“Apa dia perempuan yang Mas cintai? Perempuan yang selama ini Mas tunggu untuk dinikahi?”
Mas Afnan terlihat kaget dengan perkataanku barusan. Mungkin dia kaget karena aku tahu soal fakta itu.
“Tolong jawab, Mas!” desakku.
Mas Afnan malah meraup wajah kasar. Dia menatapku dengan tak biasa. “Kenapa kamu seperti ini, Safa? Kita hanya menikah secara kontrak.”
Hatiku mencelos. Kenapa Mas Afnan baru mau membuka suara hanya untuk mengingatkan fakta itu? Aku benar-benar tak habis fikir. Mataku terpejam singkat menahan gemuruh yang semakin bergejolak dalam dada. Sepasang tanganku mengepal.
“Mas tahu kita hanya nikah kontrak, lalu apa arti dari semua sikap baik kamu selama ini, Mas? Cuma sandiwara? Mas sengaja melakukan itu untuk mempermainkan perasaan aku?” cecarku lagi mengeluarkan semua emosi yang terpendam selama ini.
Aku semakin geram karena Mas Afnan tak menjawab apa-apa. Baiklah! Jika benar Mas A
“Tolong, beri aku kesempatan untuk memperbaiki semuanya.”Aku tercengang. Aku tidak sedang berkhayal atau semacamnya, ‘kan? Lelaki yang sejak hari pertama setelah akad dilangsungkan sampai kemarin malam terang-terangan menolakku, malam ini justru meminta kesempatan padaku atas pernikahan ini? Apa dia sedang kerasukan jin lagi?Apapun itu, aku sudah berjanji pada diriku sendiri untuk tidak mudah luluh dengan semua perbuatan baiknya. Itu hanya menipu. Setelah ini, Mas Afnan pasti akan melakukan sesuatu yang membuatku patah hati lagi.Aku tersenyum hambar, lalu menggeleng samar. Kali ini sandiwaramu tidak akan mempan. Apalagi, membuatku luluh. Tidak akan lagi aku tertipu sama sikap manis kamu.“Maaf, aku nggak bisa.” Setelah berucap demikian, aku langsung melengos pergi melewatinya. Sebelum benar-benar masuk ke dalam, aku kembali memutar tubuh saat mencapai depan pintu untuk menghadap Mas Afnan lagi. “Aku tunggu surat perc
‘Safa maafkan aku. Sepertinya malam ini aku tidak pulang lagi. Jangan lupa kunci pintu! Dan jangan tidur terlalu malam.’Aku tersenyum miris membaca pesan yang dikirimkan Mas Afnan beberapa menit lalu. Terulang lagi. Sungguh, aku sama sekali tak mengerti dengan jalan fikiran Mas Afnan. Sudah kuduga dari awal. Ia memang tak serius mau memperbaiki hubungan kami. Toh, dia juga belum bisa menjaga jarak dari perempuan itu.Mataku terpejam disertai butir-butir air mata yang mengalir. Segala fikiran negatif mulai bersarang di otakku memikirkan apa saja yang tengah mereka lakukan berdua sampai malam begini. Ya Allah ... Ya Allah ... sesakit inikah resiko yang kuambil karena mencintai lelaki yang tak mencintai aku?Mungkin, sekarang adalah waktunya. Aku juga lelah karena menjadi satu-satunya yang berharap dalam pernikahan ini. Sudah saatnya semua berakhir.Menghela nafas pelan, aku bangkit dari sofa, mengunci pintu lantas beranjak menuju kamar. Besok p
“Katanya besok pagi baru pulang," ucap seorang tetangga dekat rumah Nenek saat aku datang ke sana dan mendapati rumah itu sepi.Aku menghela nafas lesu. Lagi-lagi niatku untuk mengutarakan keputusanku menggugat cerai Mas Afnan pada Nenek harus urung. Aku menatap nanar amplop putih di tangan. Padahal, aku sudah mati-matian mempersiapkan mental untuk memberikan ini saat di TPA tadi.Terpaksa, aku kembali pulang ke rumah Mas Afnan. Amplop putih berisi gugatan tulisan tanganku itu kusimpan kembali dalam tas. Sepanjang perjalanan aku terus berfikir, apakah ini cara semesta menunjukkan padaku kalau aku tak boleh berpisah dari suamiku? Karena setiap kali aku mantap memutuskan, selalu saja ada kendala yang menghalangi.Apakah ini pertanda kalau aku harus memberikan kesempatan pada Mas Afnan? Mencoba percaya lagi padanya? Aku benar-benar bingung. Memikirkan semua ini, kepalaku serasa mau meledak saja!“Safa!”Pandanganku yang sejak tadi te
Malam belum usai dan aku masih dalam pelukan gelap yang menggantungkan jawaban. Mas Afnan bergerak semakin mendekat, tapi juga penuh kehati-hatian. Seolah takut sentuhannya akan menyinggung lukaku yang belum sembuh.Aku hanya diam dengan perasaan yang bergejolak tak karuan saat bibir Mas Afnan menyentuh keningku perlahan, seperti meminta izin. Setelahnya, dia menatapku dengan dalam.“Tapi masih banyak yang kamu sembunyikan, ‘kan?”Aku terhenyak melihat sepasang matanya yang langsung meredup sedetik aku berucap demikian. Dalam suasana kamar yang terang ini aku melihat ada tatapan lain yang ia pancarkan. Seperti tatapan takut, dilema dan sedih secara bersamaan.“Aku minta maaf, Safa. Aku benar-benar minta maaf. Kamu boleh melampiaskan kemarahan yang kamu pendam selama ini dengan apa saja, tapi tolong jangan pergi. Aku butuh kamu. Aku mau mempertahankan rumah tangga kita.” Suaranya terdengar lirih dan parau.Aku membuka m
“Aku ingin memberi kesempatan sekali lagi ... untuk Mas Afnan,” jawabku sambil menatap Nilam yang kini terbelalak. “Kamu serius?” Aku mengangguk dengan yakin. Aku akan kembali percaya. Memberi kesempatan kedua pada hubungan kami. Pada Mas Afnan. “Kenapa mendadak gini? Kamu ... udah cerita soal niat kamu yang mau pisah itu?” Aku menahan nafas sesaat. Kilas balik tentang ingatan saat Mama yang pertama kali menemukan surat itu, membuat perasaan sesalku seakan menghimpit dada. Seandainya waktu bisa diputar kembali. Ingin rasanya aku menarik kembali tindakanku itu. Aku sadar, aku ceroboh. Aku terlalu terburu-buru mengambil keputusan tanpa mau mendiskusikan dulu bersama Mas Afnan. Menghela nafas singkat, aku lantas mengangguk. Senyum tipis kuperlihatkan pada Nilam yang kini tengah menatapku bingung. “Mas Afnan ingin bertahan dengan pernikahan ini. Dia bilang ... dia akan berusaha mencintai aku.” Nilam tersenyum lebar dan menepuk punggungku. “Aku nggak bisa bantu banyak. Yang menjalani
Sentuhan yang terasa lembut di kepalaku membuatku terusik. Aku mengerjapkan kedua bola mataku perlahan dan langsung mencari-cari keberadaan Mas Afnan. Dan ternyata ... dia sudah bangun. Sedang menatapku dengan posisi duduk bersandar. Aku tak dapat menahan senyum legaku saat kulihat wajah suamiku itu tak sepucat semalam. Aku menyentuh dahi Mas Afnan lagi. Alhamdulillah, demamnya sudah benar-benar turun. "Safa ...," panggil Mas Afnan terdengar lirih di telingaku. Aku yang saat itu tengah membenahi bekas kompresannya menoleh. Dengan senyum tipis, aku mendekat padanya lagi. Duduk tepat di depannya di pinggir ranjang. "Ada ap—" Kalimatku sontak terputus saat Mas Afnan tiba-tiba menarikku dalam dekapannya. Mataku terbelalak lebar. Detak jantungku nyaris berhenti rasanya. “Terima kasih,” bisik Mas Afnan tepat di telingaku. Aku menelan ludah susah payah, kemudian mengangguk. Ternyata sikap mencair Mas Afnan sudah mulai terlihat. Tapi, tetap saja aku tak boleh terlalu berharap tinggi
Entah sudah keberapa kali aku menguap karena menahan kantuk, dalam menyimak persidangan atas kasus yang dialami oleh Paman dari sahabatku, Nilam. Kalau bukan karena kasihan, tentu sudah sejak tadi aku meninggalkan ruangan ini. Tak betah sekali rasanya. Belum lagi, telinga yang terasa panas mendengar adu debat yang dilakukan kuasa hukum tersangka dengan kuasa hukum penuntut.“Masih lama nggak sih selesainya, Nil?” tanyaku dengan mata berair karena efek menahan kantuk ini. “Aku udah nggak kuat, aku keluar duluan aja ya.”Aku sudah bangun dari kursi dan hendak pergi, tetapi urung saat Nilam memegang tanganku. “Yah, Saf. Bentar dulu,” cegahnya dengan tatapan memelas. Tatapan yang membuatku merasa tak tega meninggalkannya.Aku menghela nafas pelan. Baiklah! Aku akan bersabar menunggu sebentar lagi. Selang beberapa menit kemudian, pandanganku spontan menoleh ke arah Nilam begitu hasil sidang diputuskan. Dia mendesah panjang dengan tatapan penuh kekecewaan karena kasus yang dialami pamannya
Dengan langkah-langkah yang lebar, aku keluar dari TPA tempat mengajar dan langsung mengambil sepeda yang terparkir di halaman. Jantungku bergejolak cepat, hampir mengimbangi kayuhan pada laju sepeda yang kunaiki kini menuju Puskesmas.Sepanjang perjalanan itu fikiranku amat kacau, membayangkan akan kondisi Nenek setelah mendapat kabar bahwa beliau baru saja jatuh dari kamar mandi. Semoga ia baik-baik saja, tak terbayang sehancur apa aku nanti kalau Nenek sampai kenapa-napa.Begitu sampai di Puskesmas, aku langsung melangkah masuk ke dalam dan mempertanyakan keberadaan Nenek pada Resepsionis yang berjaga.“Terima kasih, Sus.” Aku langsung berlari menuju kamar yang Suster itu katakan dan terenyak diam saat melihat Nenek yang terbaring di brankar. Senyum di wajahnya yang sudah mengkeriput itu muncul melihatku datang.“Nenek!” Aku langsung berlari menghampiri Nenek dan menangis di sana. “Nenek nggak kenapa-napa, kan?”Nenek tersenyum, lalu menggeleng. Satu tangannya terjulur mengusap pun
Sentuhan yang terasa lembut di kepalaku membuatku terusik. Aku mengerjapkan kedua bola mataku perlahan dan langsung mencari-cari keberadaan Mas Afnan. Dan ternyata ... dia sudah bangun. Sedang menatapku dengan posisi duduk bersandar. Aku tak dapat menahan senyum legaku saat kulihat wajah suamiku itu tak sepucat semalam. Aku menyentuh dahi Mas Afnan lagi. Alhamdulillah, demamnya sudah benar-benar turun. "Safa ...," panggil Mas Afnan terdengar lirih di telingaku. Aku yang saat itu tengah membenahi bekas kompresannya menoleh. Dengan senyum tipis, aku mendekat padanya lagi. Duduk tepat di depannya di pinggir ranjang. "Ada ap—" Kalimatku sontak terputus saat Mas Afnan tiba-tiba menarikku dalam dekapannya. Mataku terbelalak lebar. Detak jantungku nyaris berhenti rasanya. “Terima kasih,” bisik Mas Afnan tepat di telingaku. Aku menelan ludah susah payah, kemudian mengangguk. Ternyata sikap mencair Mas Afnan sudah mulai terlihat. Tapi, tetap saja aku tak boleh terlalu berharap tinggi
“Aku ingin memberi kesempatan sekali lagi ... untuk Mas Afnan,” jawabku sambil menatap Nilam yang kini terbelalak. “Kamu serius?” Aku mengangguk dengan yakin. Aku akan kembali percaya. Memberi kesempatan kedua pada hubungan kami. Pada Mas Afnan. “Kenapa mendadak gini? Kamu ... udah cerita soal niat kamu yang mau pisah itu?” Aku menahan nafas sesaat. Kilas balik tentang ingatan saat Mama yang pertama kali menemukan surat itu, membuat perasaan sesalku seakan menghimpit dada. Seandainya waktu bisa diputar kembali. Ingin rasanya aku menarik kembali tindakanku itu. Aku sadar, aku ceroboh. Aku terlalu terburu-buru mengambil keputusan tanpa mau mendiskusikan dulu bersama Mas Afnan. Menghela nafas singkat, aku lantas mengangguk. Senyum tipis kuperlihatkan pada Nilam yang kini tengah menatapku bingung. “Mas Afnan ingin bertahan dengan pernikahan ini. Dia bilang ... dia akan berusaha mencintai aku.” Nilam tersenyum lebar dan menepuk punggungku. “Aku nggak bisa bantu banyak. Yang menjalani
Malam belum usai dan aku masih dalam pelukan gelap yang menggantungkan jawaban. Mas Afnan bergerak semakin mendekat, tapi juga penuh kehati-hatian. Seolah takut sentuhannya akan menyinggung lukaku yang belum sembuh.Aku hanya diam dengan perasaan yang bergejolak tak karuan saat bibir Mas Afnan menyentuh keningku perlahan, seperti meminta izin. Setelahnya, dia menatapku dengan dalam.“Tapi masih banyak yang kamu sembunyikan, ‘kan?”Aku terhenyak melihat sepasang matanya yang langsung meredup sedetik aku berucap demikian. Dalam suasana kamar yang terang ini aku melihat ada tatapan lain yang ia pancarkan. Seperti tatapan takut, dilema dan sedih secara bersamaan.“Aku minta maaf, Safa. Aku benar-benar minta maaf. Kamu boleh melampiaskan kemarahan yang kamu pendam selama ini dengan apa saja, tapi tolong jangan pergi. Aku butuh kamu. Aku mau mempertahankan rumah tangga kita.” Suaranya terdengar lirih dan parau.Aku membuka m
“Katanya besok pagi baru pulang," ucap seorang tetangga dekat rumah Nenek saat aku datang ke sana dan mendapati rumah itu sepi.Aku menghela nafas lesu. Lagi-lagi niatku untuk mengutarakan keputusanku menggugat cerai Mas Afnan pada Nenek harus urung. Aku menatap nanar amplop putih di tangan. Padahal, aku sudah mati-matian mempersiapkan mental untuk memberikan ini saat di TPA tadi.Terpaksa, aku kembali pulang ke rumah Mas Afnan. Amplop putih berisi gugatan tulisan tanganku itu kusimpan kembali dalam tas. Sepanjang perjalanan aku terus berfikir, apakah ini cara semesta menunjukkan padaku kalau aku tak boleh berpisah dari suamiku? Karena setiap kali aku mantap memutuskan, selalu saja ada kendala yang menghalangi.Apakah ini pertanda kalau aku harus memberikan kesempatan pada Mas Afnan? Mencoba percaya lagi padanya? Aku benar-benar bingung. Memikirkan semua ini, kepalaku serasa mau meledak saja!“Safa!”Pandanganku yang sejak tadi te
‘Safa maafkan aku. Sepertinya malam ini aku tidak pulang lagi. Jangan lupa kunci pintu! Dan jangan tidur terlalu malam.’Aku tersenyum miris membaca pesan yang dikirimkan Mas Afnan beberapa menit lalu. Terulang lagi. Sungguh, aku sama sekali tak mengerti dengan jalan fikiran Mas Afnan. Sudah kuduga dari awal. Ia memang tak serius mau memperbaiki hubungan kami. Toh, dia juga belum bisa menjaga jarak dari perempuan itu.Mataku terpejam disertai butir-butir air mata yang mengalir. Segala fikiran negatif mulai bersarang di otakku memikirkan apa saja yang tengah mereka lakukan berdua sampai malam begini. Ya Allah ... Ya Allah ... sesakit inikah resiko yang kuambil karena mencintai lelaki yang tak mencintai aku?Mungkin, sekarang adalah waktunya. Aku juga lelah karena menjadi satu-satunya yang berharap dalam pernikahan ini. Sudah saatnya semua berakhir.Menghela nafas pelan, aku bangkit dari sofa, mengunci pintu lantas beranjak menuju kamar. Besok p
“Tolong, beri aku kesempatan untuk memperbaiki semuanya.”Aku tercengang. Aku tidak sedang berkhayal atau semacamnya, ‘kan? Lelaki yang sejak hari pertama setelah akad dilangsungkan sampai kemarin malam terang-terangan menolakku, malam ini justru meminta kesempatan padaku atas pernikahan ini? Apa dia sedang kerasukan jin lagi?Apapun itu, aku sudah berjanji pada diriku sendiri untuk tidak mudah luluh dengan semua perbuatan baiknya. Itu hanya menipu. Setelah ini, Mas Afnan pasti akan melakukan sesuatu yang membuatku patah hati lagi.Aku tersenyum hambar, lalu menggeleng samar. Kali ini sandiwaramu tidak akan mempan. Apalagi, membuatku luluh. Tidak akan lagi aku tertipu sama sikap manis kamu.“Maaf, aku nggak bisa.” Setelah berucap demikian, aku langsung melengos pergi melewatinya. Sebelum benar-benar masuk ke dalam, aku kembali memutar tubuh saat mencapai depan pintu untuk menghadap Mas Afnan lagi. “Aku tunggu surat perc
“Apa dia perempuan yang Mas cintai? Perempuan yang selama ini Mas tunggu untuk dinikahi?”Mas Afnan terlihat kaget dengan perkataanku barusan. Mungkin dia kaget karena aku tahu soal fakta itu.“Tolong jawab, Mas!” desakku.Mas Afnan malah meraup wajah kasar. Dia menatapku dengan tak biasa. “Kenapa kamu seperti ini, Safa? Kita hanya menikah secara kontrak.”Hatiku mencelos. Kenapa Mas Afnan baru mau membuka suara hanya untuk mengingatkan fakta itu? Aku benar-benar tak habis fikir. Mataku terpejam singkat menahan gemuruh yang semakin bergejolak dalam dada. Sepasang tanganku mengepal.“Mas tahu kita hanya nikah kontrak, lalu apa arti dari semua sikap baik kamu selama ini, Mas? Cuma sandiwara? Mas sengaja melakukan itu untuk mempermainkan perasaan aku?” cecarku lagi mengeluarkan semua emosi yang terpendam selama ini.Aku semakin geram karena Mas Afnan tak menjawab apa-apa. Baiklah! Jika benar Mas A
Lagi-lagi Mas Afnan ingkar janji. Waktu sudah menunjukkan pukul setengah enam sore, tetapi Mas Afnan belum juga pulang. Ya Rabb! Kerisauanku sungguh menjadi kenyataan. Mas Afnan mengecewakanku lagi.Namun, kali ini aku tak akan tinggal diam dan mengalah begitu saja. Berhubung waktu Maghrib sebentar lagi tiba, aku memutuskan akan melaksanakan Shalat Maghrib di Masjid. Sekalian saja aku menyusul langsung Mas Afnan ke sana. Aku ingin tahu, alasan apa lagi yang akan dia katakan padaku kali ini sebagai pembelaan.“Eh, Saf. Tumben shalat Maghrib di Masjid!” tegur Nilam yang tiba-tiba muncul di sampingku dan membuatku terkejut bukan main. Haish, gadis itu. Kebiasaan kalau datang selalu mendadak. Untung aku tidak punya riwayat penyakit jantung.Eh, tapi kenapa Nilam juga ikut shalat di Masjid? Bukannya tak boleh, hanya saja ‘kan jarak antara rumahnya ke Masjid ini lumayan jauh. Rajin sekali dia. Atau ada sesuatu ya? Ah, entahlah. Kenapa juga aku pusing
“Kenapa itu sepedanya, Neng?” tanya Bapak itu lagi.Aku melirik Mas Afnan sekilas. “Bannya kempes, kurang angin,” jawabku disertai senyuman canggung.Kulihat suamiku itu menghela nafas pelan, kemudian menggelengkan kepala. “Langsung bawa saja ke belakang Masjid, di sana ada pompaannya,” ucap lelaki yang hari ini memakai koko putih itu.Aku mengangguk saja dan menuruti apa yang diperintahkan suamiku tadi. Namun, sesampainya di belakang Masjid, aku mulai kebingungan sendiri. Memang benar ada pompaan itu untuk mengisi angin, tapi masalahnya ... aku tidak tahu bagaimana cara menggunakan pompaan itu.Ditambah lagi, adzan Zuhur sudah berkumandang. Yasudahlah, sebaiknya sekarang aku shalat dulu, baru setelah itu kufikirkan bagaimana memompa ban sepedaku lagi.Langsung saja aku bergegas mengambil wudhu di toilet wanita dan bersiap menunaikan shalat Zuhur.Ternyata, yang menjadi Imam dalam shalat kami