita bersenang-senang." Sosok tak jelas wajahnya menyeringai di depan Fina. Fina berteriak meminta tolong. Sayang tak ada yang datang. Dia sendirian bersama sosok jahat yang kini semakin mendekat ke arahnya."Pergi! Pergi.""Tidak bisa. Kita harus bersenang-senang. Hahaha.""Pergi."Fina berontak namun pria tersebut semakin mendekat ke arahnya. Fina berteriak."Tidak!"Fina terbangun. Tubuhnya berkeringat dan bergetar hebat. Fina beristighfar, memohon ampunan. Mimpi itu ternyata datang lagi. Mimpi yang berulangkali menyapa dan membuat tidur Fina jadi tidak nyenyak. Nyaris setiap malam dia ketakutan. Takut mimpi buruk itu kembali lagi. Fina mengusap wajah, dia segera turun dari ranjang begitu mendengar suara Azan subuh. Dia akan mandi, sholat dan kembali mengadu pada Allah.Dalam sujudnya, Fina meminta maaf pada Allah. Selain itu dia juga meminta perlindungan untuk dijauhkan dari orang-orang yang berniat jahat pada dirinya dan keluarganya. Selesai sholat, Fina m
Zio dan Arini masih saling menatap dengan berurai air mata. Beberapa pengunjung terlihat memperhatikan. Mereka diam penuh keingintahuan."Ibu. Ibu Arini.""Nathan. Nathan."Zio dan Arini saling mendekat. Mereka berhadapan. Air mata keduanya sudah bercucuran. Zio langsung memeluk ibu asuhnya. Ibu yang mengandungnya. Arini tak bisa menahan rasa di hatinya. Dia terus memeluk putranya. Putra yang dikandungnya meski bukan darah dagingnya.Lama keduanya larut dalam euforia tangis bahagia. Hingga tak menyadari kalau orang-orang di sekeliling mereka menatap penuh keingintahuan. Suami Arini yang pertama bersuara."Rin. Bawa Nathan ke rumah saja. Sana ngobrol di sana." Sang lelaki yang bernama Yanto dan merupakan suami dari Arini berbicara lembut. Zio dan Arini melepas pelukan. Arini menatap suaminya. Tatapan penuh terima kasih, Arini layangkan untuk suaminya. Sang suami membalas dengan senyum tulus dan tanda pemakluman.Arini mengajak Zio menuju ke rumahnya. Mereka berjalan melewati jalan, me
Fina menatap lalu lintas di depannya, sesekali dia menghembuskan napas dengan kasar. Sahabatnya yang sudah menjadi bidan sesekali terkekeh melihat aksi Fina."Kalau kangen, telepon aja Fin. Jangan gengsi."Fina menatap sahabat bidannya. Wajahnya murung."Kita udah lama gak kontekan, dia gak ngasih kabar aku dan aku merasa gak harus ngabarin dia dulu.""Ya samperin aja ke Merapi. Sekalian nyari wangsit di sana."Fina menghembuskan napasnya. Ada rasa rindu tapi juga malu kalau harus chat duluan. Genap dua belas bulan baik Zio dan Fina menjalani kegiatan intership. Selama itu pula keduanya jarang bertemu. Awalnya mereka masih saling berbalas pesan di bulan pertama hingga bulan ketiga. Setelah itu makin lama makin jarang. Hanya sesekali atau Zio yang akan meneleponnya di akhir pekan. Di bulan kelima, Zio sudah tak pernah menelepon. Jangankan menelepon, chat saja tak pernah dan terus berlanjut hingga akhir bulan delapan. Di bulan ke sembilan, Fina pernah mendapat pasien yang tidak bisa dia
Sepasang pemuda dan pemudi sedang duduk dalam diam di bangku tunggu. Mereka sedang berada di bandara Jogja. Sang pemuda sesekali mengecek arlojinya, memastikan waktu keberangkatan yang tak sampai setengah jam lagi. Sementara si pemudi hanya duduk diam sambil memainkan ujung tuniknya. Meremas-remas dan berakhir dengan hembusan napas yang terlalu keras.Pengumuman kedatangan pesawat dengan nomer yang sama dengan pesawat yang akan dinaiki Zio menjadi penutus keheningan. Zio berdiri, pun dengan Fina. Keduanya bertatapan lalu saling menunduk."Aku pergi, Fin. Jaga diri kamu baik-baik."Fina hanya diam, tetapi setetes, dua tetes air matanya mulai jatuh."Salam buat keluarga di rumah ya Fin. Kalau ketemu Pak Warjo sama Bu Narti, sampaikan maafku karena belum sempat main. Terus bilang ke Om Rayyan juga, maaf belum sempet sungkem."Fina masih diam. Suara keramaian khas bandara sepertinya bukanlah hal yang patut dipusingkan oleh kedua sahabat. Mereka terlalu larut dalam perasaan sedih satu sama
Zio sedang menatap keindahan menara Eiffel yang bertabur cahaya lampu di malam hari. Meski tempat ini sudah sering dia kunjungi semenjak kembali ke Paris satu bulan yang lalu, tetapi Zio tak pernah bosan mengunjungi menara penuh sejarah ini."Kamu gak bosan ke sini terus?""Gak.""Ck. Sekali-sekali ikut aku ke club kenapa?""Gak.""Dih! Mentang-mentang udah menganut agama baru, sok agamis kau!" ucap Lionel dalam bahasa Perancis.Zio tak mempedulikan ocehan sepupunya. Meski Lionel sepupu yang baik, tapi hobby clubingnya mengganggu Zio. Sudah berkali-kali Lionel mengajak Zio, dan berkali-kali Zio menolak pula. Bahkan Lionel sempat memaksa Zio menenggak minuman haram itu dengan bantuan sepupu yang lain. Berakibat keduanya jadi adu duel dan harus diselesaikan lewat perkumpulan keluarga. Sejak saat itu, keduanya terlibat perang dingin. Meski, secara tatap muka, mereka baik-baik saja namun Lionel masih kesal dengan Zio. Menurut Lionel, Zio itu sok agamis. Dan sok ganteng. Padahal memang gan
Lionel dan Flo langsung disidang oleh Felix. Sementara Zio dengan wajah pura-pura bingung hanya menatap drama di depannya. Dalam hati dia merasa senang bisa menjebak Flo sekaligus membuat Lionel kapok. Jujur saja, Zio sudah kesal dengan sikap Lionel yang suka gonta-ganti pacar. Terakhir dia memutuskan mantannya bernama Jessie dalam keadaan hamil. Yang lebih membuat Zio berang, Lionel menyuruh Jessie aborsi. Beruntung Jessie menolak dan memilih mempertahankan bayinya. Jessie sendiri memilih tinggal bersama neneknya di Lyon. "Dad ini gak seperti yang Dad pikir. Flo kira tadi ...?" Flo menatap kesal pada Lionel."Kenapa kamu yang di sofa?""Mana kutahu, aku kan mabuk. Lagian kenapa kamu ke sini? Kamu loh yang nyodorin diri, aku sih tak masalah. Aku cowok normal, ada yang menyerahkan diri ya mau dong, rejeki gak mungkin kutolak.""Apa?! Tapi kamu ...?""Terus aku kenapa? Kamu juga udah biasa kan? Buktinya gak ada darah, gampang-gampang aja aku masuk," sinis Lionel yang merasa kesal perka