Selesai dengan berbelanja, Dewa tidak langsung mengarahkan mobilnya ke arah apartemen. Dewa justru menepikan mobilnya di salah satu restoran terdekat yang menjual masakan nusantara.
Bianca yang tadinya asyik memperhatikan jalan beralih menatap suaminya yang sudah berhasil menepi dan mendapat lahan parkir."Kita makan dulu." Ucap Dewa saat mobilnya sudah terparkir dengan benar."Nggak makan di apartemen aja, Mas?" Bianca memperhatikan Dewa yang sedang melepas seatbelt, suaminya itu bahkan tidak menoleh ke arahnya saat berbicara."Kalau kamu tidak mau, biar saya saja!" Kali ini Dewa sudah membuka pintu mobil, tubuh tegapnya sudah turun dari mobil. Dewa menutup pintu mobil tanpa melihat ke arah Bianca seolah dirinya hanya sendiri.Bianca menghembuskan nafas pelan, meski sedikit kecewa karena niatnya untuk pertama kali masak untuk sang suami gagal, ia tetap menyemangati dirinya sendiri. "Tenang, Bian! Masih banyak waktu buat masakin Mas Dewa! Semangat!" Bianca mencoba tersenyum lalu ikut turun mengejar langkah suaminya yang sudah menjauh. Terlihat dari kaca restoran, Suaminya sudah akan duduk di salah satu kursi dekat dengan kaca.Bianca mempercepat langkah kakinya, dari tempatnya ia bisa melihat seorang pelayan baru saja pergi dari meja suaminya.Belum juga pelayan itu menjauh, seorang wanita dengan dandanan menor berjalan menghampiri suaminya.Bianca yang mencium bau-bau wanita penggoda segera melangkah lebih cepat. Namun jarak antara dirinya dan meja yang cukup jauh membuat wanita itu hampir berhasil duduk di depan Dewa jika saja suara Bianca tidak mengusik pendengarannya."Mas… kok aku ditinggal sih!" Ia sengaja mengucapkannya dengan keras dan manja. Berhasil. Wanita itu menoleh ke belakang, mencari sumber suara. Dewa sendiri menaikkan alis mendengar nada bicara Bianca yang berubah menjadi manja. Bianca juga tak sungkan langsung menggeser tubuh wanita itu, hingga wanita itu hampir saja terjatuh jika refleknya jelek.Bianca menyerobot duduk di seberang kursi Dewa tanpa mengucapkan maaf. Matanya menghunus tajam ke wanita berdandan menor itu. "Tante siapa ya?" Wanita itu tampak kesal begitu mendengar pertanyaan Bianca."Ini adik kamu?" Tanya wanita itu kepada Dewa, mengabaikan Bianca begitu saja."Enak saja! Saya istrinya!" Sahut Bianca tak terima.Wanita itu terkejut, tapi, tak juga langsung percaya. "Ini beneran istri kamu?" Wanita itu masih menatap Dewa, menunggu jawaban dari pria yang sudah begitu menggoda di hadapannya.Dewa mengangguk saja, ia tak berniat melayani dua wanita yang siap bertarung itu."Dibilangin juga ngeyel banget sih, Tan! Udah sana! Hush hush hush!" Usir Bianca seperti mengusir kucing, mengibaskan kedua tangannya.Wanita itu semakin kesal, rencana untuk menggaet pria tampan gagal. Wanita yang belum sempat memperkenalkan diri itu pergi dengan wajah murung dan langkah kaki yang sengaja di hentak-hentakan.Setelah wanita itu jauh dari meja mereka, Bianca langsung mencerca Dewa dengan beberapa pertanyaan."Mas kenal dengan wanita itu? Kok Mas diam saja sih? Harusnya itu Mas bilang kalau sudah beristri! Mas nggak lupa kan kalau sekarang sudah beristri?"Rentetan pertanyaan itu belum sempat terjawab, sudah datang pelayan mengantarkan pesanan Dewa.Bianca yang masih kesal segera mengambil minuman yang baru saja di taruh oleh pelayan.GlekGlekBianca menandaskan minuman itu hingga setengah, membuat Dewa dan pelayan heran dengan tingkahnya. Sebegitu haus kah, Bianca?Merasa sudah selesai menyajikan pesanan, pelayanan itu pamit dari meja mereka.Bianca kembali bertanya ketika pelayan itu sudah menjauh dari meja. "Mas… jawab dong!"Dewa mengangkat bahu acuh."Makanlah!" Titah Dewa.Bianca mengerucutkan bibir kesal, baru hitungan hari menjadi istri seorang Dewangga Arka Prayoga sudah membuat energinya terkuras."Jawab dulu, Mas." Pinta Bianca sekali lagi.Dewa menulikan telinga, Dewa kembali menyuruh Bianca makan."Makan!!" "Ma- aaas." Dewa menyuapi Bianca ikan nila bakar yang dipesannya. Dengan mulut penuh Bianca mencoba melanjutkan ucapannya.Bianca mengunyah dengan pelan-pelan, baru menelannya."Enak?" Tanya Dewa."Enak Mas… mau lagi dong.. aaaah." Bianca membuka mulutnya meminta Dewa menyuapinya kembali."Fungsikan tanganmu dengan benar, Bi!"****Sampai di apartemen, Dewa meletakkan barang belanjanya di dapur. Bianca yang berada di belakangnya segera memilah mana yang akan dimasukkan ke dalam lemari es dan rak atas.Bianca lebih dulu memasukkan makanan instan di dalam rak, setelahnya baru membersihkan ikan dan juga ayam hingga bersih lalu memasukkannya ke dalam lock n lock.Dewa mengamati istrinya yang sedang asyik memisahkan barang belanjaannya. Dewa duduk di bar stool, melihat Bianca yang bergerak kesana kemari. Dewa yang tahu jika istrinya selesai, segera menyibukkan diri dengan ponselnya. Padahal tidak ada yang penting, tangannya hanya menscroll aplikasi."Mas…" Dewa mendongak, menatap Bianca yang sudah ada di depannya."Mau makan lagi gak?" Tanya Bianca, melihat Dewa duduk di bar stool membuatnya berpikir jika suaminya masih belum kenyang."Apa saya terlihat seperti orang yang kelaparan setelah menghabiskan satu setengah porsi saat di restoran?"Saat itu juga Bianca menyesal sudah menanyakan pertanyaan yang salah kepada suaminya. Sepertinya Bianca mempunyai pekerjaan rumah baru, yaitu mencari tahu semua kebiasaan dari suaminya itu."Baiklah. Maaf aku tidak bermaksud membuang-buang makanan, hanya saja perutku sedang tidak bisa diisi terlalu banyak.""Pantas saja tubuhmu kurus, ternyata kamu salah satu wanita yang anti makan saat malam hari!"Bianca menggeleng tak terima, "Mas salah paham. Aku suka makan kok! Hanya saja perutku sedang tidak bisa diajak kompromi."Tanpa merespon, Dewa pergi meninggalkan dapur menuju ruang bersantai. Menyalakan televisi, mencari channel tentang dunia bisnis.Bianca berinisiatif membuatkan minuman hangat untuk suaminya. Bianca memilih teh chamomile sebagai minuman untuk mereka bersantai.Selesai membuat dua cangkir teh chamomile hangat, Bianca membawanya langsung menggunakan kedua tangannya tanpa bantuan nampan. Bianca berjalan menghampiri suaminya yang tampak serius melihat berita di televisi. Pesona Dewa selalu bisa membuat Bianca terpesona, meski tanpa tersenyum Dewa selalu mampu membuat wanita di sekitarnya mendekat. Entah seberapa besar magnet yang dipunya oleh suaminya.Bianca menaruh dua cangkir teh diatas meja. Satu di depan dirinya, yang satu lagi di depan suaminya. "Minum dulu, Mas. Mumpung masih hangat.""Terimakasih." Bianca tersenyum, lalu ikut duduk di samping suaminya. Bianca yang tidak terlalu suka dengan bisnis, menatap malas layar 42 inch yang ada di depannya.Lima menit Bianca mampu bertahan melihat seorang presenter membawakan acara tentang bisnis, selebihnya Bianca lebih memilih memandangi wajah suaminya.Di awal-awal Dewa mengabaikan Bianca yang terang-terangan menatap dirinya dari samping kanannya. Lama-lama Dewa tidak tahan karena pandangan Bianca terasa begitu mengganggu.Dewa sedikit menyerongkan tubuhnya menghadap Bianca. "Apa ada yang menarik di wajah saya?"Bianca mengangguk, "Banyak — Eh!" Bianca menutup mulutnya. "Apa ada yang mengganggu pikiranmu?" Tanya Dewa serius.Bianca nampak menimbang-nimbang apa ini waktu yang tepat atau tidak. Sebelum menjawab, Bianca menarik nafas lalu menghembuskan dengan pelan. "Iya. Boleh aku tanya sesuatu?""Hm."Bianca bertanya dengan suara lirih, "Pernikahan ini… Apa untuk selamanya?"
Flashback"Dimana mempelai pria nya? Ini sudah terlambat sepuluh menit, sebentar lagi saya juga harus menikahkan orang lain." "Pak tolong tunggu sebentar, anak saya pasti sebentar lagi sampai." Ucap seorang pria paruh baya.Acara yang sudah seharusnya dimulai sejak sepuluh menit yang lalu harus tertunda karena mempelai pria tidak kunjung hadir.Semua sanak keluarga mencoba mencari keberadaan Langit, sang mempelai pria. Namun tidak ada yang menemukan keberadaannya.Tari, ibu dari Langit tampak berdiri tidak tenang dengan ditemani sang suami."Pa, bagaimana ini?" Tanya nya panik."Harusnya kamu jaga anakmu itu! Kenapa kamu biarkan dia pergi kemarin." Indra bukannya menenangkan justru membuat istrinya bertambah panik.Sedangkan Rianti dan Aditama Renaldy, orang tua dari mempelai wanita menahan amarah sekaligus rasa malu. Meski saat acara akad hanya dihadiri keluarga besar dari kedua mempelai, berita seperti ini akan mudah tersebar apalagi
Flashback off"Mas." Tegur Bianca saat tidak mendapatkan respon dari suaminya.Dewa yang tersadar langsung menjawab, "Iya." "Iya?" Bianca memastikan dengan mesam mesem."Maksud saya—Dewa menggantung ucapannya, ia bingung untuk menjelaskannya, ia bilang iya karena reflek setelah ia tersadar dari lamunan."Aku paham." Ucap Bianca dengan nada kecewa."Apa kamu tidak mencari tahu keberadaan Langit?" Tanya Dewa."Langit? Entahlah aku tidak peduli kepadanya.”“Kenapa? apa karena dia sudah mengecewakanmu?” Tanya Dewa, jujur saja Dewa sudah sangat penasaran karena semenjak tahu Langit menghilang, Dewa tidak melihat raut khawatir maupun ingin tahu dari wanita yang sedang berada tepat di sebelah kanannya.Bianca menggeleng sebagai jawaban. kini Bianca merubah posisi sepenuhnya menghadap televisi.“Kita bukan sepasang kekasih, aku yakin Mas Dewa pasti sudah tahu fakta itu.”D
Di ranjang, ia melihat Bianca tidur sambil meringkuk membelakangi posisinya saat ini. Dewa tidak langsung bergabung di ranjang, ia memasuki kamar mandi terlebih dahulu untuk membersihkan diri dari keringat dan berganti pakaian.Sebenarnya Dewa lebih suka tidur dengan tidak menggunakan kaos atau piyama, dia lebih suka topless, namun, setelah menikah, mau tidak mau Dewa menghilangkan kebiasaannya. Selesai berganti pakaian, Dewa duduk di tepi ranjang, ia samar-samar mendengar Bianca sedang merintih kesakitan. Untuk lebih memastikannya, Dewa menggeser tubuhnya mendekati Bianca. Wanita itu semakin meringkuk dengan beberapa keringat di dahi. Melihat itu, Dewa mengambil remote AC yang berada di nakas samping ranjang. "Suhu AC nya tidak tinggi, kenapa tubuhnya berkeringat seperti itu." Dewa bertanya pada dirinya sendiri."Bi… Bi… Kamu sakit?" Panggil Dewa pelan.Bianca hanya merespon dengan gumaman saja. Dewa ragu-ragu menempelkan tangannya di dahi Bianca. Suhu tubuh Bianca normal, lantas
"Apa aku sudah melakukan sesuatu." Gumam Dewa tak yakin. Jika memang bercak merah ini karena ulahnya, harusnya Dewa tidak melupakan hal itu, bagaimanapun itu adalah hal yang sayang jika tidak dinikmati dengan benar.Pikiran Dewa kembali kotor, hingga Dewa harus menggeleng-gelengkan kepalanya beberapa kali. "Tapi, jika bukan noda karena itu, lalu ini, apa?" Tanyanya heran.Dewa mendengar suara gemericik dari dalam kamar mandi. Untuk memastikannya Dewa akan bertanya langsung kepada Bianca.Dewa sudah berdiri di depan pintu kamar mandi, hendak mengetuk, tapi, lebih dulu Bianca membuka pintu. "Eh Mas Dewa udah bangun." Ucap Bianca sedikit kaget. Tadi dia terbangun karena rasa tidak nyaman."Kamu mau kemana?" Melihat Bianca sudah rapi seperti hendak pergi.Bianca nyengir, "Aku mau ke supermarket di bawah.""Apa tidak bisa nanti saja?" Dewa memicing tidak suka, ini masih memasuki waktu subuh, dan istrinya sudah mau pergi keluar. Apa pandangan or
Dewa kembali tidak lama setelah Bianca, pria itu langsung pergi ke kamar yang sudah disulap menjadi tempat gym.Kebiasaan Dewa setelah menunaikan kewajibannya adalah berolahraga. Meski semalam ia sudah melakukannya, pagi ini dia tetap melakukannya kembali agar rutinitasnya tetap terjaga.Sedangkan Bianca sudah sibuk dengan peralatan memasak setelah membersihkan kamar. Hari ini Bianca akan memasak yang spesial untuk suaminya. Ia sudah antusias sejak semalam.Sebenarnya Dewa cukup sering makan di restorannya, mengingat tempat kerja suaminya itu tidak jauh dari restoran miliknya.Namun, Bianca tidak memasaknya sendiri karena sudah ada koki yang membantunya disana. Bianca justru lebih suka untuk mengamati suaminya daripada berada di dapur.Sesekali Dewa makan bersama klien dan wanita cantik yang kemarin datang kesini. Kadang terlihat sendirian saat makan malam. Waktu itu Bianca sangat ingin untuk sekedar menyapa sebagai cucu dari sa
Dewa berjalan mendekati Bianca yang masih sibuk dengan masakannya. Wanita itu menyanggul rambutnya, memperlihatkan leher jenjangnya, ia juga menggunakan apron. Dewa meletakkan gelas yang sudah kosong ke dalam sink, ia berniat mencucinya langsung, namun, Bianca segera melarangnya. "Biar aku saja, Mas. Mas Dewa mandi dulu, sebentar lagi masakannya matang." Ucap Bianca masih dengan spatula di tangan kanannya. "Baiklah." Dewa menurut, ia meninggalkan dapur dengan perut yang semakin keroncongan. Dewa masuk ke dalam kamar, ia melihat saat ini masih jam 6.30 biasanya ia selesai olahraga jam 7 pagi. "Ini pasti karena semalam sudah berolahraga." Gumam Dewa saat memasuki kamar mandi. Seperti pria pada umumnya, Dewa tidak memerlukan waktu yang lama untuk mandi. Saat keluar dari kamar mandi, Dewa melihat kemeja, celana, jas dan dasi sudah siap di atas ranjang. Dewa memakainya lalu menuju meja makan, di meja sudah ada nasi goreng, jus jeruk
Belum sempat masuk kamar mandi ponsel Bianca berdering. Wanita itu melihat terlebih dahulu siapa yang menelponnya sepagi ini."Nomor asing?" Gumam Bianca melihat sederet angka menghiasi layar ponselnya.Bianca mengabaikannya, ia menaruh kembali ponselnya di atas ranjang. Belum mulai melangkah ponselnya kembali berdering dengan nomor yang sama.Dengan sedikit kesal, Bianca menggeser tombol berwarna hijau. Bianca akan mengomel, namun, suara di seberang lebih dulu mendominasi."Assalamualaikum Bianca, ini Mama. Maaf ya mengganggu pagi-pagi."Bianca meneguk ludah, bersyukur tidak jadi mengomel, jika tidak, hancur sudah reputasinya sebagai menantu."Waalaikumsalam Ma, tidak mengganggu kok, ada apa Ma?" "Hari ini kamu ada di apartemen, kan?""Hari ini Bian mau ke restoran, Ma." Jawab Bianca sambil menyiapkan pakaian yang akan dipakainya."Iya sudah, nanti Mama mampir kesana saja. Assalamualaikum.""
[ Lima menit lagi Mama sampai. ]Bianca meletakkan ponselnya setelah membalas pesan dari mertuanya. Bianca bergegas turun untuk menyambut kedatangan mertuanya.Di lantai bawah tidak banyak tamu yang datang, karena belum waktunya makan siang, hanya ada beberapa meja yang terisi.Dari tempatnya berdiri, Bianca bisa melihat ada mobil yang baru saja parkir. Benar saja ibu mertuanya itu keluar dari pintu penumpang.Bianca keluar untuk menyambut kedatangan mertuanya."Assalamualaikum Ma." Bianca mencium tangan Maria dengan takzim."Waalaikumsalam anak Mama yang cantik." Jika dibandingkan dengan Tari, ibu dari Langit, Maria jauh lebih terlihat ramah dan baik hati. Bukan maksud Bianca mengatakan Tari tidak baik, hanya saja tatapan wanita itu tidak terlihat setulus Maria."Apa kabar, Mama yang cantik?" Ganti Bianca yang memuji Maria. Bianca juga mempersilahkan Maria masuk ke dalam ruangannya yang berada di lantai dua."Alhamdulillah Mama baik, kamu sendiri gimana sama Dewa?""Alhamdulillah kam
"Mas, ada telepon." Kata Bianca dengan nafas terengah-engah."Biarkan saja!" Dewa kesal. Kegiatannya harus terhenti oleh panggilan telepon entah dari siapa."Tapi—"Itu tidak lebih penting dari ini, Bi!" Ucap Dewa, dia kembali melanjutkan kegiatan mereka yang terhenti dengan tiba-tiba.Namun, layaknya pengganggu yang tidak mau kalah. Ponsel Bianca terus berdering membuat Dewa tanpa sadar mengumpat.Dewa terpaksa melepas tubuh Bianca dari cumbuannya. Dia melangkah mundur, membiarkan Bianca mengambil ponselnya.Dengan nafas yang kembali terengah, Bianca menggeser tombol hijau untuk menjawab."Assalamualaikum Ma." Sapa Bianca begitu panggilan tersambung."Waalaikumsalam Bian, kamu sedang apa? Kenapa nafas kamu seperti itu?" Jawab Mama Maria. Iya. Orang yang mengganggu kegiatan sore mereka adalah Mama Maria. Mama Maria mendapatkan kabar jika anak dan menantunya sudah tidak berada di paris. Karena tidak ada
"Iya dia sangat spesial, jadi jangan menangis!"Bianca mundur dari tempatnya berdiri. "Lalu aku harus bagaimana, Mas?" Tanya Bianca pasrah. Dia tidak bisa berpikir dalam kondisi seperti ini. Bianca berharap siapapun dapat menolongnya saat ini. Hatinya sedang tidak baik-baik saja."Cukup seperti biasanya saja." Jawab Dewa."Sampai kapan? Apa selamanya akan seperti ini." Tatap Bianca sendu.Dewa mengangguk. "Kita akan selamanya bersama.""Apa tidak cukup hanya aku?" "Memang hanya kamu, Bi." Bianca semakin terisak. Jadi dia hanya akan berperan sebagai nyonya Dewangga, sedangkan nyonya yang sesungguhnya sengaja disembunyikan. Bianca menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan.Dewa semakin mengernyit bingung, bukankah wanita akan senang menjadi satu-satunya, lalu, kenapa Bianca justru kembali terisak. Dia berjalan mendekati Bianca, mengambil kedua tangan Bianca. "Tolong jangan menangis, Bi. Saya harus b
"Mas.. aku baik-baik saja." Kadang Bianca bingung sendiri, sebenarnya Dewa ini khawatir dengannya atau hanya mencari cela agar mereka bisa segera pulang."Baik-baik saja apanya? Lihatlah wajahmu memerah." Dewa tidak mudah percaya. Dia bisa diamuk 4 orang sekaligus jika Bianca beberapa kali jatuh sakit saat sedang liburan.Bianca meraih tangan Dewa yang masih berdiri di samping tempatnya berbaring. Bianca membutuhkan tambahan tenaga untuk bisa membuat Dewa duduk di dekatnya.Saat sudah berhasil membuat Dewa duduk di dekatnya Bianca mengambil kedua tangan Dewa untuk diletakkan di kedua pipinya. "Tidak panas, kan?"Dewa menggeleng. "Ok." Dewa menarik kembali tangannya, dia sudah hendak berdiri lagi, akan tetapi, Bianca menarik kembali tangannya."Apalagi?" Bianca tampak malu-malu untuk mengucapkannya. "Boleh aku belajar saat ini?" Dewa mengernyit, "Kamu mau belajar apa?"Bi
Bianca tidak berhenti memegang bibirnya meski saat ini dia sedang berada di dalam pesawat. Matanya enggan terpejam, takut jika dia bangun semuanya hanya mimpi semata.Dewa disebelahnya duduk dengan tenang, membaca buku yang sengaja dibaca disaat seperti ini. Perjalanan panjang yang akan sangat membosankan jika hanya diisi dengan tidur saja."Masih kurang?" Tanya Dewa. Matanya sejak tadi melirik tingkah Bianca yang tidak berhenti tersenyum sambil menyentuh bibirnya."Eh." Bianca salah tingkah. "Lebih hebat siapa saya atau pria yang kamu cintai?" Tanya Dewa tanpa menoleh."Ini pertama kalinya buatku, Mas." Jawab Bianca malu. Dia tadi terlihat sekali jika belum memiliki pengalaman. Dia hanya mengikuti nalurinya saja. Apa yang dilakukan oleh Dewa, dia akan melakukan hal yang sama."Bagus." Ucap Dewa lirih."Apanya Mas?" Tanya Bianca tidak paham dengan jawaban Dewa."Buku yang
"Sudah siap semuanya?" Tanya Dewa setelah mengecek ulang barang-barang mereka yang mungkin saja masih tertinggal."Sudah semua Mas." Bianca menutup kopernya. "Ayo." Ajak Dewa sudah siap membawa dua koper."Mas." Panggil Bianca ragu-ragu."Ada apa? Apa masih ada yang terlewatkan." Tanya Dewa. "Banyak." Batin Bianca."Apa kita tidak membuat kenangan terlebih dahulu untuk kita kenang nantinya?" Liburan yang Bianca harapkan harus cepat berakhir karena dia terkena flu. Tentu saja Bianca sedih. Dia sudah berharap banyak dengan bulan madu ini. Nyatanya baru menginap dua malam, mereka sudah akan kembali ke negara mereka."Sudah ada lebih dari satu kenangan yang bisa kamu ingat." Sahut Dewa."Kenangan yang mana?" Bianca sampai harus mengernyitkan dahi untuk mengingat-ingat kejadian apa yang bisa dikenang."Oke, saya sebutkan satu per satu. Dengarkan baik-baik. Pertama, kamu melakukan pelecehan kepada saya." De
Dewa sudah mulai makan sejak lima menit yang lalu, akan tetapi, Bianca masih setia berdiam diri sambil melihat Dewa makan."Mas." Panggil Bianca.Dewa mengangkat kepala sebagai ganti sahutan."Mau." Rengek Bianca. Jika sedang tidak enak badan, Bianca akan menjadi wanita manja yang tidak ingat umur.Dewa menelan makanannya lalu meminum seteguk baru menjawab. "Kemari dan makan." Dewa menyuruh Bianca turun dari ranjang untuk ikut bergabung duduk di sofa bersama dirinya.Bianca bangkit lalu berjalan mendekat. Dia duduk di sebelah kiri Dewa.Dewa mengambil satu piring makanan pembuka untuk Bianca, tetapi, wanita itu menolak. "Tidak. Aku mau makan itu saja." Dia menunjuk piring yang ada di depan Dewa.Dewa mengangguk, lalu mengambil piring yang masih penuh dan menyerahkannya ke Bianca. "Cepat makan dan minum obatmu." Titah Dewa yang lagi-lagi ditolak Bianca."Aku tidak mau. Aku mau itu Mas." Bianca masih menunjuk tepa
"Aku mencintaimu, Mas." Batin Bianca. Saat ini Bianca hanya berani mengatakannya dalam hati. Dia belum mempunyai keberanian untuk mengungkapkan perasaannya. Perasaan takut selalu datang saat Bianca ingin mengucapkan tiga kata itu. Dewa tidak sabar menunggu Bianca menjawab. "Kamu tidak mau menyebut siapa orangnya?"Bianca tampak ragu sebelum menjawab. "Kamu."Dewa mengernyit, alisnya dinaikkan satu, "Ada apa dengan saya? Kenapa bertanya balik." Kata Dewa salah paham. Padahal Bianca sudah menjawab pertanyaannya. Mungkin karena Bianca menjawab dengan ragu-ragu jadi Dewa mengartikan ucapannya sebagai pertanyaan. Bianca mengikuti saja apa yang dipahami Dewa. Dia juga penasaran dengan perasaan Dewa. Adakah wanita yang mengisi relung hatinya, ataukah tempat itu masih kosong. Jika benar kosong, Bianca akan maju nomor satu untuk mengisinya dengan senang hati. "Apa Mas Dewa juga sedang mencintai seseorang?" Tanya Bianca.Jantung Bianca berdegup k
Bianca berjalan menjauh dari Dewa setelah mencium pipi suaminya. Dia sangat malu saat ini, tadi dia melakukannya reflek saat melihat orang yang ada di depannya juga melakukan hal yang sama.Bianca sampai melupakan jika ponselnya masih berada di tangan Dewa. Dia terus berjalan tak tentu arah untuk menormalkan lagi debar jantungnya. Meski dia pernah datang kesini, nyatanya banyak perubahan yang terjadi di sekitarnya. Dia tak akan ingat jika hanya berkunjung sesekali. Saat debaran jantungnya sudah kembali normal dia menoleh ke belakang, dia mengira Dewa akan mengikutinya, ternyata tidak. Pria itu tidak ada di belakangnya. Bianca mulai panik, dia tidak memegang ponselnya, sedangkan itu alat komunikasi satu-satunya yang dia miliki."Aduh gimana ini? Mana aku tadi asal jalan aja." Bianca panik sendiri, pikirannya mulai kosong. Dia bahkan memikirkan beberapa kemungkinan yang baginya sangat cocok dengan kondisinya saat ini."Gimana ka
"Mohon maaf Pak menurut pantauan cctv, tidak ada kesalahan dalam pemasangan label check in.""Oke. Terimakasih atas waktunya." Dewa menutup panggilan teleponnya. Jika bukan kesalahan dari pihak maskapai tentu saja ini jelas ulah orang tuanya sendiri. Pantas saja dia merasa ada yang aneh saat menaruh koper di bagasi. Disana ada kotak yang ditutup dengan kain berwarna hitam."Gimana Mas?" Tanya Bianca yang berdiri di sampingnya. Wanita itu masih mengenakan bathrobe setelah selesai mandi.Dewa menggeleng, lalu menempelkan kembali ponselnya di telinga. Menunggu beberapa saat sebelum panggilannya mulai tersambung."Telepon siapa?" Tanya Bianca dengan suara pelan.Dewa memberi kode agar Bianca diam dengan jari telunjuknya ditaruh di mulutnya sendiri. Bianca mengangguk, lalu sedikit menjauh."Assalamualaikum Ma.""Waalaikumsalam." Jawab Mama Maria. Papa Hasan yang berada satu ruangan dengan Mama Maria berjalan mendekat, dia ing