Savira melotot mendengar pertanyaan yang baru saja Bram lontarkan. Bahkan mulutnya terbuka lebar. Beruntung tak ada lalat yang bertamu di sana.
"Dokter tidak sedang bercanda, kan?"Bram tidak menjawab, dia justru tengah sibuk mencari tepat untuk menepikan kendaraan roda empat miliknya."Apa aku terlihat bercanda, Ra?" Bram menatap lekat manik hitam Savira. Tatapan itu membuat Savira salah tingkah dan gugup.Haning, tak ada kata yang keluar dari mulut keduanya. Savira memilih diam dengan kebingungan yang menyelimuti hatinya. Masalah dengan Dion belum selesai tapi sudah ada masalah baru yang menimpanya."Aku menyukaimu sudah sejak lama, Ra. Jauh sebelum kamu menjalin hubungan dengan Pak Purnawan."Savira memilin ujung seragam yang ia kenakan. Dia tak menyangka dokter yang digemari para perawat justru menyukainya."Savira, maukah kamu menjadi istriku?" Bram menggenggam tangan wanita di depannya seraya mengunci netra bening itu.Jantung Savira berdetak kencang, tatapan Bram mampu membuat rasa gugup dalam dirinya semakin besar."Sa-saya belum memikirkan untuk menikah, Dok." Savira menundukkan kepala, tangan yang digenggam Bram perlahan ia lepas."Apa aku terlalu terburu-buru?" ucap Bram dalam hati.Lagi suasana canggung kian terasa di antara mereka, seakan mereka berada di dimensi ruang dan waktu yang berbeda."Maaf jika pengakuan aku membuat kamu bingung, Ra. Aku hanya ingin mengungkapkan isi hatiku. Aku tak meminta kamu menjawab sekarang. Aku akan menunggu kamu hingga kamu siap menjawab."Savira mengangguk pelan hingga membuat Bram tersenyum tipis.Kendaraan roda empat milik Bram kembali berjalan menuju restoran ternama di kota itu."Kamu mau makan apa, Ra?" tanya Bram basa-basi. Sebenarnya dia ingin mengajak Savira makan di restoran terkenal di kota itu."Terserah dokter saja." Savira kembali terdiam setelah mengatakan jawabannya."Jangan panggil dokter, Ra. Kita sudah tidak di rumah sakit, kan? Panggil saja Bram atau Mas mungkin.""Mas? Apa tidak salah?" batin Savira."Bisa, kan, Ra? Panggil nama atau Mas?""I-iya, Dok... Eh, Bram."Sudut bibir Bram tertarik ke atas, memanggil nama saja sudah membuat Bram melayang ke atas. Apa lagi jika Savira memanggilnya Sayang? Tak bisa lagi dijelaskan rasa yang tergambar di hati Bram.Sepanjang jalan Bram berusaha mencairkan suasana meski Savira lebih banyak diam. Wanita bertubuh langsing itu justru sibuk memikirkan ucapan Dion kemarin. Dalam hati wanita itu penuh tanda tanya dengan sikap calon anak tirinya yang berubah 180 derajat."Apa yang ada di benak Dion? Kenapa dia tiba-tiba memintaku menjadi istrinya? Apa dia tak waras?""Kamu lebih suka seafood atau makanan nusantara, Ra?""Iya Di...."Bram mendekatkan telinganya. Dia yakin bukan nama Bram yang keluar dari mulut Savira."Di?" Dion melirik Savira dengan rasa penuh dengan tanda tanya."Kamu tadi bicara apa, Bram?" Savira menoleh, menatap lelaki penuh kharisma itu."Lupakan, Ra."Bram kembali menatap lurus ke depan. Namun angannya melayang? Kata Di membuat Bram bertanya-tanya."Di ... Siapa yang Savira maksud?"Lelaki itu mengingat nama semua karyawan rumah sakit yang berawalan Di atau pun berakhiran Di. Dimas, Didik, Hendri, Adi... Hanya keempat nama itu yang muncul di kepala Bram. Mendadak dia begitu khawatir jika ada pria yang mengisi relung hati Savira. Bram tak ingin patah hati untuk kedua kalinya."Dimakan, Ra!" ucap Bram setelah karyawan restoran menyajikan pesanan di atas meja, tepat di hadapan dua orang berbeda jenis kelamin itu."Terima kasih, Dok... Eh, Bram."Savira dan Bram kembali menikmati nasi goreng spesial yang mereka pesan. Mereka asyik bercerita tentang topik ringan. Bram berusaha bersikap biasa agar Savira tak canggung padanya.Dion berjalan cepat memasuki bangunan di hadapannya. Rasa lapar menuntun lelaki bertubuh atletis itu untuk berhenti di sebuah restoran. Namun ia tak tahu jika Savira ada di sana.Suasana restoran sore itu begitu ramai. Ada banyak pengunjung yang memenuhi meja. Mayoritas pengunjung adalah pasangan muda mudi yang sedang kasmaran. Alunan musik romantis membuat mereka tenggelam dalam dunia mereka sendiri.Putra tunggal Purnawan itu menjatuhkan bobot di kursi, tak jauh dari tempat Savira dan Bram menyantap pesanan mereka. Ada beberapa meja dengan pengunjung yang menjadi pembatas di antara mereka.Posisi Savira yang membelakangi Dion membuat ia tak sadar siapa pelanggan yang baru saja datang."Ini pesanannya, Mas. Silakan menikmati," ucap pelayan seraya meletakkan steak di atas meja, tepat di hadapan Dion.Tanpa mengucapkan terima kasih Dion segera memotong daging sapi yang ada di depannya. Dengan lahap dia menikmati makanan itu. Rasa lapar membuatnya makan dengan cepat."Kenyang," gumam Dion setelah makanan di hadapannya habis tak tersisa.Dion mengernyitkan dahi mendengar suara wanita yang begitu familiar di telinganya. Rasa penasaran membuat lelaki itu membalikkan badan. Senyum menyeringai tergambar jelas di sana.Meski"Ternyata kamu benar-benar murahan. Hijab yang kamu kenakan tak mampu menutupi kebusukan dirimu," maki Dion dalam hati.Dion berdiri lalu mendorong kasar kursi yang tadi ia duduki. Dia berjalan mendekati Savira dengan kedua tangan mengepal di samping, dadanya bergemuruh. Namun sebisa mungkin dia tahan."Nanti aku antar kamu pulang, ya, Ra. Besok pagi aku jemput. Keburu malem bolak-balik rumah sakit.""Rumah kita berlawan arah, Dok."Dion mencebikkan bibir mendengar jawaban Savira. Rasa benci justru semakin menggelora dalam dadanya. Baginya Savira adalah wanita matre yang mencintai harta."Baru beberapa hari papa meninggal tapi kamu sudah mencari mangsa baru. Dasar wanita tak tahu malu," batin Dion kesal."Bagaimana, Savira? Kamu mau, kan?" Bram kembali merayu Savira agar mau menerima tawarannya. Dokter muda itu masih ingin menikmati kebersamaan dengan wanita ia cintai."Maaf, Savira akan pulang bersamaku." Savira membalikkan badan, matanya membulat melihat lelaki yang sempat ia pikirkan sudah berdiri tepat di belakangnya. Bahkan tangan Dion menyentuh sandaran kursi yang ia duduki."Di-Dion," ucap Savira terbata.Bram menatap tajam lelaki yang berdiri di belakang Savira. Bendera perang telah ia kibarkan."Apa ini lelaki yang Savira panggil tadi?" batin Bram."Kamu siapa?""Kamu ingin tahu siapa aku?""Tak usah bertele-tele, ada urusan apa kamu dengan Savira?""Sayang, kamu yang jelaskan atau aku?" Dion melirik wanita yang duduk di depannya."Sayang?" Bram mengernyitkan dahi, sorot tak suka tergambar jelas di manik bening miliknya."Kamu belum menjelaskannya, Savira sayang?""Apa maksud kamu, Dion? Jangan mengada-ada!" pekik Savira.Dion melangkah mendekat, lalu menempelkan kepalanya tepat di pundak Savira. Wanita itu berusaha menghindar tali Dion justru memeluk tubuhnya dari samping.CUPBibir Dion menempel di pipi kanan Savira. Gerakan spontan yang Dion lakukan membuat mata Savira membola. Seketika jantungnya berdetak kencang. Tubuh wanita itu memanas bak dipenuhi aliran listrik.BRAAK"Jangan kurang ajar kamu!" Bram berdiri lalu menarik paksa tubuh Dion agar menjauh dari Savira."Sabar,Bro!" Dion menepis tangan Bram kasar. "Perkenalkan nama saya Dion Adi Purnawan, calon suami Savira."Savira melotot mendengar ucapan Dion. Kemudian menggelengkan kepala saat beradu padang dengan Bram. Dokter muda itu berusaha menata hati yang telah diselimuti amarah. "Purnawan sudah mati tapi kenapa muncul lelaki ini?" batin Bram kesal. "Kamu gila, Dion! Kita tak memiliki hubungan apa pun!" Savira menempis tangan kiri Dion yang menggandeng tangannya. Lebih tepatnya mencengkeram tangannya. "Lepaskan! Jangan paksa orang!" Bram berusaha melepas tangan Dion yang mencengkeram lengan Savira. Namun gagal, lelaki itu justru merangkul tubuh Savira dari samping. "Jangan ikut campur, aku dan Savira akan segera menikah. Jangan lagi ganggu calon istri orang!" Dion berjalan sambil merangkul tubuh savira. "Lepaskan, Di!" Savira berusaha mendorong tubuh Dion tapi tak bisa, tenaga lelaki itu jauh lebih kuat. "Ingat Savira, kamu itu milikku!""Jangan bermimpi, aku tak mencintai kamu!""Aku tak butuh cinta, aku hanya butuh kamu.""Tak waras!" maki Savira dengan wajah merah padam. "Ayah kamu sud
"Apa benar Bapak menjual aku pada Dion?"Kalimat itu akhirnya keluar dari mulut Savira. Susah payah dia menahan kata-kata agar tak menyakiti hati kedua orang tuanya. Namun melihat Nurdin pulang dengan membawa barang belanjaan membuat dada wanita itu bergemuruh. Emosi yang ia tahan lepas tak terkendali. Nurdin membalikkan badan, ia jatuhkan barang belanjaan di lantai begitu saja. Lelaki paruh baya itu menatap tajam ke arah Savira, giginya gemeletuk dengan wajah merah padam. Membuang napas kasar, Savira mengalihkan pandangan lalu membalikkan badan. Dia tutup rapat pintu depan rumahnya. Pertengkaran yang terjadi tak boleh sampai dilihat orang lain. Malu, kata itu yang ada dibenak Savira. "Apa kamu bilang tadi, menjual? Bapak hanya menerima lamaran Dion, bukan menjual kamu. Harusnya kamu senang dipinang lelaki tampan dan yang pasti dia mapan." Nurdin berusaha menutupi kenyataan dengan menonjolkan amarahnya. "Bukan menjual kata Bapak? Bapak menerima uang dari Dion agar dia bisa menik
Savira mengoles hidung Wati dengan minyak kayu putih. Perlahan wanita paruh baya itu membuka mata. Sosok wanita yang masih mengenakan seragam perawat terlihat pertama kali. "Vira...." lirih Wati berucap bagai hembusan angin. Perlahan bulir demi bulir jatuh membasahi pipi Wati. "Ada yang sakit, Bu?" Savira memperhatikan setiap inci tubuh Wati. Namun tak ia temukan barang segaris luka di tubuh wanita yang bertaruh nyawa saat melahirkannya itu. "Dada ibu sesak?" tanya Savira lagi. Wati menggeleng lalu kembali menjatuhkan air matanya. Sebagai seorang ibu dia merasa bersalah karena tak mampu melindungi putrinya. "Kenapa ibu menangis? Katakan bagian mana yang sakit, Bu? Nanti Savira obati.""Maafkan ibu, Nak. Ibu tak bisa melindungi kamu dari keegoisan bapak." Wati terisak, bayangan uang 50 juta menari-nari di pelupuk mata."Savira baik-baik saja Bu. Savira akan mengembalikan uang Dion," jawab Savira ragu. "50 juta, Ra. Uang dari mana?"Savira terdiam tak mampu menjawab pertanyaan Wa
"Aku yang akan membayarnya!" Semua mata menoleh ke pintu, seorang lelaki berpakaian rapi berdiri di muka pintu dengan membawa amplop coklat berisi uang. "Pak Hendra!""Hendra!"Ucap Savira dan Dion hampir bersamaan. Kedua orang berbeda gender itu menatap heran pada lelaki yang kini berjalan mendekat. Hendra menjatuhkan bobot tepat di samping Savira. Membuat Dion yang duduk di hadapannya menatap tak suka. Bukan, bukan karena ia cemburu tapi karena rencana yang sudah tersusun rapi akan hancur berantakan. Apa lagi jika Savira menerima bantuan dari Hendra. "Apa maksud Pak Hendra tadi?" Savira menoleh ke kanan, dia tatap lekat manik bening lelaki yang duduk di sampingnya. Hendra menggeser kursi kayu yang ia duduki hingga dapat menatap dengan jelas wajah ayu Savira dari dekat. Tak dapat dipungkiri ada rasa tertarik kala melihat Savira untuk pertama kali. Namun Hendra sadar, dia hanya butiran debu jika dibandingkan dengan Purnawan. "Saya akan memberikan uang untuk membayar hutang Dion.
Dion melangkah penuh percaya diri menuju kantin rumah sakit, tempat Savira berada. Lunch box berwarna biru berada di tangan kanannya. Rencana yang Regina bicarakan harus segera dilakukan mengingat batas waktu tinggal sepuluh hari lagi. Jika tidak, seluruh aset Purnawan akan lepas dari tangannya. Dia akan jatuh miskin. Sesekali dia mengatur napas. Lelaki itu harus pandai menyembunyikan marah pada Savira. Meski kenyataannya dia begitu membenci wanita itu. Baginya Savira adalah kutu yang harus dibasmi. "Kenapa aku harus menikahi gundikmu, Pa! Papa benar-benar keterlaluan, bisa-bisanya memintaku menikahi wanita bekas dirinya. Menjijikan!" rutuk Dion dalam hati. Dion berhenti melangkah, matanya awas mencari seorang wanita yang kini duduk sambil meminum es teh. "Ini demi uang! Ayo Dion!" ucap Dion menyemangati dirinya sendiri. Setelah cukup tenang Dion melangkah mendekati meja tempat Savira mengistirahatkan tubuh untuk sejenak. Jadwal istirahat diatur bergiliran. Ruang IGD tak boleh k
Dion membisu, dia benar-benar tak menyangka jika Savira mengetahui semuanya. Kini rasa takut bersemayam di hati lelaki itu. "Kenapa diam? Jadi benar semua hanya kebohonganmu saja, kan?""Tidak... Lihat ini!" Dion menyerahkan ponsel dengan gambar amplop bertuliskan nama Savira di sana. Sebelum ke rumah sakit Dion sempat menulis amplop dengan nama Savira .Kemudian ia foto benda itu. Putra Purnawan itu yakin kejadian ini akan terjadi. Mengingat Savira menolak lamaran dan bujuk rayunya. Ya, wanita itu sama sekali tak menyukai Dion. Melihat foto yang Dion berikan membuat Savira bimbang. Satu sisi hatinya mempercayai perkataan calon anak tirinya itu. Namun sisi lain meragukan keaslian amplop itu. "Kamu masih tak percaya?" Dion melirik Savira yang masih diam membisu. "Akan aku tunjukkan. Tapi tidak sekarang, aku akan menjemputmu. Kita baca surat itu sama-sama. Surat itu masih di rumah, aku takut hilang jika membawa."Dion beranjak dari kursinya lalu melangkah pergi meninggalkan Savira ya
Regina mulai menjalankan rencana yang sudah ia susun rapi. Dengan tergesa-gesa ia berlari menuju gerombolan lelaki yang asyik berbincang di depan rumah Pak RT. Wanita dengan penampilan cetar itu berhenti tepat di depan rumah Kepala Rukun Tetangga. Dadanya naik turun dengan napas tersengal. Sebenarnya jarak rumah Dion dan Pak RT tidaklah jauh. Jarak olahraga membuat wanita itu kelelahan. "Ada apa, Bu Regina?" tanya salah seorang warga yang ada di sana. "Itu... Itu...." Regina menunjuk rumah Dion. "Mas Dion kenapa?" Regina mengatur napas, mulutnya belum mampu menjawab karena kelelahan. "Ada ular?" Regina menggeleng. "Maling?" "Lalu apa, Bu?" ucap mereka kesal. "Itu ... Dion di dalam kamar dengan seorang wanita. Aku takut mereka berzina. Tolong buka pintu kamarnya." Regina pura-pura panik, walau di dalam hati tertawa tanpa henti. "Jangan bercanda deh, Bu. Anak sendiri kok dilaporin!" Perkataan salah seorang warga membuat niat untuk menggrebek rumah Dion menurun. "Jangan sampa
Kedipan mata Regina membuat lelaki tersadar jika ia tengah bersandiwara, dan Savira adalah kekasihnya. Lelaki yang sudah mengenakan pakaian lengkap itu berjalan mendekati ranjang. Dengan sedikit kasar ia menggoyangkan tubuh Savira. "Bangun, Ra! Bangun!" Dion menepuk-nepuk pipi Savira. Sentuhan kasar dan teriakan membuat Savira terbangun. Matanya yang masih lengket ia paksa agar terbuka lebar. Wanita itu melotot melihat segerombol lelaki berada di hadapannya. "Pergi kalian, kenapa ada di kamarku!" teriak Savira lantang. Dia tak sadar jika berada di dalam kamar Dion. Dengan kesal Savira bersiap untuk beranjak dari ranjang. Namun dengan cepat Dion mendorong tubuhnya. Seketika Savira menarik tangan Dion,hingga lelaki itu jatuh tepat di atas tubuhnya. "Ya Allah, pemandangan haram!" celetuk lelaki berkaos hitam. "Kamu! Menyingkir dari tubuhku!" Savira mendorong tubuh kekar lelaki yang masih menindih tubuhnya. "Yakin kamu mau berdiri dengan penampilan seperti itu?" Dion menatap penuh
"Jangan bercanda kamu, Hen! Lahirannya masih satu bulan lagi.""Savira terjatuh, perutnya terbentur hingga pendarahan.""Apa!""Aku tunggu di bandara sekarang juga!"Belum sempat menjawab sambungan telepon sudah dimatikan sepihak oleh Hendra. Sikap itu yang membuat Dion semakin panik dan ketakutan. Sesaat Dion kebingungan, tidak tahu harus berbuat apa. Namun pesan masuk dari Hendra kembali menyadarkan lelaki itu. Dion segera menyambar kunci mobil, dia akan pergi ke bandara. Mobil yang dikemudikan oleh supir melaju dengan kecepatan tinggi. Sepanjang jalan Dion terus meminta sopirnya untuk mempercepat laju kendaraannya. Lelaki itu tak ingin ketinggalan pesawat. "Ngebut lagi, Man!""Tapi, Tuan ....""Kalau sampai aku ketinggalan pesawat, mati kamu!"Supir Dion yang bernama Herman menelan ludah dengan susah payah. Dia pun kian menginjak pedal gas. Hingga akhirnya sampai tepat di depan jalan masuk bandara. "Untung gak mati," ucap supir itu seraya mengelus dada. Tanpa menjawab Dion kel
“Kamu sembunyikan di mana Savira,Hen? Dia masih istriku ... aku berhak tahu!’Dion memekik seraya menarik kerah kemeja yang Hendra kenakan. Caci dan maki tak hentinya keluar dari mulut suami Savira. Dia ingin segera menemukan Savira. Lelaki itu menyesal karena telah mengusir istrinya.Hendra tersenyum sinis. Dia singkirkan tangan mantan atasannya. Tatapan muak nampak jelas di mata Hendra. Dia kesal dengan keegoisan Dion yang tak ada habisnya, bahkan kian menjadi.“Ck! Sejak kapan kamu mengakui Savira sebagai istri, Tuan Dion yang terhormat? Seorang istri itu dilindungi dan dicintai ... bukan justru kamu sia-siakan! Sejak awal menikah kamu selalu menanamkan luka padanya, bahkan saat dia memberikan segenap cinta kamu justru menancapkan belati. Harusnya aku sadar, kamu memang tak pantas untuk Savira. Harusnya aku yang menikahinya,bukan kamu!”BUUG!Sebuah tangan menyentuh keras wajah Hendra. Tinju menciptakan luka di sudut bibirnya. Namun justru senyum sinis dia berikan. Tindakannya kian
Empat bulan kemudian. Semilir angin memainkan rambut Savira yang dibiarkan tergerai. Helai demi helai rambut hitam itu menari, terkadang berhenti di hidung, bahkan mulut. Namun perempuan itu masih diam menikmati senja dengan hamparan sawah di depan mata. "Mbak Savira wes arep magrib lho! Pamali ibu hamil masih di luar."Seorang perempuan menyapa Savira. Dia juga memintanya segera masuk ke rumah karena malam segera datang. "Nggeh, Bu. Terima kasih."Perempuan itu mengangguk, kemudian melanjutkan langkah menuju rumah. Begitu pula Savira yang memilih mengikuti permintaan tetangganya tersebut. Sudah empat bulan Savira tinggal di sebuah desa. Jauh dari hingar-bingar kota Jakarta. Setiap bulan sekali Hendra akan datang sambil membawa bahan makanan dan kebutuhan Savira selama satu bulan. Maklum, desa itu jauh dari pasar, bahkan swalayan. Pasar terdekat berjarak 10 kilometer dari rumah Savira, itu pun hanya buka satu minggu sekali. Perempuan itu hanya ke pasar jika menginginkan ikan sega
Hujan angin menyambut perjalanan Hendra dan Savira. Keduanya saling diam, fokus menatap depan. Kejadian beberapa menit lalu menghancurkan hati mereka.Mendapatkan fitnah dari orang yang disayangi adalah lara yang tiada obatnya. Namun untuk menjelaskan kenyataan juga percuma. Dion tak akan percaya meski Savira menjelaskan sampai berbusa. Kebencian dan kekecewaan sudah tertanam dalam hatinya. Tetes demi tetes air jatuh ke bumi, semakin lama semakin deras. Hendra masih melajukan kendaraannya, tapi kini perlahan. "Kamu mau diantar pulang, Ra?"Hendra melirik ke sebelah kiri, lalu kembali fokus menatap depan. Lima menit lelaki itu menunggu jawaban dari Savira, tapi perempuan itu masih diam membisu. "Aku antar pulang, ya, Ra!"Hendra memutar stang mobil ke kiri. Kendaraan roda empat itu melaju ke rumah sederhana Nurdin. Tak tujuan lain selain tempat Savira dibesarkan. "Antar aku ke bertemu Pak Ridwan, Hen?""Untuk apa?""Kamu akan tahu tapi nanti."Tanpa menjawab Hendra mengubah arah m
"Kamu kenapa, Dion?"Lelaki itu membisu, menerobos melewati Savira tanpa menoleh sedikit pun. Tak ada senyum apalagi kecupan hangat yang selalu ia berikan. Dion menahan amarah karena sebuah foto yang dikirim ke nomornya pagi ini. Dion kenapa sih? Sebuah tanda tanya memenuhi pikiran Savira. Perempuan itu terus menerka masalah apa yang terjadi sehingga Dion berwajah masam, bahkan mendiamkannya. Hanya masalah pekerjaan yang ada dalam pikiran Savira, dia tak tahu ada duri yang menancap di pernikahannya. Dengan hati-hati Savira melangkah mengikuti Dion. Dia ingin menghilangkan rasa penat dalam diri suaminya. "Kamu mau dibuatkan teh atau kopi, Dion?""Pergi saja kamu! Aku gak mau lihat wajah kamu!"Dion menunjuk pintu, tatapan lelaki itu tajam dan penuh kebencian. Sama seperti saat Savira datang pertama kali. Dion menjadi kasar dan angkuh. Savira menurut, berjalan pelan keluar kamar. Kakinya menginjak anak tangga dengan hati-hati. Sikap kasar Dion menghilangkan konsentrasi. Kaki kirin
"Pergi! Jangan tunjukkan wajah Mama di hadapanku lagi. Aku muak melihat wajah penuh dusta!"Dion menunjuk pintu. Suara teriakannya menciptakan ketakutan. Nunung yang masih berada di balik pintu segera keluar meski rasa penasaran begitu besar. Asisten rumah tangga itu tak ingin dipecat hanya karena jiwa penasarannya meronta-ronta. "Jangan seperti ini, Dion."Savira menggenggam tangan kanan Dion. Perempuan itu berusaha menenangkan amarah suaminya. Namun tak menggubris "Mama minta maaf, Dion."Regina berlutut di depan Dion, tangan merangkul kedua kaki putranya. Perempuan itu berkali-kali mengucapkan kata maaf seraya menitikkan air mata. Regina berusaha meyakinkan Dion agar memaafkan kesalahannya. Melihat sikap Regina, tumbuhlah rasa iba di hati Savira. Hatinya yang tulus tak kuasa melihat Regina bersimpuh untuk mendapatkan maaf dari Dion. Bahkan perempuan itu sudah memaafkan kesalahan Regina. Savira beranjak, menarik tubuh Regina dan memeluknya erat. "Savira dan Dion sudah memaafkan
"Kamu gak suka aku hamil?" Savira menyilangkan kedua tangan di dada. Senyum yang semula merekah seketika lenyap. Dia kecewa dengan tanggapan Dion atas kehamilannya. "Bukan kecewa, Sayang."Dion mendekat, memeluk perempuan yang tengah merajuk. Beberapa kecupan mendarat di wajah Savira. Seketika wajahnya memerah, amarah pun perlahan mereda. Begitu mudah menghilangkan kemarahan seorang perempuan. Pelukan dan kecupan adalah obat mujarab dari besarnya amarah. "Aku masih gak percaya akan menjadi seorang papa, Ra. Maaf jika ekspresi ku tak sesuai dengan ekspetasi yang kamu harapkan."Dion melepas pelukannya, menatap Savira dengan lekat. Sesaat lelaki itu diam, menunduk dengan netra berkabut. Bulir demi bulir pun jatuh membasahi pipinya. "Kenapa kamu menangis, Dion?"Savira menempelkan kedua telapak tangan di pipi Dion. Bulir demi bulir yang menempel ia hapus dengan jemarinya. "Apa aku sanggup menjadi papa yang baik, Ra? Sementara aku tak bisa menjadi anak yang baik bagi papa hingga akh
"Kenapa, Sayang?"Dion semakin mendekatkan wajahnya. Lelaki itu tak sabar ingin mengecup kening istrinya. "Aku mau muntah."Savira berlari menuju kamar mandi. Dia keluarkan semua isi perutnya, hingga lidahnya terasa begitu pahit. Namun perutnya terus meronta sampai tubuh perempuan itu lemas. "Kamu kenapa sih, Ra? Kan sudah turun dari pesawat. Ya, kali masih mabuk udara."Dion memijit tengkuk Savira agar tubuhnya lebih membaik. Namun aroma mulut Dion justru kembali memancing rasa mual dalam perutnya. Untuk kesekian kali Savira muntah dan tubuhnya semakin lemas. "Kamu kenapa sih, Ra?""Diem! Jangan ngomong terus, Dion! Bau mulut kamu gak enak!"Savira menutup hidung dengan kedua tangannya. "Apaan, sih? Orang gak bau kok."Dion terus mencium bau mulutnya. Namun tak ada yang aneh. Aroma kopi justru keluar dari mulutnya, bukan bau jengkol yang menjijikkan. "Kamu habis makan apa sih, Dion?""Gak makan apa-apa, Ra.""Tapi bau!"Savira semakin rapat menutup hidungnya. Dia pun mendorong
Savira duduk setelah mengeluarkan semua isi dalam perutnya. Perempuan itu menyandarkan tubuh seraya memijit kepala yang terasa berdenyut. Baru beberapa menit menghirup aroma pesawat,namun dirinya seakan mau pingsan. Belum lagi isi perut yang meronta, hendak berlari keluar. Tak tahan, Savira pun ingin melarikan diri. "Turun yuk, Dion!"Savira hendak membuka sabuk pengaman yang terpasang di tubuhnya. "Mau terjun bebas, Ra?""Gak tahan, Dion.""Apanya?" Dion menautkan dua alis, tak mengerti dengan ucapan istrinya. "Aku pengen muntah, gak tahan."Savira menutup mulutnya dengan kedua tangan. Sekuat tenaga ia tahan guncangan dalam perut. Dion segera mengambil kantung muntah dan memberikannya pada Savira. Perempuan itu dengan sigap mengambilnya. Dion memijit tengkuk Savira agar membuatnya merasa nyaman. "Masih mual?""Bau apaan sih ini? Gak enak banget!"Dion mengendus-endus, tapi tak menemukan bau busuk yang Savira maksud. Semenjak masuk pesawat, lelaki itu justru suka mencium pewangi