Aleta terbangun di ruangan yang serba putih tersebut dengan perasaan yang masih campur aduk. Rasa pusing kembali menusuk kepalanya karena ingatan-ingatan yang berputar seperti kaset rusak di kepalanya. Manisan mangga, Bastian kecelakaan, rumah sakit, dan ruang operasi. Pria itu menjalani operasi darurat selama berjam-jam hingga Aleta jatuh pingsan karena kelelahan. Entah siapa yang membawanya ke tempat ini, Aleta lekas menyingkap selimut dan turun dari ranjang. Bertanya pada perawat di mana ruang operasi. Perawat mengatakan bahwa Bastian baru saja keluar dari ruang operasi dan dipindahkan di ruang ICU. Tapi ia harus ke ruangan dokter untuk bicara dengan dokter yang baru saja mengoperasi Bastian. Setelah sempat singgah di ruang ICU untuk melihat Bastian dari balik kaca, perawat membawa Aleta ke ruang dokter. Seolah belum cukup hatinya yang sudah hancur lebur dengan semua situasi ini, kondisi Bastian yang jauh
Seluruh tubuh Aleta membeku. Keduanya matanya bersirobok dengan mata gelap Leon yang langsung menangkapnya. Menguncinya dan langkah pria itu terhenti beberapa langkah dari mereka bertiga. Cukup lama dan bergerak turun. Lebih lama menatap perut, yang mustahil ia sembunyikan. Ujung bibir pria itu tersenyum tipis, sebelum kemudian melanjutkan berjalan lebih dekat. Tanpa melepaskan pandangan dari perut Aleta. "Bisakah kami bicara? Urusan suami dan istri?" Pertanyaan tersebut ditujukan pada Nirel dan Monica. Yang saling pandangan. Nirel mengangguk singkat pada sang istri, tetapi Monica merasakan firasat yang tak baik tentang pembicaraan ini. "Kita bisa membicarakan masalah ini setelah …" "Bagaimana pun, pernikahan kami pernah dan tetap terjadi. Apakah mama masih butuh kesabaran saya lebih banyak lagi setelah semua ini?" Monica terdiam. Menoleh pada wajah pucat Aleta yang juga memberinya satu angguk
Aleta tersentak ketika Leon melangkah maju. Menyentakkan pundaknya ke samping dan langsung meraih wajahnya. Menyambar ciuman di bibir sembari menghimpit tubuhnya ke dinding kamar mandi. Ia berusaha menolak, tetapi meski kedua kakinya sudah tidak lumpuh, perut besarnya memberinya banyak kesulitan untuk melawan kekuatan pria Leon. Dan ditambah Leon yang jelas tak memedulikan anak dalam kandungannya dengan sikap kasar tersebut, Aleta berani menolak apa yang diinginkan Leon dari tubuhnya. “Hentikan, Leon,” engah Aleta ketika Leon akhirnya melepaskan bibirnya, tapi beralih mencumbu cekungan lehernya. Kedua tangannya menahan bisep yang membayang di balik kemeja putih yang basah dan menempel di lengan pria itu. Berusaha mendorong tubuh besar Leon yang sama sekali tak bergeming. “Leon!” Leon menggeram rendah karena kesenangannya diganggu, tangan Leon menjambak rambut Aleta. Menengadahkan wajah gadis itu di bawah guyuran air.
Setelah Leon berangkat ke kantor, Aleta lekas menyusul keluar dari apartemen. Menunggu sang mama menjemputnya di lobi gedung dan mereka akan bersama-sama ke rumah sakit. Namun, saat mobil sang mama muncul. Bukan hanya Monica yang melangkah turun, tetapi juga sang mertua. Yang langsung menghambur ke pelukannya. “Kau hamil,” isak Yoanna tak percaya. Mata wanita itu yang digenangi air mata bergerak naik turun ke wajah dan perut Aleta. “Monica mengatakan aku akan segera menjadi seorang nenek.” Aleta melirik sang mama, yang hanya memberinya satu anggukan. “Dan sebaiknya kau memperlakukan putriku dengan lebih baik, Yoanna,” tambah Monica, meski suaranya terdengar dingin dan datar, tetap tak menutupi ketulusan yang terselip. “Dan aku melakukannya bukan untukmu. Aku hanya tak ingin hubungan cucuku dan neneknya memburuk seperti hubunganmu dan Leon,” tambahnya lagi. “Terima kasih, Monica.” Yoanna mengusap wa
Sejak hari itu, Aleta tak lagi datang ke rumah sakit. Lewat sang mamalah ia mengetahui perkembangan Bastian. Yang benar-benar membuatnya lega karena perkembangan Bastian semakin membaik meski hampir satu minggu masih belum bangun. Di hari ketujuh, Aleta masih menyiapkan makan malam ketika ponselnya berdering. Panggilan dari Monica. Yang memberitahunya bahwa Bastian sudah bangun. Aleta membekap mulut, meredam pekik kelegaan yang memenuhi dada. Air mata keharuan meleleh di pipinya, yang kemudian ia hapus dengan punggung tangan. “Terima kasih, Ma. Aleta sangat lega mendengar Bastian sudah …” Aleta belum sempat menyelesaikan kalimatnya ketika tersentak karena ponsel yang menempel di telinganya tiba-tiba ditarik dari belakang. Kontan tubuhnya berputar dan hanya menelan ludah melihat ponsel tersebut berpindah di telinga Leon. "Ya, Ma. Ini Leon." "Ehm, Leon?" Suara Monica seakan tertelan begitu saja.
Aleta menelan ludahnya. Keheningan di antara mereka terasa sangat menyesakkan dengan ancaman Leon yang terasa menggantung di atas kepalanya. Wajahnya pucat pasi, berbanding terbalik dengan senyum yang melengkung lebar di bibir Leon. “Habiskan makananmu, setelah ini kita berlanjut, membicarakan tentang masa depan pernikahan kita. Juga … anak dalam kandunganmu.” Mata Aleta mengerjap terkejut. Wajahnya yang sudah sepucat mayat tak bisa lebih pucat lagi. “A-anak? Apa maksudmu, Leon?” Suara Aleta seperti tercekik. Ia memahami keadaan pernikahan mereka yang sangat jauh dari kata baik-baik saja. Dan mungkin memang perlu dibicarakan tentang kesepakatan-kesepakatan yang akan menguntungkan Leon lebih banyak lagi. Namun, anak? Apa yang perlu mereka bicarakan? Apakah … apakah Leon akan menceraikannya? “Tidak. Aku tak akan menceraikanmu.” Leon seolah menangkap apa yang tengah muncul di benak Aleta. “L-lalu kenapa kita ha
Tangan Aleta sudah terjulur, hendak meraih pakaian apa pun untuk menutupi ketelanjangannya ketika pintu dibanting dari luar, terjemblak sepenuhnya dan Bastian berdiri di ambang pintu. Pandangan keduanya bertemu, tubuh Bastian membeku menatap wajah sepucat mayat Aleta. Duduk di ranjang dengan salah satu tangan berada di dada. Menahan selimut demi menutupi ketelanjangan gadis itu. Kepalanya menggeleng pilu, menyaksikan pemandangan yang selalu berhasil memporak-porandakan perasaannya. Wajah Aleta tertunduk dalam, tak tahan dengan tatapan penuh luka yang terpampang di wajah pucat Bastian. Bahkan pria itu masih mengenakan pakaian rumag sakit dan seharusnya masih berada dalam pengawasan intens dokter setelah operasi besar. Entah bagaimana pria itu bisa sampai di tempat ini dan melihatnya dalam keadaan memalukan seperti ini. “Sepertinya kalian butuh bicara,” sela Leon. Membelah keheningan menyesakkan antara Aleta dan Bastian. Berdiri bersandar pada pinggiran pintu dengan kedua tangan me
Aleta hanya berbaring di ranjang sejak Leon pergi tiga jam yang lalu. Sama sekali tak berminat melakukan apa pun, terutama dengan Leon yang tak akan mengganggunya hingga besok siang. Betapa ia berharap perjalanan bisnis Leon lebih lama lagi dan ia bisa memiliki lebih banyak waktu untuk tenggelam dalam patah hatinya. Sejak tadi pagi, pikirannya tak berhenti dipenuhi tentang keadaan Bastian. Bayangan kesedihan di wajah pria itu tak pernah lenyap dari benaknya. Masih terasa nyata di ingatannya. Mengiris hatinya hingga tak ada lagi yang bisa dihancurkan. Suara bel apartemen membangunkan Aleta yang baru saja tertidur. Kepalanya terasa pusing. Terlalu banyak berbaring dan belum menyuapkan apa pun ke dalam mulut selain segelas susu ibu hamilnya. Setelah duduk sejenak untuk meredakan rasa pusing di kepala, ia lekas keluar dari kamar dan membuka pintu. "Aleta?" Yoanna tersenyum lebar dan lang
Kening Aleta berkerut melihat keseriusan di wajah Leon ketika membaca pesan singkat yang baru saja masuk ke dalam ponsel pria itu Leon duduk tepat di sampingnya, dan tubuh keduanya masih dalam keadaan telanjang. Dan keringat masih membasahi tubuh keduanya, setelah aktiitas panas mereka.Dan sejujurnya sangat mudah bagi Aleta untuk melirik siapa pengirim pesan yang berhasil mendapatkan perhatian Leon. Tapi entah kenapa, ada sedikit kesungkanan yang membuatnya hanya terdiam. Menunggu pria itu mengatakan sesuatu.“Aku harus pergi,” ucap Leon. Menoleh ke samping dan mendaratkan satu kecupan di kening Aleta sembari salah satu tangan meletakkan ponselnya ke nakas dengan posisi terbalik.Aleta hanya memberikan satu anggukan singkat. Dengan pandangan mengikuti Leon yang bergerak turun dari ranjang. Mengenakan celana karet dan langsung menuju pintu kamar mandi untuk membersihkan diri.‘Juliakah? Seseorang yang menghubungin Leon baru saja?’
“Kita pulang?” Leon menatap ke arah Aleta, dengan tatapan penuh arti. Keduanya berdiri di depan teras rumah sakit. Dengan baby Lucien yang berada dalam gendongan Aleta dan lengannya yang melingkar posesif di pinggang sang istri.Aleta memberikan satu anggukan tipis. Dengan seulas senyum dan binar di kedua mata coklatnya. Ya, ia akan pulang. Ke mana pun Leon membawanya karena sekarang, pria itu adalah rumahnya.Nirel dan Monica yang baru saja keluar dari pintu putar rumah sakit sengaja melambatkan langkahnya. Membiarkan Aleta dan Leon berada di depan, sekaligus sengaja menciptakan jarak yang terkesan seadanya. Agar keduanya tak merasa terganggu oleh kebe radaannya.Kedua pasangan paruh baya tersebut saling pandang. Saling melemparkan senyum dalam pandangan tersebut. “Sepertinya kali ini aku percaya dengan pilihanmu. Yang terbaik untuk Aleta,” gumam Monica lirih. Memastikan Aleta dan Leon tak mendengarnya. “Apakah sejak awal kau tahu mereka ak
‘Cukup untuk kita bertiga.’Bagaimana mungkin Leon tak terpengaruh dengan jawaban yang diberikan oleh Aleta tersebut. Mempertanyakan kembali seberapa serius keinginan Aleta akan dirinya dan pernikahan mereka, hanya akan memperjelas bahwa dirinyalah yang begitu tolol telah melepaskan sang istri demi perusahaan.‘Bagaimana mungkin kau melakukan semua ini demi kebahagiaan semua orang. Jika kau sendiri tak bisa membahagiakan dirimu sendiri, Leon.’Kata-kata Julia pun kembali terngiang di benaknya.‘Jika kau tak becus mempertahankan kebahagiaanmu sendiri, aku tak akan terkejut jika apa yang kau lakukan saat ini untuk bertahan. Semua itu pada akhirnya tak bisa kau pertahankan. Karena kau sendirilah yang menghancurkan dirimu sendiri, Leon. Bukan kakek Aleta maupun Bastian. Juga bukan semua orang yang saat ini sedang menyusun rencana untuk menggulingkanmu.’“Jika keinginanmu terhadapku dan putra kita tidak cukup untukmu, akulah yang aka
“Aku tidak menandatanganinya tanpa keinginanku, Aleta. Apalagi yang kau butuhkan dan tunggu untuk menerima gugatan ini? Semua yang kau inginkan ada di dalam sini.”Aleta mengerjap dengan jawaban dingin yang diberikan Leon. Menelan kekecewaan yang sengaja di berikan Leon padanya. Tentu saja ia bisa menangkap kesengajaan pria itu untuk membuatnya kecewa. Dengan cepat, Aleta memasang ekspresi datarnya seapik mungkin. Kedua matanya menatap lurus tatapan intens Leon yang berusaha melucuti perasaannya. “Kakekku akan tetap mengusirmu dari perusahaan meski kita bercerai.”Leon membeku, keterkejutan menampar wajah pria itu dan butuh beberapa detik lebih lama baginya untuk mencerna keterkejutan dan menguasai raut wajahnya. Demi menyimpan kemarahan yang nyaris tak bisa disembunyikan dengan baik.Meski ini adalah informasi penting yang sudah ia perkirakan dan kartu lain untuk membuat Phyllian Mamora tak berkutik berada di tangannya. Ia hanya tak menyangka Ph
Phyllian Mamora dan Bastian tentu saja tak menyukai keberadaan Leon di ruang perawatan anak tersebut. Dan sama sekali tak menutupi kebencian keduanya di depan Leon. Aleta yang merasa terjebak dengan kecanggungan tersebut pun tak bisa melakukan apa pun. Terutama dengan sang kakek yang jelas-jelas ingin menyeret Leon keluar dari ruangan tersebut tapi tak mungkin membuat keributan di ruang perawatan baby Lucien yang kini sudah berbaring di ranjang pasien.“Kakek ingin bicara sebentar,” ucap Phyllian. Melirik ke arah Leon yang masih duduk di kursi. Tak melepaskan pandangan dari baby Lucien sedikit pun. Aleta mengangguk pelan, mengikuti sang kakek menuju pintu.“Awasi dia untukku,” pintah Phyllian pada Bastian sebelum mencapai pintu.Aleta tentu saja merasa tak nyaman dengan pintah tersebut. “K-kakek …”“Kakek tidak mempercayainya, Aleta. Siapa yang tahu kalau dia akan membawa lari cicitku.” Jawaban Phyllian yang tidak lirih se
“Kau masih belum menyentuhnya?” gumam Monica membuka berkas di meja yang tampaknya masih tak tersentuh, bahkan setelah beberapa hari setelah Aleta mencoba menemui Leon di kantor. Kepalanya berputar, menatap sang putri yang berdiri di tengah ruangan, menggendong baby Lucien yang tampaknya mulai tenang.Aleta hanya menatap sang mama, tanpa memberikan jawaban apa pun.“Masih ingin bicara dengan Leon?”Aleta memberikan satu anggukan pelan, menundukkan wajah dan menatap sang putra yang sudah terlelap. Ia pun berjalan mendekati boks bayi, membaringkan baby Lucien dan tetap berdiri di samping boks bayi.“Tadi malam papamu bertemu dengan kakekmu.” Monica mendekati Aleta. Menyentuh pundak wanita itu dengan lembut. “Kakekmu mengatakan akan mengambil alih semua permasalaha ini dan mengatur pengacara terbaik untukmu.”Aleta menoleh ke samping, napasnya semakin tertahan. “K-kakek?”Monica mengangguk. “Mama dan papa sudah menega
“Apakah pria itu berhasil mempengaruhimu sehingga membuatmu seperti ini?” ulang Bastian dengan penekanan di ujung kalimatnya. “Jadi pria itu sudah berhasil mengubah perasaanmu padaku?”Aleta tak langsung menjawab. Menatap binar harapan di kedua mata Bqstian yang perlahan meredup. Sama sekali tak menyangkal pertanyaan tersebut.Bahkan pertanyaan tersebutlah yang membuat Aleta tersadar. Bahwa perasaannya pada Bastian memang sudah berubah. Berubah sepenuhnya tanpa ia sadari.Bastian menggeleng. “Tidak. Ini terlalu cepat, Aleta. Dan semua ini bukan karena Leon.Tetapi karena ancaman Berlian padamu, kan?”Aleta tetap bergeming. Ekspresi wajah Bastian tampak begitu emosional.“Berlian sudah mengatakan padaku. Semua itu hanya kelicikannya, Aleta. Percaya padaku.” Bastian melangkah maju, tetapi tubuh Aleta bergerak mundur. Mempertahankan jarak di antara mereka tetap terbentang.Aleta menggeleng. “Kakekku, kau, dan Berl
Aleta menatap berkas yang tergeletak di sampingnya. Tak ia sentuh sejak kemarin sang mama meletakkannya di sana. Tahu benar apa yang ada di dalam sana, tetapi ia tak memiliki keberanian untuk membukanya.Semua harapan dan keinginannya ada di dalam sana. Terkabulkan hanya dengan membubuhkan tanda tangannya di sana.Namun …Akan tetapi …Kenapa sekarang perasaannya telah berubah? Kenapa keinginan dan harapannya tidak sama?‘Mama tak tahu apakah mama perlu menyampaikannya padamu. Kakekmu dan Bastian menukarkan semua ini dengan perusahaan.’‘Mama dan papa tidak memihak siapa pun selain dirimu, Aleta. Yang kami inginkan hanyalah kebahagiaanmu semata. Jadi … pertimbangkan baik-baik keputusanmu.’Kata-kata sang mama kembali terngiang. Semudah inikah Leon menyerah untuknya? UntukLucien? Ya, tentu saja dirinya tak bisa dibandingkan dengan kursi tertinggi di Thobias Group.Aleta menghela napas pan
“Kau benar-benar tak punya hati, Bastian. Anak kita nyaris mati dan kau masih saja sibuk memikirkan Aleta?” Mata Berlian digenangi air mata yang meleleh membasahi kedua pipinya. Tersedu oleh isakannya yang semakin menjadi. “Atau kau merasa bersedih karena anak ini tidak jadi mati? Dan menganggapnya sebagai batu sandungan untuk kisah cintamu dan Aleta?”Bastian mendesah gusar. “Berhenti bersandiwara, Berlian. Kau sendirilah yang bermain-main dengan nyawanya. Kau pikir aku tak tahu kau melakukan kenekatan ini untuk menarik simpati Aleta? Sehingga dia harus terpaksa mundur. Jangan pikir aku tak tahu kelicikanmu. Aku tak setolol itu.”Wajah Berlian membeku, meski tak terlalu terkejut dengan tuduhan Bastian yang memang benar adanya. Ya, keduanya tahu akan kelembutan dan kepolosan hati Aleta, yang di matanya malah tampak seperti sebuah ketololan. Ia hanya perlu mengundang simpati dan rasa iba Aleta, untuk mendapatkan apa yang diinginkannya dari wanita bodo