Aleta menelan ludahnya. Keheningan di antara mereka terasa sangat menyesakkan dengan ancaman Leon yang terasa menggantung di atas kepalanya. Wajahnya pucat pasi, berbanding terbalik dengan senyum yang melengkung lebar di bibir Leon. “Habiskan makananmu, setelah ini kita berlanjut, membicarakan tentang masa depan pernikahan kita. Juga … anak dalam kandunganmu.” Mata Aleta mengerjap terkejut. Wajahnya yang sudah sepucat mayat tak bisa lebih pucat lagi. “A-anak? Apa maksudmu, Leon?” Suara Aleta seperti tercekik. Ia memahami keadaan pernikahan mereka yang sangat jauh dari kata baik-baik saja. Dan mungkin memang perlu dibicarakan tentang kesepakatan-kesepakatan yang akan menguntungkan Leon lebih banyak lagi. Namun, anak? Apa yang perlu mereka bicarakan? Apakah … apakah Leon akan menceraikannya? “Tidak. Aku tak akan menceraikanmu.” Leon seolah menangkap apa yang tengah muncul di benak Aleta. “L-lalu kenapa kita ha
Tangan Aleta sudah terjulur, hendak meraih pakaian apa pun untuk menutupi ketelanjangannya ketika pintu dibanting dari luar, terjemblak sepenuhnya dan Bastian berdiri di ambang pintu. Pandangan keduanya bertemu, tubuh Bastian membeku menatap wajah sepucat mayat Aleta. Duduk di ranjang dengan salah satu tangan berada di dada. Menahan selimut demi menutupi ketelanjangan gadis itu. Kepalanya menggeleng pilu, menyaksikan pemandangan yang selalu berhasil memporak-porandakan perasaannya. Wajah Aleta tertunduk dalam, tak tahan dengan tatapan penuh luka yang terpampang di wajah pucat Bastian. Bahkan pria itu masih mengenakan pakaian rumag sakit dan seharusnya masih berada dalam pengawasan intens dokter setelah operasi besar. Entah bagaimana pria itu bisa sampai di tempat ini dan melihatnya dalam keadaan memalukan seperti ini. “Sepertinya kalian butuh bicara,” sela Leon. Membelah keheningan menyesakkan antara Aleta dan Bastian. Berdiri bersandar pada pinggiran pintu dengan kedua tangan me
Aleta hanya berbaring di ranjang sejak Leon pergi tiga jam yang lalu. Sama sekali tak berminat melakukan apa pun, terutama dengan Leon yang tak akan mengganggunya hingga besok siang. Betapa ia berharap perjalanan bisnis Leon lebih lama lagi dan ia bisa memiliki lebih banyak waktu untuk tenggelam dalam patah hatinya. Sejak tadi pagi, pikirannya tak berhenti dipenuhi tentang keadaan Bastian. Bayangan kesedihan di wajah pria itu tak pernah lenyap dari benaknya. Masih terasa nyata di ingatannya. Mengiris hatinya hingga tak ada lagi yang bisa dihancurkan. Suara bel apartemen membangunkan Aleta yang baru saja tertidur. Kepalanya terasa pusing. Terlalu banyak berbaring dan belum menyuapkan apa pun ke dalam mulut selain segelas susu ibu hamilnya. Setelah duduk sejenak untuk meredakan rasa pusing di kepala, ia lekas keluar dari kamar dan membuka pintu. "Aleta?" Yoanna tersenyum lebar dan lang
Yoanna tak berhenti meremas kedua tangannya dengan gugup di depan pintu putih. Berjalan mondar-mandir dengan kecemasan yang memucatkan wajah cantiknya. Suara sepatu hak tinggi yang beradu dengan lantai bergema di lorong yang sunyi tersebut. Telapak tangannya mulai basah oleh keringat, setiap detik terasa seperti mencengkeram dadanya dengan lebih keras. Sesekali tangannya merogok sapu tangan di dalam tas untuk menyeka pelipisnya yang berkeringat. Cemas akan apa yang terjadi dengan sang menantu. Pintu yang terbuka segera membekukan langkahnya, kedua kakinya gegas menghampiri wanita yang mengenakan jas putih yang baru saja keluar tersebut. “Apa yang terjadi dengan menantu saya, Dok?” cecarnya pada sang dokter. Kedua tangannya memegang lengan dokter Tyas, nyaris mencengkeram dengan napas yang setengah tersengal. Dokter Tyas mengambil kedua tangan Yoanna, menggenggam dengan lembut demi menenangkan kecema
“Mengancam?” Aleta kembali dikejutkan dengan informasi tersebut. Monica mengangguk. “Dia benar-benar sudah berubah, Aleta. Sejak kau pergi, papamu jadi lebih murung dan sering mengurung diri di ruang kerjanya. Entah memikirkanmu atau Leon, sepertinya lebih banyak karena pekerjaan. Papamu hanya cemas jika Leon melakukan sesuatu padamu, jadi dia hanya mengatakan pada mama untuk menuruti semua yang diinginkan Leon dari kami.” Aleta menjilat bibirnya yang kering. Mencerna penjelasan sang mama yang masih tak bisa dirabanya dengan baik. “Sebenarnya ada masalah apa dengan Leon dan mamanya?” Bibir Monica sudah membentuk celah, tetapi hanya helaan panjang yang keluar dari sana. Kepala wanita itu kemudian menggeleng. “Sebaiknya kau tak perlu tahu. Di antara mereka, entah siapa yang harus dibenarkan.” Kerutan di antara kedua alis Aleta semakin menukik tajam. Kebungkaman mamanya membuatnya menahan rasa penasaran yang m
Alih-alih membawanya ke restoran mewah atau di restoran hotel bintang lima seperti yang sebelumnya Leon lakukan, malam itu Leon membawanya ke sebuah café sederhana yang ada di kawasan pinggir kota. Aleta sudah merasa ada yang janggal dengan keinginan Leon yang tiba-tiba tersebut. Terutama dengan pria itu yang memastikannya mengenakan pakaian yang membuatnya nyaman. Saat mobil mulai menjauh dari kawasan gedung apartemen, mobil semakin menjauh dari pusat kota. Dan semakin Aleta menyadari, keduanya menuju area yang begitu familiar di ingatannya. Café El, saksi bisu cintanya dan Bastian. Juga tempatnya mengalami kecelakaan yang membuat kakinya lumpuh karena menyelamatkan pria itu. Kepucatan di wajah Aleta menarik seringai Leon semakin tinggi. “Kenapa? Kau tak merindukan tempat ini?” Aleta bergeming, menatap café yang tampak sunyi. Tak ada satu pun pelanggan seperti setiap kali ia dan Bastian berkunjung. Me
Berbanding terbalik dengan wajah Aleta yang seketika memucat. Kepalanya bergerak naik, menatap mobil yang berhenti tepat di depan mereka. Ya, itu mobil Bastian. “Tetap di tempatmu,” ucap Leon sebelum melompat turun dan mengunci pintu mobil. Aleta berusaha membuka pintu mobil dengan sia melihat Bastian yang juga turun dari mobil. Pandangan Bastian sejenak menatap ke tempatnya sebelum kembali pada Leon dengan penuh amarah. Keduanya pria itu saling berhadap-hadapan. Bastian yang penuh ketegangan, berbanding terbalik dengan Leon yang bersikap sangat tenang. Satu-satunya yang Aleta cemaskan hanyalah satu, Leon akan mengatakan tentang hubungan kedua pria itu pada Bastian. *** “Ck, lagi-lagi kau merusak kesenanganku, Bastian,” gerutu Leon dengan nada kesal yang dibuat-buat. Kedua tangannya dimasukkan ke dalam saku. “Lepaskan Aleta, Leon. Kau sudah mendapatkan semu
Suara denting lift yang kembali terdengar dari arah belakang Bastian segera membekukan keduanya. Aleta sedikit mencondongkan tubuhnya, mengintip Leonlah yang melangkah keluar dari dalam lift. Kesiap pelan dari celah bibir Aleta pun membuat Bastian menyadari siapa yang datang. Pria itu melengkungkan senyum tipis untuk Aleta dan berjalan menuju pintu keluar rumah sakit. Leon tentu saja menyadari siapa yang baru saja bicara dengan sang istri. Pandangan pria itu tak lepas dari punggung Bastian yang melewati pintu putar sepanjang langkahnya menghampiri Aleta. “Hanya sesaat aku melepaskan pandangan darimu, dan inilah yang kalian lakukan?” dengus Leon ketika berhenti tepat di depan Aleta. Wajah gadis itu tidak pucat, tapi tak mengatakan apa pun untuk menyangkal apalagi mengiyakan. “Aku ingin pulang.” Suara Aleta datar dan dingin. Berusaha bangun dari duduknya. Ujung bibir Leon menipis tajam, melihat Aleta yang sed
Leon menatap wajah Aleta yang dibasahi oleh peluh. Rintihan, erangan, jeritan serta ringisan di wajah Aleta membuatnya seluruh tubuhnya membeku. Membuatnya merasa begitu tak berdaya melihat rasa sakit yang tengah dialami oleh sang istri. Tangannya diremas oleh Aleta, hingga buku-buku jari gadis itu memutih. Akan tetapi, ia sama sekali tak merasakan apa pun meski kuku panjang Aleta menusuk dan meninggalkan bekas yang dalam di sana. Rasa sakit yang ia dapatkan dari cengkeraman Aleta jelas tak bisa dibandingkan dengan rasa sakit yang mendera perut sang istri. Yang tengah berjuang melahirkan buah hati mereka berdua. Dokter dan perawat tak berhenti mengarahkan Aleta untuk mengatur napas. Kapan saatnya untuk menahan dan mengembuskannya. Dan kapan saatnya untuk mengejan. Fokus Leon hanya pada wajah Aleta yang memucat dan basah oleh keringat. Salah satu telapak tangannya yang bergetar mengusap kening Aleta.
Suara denting lift yang kembali terdengar dari arah belakang Bastian segera membekukan keduanya. Aleta sedikit mencondongkan tubuhnya, mengintip Leonlah yang melangkah keluar dari dalam lift. Kesiap pelan dari celah bibir Aleta pun membuat Bastian menyadari siapa yang datang. Pria itu melengkungkan senyum tipis untuk Aleta dan berjalan menuju pintu keluar rumah sakit. Leon tentu saja menyadari siapa yang baru saja bicara dengan sang istri. Pandangan pria itu tak lepas dari punggung Bastian yang melewati pintu putar sepanjang langkahnya menghampiri Aleta. “Hanya sesaat aku melepaskan pandangan darimu, dan inilah yang kalian lakukan?” dengus Leon ketika berhenti tepat di depan Aleta. Wajah gadis itu tidak pucat, tapi tak mengatakan apa pun untuk menyangkal apalagi mengiyakan. “Aku ingin pulang.” Suara Aleta datar dan dingin. Berusaha bangun dari duduknya. Ujung bibir Leon menipis tajam, melihat Aleta yang sed
Berbanding terbalik dengan wajah Aleta yang seketika memucat. Kepalanya bergerak naik, menatap mobil yang berhenti tepat di depan mereka. Ya, itu mobil Bastian. “Tetap di tempatmu,” ucap Leon sebelum melompat turun dan mengunci pintu mobil. Aleta berusaha membuka pintu mobil dengan sia melihat Bastian yang juga turun dari mobil. Pandangan Bastian sejenak menatap ke tempatnya sebelum kembali pada Leon dengan penuh amarah. Keduanya pria itu saling berhadap-hadapan. Bastian yang penuh ketegangan, berbanding terbalik dengan Leon yang bersikap sangat tenang. Satu-satunya yang Aleta cemaskan hanyalah satu, Leon akan mengatakan tentang hubungan kedua pria itu pada Bastian. *** “Ck, lagi-lagi kau merusak kesenanganku, Bastian,” gerutu Leon dengan nada kesal yang dibuat-buat. Kedua tangannya dimasukkan ke dalam saku. “Lepaskan Aleta, Leon. Kau sudah mendapatkan semu
Alih-alih membawanya ke restoran mewah atau di restoran hotel bintang lima seperti yang sebelumnya Leon lakukan, malam itu Leon membawanya ke sebuah café sederhana yang ada di kawasan pinggir kota. Aleta sudah merasa ada yang janggal dengan keinginan Leon yang tiba-tiba tersebut. Terutama dengan pria itu yang memastikannya mengenakan pakaian yang membuatnya nyaman. Saat mobil mulai menjauh dari kawasan gedung apartemen, mobil semakin menjauh dari pusat kota. Dan semakin Aleta menyadari, keduanya menuju area yang begitu familiar di ingatannya. Café El, saksi bisu cintanya dan Bastian. Juga tempatnya mengalami kecelakaan yang membuat kakinya lumpuh karena menyelamatkan pria itu. Kepucatan di wajah Aleta menarik seringai Leon semakin tinggi. “Kenapa? Kau tak merindukan tempat ini?” Aleta bergeming, menatap café yang tampak sunyi. Tak ada satu pun pelanggan seperti setiap kali ia dan Bastian berkunjung. Me
“Mengancam?” Aleta kembali dikejutkan dengan informasi tersebut. Monica mengangguk. “Dia benar-benar sudah berubah, Aleta. Sejak kau pergi, papamu jadi lebih murung dan sering mengurung diri di ruang kerjanya. Entah memikirkanmu atau Leon, sepertinya lebih banyak karena pekerjaan. Papamu hanya cemas jika Leon melakukan sesuatu padamu, jadi dia hanya mengatakan pada mama untuk menuruti semua yang diinginkan Leon dari kami.” Aleta menjilat bibirnya yang kering. Mencerna penjelasan sang mama yang masih tak bisa dirabanya dengan baik. “Sebenarnya ada masalah apa dengan Leon dan mamanya?” Bibir Monica sudah membentuk celah, tetapi hanya helaan panjang yang keluar dari sana. Kepala wanita itu kemudian menggeleng. “Sebaiknya kau tak perlu tahu. Di antara mereka, entah siapa yang harus dibenarkan.” Kerutan di antara kedua alis Aleta semakin menukik tajam. Kebungkaman mamanya membuatnya menahan rasa penasaran yang m
Yoanna tak berhenti meremas kedua tangannya dengan gugup di depan pintu putih. Berjalan mondar-mandir dengan kecemasan yang memucatkan wajah cantiknya. Suara sepatu hak tinggi yang beradu dengan lantai bergema di lorong yang sunyi tersebut. Telapak tangannya mulai basah oleh keringat, setiap detik terasa seperti mencengkeram dadanya dengan lebih keras. Sesekali tangannya merogok sapu tangan di dalam tas untuk menyeka pelipisnya yang berkeringat. Cemas akan apa yang terjadi dengan sang menantu. Pintu yang terbuka segera membekukan langkahnya, kedua kakinya gegas menghampiri wanita yang mengenakan jas putih yang baru saja keluar tersebut. “Apa yang terjadi dengan menantu saya, Dok?” cecarnya pada sang dokter. Kedua tangannya memegang lengan dokter Tyas, nyaris mencengkeram dengan napas yang setengah tersengal. Dokter Tyas mengambil kedua tangan Yoanna, menggenggam dengan lembut demi menenangkan kecema
Aleta hanya berbaring di ranjang sejak Leon pergi tiga jam yang lalu. Sama sekali tak berminat melakukan apa pun, terutama dengan Leon yang tak akan mengganggunya hingga besok siang. Betapa ia berharap perjalanan bisnis Leon lebih lama lagi dan ia bisa memiliki lebih banyak waktu untuk tenggelam dalam patah hatinya. Sejak tadi pagi, pikirannya tak berhenti dipenuhi tentang keadaan Bastian. Bayangan kesedihan di wajah pria itu tak pernah lenyap dari benaknya. Masih terasa nyata di ingatannya. Mengiris hatinya hingga tak ada lagi yang bisa dihancurkan. Suara bel apartemen membangunkan Aleta yang baru saja tertidur. Kepalanya terasa pusing. Terlalu banyak berbaring dan belum menyuapkan apa pun ke dalam mulut selain segelas susu ibu hamilnya. Setelah duduk sejenak untuk meredakan rasa pusing di kepala, ia lekas keluar dari kamar dan membuka pintu. "Aleta?" Yoanna tersenyum lebar dan lang
Tangan Aleta sudah terjulur, hendak meraih pakaian apa pun untuk menutupi ketelanjangannya ketika pintu dibanting dari luar, terjemblak sepenuhnya dan Bastian berdiri di ambang pintu. Pandangan keduanya bertemu, tubuh Bastian membeku menatap wajah sepucat mayat Aleta. Duduk di ranjang dengan salah satu tangan berada di dada. Menahan selimut demi menutupi ketelanjangan gadis itu. Kepalanya menggeleng pilu, menyaksikan pemandangan yang selalu berhasil memporak-porandakan perasaannya. Wajah Aleta tertunduk dalam, tak tahan dengan tatapan penuh luka yang terpampang di wajah pucat Bastian. Bahkan pria itu masih mengenakan pakaian rumag sakit dan seharusnya masih berada dalam pengawasan intens dokter setelah operasi besar. Entah bagaimana pria itu bisa sampai di tempat ini dan melihatnya dalam keadaan memalukan seperti ini. “Sepertinya kalian butuh bicara,” sela Leon. Membelah keheningan menyesakkan antara Aleta dan Bastian. Berdiri bersandar pada pinggiran pintu dengan kedua tangan me
Aleta menelan ludahnya. Keheningan di antara mereka terasa sangat menyesakkan dengan ancaman Leon yang terasa menggantung di atas kepalanya. Wajahnya pucat pasi, berbanding terbalik dengan senyum yang melengkung lebar di bibir Leon. “Habiskan makananmu, setelah ini kita berlanjut, membicarakan tentang masa depan pernikahan kita. Juga … anak dalam kandunganmu.” Mata Aleta mengerjap terkejut. Wajahnya yang sudah sepucat mayat tak bisa lebih pucat lagi. “A-anak? Apa maksudmu, Leon?” Suara Aleta seperti tercekik. Ia memahami keadaan pernikahan mereka yang sangat jauh dari kata baik-baik saja. Dan mungkin memang perlu dibicarakan tentang kesepakatan-kesepakatan yang akan menguntungkan Leon lebih banyak lagi. Namun, anak? Apa yang perlu mereka bicarakan? Apakah … apakah Leon akan menceraikannya? “Tidak. Aku tak akan menceraikanmu.” Leon seolah menangkap apa yang tengah muncul di benak Aleta. “L-lalu kenapa kita ha