Hal pertama yang dicari Vina adalah tasnya, dia menyimpan ponselnya di sana. Mata Vina membelak melihat tas itu tergeletak di atas meja rias. Meski sulit, Vina berusaha meraihnya. Dia hampir saja meraih benda itu, ketika pintu kamar mandi terbuka dan Abra sudah berdiri di depannya. "Mau apa kamu?"Tubuh Vina gemetaran melihat Abra melangkah ke arahnya. Jantungnya berdegup kencang, seolah kematian sudah berada di depan mata. "Vin! Vina!" Terdengar suara Abra memanggil namanya, sebelum semua menjadi gelap. * * * * * * *Perlahan Vina mengerjapkan mata, bau obat menusuk indera penciumannya. Membuat dia sadar, kini tengah berada di rumah sakit. Hal yang pertama kali dia rasakan adalah nyeri di sekujur tubuhnya. Wanita itu memejamkan mata, bayangan saat Abra menyiksanya tanpa belas kasihan kembali terlintas di benaknya. Air mata Vina meluncur tanpa bisa dikendalikan, nasib seolah tak berpihak kepadanya sejak menikah dengan Abra. Mulai hidupnya yang terkekang, dituduh mandul mertua sen
"Dokter, boleh saya minta tolong?" Ucap Vina hati-hati. Meski Antoni bersikap baik padanya, tetap saja dia harus waspada. Bagaimanapun juga, laki-laki di depannya ini bersahabat dengan suaminya. Bukan tak mungkin dia lebih membela sahabatnya, dari pada Vina. "Minta tolong? Tentu saja boleh. Saya akan dengan senang hati menolongmu," jawab Antoni yakin. "Boleh saya ---" Vina menjeda ucapannya, tiba-tiba ragu menyergap. Akankah Antoni bersedia menolongnya? Mengingat persahabatan mereka begitu erat, bahkan sejak masih sama-sama remaja. "Kamu mau pinjam telfon?" Tebak Antoni. Sejak semalam dia tidak melihat benda pintar itu berada di sekitar istri sahabatnya itu. Vina menggeleng pelan. Dia memang ingin menghubungi seseorang untuk minta tolong, tapi dia tidak ingat nomer telfonnya. "Jangan takut, aku akan menolongmu. Katakan saja! kamu ingin aku melakukan apa?" Antoni kembali bertanya, setelah Vina tak kunjung buka suara. Dia nampak sabar sekali menghadapi Vina. Antoni sadar, Vina bar
"Astaghfirullah, Vinaa...! Apa yang terjadi?" Pekik Erlita begitu melihat sahabatnya itu datang dengan dipapah laki-laki yang bukan suaminya. Keadaannya begitu payah dan mengenaskan. Muka penuh lebam, jalan pun sempoyongan hingga harus dibantu. Memang Vina mengalami kecelakaan di mana? Kenapa dibawa ke sini, bukan ke rumah sakit? Begitu tanya batin Erlita. Dua sahabat itu saling berpelukan. Dalam pelukan Erlita, Vina menangis sejadinya. Dia butuh dada untuk menumpahkan tangisnya. Cukup lama mereka berpelukan, hingga Antoni yang dari tadi tak dianggap keberadaannya, berdehem. "Hmm!" Keduanya kompak melerai pelukan. "Maaf Mbak-Mbak cantik, saya harus kembali bekerja. Saya tinggal dulu, ya?""Terima kasih sudah menolong saya, Dok," jawab Vina. Sementara Erlita yang belum tahu siapa Antoni, nampak kebingungan. "Sama-sama, Vin. Kalau butuh bantuan jangan sungkan-sungkan menghubungi saya. Mbak, saya nitip Vina ya?" Antoni beralih menatap Erlita. "Iya, Dok. Terima kasih sudah menganta
Abra mengeram frustasi. Antoni kekeh menyembunyikan keberadaan Vina, sahabatnya itu konsisten tutup mulut meski Abra memaksa. "Sorry, Bra. Kali ini aku pro istrimu, ini semua demi kebaikan kalian berdua. Bukan tidak mungkin kamu akan semakin menyakiti Vina, kalau nanti kalian kembali bertemu," jawab Antoni ketika Abra terus mendesak. "Aku janji tidak akan menyakiti dia lagi, Ton. Aku hanya ingin minta maaf, dan memastikan keadaannya baik-baik saja.""Aku jamin Vina di tempat dan bersama orang yang tepat. Nggak usah khawatir, dia akan baik-baik saja." Meski Antoni baru sekali bertemu Erlita, tapi dia yakin sahabat Vina itu orang baik. "Ton, please.... Bagaimanapun juga dia istriku, aku berhak tahu keberadaannya," mohon Abra dengan wajah memelas. "Sudahlah, sebaiknya kamu pulang. Yang kamu butuhkan sekarang itu memenangkan diri dan instropeksi."Abra meninggalkan ruang praktek dengan hati penuh amarah. Kemana dia harus mencari istrinya? Sementara Antoni yang tahu keberadaan Vina, me
Seminggu sudah Vina menghilang, selama itu juga Abra terus mencari keberadaan istrinya. Ditemani Marni dia mendatangi satu persatu keluarga besar Vina, baik saudara dekat maupun saudara jauh. Bukan hanya keluarga besar dari pihak Marni, dari pihak papanya Vina pun, mereka datangi. Bukan hanya keluarga besar, teman-teman Vina pun tak luput dari sasaran Abra. Tapi sayang seribu sayang, harapan tinggal harapan. Vina bagai ditelan bumi, menghilang tanpa jejak yang bisa ditelusuri. Gara-gara mencari Vina, Abra jadi sering ijin keluar, dan banyak pekerjaannya yang terbengkalai. Untung perusahaan tempat Abra kerja milik adik papanya, kalau tidak, di sudah dipecat. Mendatangi Antoni pun percuma, sahabatnya itu masih konsisten tutup mulut. Meski Abra mendesak dan memohon, Antoni tetap bergeming. Tak ada rasa iba sama sekali di hati Antoni, padahal Abra terlihat begitu menyedihkan. "Sorry, Bra. Aku sudah terlanjur berjanji pada Vina, aku tidak mau mengingkarinya," jawab Seksolog itu diplomat
"Kusut amat itu muka, kayak baju gak pernah disetrika," seloroh Erlita melihat Rangga yang datang dengan wajah ditekuk-tekuk. "Cerewet, lu. Buatin kopi kayak biasa, Ta." Erlita melengos, dia berjalan menuju meja pantri membuatkan pesanan kakaknya. "Gagal proyek apa gimana? Kayak perawan lagi patah hati aja, muka sampai lecek begitu." Erlita kembali melempar candaan, sambil meletakkan kopi di depan Rangga. Setelahnya dia menyeret kursi dan duduk tepat di depan kakaknya. Erlita memang tak paham dunia per-kontraktor-an, bisnis yang dijalani kakaknya itu. Tapi untuk menjadi pendengar keluh kesahnya, Erlita siap, Kok. Meski pada akhirnya tidak bisa memberi solusi apa-apa, setidaknya bisa sedikit mengurangi sesak di dada. "Nggak." Singkat sekali jawaban Rangga, tanda dia sedang tidak sedang baik-baik saja. "Terus apa? Ditolak cewek?" Tebak Erlita. "Ck! Sok tahu, lu!" Erlita tergelak mendengar jawaban Rangga. "Jadi, bener masalah Kakak ini ada hubungannya dengan cewek?" Rangga melirik
Rangga hendak mendebat Erlita, ketika sekelebat bayangan tertangkap matanya. "Ta, kamu merekrut karyawan baru?" Sontak Erlita menoleh ke arah tatapan Rangga, meski sekilas Erlita tahu betul siapa yang dimaksud Rangga. Vina. Sosok yang tertangkap pandangan Rangga memang Vina, sahabat Erlita. Sudah dua hari ini Vina memaksa bantu-bantu di kafe, sebenarnya Erlita sudah melarang, tapi Vina memaksa. "Aku sudah enakan, kok, Er. Bosen aku, tiap hari makan tidur mulu. Boleh ya, aku bantu-bantu. Aku janji nggak bakal bikin kacau resto, beneran. Aku nggak enak ngrepotin kamu terus, tanpa bantu apa-apa."Selama seminggu ini Vina tinggal di kamar belakang yang ada di kafe, bukan hanya makan minum gratis, tapi dia juga mendapat perawatan gratis dan baju untuk ganti. Saat kabur, Vina tak membawa apa-apa, untung dia masih pakai cincin dan anting, yang akhirnya dia jual untuk membeli barang kebutuhannya sendiri. Tak mungkin semuanya dia meminta pada Erlita, itu nggak tahu diri namanya. Sudah ditol
Erlita memijat keningnya. Ternyata Vina yang secara fisik terlihat sempurna, mempunyai kisah yang rumit dan pahit. "Ah, aku ada ide. Kita buat suamimu tidak berkutik," cetus Erlita tiba-tiba. Vina mengangkat kedua alisnya, keningnya berkerut tanda dia penasaran dengan ide dari sahabatnya tersebut. "Kamu laporin aja suamimu itu ke polisi, dengan tuduhan KDRT. Pasti suamimu langsung mendekam di penjara, dan kalau kamu menggugat cerai langsung dikabulkan." Vina menggeleng. Sejak awal kejadian, tak pernah terlintas sekalipun dalam benak Vina untuk memenjarakannya Abra. Meski apa yang dilakukan Abra sudah diluar batas, menurut Vina penjara bukan solusi yang tepat. Ada perasaan orang tuanya yang harus dijaga, ada mertuanya yang pasti akan sedih kalau anaknya mendekam di balik jeruji besi. Dan yang paling membuat Vina malas membawa masalah ini ke meja hijau, adalah urusannya bakal panjang dan berbelit-belit. "Kenapa?" "Kejadiannya seminggu yang lalu, Er. Bekasnya sudah hilang, aku ngga
"Ceritanya panjang. Nanti aku bakal jelasin semua. Sekarang aku minta tolong sama kamu, agar merahasiakan masalah ini dari Ibu. Bisa?" "Oke, oke. Mas Rangga tidak usah menghawatirkan itu, tapi Vina di rumah sakit mana?""Keluarga pasien atas nama Nyonya Vina!" Obrolan Erlita dan Rangga terjeda oleh suara petugas rumah sakit yang memanggil. "Sorry, Ta. Aku ke dalam dulu.""Jangan ditutup dulu, Mas! Vina di rumah sakit mana?" kejar Erlita yang pertayaannya belum dijawab Rangga. "Husada!" Usai berkata Rangga menutup panggilan, dan mengikuti perawat yang tadi memanggil dirinya. * * * * * * * "Apa hubungan Bapak dengan pasien?" tanya sang dokter dengan wajah penuh selidik. Masalahnya ini informasi yang sangat pribadi bagi pasien, jadi dokter harus memastikan hanya orang terdekat pasien yang tahu. "Saya suaminya, Dokter." Wanita cantik itu mengangguk. "Begini, Pak. Pasien sepertinya baru saja mengalami kekerasan seksual. Ini diagnosa sementara saya. Untuk pastinya kami masih menunggu
Rangga tak sanggup menahan air matanya, melihat orang yang dia cintai tergolek tak sadarkan di atas ranjang, dengan pakaian compang-camping. Bahkan nyaris telanjang. Tanpa perlu dijelaskan, siapapun tahu apa yang baru saja Vina alami. Kondisinya menjelaskan semua itu. Buru-buru dia menghambur ke arah ranjang, menarik selimut untuk menutupi tubuh yang selama ini begitu dia puja itu. Kemudian dipeluk nya tubuh lemas itu, dengan berurai air mata. "Maafkan aku, Sayang." Suara Rangga begitu hingga nyaris tak terdengar. Rangga tak bisa berkata apa-apalagi. Baru semalam mereka berdua begitu bahagia, mengetahui akan segera dikaruniai buah hati. Banyak rencana masa depan yang sudah dia rancang dengan sang istri, setelah anak mereka lahir nanti. Namun kenyataan berkata lain, Vina kembali mengalami pelecehan seks*al. Hal yang membuat Rangga merasa berdosa sekali, karena tak bisa menjaga Vina, hingga mendapat perlakuan seperti ini. 'Tuhan.... Apa salah kami, hingga harus mendapat takdir seper
Rangga mulai gelisah, pikirannya tidak tenang. Entah mengapa tiba-tiba dia merasa tidak enak. Rasa bersalah menggelayuti, karena membiarkan istrinya kembali ke kamar sendiri. Seharusnya, dia mengantar Vina dan memastikan wanita pujaannya Istrinya sampai di kamar dengan selamat. Bukannya membiarkan Vina pergi sendiri, bagaimana kalau Vina butuh bantuan, atau terjadi sesuatu dengan dia? 'Kenapa aku jadi lebay begini, sih? Ini hotel bintang lima, yang keamanannya terjaga. Yakin Vina baik-baik saja sampai kamar' gumam Rangga menghibur diri. 'Tapi Vina sedang hamil, harusnya aku selalu menjaga dia. Bukan malah mementingkan tamu," sanggah sisi hati Rangga yang lain. "Bro! Kamu kayak nggak tenang gitu. Kenapa?" Aditya, sahabat sekaligus rekan bisnis Rangga, menepuk calon bapak itu. "Eh, nggak papa, Men. Lagi kepikiran bini aja. Tadi dia ngeluh nggak enak badan, minta balik ke kamar," jelas Rangga. "Udah, susul sono! Daripada Lu kepikiran terus!" Rangga nampak berfikir sejenak. Sebagai
Tanpa menunggu lama, Edo buru-buru mengikuti langkah Vina. Menyusuri lorong hotel yang sepi. Setelah dirasa aman, Edo mendekat, dan menarik tubuh Vina sekuat tenaga. "Mm! Mm!" Vina berusaha melepaskan tangan asing, yang tiba-tiba membekap mulutnya. Kebaya dipadu kain batik yang dia kenakan, membatasi geraknya. Hingga kesulitan melawan orang entah siapa, yang punya maksud buruk padanya ini. "Mm! Mm!" Vina terus berusaha memberontak, meski tak yakin berhasil. Dia memukul, menendang, menggigit. Apapun yang bisa dia lakukan, dia lakukan saat ini demi bisa menyelamatkan diri. Tapi tenaga orang yang menyerangnya ini sangat kuat. Dari tangannya yang kekar, membuat Vina mengambil kesimpulan bahwa ini adalah laki-laki. Tapi siapa? Dia merasa tak punya musuh. Vina berharap ada orang yang lewat, dan mau menolongnya. Tapi nampaknya harapannya hanya kosong belaka, lorong itu tetap sepi sampai akhirnya sosok misterius itu berhasil menyeretnya masuk ke sebuah kamar. "Auw!" Vina menjerit, ketik
Vina menatap dingin ke arah Edo, berharap laki-laki ini cukup tahu diri, bahwa keberadaannya sangat mengganggu. "Tapi aku suka kamu yang sekarang. Terlihat lebih menggoda." Edo kembali melempar kalimat melecehkan."Pergi!" Vina sudah tak tahan lagi dengan sikap Edo yang menurutnya sangat menyebalkan."Oke, oke. Aku akan pergi. Tapi perlu kamu tahu, kita akan sering ketemu, Vin. Indra, suami adik iparmu itu, sepupuku. Dan satu lagi, perusahaan tempatku bekerja ada kontrak kerja sama dengan perusahaan milik suamimu." Usai berkata Edo melenggang begitu saja, meninggalkan Vina yang setengah mati menahan amarah. * * * * * * * * * *"Apa dia mengganggumu?" Tanya Rangga dengan wajah cemas. Setelah mengecup kening sang istri sekilas, Rangga kemudian menyeret kursi dan mendudukinya. Dari atas pelaminan, dia melihat istrinya memasang wajah kesal dan beberapa kali tanganya menunjuk ke arah keluar. Saat ngobrol dengan Edo tadi. Meski tidak bisa mendengar apa yang mereka bicarakan, Rangga yaki
"Hati-hati, Yang!" Tangan kanan Rangga memeluk pinggang Vina, sementara tangan kirinya menggandeng tangan sang istri. Mereka sedang menuruni tangga pelaminan, tapi perlakuan Rangga seolah Vina perempuan tua yang tengah menuruni bukit terjal. Vina menjengah mendapat perlakuan lebai dari suaminya. Sejak semalam, sejak tahu di rahimnya tengah tumbuh buah cinta mereka. Rangga jadi over protektif, Vina diperlakukan bak gelas kristal yang rapuh. Bahkan heels yang sedianya akan Vina pakai pada acara ini, diganti flatshoes karena tak mau kaki istrinya pegal dan kram. Bener-bener calon bapak over protective suami Vina ini. Meski jengkel, nyatanya perlakuan Rangga tetap membuat perasaan Vina melayang ke udara. Dia merasa begitu dicintai oleh sang suami. Dia merasa menjadi wanita paling beruntung, di muka bumi ini. Semalam, mereka begitu asyik memikirkan rencana-rencana pada calon buah hati mereka. Rangga bahkan sudah memilih nama yang pantas untuk calon anak mereka. Laki-laki jelang empat pu
"Mas .... udah, dong!" Vina berusaha menepis tangan Rangga yang terus membelit perutnya dari belakang. Tak masalah bagi Vina kalau tangan itu hanya memeluk, tapi tangan itu merayap kemana-mana. Bukan hanya meraba, tapi kadang mencubit area sensitif, dan meremas dadanya. Tanda bahwa pria yang sudah resmi menjadi suaminya itu mengajaknya kembali mendaki puncak asmara. Rangga tak menjawab, tangannya sibuk meraba-raba tubuh sang istri. Bahkan bibirnya dari tadi tak mau diam. Tengkuk dan leher Vina jadi sasaran. "Capek aku, Mas...." Kembali Vina melayangkan protes. Namun sayangnya Rangga enggan peduli. Ini bukan malam pertama mereka. Pernikahan sudah digelar hampir dua tahun yang lalu, tapi Abra seolah tak pernah bosan mengajak Vina mereguk manisnya madu cinta. Tubuh Vina, dan segala tentang Vina kini jadi candu bagi pria berkulit sawo matang itu. Tak pernah sekalipun dia melewatkan malam tanpa bercinta. Mumpung belum ada anak, belum ada yang mengganggu. Begitu fikir Rangga. Awal perni
"Saya terima nikah dan kawinnya, Levina Agustian binti Hendratmo dengan mas kawin logam mulia 24 karat, seberat 100 gr dibayar tunai." Dengan satu kali tarikan nafas, Rangga berhasil mengucap. Emas 24 karat, adalah lambang kesucian cinta Rangga untuk Vina. Dan seratus gram berarti, cinta Rangga hanya untuk Vina seorang. Begitu ucap Rangga saat Vina menanyakan apa filosofi di balik mas kawin yang dipilih Rangga. Dan semua itu bukan hanya kata-kata, apalagi bualan semata. Rangga sudah membuktikan, bahwa cintanya hanya untuk Vina. Bertahun-tahun dia rela menjomblo, karena tak satupun wanita mampu menggeser posisi mantan istri Abra itu di hatinya. "Bagaimana saksi, sah?""Sah!" Suara lantang nan kompak dari para hadirin terdengar membahana memenuhi ruangan. Tangis Vina pecah seketika, antara bahagia dan haru membaur jadi satu. Untuk kedua kalinya dia menjalani akad nikah lagi. Tak pernah terbersit dalam benaknya, pernikahannya dengan Abra kandas dan kini dia menikah dengan laki-laki la
Vina meninggalkan ruang sidang dengan langkah gontai. Sidang penuh drama dan berlarut-larut membuat dirinya lelah jiwa raga. Abra melalui kuasa hukumnya menolak bercerai dengan alasan masih cinta, dan semua yang terjadi hanya kesalah pahaman belaka. Entah Abra punya apa? Hingga majelis hakim terus menunda keputusan, padahal bukti sudah Vina sodorkan. Dan pengecut nya lagi, Abra tak pernah menghadiri sidang. Sakit, alasannya. "Huft! Lama banget, sih! Drama!" Gerutu Vina dalam hati. Sebenarnya jauh dalam hati, Vina tak pernah menginginkan perceraian ini. Dia berharap pernikahannya dengan Abra adalah yang pertama dan terakhir, hanya maut yang memisahkan mereka. Namun apalah dayanya, Abra yang dulu begitu memujanya, memperlakukannya bak ratu. Tiba-tiba berubah jadi sadis, hanya karena cemburu buta. Apakah masalah keuangan yang telah melilit Abra, yang membuat laki-laki yang biasanya begitu lembut itu, jadi temperamen dan tak berperikemanusiaan? Entahlah, Vina sendiri tidak tahu. Pada s