"Iya dia sangat spesial, jadi jangan menangis!"
Bianca mundur dari tempatnya berdiri. "Lalu aku harus bagaimana, Mas?" Tanya Bianca pasrah. Dia tidak bisa berpikir dalam kondisi seperti ini. Bianca berharap siapapun dapat menolongnya saat ini. Hatinya sedang tidak baik-baik saja."Cukup seperti biasanya saja." Jawab Dewa."Sampai kapan? Apa selamanya akan seperti ini." Tatap Bianca sendu.Dewa mengangguk. "Kita akan selamanya bersama.""Apa tidak cukup hanya aku?""Memang hanya kamu, Bi."Bianca semakin terisak. Jadi dia hanya akan berperan sebagai nyonya Dewangga, sedangkan nyonya yang sesungguhnya sengaja disembunyikan. Bianca menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan.Dewa semakin mengernyit bingung, bukankah wanita akan senang menjadi satu-satunya, lalu, kenapa Bianca justru kembali terisak. Dia berjalan mendekati Bianca, mengambil kedua tangan Bianca."Tolong jangan menangis, Bi. Saya harus b"Mas, ada telepon." Kata Bianca dengan nafas terengah-engah."Biarkan saja!" Dewa kesal. Kegiatannya harus terhenti oleh panggilan telepon entah dari siapa."Tapi—"Itu tidak lebih penting dari ini, Bi!" Ucap Dewa, dia kembali melanjutkan kegiatan mereka yang terhenti dengan tiba-tiba.Namun, layaknya pengganggu yang tidak mau kalah. Ponsel Bianca terus berdering membuat Dewa tanpa sadar mengumpat.Dewa terpaksa melepas tubuh Bianca dari cumbuannya. Dia melangkah mundur, membiarkan Bianca mengambil ponselnya.Dengan nafas yang kembali terengah, Bianca menggeser tombol hijau untuk menjawab."Assalamualaikum Ma." Sapa Bianca begitu panggilan tersambung."Waalaikumsalam Bian, kamu sedang apa? Kenapa nafas kamu seperti itu?" Jawab Mama Maria. Iya. Orang yang mengganggu kegiatan sore mereka adalah Mama Maria. Mama Maria mendapatkan kabar jika anak dan menantunya sudah tidak berada di paris. Karena tidak ada
'SAHHHH!!!'Samar-samar suara dari ruangan akad memasuki kamar ganti pengantin. Bianca menghembuskan nafas lemas, status jomblo akutnya kini sudah berubah menjadi seorang istri.Masih tak menyangka hanya dalam waktu dua bulan status yang dimilikinya selama 23 tahun bisa berubah begitu saja."Selamat ya, Bian!" Cantika tersenyum mengejek.Sedangkan Bianca tersenyum kecut, "Awas ya, gue sumpahin lo nikah sama musuh lo, biar ngerasain gimana rasanya jadi gue!""Amit-amit jangan sampai." Cantika mengepalkan tangan, lalu memukul ringan dahi juga tembok yang kebetulan ada disebelahnya.Bianca terkekeh sebentar, sebelum kembali memajukan bibirnya.Sebenarnya pernikahan ini tidak diinginkannya. Bianca mencintai pria lain, pria yang selama ini mengisi hati dan pikirannya.Kalau tidak karena terpaksa, pernikahan ini tidak akan terjadi. Seandainya Bianca mempunyai saudara perempuan, ia akan menolak mentah-mentah ide perjodohan ini. Dia akan lebih memilih mengejar pria idamannya. Pria dingin ber
"Mas Dewa?""Ini beneran Mas Dewa?" Bianca masih tak percaya jika pria yang di hadapannya adalah orang yang barusan dicarinya.Dewa diam tak menyahut, tangan kanannya terulur sebagai jawaban dari pertanyaan Bianca.Bianca yang masih bingung, tak segera menyambut uluran tangan Dewa. Membuat sang empu merasa kesal. "Cium tangan saya, Bianca!"Bianca yang baru tersadar dari rasa terkejutnya segera meraih tangan Dewa. Mencium tangan suaminya dengan takzim. Senyumnya merekah, raut murungnya hilang entah kemana.Setelah itu ganti Dewa yang mencium kening Bianca. Wanita itu memejamkan mata, menikmati kecupan Dewa yang membuat hatinya berbunga-bunga. Dewa adalah pria pertama yang mencium keningnya.Hanya mendapatkan ciuman di kening saja sudah membuat kaki Bianca lemas apalagi di bagian lainnya. Bianca tidak berhenti tersenyum, jika ini mimpi, Bianca berharap tidak akan bangun saja. Dewa sendiri mencium kening Bianca cukup lama, pria itu juga sempat berucap lirih, sehingga menimbulkan keruta
Sampai di dalam kamar, Dewa menurunkan Bianca di dekat ranjang. Setelah itu ia masuk ke dalam kamar mandi tanpa mengucapkan apa-apa.Meninggalkan Bianca yang sejak tadi menahan nafas agar tidak dijatuhkan secara tiba-tiba di lantai hotel.Pintu kamar mandi yang sudah tertutup membuat Bianca bisa bernafas lega. Bianca melepas sepatu terlebih dahulu sebelum berjalan menuju meja rias untuk melihat penampilannya saat ini."Gini ya rasanya jadi ratu semalam." Gumamnya. Bianca mulai melepaskan mahkota, anting dan juga aksesoris yang menempel di tubuhnya.Tubuhnya terasa sangat lelah, terutama di bagian kaki. Bianca memijat pelan kakinya untuk meredakan rasa sakit yang cukup mengganggu sepanjang hari.Tak terasa sudah sepuluh menit Dewa menggunakan kamar mandi. Bianca yang sudah mulai lelah, memilih untuk merebahkan tubuhnya diatas ranjang sambil menunggu Dewa selesai.Baru saja terpejam pintu kamar mandi sudah terbuka. Menampilkan Dewa dengan bathrobe yang membungkus tubuh tegapnya.Meliha
Setelah berganti pakaian Bianca bingung harus tidur dimana. Jika boleh memilih dirinya akan langsung tidur disebelah suaminya. Namun, Bianca juga ragu, takut jika nantinya Dewa marah karena sudah lancang tidur di sebelahnya.Bianca tidak ingin hal itu terjadi, ia mendapatkan Dewa secara cuma-cuma, mana mungkin ia membuat kesalahan dengan membuat pujaan hatinya marah."Apa yang kamu lakukan, Bianca!" Suara Dewa membuat langkah Bianca yang sejak tadi mondar-mandir langsung terhenti. Wanita itu melihat Dewa masih dengan posisi tidur dan mata terpejam."Kamu mengganggu tidur saya!" Lanjut Dewa matanya terbuka lebar."Maaf Mas." Ucap Bianca. Bukannya takut dengan tatapan tajam Dewa, Bianca justru membalas tatapan itu dengan cengiran."Aku tidur dimana ya, Mas?" Tanya Bianca penuh harap, sangat berharap bisa tidur disamping pria itu."Kamu tidak sedang menyuruhku tidur di sofa, kan?" Dewa balik bertanya, matanya memicing semakin tajam.Bianca menggeleng keras, "Tidak.. Tidak… bukan seperti
Tok tok tok"Dewa… Bianca.."Langkah Dewa terhenti, ia hendak membalik badan tapi urung karena melihat gerak-gerik Bianca yang terlihat lega."Kita akan bahas nanti." Ucap Dewa sebelum menghilang membuka pintu.Bianca mengerucutkan bibir, sepertinya Dewa tidak akan dengan mudah membiarkannya lolos.Bianca kembali menatap ke jendela, menatap ke bawah melihat kendaraan lalu lalang. Pantas saja jantungnya berdebar kencang, ternyata suaminya berada di satu ruangan dengannya."Pagi, Bian." Sapa MariaBianca membalik badan, tersenyum melihat Maria kemudian mendekat untuk mencium tangan mertuanya."Pagi, Ma." "Baru bangun ya? Duh maafin Dewa ya, Bian. Anak Mama ternyata ganas juga." Maria terkekeh, sedangkan Dewa memutar bola mata jengah meski itu tidak boleh dia lakukan."Mama, sudah makan?" Bianca mengalihkan pembicaraan."Sudah. Oh iya setelah ini kalian tinggal sama Mama ya." Itu bukan pertanyaan melainkan permintaan dari Maria.Semenjak Dewa dewasa, Dewa pindah ke apartemen membuat Mari
Bianca mendorong wanita yang memeluk suaminya dengan kasar hingga pelukan mereka terlepas. Ia langsung memberikan tamparan kepada wanita itu.Plak"Apa yang kamu lakukan pada suamiku, jalang?" Amuk Bianca.Wanita itu meringis kesakitan, tenaga yang dikeluarkan Bianca cukup keras hingga membuat bibirnya sobek.Dewa yang sebelumnya shock segera maju membantu wanita yang sudah ditampar oleh Bianca."Kamu.." Dewa menunjuk Bianca dengan suara beratnya."Berani sekali kamu menampar kekasihku!" Lanjut Dewa penuh amarah.Kini Bianca yang shock, Dewa membela wanita itu. Bahkan, Dewa bilang wanita itu adalah kekasihnya.Lihatlah, Dewa sekarang sedang melihat luka di bibir wanita itu. "Mas.. tapi, aku istrimu! Aku tidak suka melihatmu berpelukan dengan wanita lain, apalagi di rumah kita!" Protes Bianca."Rumah kita? Jangan mimpi Bianca! Ini rumah saya, saya berhak menyuruh siapapun datang kesini!" Sentak De
Selesai dengan berbelanja, Dewa tidak langsung mengarahkan mobilnya ke arah apartemen. Dewa justru menepikan mobilnya di salah satu restoran terdekat yang menjual masakan nusantara.Bianca yang tadinya asyik memperhatikan jalan beralih menatap suaminya yang sudah berhasil menepi dan mendapat lahan parkir."Kita makan dulu." Ucap Dewa saat mobilnya sudah terparkir dengan benar."Nggak makan di apartemen aja, Mas?" Bianca memperhatikan Dewa yang sedang melepas seatbelt, suaminya itu bahkan tidak menoleh ke arahnya saat berbicara."Kalau kamu tidak mau, biar saya saja!" Kali ini Dewa sudah membuka pintu mobil, tubuh tegapnya sudah turun dari mobil. Dewa menutup pintu mobil tanpa melihat ke arah Bianca seolah dirinya hanya sendiri.Bianca menghembuskan nafas pelan, meski sedikit kecewa karena niatnya untuk pertama kali masak untuk sang suami gagal, ia tetap menyemangati dirinya sendiri. "Tenang, Bian! Masih banyak waktu buat masakin Mas Dewa! Semangat!" Bianca mencoba tersenyum lalu ik
"Mas, ada telepon." Kata Bianca dengan nafas terengah-engah."Biarkan saja!" Dewa kesal. Kegiatannya harus terhenti oleh panggilan telepon entah dari siapa."Tapi—"Itu tidak lebih penting dari ini, Bi!" Ucap Dewa, dia kembali melanjutkan kegiatan mereka yang terhenti dengan tiba-tiba.Namun, layaknya pengganggu yang tidak mau kalah. Ponsel Bianca terus berdering membuat Dewa tanpa sadar mengumpat.Dewa terpaksa melepas tubuh Bianca dari cumbuannya. Dia melangkah mundur, membiarkan Bianca mengambil ponselnya.Dengan nafas yang kembali terengah, Bianca menggeser tombol hijau untuk menjawab."Assalamualaikum Ma." Sapa Bianca begitu panggilan tersambung."Waalaikumsalam Bian, kamu sedang apa? Kenapa nafas kamu seperti itu?" Jawab Mama Maria. Iya. Orang yang mengganggu kegiatan sore mereka adalah Mama Maria. Mama Maria mendapatkan kabar jika anak dan menantunya sudah tidak berada di paris. Karena tidak ada
"Iya dia sangat spesial, jadi jangan menangis!"Bianca mundur dari tempatnya berdiri. "Lalu aku harus bagaimana, Mas?" Tanya Bianca pasrah. Dia tidak bisa berpikir dalam kondisi seperti ini. Bianca berharap siapapun dapat menolongnya saat ini. Hatinya sedang tidak baik-baik saja."Cukup seperti biasanya saja." Jawab Dewa."Sampai kapan? Apa selamanya akan seperti ini." Tatap Bianca sendu.Dewa mengangguk. "Kita akan selamanya bersama.""Apa tidak cukup hanya aku?" "Memang hanya kamu, Bi." Bianca semakin terisak. Jadi dia hanya akan berperan sebagai nyonya Dewangga, sedangkan nyonya yang sesungguhnya sengaja disembunyikan. Bianca menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan.Dewa semakin mengernyit bingung, bukankah wanita akan senang menjadi satu-satunya, lalu, kenapa Bianca justru kembali terisak. Dia berjalan mendekati Bianca, mengambil kedua tangan Bianca. "Tolong jangan menangis, Bi. Saya harus b
"Mas.. aku baik-baik saja." Kadang Bianca bingung sendiri, sebenarnya Dewa ini khawatir dengannya atau hanya mencari cela agar mereka bisa segera pulang."Baik-baik saja apanya? Lihatlah wajahmu memerah." Dewa tidak mudah percaya. Dia bisa diamuk 4 orang sekaligus jika Bianca beberapa kali jatuh sakit saat sedang liburan.Bianca meraih tangan Dewa yang masih berdiri di samping tempatnya berbaring. Bianca membutuhkan tambahan tenaga untuk bisa membuat Dewa duduk di dekatnya.Saat sudah berhasil membuat Dewa duduk di dekatnya Bianca mengambil kedua tangan Dewa untuk diletakkan di kedua pipinya. "Tidak panas, kan?"Dewa menggeleng. "Ok." Dewa menarik kembali tangannya, dia sudah hendak berdiri lagi, akan tetapi, Bianca menarik kembali tangannya."Apalagi?" Bianca tampak malu-malu untuk mengucapkannya. "Boleh aku belajar saat ini?" Dewa mengernyit, "Kamu mau belajar apa?"Bi
Bianca tidak berhenti memegang bibirnya meski saat ini dia sedang berada di dalam pesawat. Matanya enggan terpejam, takut jika dia bangun semuanya hanya mimpi semata.Dewa disebelahnya duduk dengan tenang, membaca buku yang sengaja dibaca disaat seperti ini. Perjalanan panjang yang akan sangat membosankan jika hanya diisi dengan tidur saja."Masih kurang?" Tanya Dewa. Matanya sejak tadi melirik tingkah Bianca yang tidak berhenti tersenyum sambil menyentuh bibirnya."Eh." Bianca salah tingkah. "Lebih hebat siapa saya atau pria yang kamu cintai?" Tanya Dewa tanpa menoleh."Ini pertama kalinya buatku, Mas." Jawab Bianca malu. Dia tadi terlihat sekali jika belum memiliki pengalaman. Dia hanya mengikuti nalurinya saja. Apa yang dilakukan oleh Dewa, dia akan melakukan hal yang sama."Bagus." Ucap Dewa lirih."Apanya Mas?" Tanya Bianca tidak paham dengan jawaban Dewa."Buku yang
"Sudah siap semuanya?" Tanya Dewa setelah mengecek ulang barang-barang mereka yang mungkin saja masih tertinggal."Sudah semua Mas." Bianca menutup kopernya. "Ayo." Ajak Dewa sudah siap membawa dua koper."Mas." Panggil Bianca ragu-ragu."Ada apa? Apa masih ada yang terlewatkan." Tanya Dewa. "Banyak." Batin Bianca."Apa kita tidak membuat kenangan terlebih dahulu untuk kita kenang nantinya?" Liburan yang Bianca harapkan harus cepat berakhir karena dia terkena flu. Tentu saja Bianca sedih. Dia sudah berharap banyak dengan bulan madu ini. Nyatanya baru menginap dua malam, mereka sudah akan kembali ke negara mereka."Sudah ada lebih dari satu kenangan yang bisa kamu ingat." Sahut Dewa."Kenangan yang mana?" Bianca sampai harus mengernyitkan dahi untuk mengingat-ingat kejadian apa yang bisa dikenang."Oke, saya sebutkan satu per satu. Dengarkan baik-baik. Pertama, kamu melakukan pelecehan kepada saya." De
Dewa sudah mulai makan sejak lima menit yang lalu, akan tetapi, Bianca masih setia berdiam diri sambil melihat Dewa makan."Mas." Panggil Bianca.Dewa mengangkat kepala sebagai ganti sahutan."Mau." Rengek Bianca. Jika sedang tidak enak badan, Bianca akan menjadi wanita manja yang tidak ingat umur.Dewa menelan makanannya lalu meminum seteguk baru menjawab. "Kemari dan makan." Dewa menyuruh Bianca turun dari ranjang untuk ikut bergabung duduk di sofa bersama dirinya.Bianca bangkit lalu berjalan mendekat. Dia duduk di sebelah kiri Dewa.Dewa mengambil satu piring makanan pembuka untuk Bianca, tetapi, wanita itu menolak. "Tidak. Aku mau makan itu saja." Dia menunjuk piring yang ada di depan Dewa.Dewa mengangguk, lalu mengambil piring yang masih penuh dan menyerahkannya ke Bianca. "Cepat makan dan minum obatmu." Titah Dewa yang lagi-lagi ditolak Bianca."Aku tidak mau. Aku mau itu Mas." Bianca masih menunjuk tepa
"Aku mencintaimu, Mas." Batin Bianca. Saat ini Bianca hanya berani mengatakannya dalam hati. Dia belum mempunyai keberanian untuk mengungkapkan perasaannya. Perasaan takut selalu datang saat Bianca ingin mengucapkan tiga kata itu. Dewa tidak sabar menunggu Bianca menjawab. "Kamu tidak mau menyebut siapa orangnya?"Bianca tampak ragu sebelum menjawab. "Kamu."Dewa mengernyit, alisnya dinaikkan satu, "Ada apa dengan saya? Kenapa bertanya balik." Kata Dewa salah paham. Padahal Bianca sudah menjawab pertanyaannya. Mungkin karena Bianca menjawab dengan ragu-ragu jadi Dewa mengartikan ucapannya sebagai pertanyaan. Bianca mengikuti saja apa yang dipahami Dewa. Dia juga penasaran dengan perasaan Dewa. Adakah wanita yang mengisi relung hatinya, ataukah tempat itu masih kosong. Jika benar kosong, Bianca akan maju nomor satu untuk mengisinya dengan senang hati. "Apa Mas Dewa juga sedang mencintai seseorang?" Tanya Bianca.Jantung Bianca berdegup k
Bianca berjalan menjauh dari Dewa setelah mencium pipi suaminya. Dia sangat malu saat ini, tadi dia melakukannya reflek saat melihat orang yang ada di depannya juga melakukan hal yang sama.Bianca sampai melupakan jika ponselnya masih berada di tangan Dewa. Dia terus berjalan tak tentu arah untuk menormalkan lagi debar jantungnya. Meski dia pernah datang kesini, nyatanya banyak perubahan yang terjadi di sekitarnya. Dia tak akan ingat jika hanya berkunjung sesekali. Saat debaran jantungnya sudah kembali normal dia menoleh ke belakang, dia mengira Dewa akan mengikutinya, ternyata tidak. Pria itu tidak ada di belakangnya. Bianca mulai panik, dia tidak memegang ponselnya, sedangkan itu alat komunikasi satu-satunya yang dia miliki."Aduh gimana ini? Mana aku tadi asal jalan aja." Bianca panik sendiri, pikirannya mulai kosong. Dia bahkan memikirkan beberapa kemungkinan yang baginya sangat cocok dengan kondisinya saat ini."Gimana ka
"Mohon maaf Pak menurut pantauan cctv, tidak ada kesalahan dalam pemasangan label check in.""Oke. Terimakasih atas waktunya." Dewa menutup panggilan teleponnya. Jika bukan kesalahan dari pihak maskapai tentu saja ini jelas ulah orang tuanya sendiri. Pantas saja dia merasa ada yang aneh saat menaruh koper di bagasi. Disana ada kotak yang ditutup dengan kain berwarna hitam."Gimana Mas?" Tanya Bianca yang berdiri di sampingnya. Wanita itu masih mengenakan bathrobe setelah selesai mandi.Dewa menggeleng, lalu menempelkan kembali ponselnya di telinga. Menunggu beberapa saat sebelum panggilannya mulai tersambung."Telepon siapa?" Tanya Bianca dengan suara pelan.Dewa memberi kode agar Bianca diam dengan jari telunjuknya ditaruh di mulutnya sendiri. Bianca mengangguk, lalu sedikit menjauh."Assalamualaikum Ma.""Waalaikumsalam." Jawab Mama Maria. Papa Hasan yang berada satu ruangan dengan Mama Maria berjalan mendekat, dia ing