Share

Pertanyaan Bram

Penulis: Dyah Ayu Prabandari
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

Mata Savira membola kala melihat seorang lelaki keluar dari sana. Tangannya mengepal mengingat perlakuan Dion padanya dulu.

"Mau apa kamu?" tanya Savira datar.

"Tamu tidak dipersilahkan masuk?" sindir Dion sambil menatap Savira tak berkedip.

Baru pertama kali Dion melihat Savira tanpa penutup kepala. Kulit putih, hidung mancung, dan leher jenjang membuat Dion tak berkedip melihatnya. Savira memakai hijab hanya di rumah sakit, itu karena tuntutan pekerjaan. Dia merasa belum pantas memakai hijab meski ia tahu memakai hijab wajib hukumnya.

"Kamu bukan tamu, untuk apa mempersilakan masuk?"

"Kamu tak tahu bagaimana cara memuliakan tamu seperti yang diajarkan agamamu?" jawab Dion sambil terus memandang wajah wanita di depannya.

Dion sengaja membawa-bawa ajaran dalam agama agar Savira memperbolehkannya masuk. Kalimat baru saja terucap hanya ia dengar sekilas saja. Selama ini dia hanya mengaku beragama islam tapi tak sekali pun ia mengerjakan kewajiban layaknya umat muslim lainnya.

"Apa lihat-lihat!" bentak Savira.

Dion gelagapan, tak mungkin ia mengakui terpesona dengan kecantikan Savira. Itu namanya menjatuhkan harga diri.

"Sial dia benar-benar cantik, pantas saja tua bangka itu tergila-gila padanya. Modal wajah ia ingin menguasai harta Papa. Dasar wanita licik!"

Tanpa menjawab Dion melangkah menuju rumah. Di depan pintu ia membalikkan badan lalu menatap Savira yang masih diam mematung.

"Kamu suka warna pink, besok akan kubelikan untukmu," ucap Dion lalu segera masuk ke dalam.

Mengernyitkan dahi, Savira tak mengerti maksud perkataan Dion.

"Dasar lelaki aneh, mau apa dia datang kemari? Mau mengancamku lagi? Tapi maaf aku tak takut!" gumam Savira seraya menatap Dion hingga hilang di balik tembok.

Tetes air hujan yang kian deras menyadarkan Savira. Dengan cepat ia memungut pakaian yang masih menempel di jemuran. Gerakan tangannya terhenti saat melihat bra warna pink miliknya.

"Sial, dia melihat milikku!"

Savira segera meletakkan pakaian di dalam kamarnya. Kemudian dengan cepat berjalan menuju ruang tamu, tempat di mana Dion dan Nurdin berbincang empat mata.

"Gawat kalau Dion sampai mengatakan itu di depan bapak," gumam Savira.

Savira tahu betul bagaimana sifat ayahnya. Lelaki berusia 57 tahun itu selalu mementingkan uang. Bahkan rela mengorbankan putrinya demi kepentingannya sendiri.

"Tamunya dibuatkan minum, Ra!"

Belum sempat Savira duduk tapi Nurdin sudah mengusirnya secara halus.

"Aku haus, Vira," ucap Dion lalu tersenyum menyeringai ke arah Savira.

"Sial, lelaki itu pasti sudah mempengaruhi Bapak," ucap Savira dalam hati.

"Buruan, Ra!" perintah Nurdin karena putrinya masih diam membisu.

Savira menghembuskan napas kasar, kemudian berjalan ke dapur. Kedatangan Dion adalah mimpi buruk bagi wanita berusia tiga puluh tahun itu. Dia yakin ada maksud tersembunyi hingga lelaki itu mau menginjakkan kaki di rumah jelek miliknya.

"Tamunya siapa, Ra?" tanya Wati yang baru saja keluar dari kamar mandi.

"Putra Mas Purnawan, Bu," jawabnya seraya mengaduk gula agar menyatu dengan teh.

"Untuk apa dia kemari? Mengancammu lagi? Bukankah papanya sudah meninggal? Lalu untuk apa dia datang lagi?" cecar Wati.

Savira memang menceritakan semua kisah cintanya, termasuk kisah dengan Purnawan. Itu yang membuat dia tahu jika Dion begitu membenci Savira.

"Vira nggak tahu, Bu," dusta Savira.

Sebenarnya Savira masih bertanya-tanya maksud perkataan Dion di rumah sakit tempo hari. Dia masih tak percaya jika Purnawan meminta Dion untuk menikahinya.

"Silakan diminum, Pak Dion," ucap Savira seraya meletakkan secangkir teh di atas meja. Kemudian dia duduk di samping Nurdin tepat berhadapan dengan Dion.

Sengaja ia mengatakan Pak, karena status sosialnya memang jauh lebih tinggi dari keluarganya. Ini bukti dia menghargai seseorang yang memiliki kedudukan lebih tinggi.

"Diminum, Nak Dion," ucap Nurdin sambil tersenyum ramah.

Savira melotot mendengar kata Nak yang keluar dari mulut Nurdin. Kecurigaannya semakin besar pada ayah dan Dion.

"Mau apa kamu kemari?" tanya Savira datar. Dia menatap tajam mata lelaki yang kini duduk sambil menyilangkan kakinya.

Dion sendiri tersenyum penuh kemenangan. Saat Savira sibuk mengangkat jamuran dan membuatkan minum, dia secara langsung melamar Savira untuk dijadikan istri. Tentu dengan iming-iming mahar yang besar.

Ayah mana yang tak bahagia jika putrinya mendapatkan mahar yang begitu besar. Itu pula yang Nurdin rasakan. Impiannya memiliki menantu kaya sudah berada di depan mata, tak perduli jika itu akan menyiksa Savira. Baik hati mau pun raga.

"Kedatanganku kemari untuk melamarmu, Savira," ucap Dion pelan. Dia tahan emosi yang sudah berada di ubun-ubun.

Melihat sikap Nurdin membuat Dion yakin jika Savira memiliki sifat yang sama, mata duitan dan tidak punya malu. Dia masih berpegang teguh jika buah tak akan jatuh jauh dari pohonnya. Meski kenyataannya Nurdin dan Savira memiliki sikap yang jauh berbeda, bahkan bertolak belakang.

"Wanita murahan sepertinya pasti dengan suka hati menerima lamaranku," batin Dion penuh percaya diri.

Savira menyilangkan kedua tangan di dada lalu menatap tajam lelaki sombong yang duduk tepat di hadapannya.

"Ada badai apa hingga seorang putra pengusaha terkenal tiba-tiba datang untuk melamar wanita murahan sepertiku?" tanya Savira, lebih tepatnya sebuah sindiran.

Masih terekam jelas dalam ingatan Savira setiap kata hinaan yang keluar dari mulut Dion. Lalu hari ini dia datang untuk melamar. Hal mustahil yang dapat dibaca oleh Savira.

"Aku hanya ingin menuruti amanat terakhir papa untuk menikahimu, apa aku salah?"

Savira mencebikkan bibir, selama mengenal Purnawan tak sekali pun Dion terlihat dekat dengan ayahnya. Lelaki itu justru sering menyakiti Purnawan dengan tutur kata yang tak pantas keluar dari mulut seorang anak.

"Tapi maaf saya tidak bisa menikah dengan lelaki seperti anda," ucap Savira lalu pergi dari ruang tamu. Dia memilih mengunci diri di dalam kamar.

Dion mengepalkan tangan di atas meja, pundaknya naik turun menahan amarah yang sebentar lagi akan meledak. Penolakan Savira adalah hinaan baginya.

"Tolong maafkan putri saya Nak Dion. Saya janji akan memaksa Vira agar mau menikah dengan kamu. Tolong, jangan batalkan uang lima puluh juta itu." Nurdin menyatukan kedua tangan seraya memohon pengertian Dion.

"Tiga hari, aku beri waktu tiga hari. Kalau sampai dalam waktu tiga hari Savira menolak lamaranku, akan kupastikan kamu tak akan menerima uang yang sudah kujanjikan."

Dion melangkah pergi dengan rasa benci yang kian menjadi. Dia pikir akan mudah menikahi Savira. Namun nyatanya lamarannya ditolak mentah-mentah.

"Awas Savira, akan kupastikan kamu menderita setelah menjadi istriku. Akan kubuat hidupmu bagai di neraka," ucap Dion seraya memukul stang mobil.

"Bagaimana Dion?" cecar Regina saat Dion baru saja menginjakkan kaki di rumah mewah peninggalan Purnawan.

Semenjak kematian Purnawan Regina ikut tinggal bersama Dion. Dia sudah seperti nyonya di rumah itu. Memerintah ini dan itu sesuka hatinya. Dia lupa jika rumah itu bukan lagi menjadi miliknya. Dia hanya menumpang.

"Jangan tanyakan, Ma. Aku pusing! Rencana kita gagal. Dia menolak lamaranku."

"Apa! Dasar wanita sombong!"

"Apa dia tahu soal warisan itu?sehingga dia menolak lamaranku."

"Entahlah, mama juga tidak tahu. Yang jelas waktu kita hanya tinggal tiga minggu lagi."

Keduanya kembali diam sibuk memikirkan cara agar Savira mau menikah dengan Dion.

***

"Gawat, bisa terlambat ini," ucap Savira seraya melirik jam tangan yang melingkar di tangan kirinya.

"Buk, Pak berangkat!" teriak Savira.

Wanita yang mengenakan seragam putih khas perawat itu segera menyalakan mesin motor. Perlahan kuda besi itu berjalan meninggalkan halaman rumah Nurdin.

Beberapa kali Savira melirik benda bulat yang melingkar di tangan. Dia memastikan agar tak terlambat walau satu menit saja. Namun sayang kali ini harapannya tak akan terkabul. Jarum jam sudah menunjukkan pukul 07.02 WIB. Dia terlambat dua menit

"Tumben terlambat, Ra?" tanya Bram kala bertemu Savira di parkiran khusus karyawan rumah sakit.

"Saya duluan, Dok," ucap Savira lalu berlari meninggalkan Bram yang masih berdiri di samping mobil.

"Savira, tunggu!" Teriakan Bram membuat langkah Savira terhenti.

Dengan terpaksa Savira menghentikan langkah lalu membalikkan badan.

"Ada apa, Dok?" tanyanya kesal.

"Nanti pulang kerja ada acara?"

Savira menautkan dua alis mendengar pertanyaan Bram. Selama bekerja bersama Bram, baru kali ini dia menanyakan hal ini.

"Tidak, Dok."

"Setelah selesai tunggu aku di parkiran, ada yang ingin aku bicarakan."

Hari ini rumah sakit dipenuhi pasien, entah di poliklinik atau di IGD. Tak ada perawat dan dokter yang bisa duduk dengan tenang. Semua sibuk dengan tugas masing-masing.

Jarum jam sudah menunjukkan angka dua. Para perawat shift pagi sudah mulai bersiap untuk pulang. Ya, pergantian shift terjadi pada pukul dua siang. Namun tidak dengan Savira, menjadi perawat di ruang IGD membuat jadwal pulangnya sering molor karena pasien yang datang tiba-tiba di jam pergantian shift.

Seperti yang terjadi hari ini, seorang ibu masuk sambil menggendong anaknya yang terus menangis.

"Tidurkan di sini, Bu!" perintah Savira.

"Permen coklat masuk ke hidung, Sus. Saya takut mengeluarkannya. Dia selalu menjerit saat tangan saya mendekat," terang ibu itu.

Perlahan Savira mengeluarkan permen coklat menggunakan pinset. Beruntung permen itu tidak masuk terlalu dalam. Sehingga tak memerlukan waktu lama untuk mengeluarkannya.

Jarum jam sudah menunjukkan pukul 15.30 Savira segera berjalan menuju parkiran.

"Kenapa lama sekali, Ra?"

Savira melonjak kaget mendengar panggilan Bram. Dia lupa jika ada janji dengan dokter itu. Pasien yang banyak membuatnya tak ingat jika ia memiliki janji.

"Maaf, Dok."

"Masuklah, ada yang ingin aku bicarakan!"

"Bawa motor saja, Dok," tolak Savira.

"Ayolah, Ra. Hanya sebentar."

Dengan terpaksa Savira masuk ke dalam mobil Bram. Perlahan kendaraan roda empat itu melaju meninggalkan area rumah sakit.

"Apa yang ingin dokter bicarakan?"

"Apa kamu sudah memiliki pengganti Pak Purnawan, Ra?"

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Nani Mulyani
Sama dokter Bram aja Vir….aman ...
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

  • Bukan Pernikahan Impian   Calon Suami

    Savira melotot mendengar pertanyaan yang baru saja Bram lontarkan. Bahkan mulutnya terbuka lebar. Beruntung tak ada lalat yang bertamu di sana. "Dokter tidak sedang bercanda, kan?"Bram tidak menjawab, dia justru tengah sibuk mencari tepat untuk menepikan kendaraan roda empat miliknya. "Apa aku terlihat bercanda, Ra?" Bram menatap lekat manik hitam Savira. Tatapan itu membuat Savira salah tingkah dan gugup. Haning, tak ada kata yang keluar dari mulut keduanya. Savira memilih diam dengan kebingungan yang menyelimuti hatinya. Masalah dengan Dion belum selesai tapi sudah ada masalah baru yang menimpanya. "Aku menyukaimu sudah sejak lama, Ra. Jauh sebelum kamu menjalin hubungan dengan Pak Purnawan."Savira memilin ujung seragam yang ia kenakan. Dia tak menyangka dokter yang digemari para perawat justru menyukainya. "Savira, maukah kamu menjadi istriku?" Bram menggenggam tangan wanita di depannya seraya mengunci netra bening itu. Jantung Savira berdetak kencang, tatapan Bram mampu me

  • Bukan Pernikahan Impian   Kecurigaan Savira

    Savira melotot mendengar ucapan Dion. Kemudian menggelengkan kepala saat beradu padang dengan Bram. Dokter muda itu berusaha menata hati yang telah diselimuti amarah. "Purnawan sudah mati tapi kenapa muncul lelaki ini?" batin Bram kesal. "Kamu gila, Dion! Kita tak memiliki hubungan apa pun!" Savira menempis tangan kiri Dion yang menggandeng tangannya. Lebih tepatnya mencengkeram tangannya. "Lepaskan! Jangan paksa orang!" Bram berusaha melepas tangan Dion yang mencengkeram lengan Savira. Namun gagal, lelaki itu justru merangkul tubuh Savira dari samping. "Jangan ikut campur, aku dan Savira akan segera menikah. Jangan lagi ganggu calon istri orang!" Dion berjalan sambil merangkul tubuh savira. "Lepaskan, Di!" Savira berusaha mendorong tubuh Dion tapi tak bisa, tenaga lelaki itu jauh lebih kuat. "Ingat Savira, kamu itu milikku!""Jangan bermimpi, aku tak mencintai kamu!""Aku tak butuh cinta, aku hanya butuh kamu.""Tak waras!" maki Savira dengan wajah merah padam. "Ayah kamu sud

  • Bukan Pernikahan Impian   50 juta

    "Apa benar Bapak menjual aku pada Dion?"Kalimat itu akhirnya keluar dari mulut Savira. Susah payah dia menahan kata-kata agar tak menyakiti hati kedua orang tuanya. Namun melihat Nurdin pulang dengan membawa barang belanjaan membuat dada wanita itu bergemuruh. Emosi yang ia tahan lepas tak terkendali. Nurdin membalikkan badan, ia jatuhkan barang belanjaan di lantai begitu saja. Lelaki paruh baya itu menatap tajam ke arah Savira, giginya gemeletuk dengan wajah merah padam. Membuang napas kasar, Savira mengalihkan pandangan lalu membalikkan badan. Dia tutup rapat pintu depan rumahnya. Pertengkaran yang terjadi tak boleh sampai dilihat orang lain. Malu, kata itu yang ada dibenak Savira. "Apa kamu bilang tadi, menjual? Bapak hanya menerima lamaran Dion, bukan menjual kamu. Harusnya kamu senang dipinang lelaki tampan dan yang pasti dia mapan." Nurdin berusaha menutupi kenyataan dengan menonjolkan amarahnya. "Bukan menjual kata Bapak? Bapak menerima uang dari Dion agar dia bisa menik

  • Bukan Pernikahan Impian   Harapan

    Savira mengoles hidung Wati dengan minyak kayu putih. Perlahan wanita paruh baya itu membuka mata. Sosok wanita yang masih mengenakan seragam perawat terlihat pertama kali. "Vira...." lirih Wati berucap bagai hembusan angin. Perlahan bulir demi bulir jatuh membasahi pipi Wati. "Ada yang sakit, Bu?" Savira memperhatikan setiap inci tubuh Wati. Namun tak ia temukan barang segaris luka di tubuh wanita yang bertaruh nyawa saat melahirkannya itu. "Dada ibu sesak?" tanya Savira lagi. Wati menggeleng lalu kembali menjatuhkan air matanya. Sebagai seorang ibu dia merasa bersalah karena tak mampu melindungi putrinya. "Kenapa ibu menangis? Katakan bagian mana yang sakit, Bu? Nanti Savira obati.""Maafkan ibu, Nak. Ibu tak bisa melindungi kamu dari keegoisan bapak." Wati terisak, bayangan uang 50 juta menari-nari di pelupuk mata."Savira baik-baik saja Bu. Savira akan mengembalikan uang Dion," jawab Savira ragu. "50 juta, Ra. Uang dari mana?"Savira terdiam tak mampu menjawab pertanyaan Wa

  • Bukan Pernikahan Impian   Siasat

    "Aku yang akan membayarnya!" Semua mata menoleh ke pintu, seorang lelaki berpakaian rapi berdiri di muka pintu dengan membawa amplop coklat berisi uang. "Pak Hendra!""Hendra!"Ucap Savira dan Dion hampir bersamaan. Kedua orang berbeda gender itu menatap heran pada lelaki yang kini berjalan mendekat. Hendra menjatuhkan bobot tepat di samping Savira. Membuat Dion yang duduk di hadapannya menatap tak suka. Bukan, bukan karena ia cemburu tapi karena rencana yang sudah tersusun rapi akan hancur berantakan. Apa lagi jika Savira menerima bantuan dari Hendra. "Apa maksud Pak Hendra tadi?" Savira menoleh ke kanan, dia tatap lekat manik bening lelaki yang duduk di sampingnya. Hendra menggeser kursi kayu yang ia duduki hingga dapat menatap dengan jelas wajah ayu Savira dari dekat. Tak dapat dipungkiri ada rasa tertarik kala melihat Savira untuk pertama kali. Namun Hendra sadar, dia hanya butiran debu jika dibandingkan dengan Purnawan. "Saya akan memberikan uang untuk membayar hutang Dion.

  • Bukan Pernikahan Impian   Jebakan

    Dion melangkah penuh percaya diri menuju kantin rumah sakit, tempat Savira berada. Lunch box berwarna biru berada di tangan kanannya. Rencana yang Regina bicarakan harus segera dilakukan mengingat batas waktu tinggal sepuluh hari lagi. Jika tidak, seluruh aset Purnawan akan lepas dari tangannya. Dia akan jatuh miskin. Sesekali dia mengatur napas. Lelaki itu harus pandai menyembunyikan marah pada Savira. Meski kenyataannya dia begitu membenci wanita itu. Baginya Savira adalah kutu yang harus dibasmi. "Kenapa aku harus menikahi gundikmu, Pa! Papa benar-benar keterlaluan, bisa-bisanya memintaku menikahi wanita bekas dirinya. Menjijikan!" rutuk Dion dalam hati. Dion berhenti melangkah, matanya awas mencari seorang wanita yang kini duduk sambil meminum es teh. "Ini demi uang! Ayo Dion!" ucap Dion menyemangati dirinya sendiri. Setelah cukup tenang Dion melangkah mendekati meja tempat Savira mengistirahatkan tubuh untuk sejenak. Jadwal istirahat diatur bergiliran. Ruang IGD tak boleh k

  • Bukan Pernikahan Impian   Jebakan 2

    Dion membisu, dia benar-benar tak menyangka jika Savira mengetahui semuanya. Kini rasa takut bersemayam di hati lelaki itu. "Kenapa diam? Jadi benar semua hanya kebohonganmu saja, kan?""Tidak... Lihat ini!" Dion menyerahkan ponsel dengan gambar amplop bertuliskan nama Savira di sana. Sebelum ke rumah sakit Dion sempat menulis amplop dengan nama Savira .Kemudian ia foto benda itu. Putra Purnawan itu yakin kejadian ini akan terjadi. Mengingat Savira menolak lamaran dan bujuk rayunya. Ya, wanita itu sama sekali tak menyukai Dion. Melihat foto yang Dion berikan membuat Savira bimbang. Satu sisi hatinya mempercayai perkataan calon anak tirinya itu. Namun sisi lain meragukan keaslian amplop itu. "Kamu masih tak percaya?" Dion melirik Savira yang masih diam membisu. "Akan aku tunjukkan. Tapi tidak sekarang, aku akan menjemputmu. Kita baca surat itu sama-sama. Surat itu masih di rumah, aku takut hilang jika membawa."Dion beranjak dari kursinya lalu melangkah pergi meninggalkan Savira ya

  • Bukan Pernikahan Impian   Dinikahkan

    Regina mulai menjalankan rencana yang sudah ia susun rapi. Dengan tergesa-gesa ia berlari menuju gerombolan lelaki yang asyik berbincang di depan rumah Pak RT. Wanita dengan penampilan cetar itu berhenti tepat di depan rumah Kepala Rukun Tetangga. Dadanya naik turun dengan napas tersengal. Sebenarnya jarak rumah Dion dan Pak RT tidaklah jauh. Jarak olahraga membuat wanita itu kelelahan. "Ada apa, Bu Regina?" tanya salah seorang warga yang ada di sana. "Itu... Itu...." Regina menunjuk rumah Dion. "Mas Dion kenapa?" Regina mengatur napas, mulutnya belum mampu menjawab karena kelelahan. "Ada ular?" Regina menggeleng. "Maling?" "Lalu apa, Bu?" ucap mereka kesal. "Itu ... Dion di dalam kamar dengan seorang wanita. Aku takut mereka berzina. Tolong buka pintu kamarnya." Regina pura-pura panik, walau di dalam hati tertawa tanpa henti. "Jangan bercanda deh, Bu. Anak sendiri kok dilaporin!" Perkataan salah seorang warga membuat niat untuk menggrebek rumah Dion menurun. "Jangan sampa

Bab terbaru

  • Bukan Pernikahan Impian   Perpisahan

    "Jangan bercanda kamu, Hen! Lahirannya masih satu bulan lagi.""Savira terjatuh, perutnya terbentur hingga pendarahan.""Apa!""Aku tunggu di bandara sekarang juga!"Belum sempat menjawab sambungan telepon sudah dimatikan sepihak oleh Hendra. Sikap itu yang membuat Dion semakin panik dan ketakutan. Sesaat Dion kebingungan, tidak tahu harus berbuat apa. Namun pesan masuk dari Hendra kembali menyadarkan lelaki itu. Dion segera menyambar kunci mobil, dia akan pergi ke bandara. Mobil yang dikemudikan oleh supir melaju dengan kecepatan tinggi. Sepanjang jalan Dion terus meminta sopirnya untuk mempercepat laju kendaraannya. Lelaki itu tak ingin ketinggalan pesawat. "Ngebut lagi, Man!""Tapi, Tuan ....""Kalau sampai aku ketinggalan pesawat, mati kamu!"Supir Dion yang bernama Herman menelan ludah dengan susah payah. Dia pun kian menginjak pedal gas. Hingga akhirnya sampai tepat di depan jalan masuk bandara. "Untung gak mati," ucap supir itu seraya mengelus dada. Tanpa menjawab Dion kel

  • Bukan Pernikahan Impian   Savira Pendarahan

    “Kamu sembunyikan di mana Savira,Hen? Dia masih istriku ... aku berhak tahu!’Dion memekik seraya menarik kerah kemeja yang Hendra kenakan. Caci dan maki tak hentinya keluar dari mulut suami Savira. Dia ingin segera menemukan Savira. Lelaki itu menyesal karena telah mengusir istrinya.Hendra tersenyum sinis. Dia singkirkan tangan mantan atasannya. Tatapan muak nampak jelas di mata Hendra. Dia kesal dengan keegoisan Dion yang tak ada habisnya, bahkan kian menjadi.“Ck! Sejak kapan kamu mengakui Savira sebagai istri, Tuan Dion yang terhormat? Seorang istri itu dilindungi dan dicintai ... bukan justru kamu sia-siakan! Sejak awal menikah kamu selalu menanamkan luka padanya, bahkan saat dia memberikan segenap cinta kamu justru menancapkan belati. Harusnya aku sadar, kamu memang tak pantas untuk Savira. Harusnya aku yang menikahinya,bukan kamu!”BUUG!Sebuah tangan menyentuh keras wajah Hendra. Tinju menciptakan luka di sudut bibirnya. Namun justru senyum sinis dia berikan. Tindakannya kian

  • Bukan Pernikahan Impian   Sebuah Kebenaran

    Empat bulan kemudian. Semilir angin memainkan rambut Savira yang dibiarkan tergerai. Helai demi helai rambut hitam itu menari, terkadang berhenti di hidung, bahkan mulut. Namun perempuan itu masih diam menikmati senja dengan hamparan sawah di depan mata. "Mbak Savira wes arep magrib lho! Pamali ibu hamil masih di luar."Seorang perempuan menyapa Savira. Dia juga memintanya segera masuk ke rumah karena malam segera datang. "Nggeh, Bu. Terima kasih."Perempuan itu mengangguk, kemudian melanjutkan langkah menuju rumah. Begitu pula Savira yang memilih mengikuti permintaan tetangganya tersebut. Sudah empat bulan Savira tinggal di sebuah desa. Jauh dari hingar-bingar kota Jakarta. Setiap bulan sekali Hendra akan datang sambil membawa bahan makanan dan kebutuhan Savira selama satu bulan. Maklum, desa itu jauh dari pasar, bahkan swalayan. Pasar terdekat berjarak 10 kilometer dari rumah Savira, itu pun hanya buka satu minggu sekali. Perempuan itu hanya ke pasar jika menginginkan ikan sega

  • Bukan Pernikahan Impian   Savira Pergi

    Hujan angin menyambut perjalanan Hendra dan Savira. Keduanya saling diam, fokus menatap depan. Kejadian beberapa menit lalu menghancurkan hati mereka.Mendapatkan fitnah dari orang yang disayangi adalah lara yang tiada obatnya. Namun untuk menjelaskan kenyataan juga percuma. Dion tak akan percaya meski Savira menjelaskan sampai berbusa. Kebencian dan kekecewaan sudah tertanam dalam hatinya. Tetes demi tetes air jatuh ke bumi, semakin lama semakin deras. Hendra masih melajukan kendaraannya, tapi kini perlahan. "Kamu mau diantar pulang, Ra?"Hendra melirik ke sebelah kiri, lalu kembali fokus menatap depan. Lima menit lelaki itu menunggu jawaban dari Savira, tapi perempuan itu masih diam membisu. "Aku antar pulang, ya, Ra!"Hendra memutar stang mobil ke kiri. Kendaraan roda empat itu melaju ke rumah sederhana Nurdin. Tak tujuan lain selain tempat Savira dibesarkan. "Antar aku ke bertemu Pak Ridwan, Hen?""Untuk apa?""Kamu akan tahu tapi nanti."Tanpa menjawab Hendra mengubah arah m

  • Bukan Pernikahan Impian   Diusir Dari Rumah

    "Kamu kenapa, Dion?"Lelaki itu membisu, menerobos melewati Savira tanpa menoleh sedikit pun. Tak ada senyum apalagi kecupan hangat yang selalu ia berikan. Dion menahan amarah karena sebuah foto yang dikirim ke nomornya pagi ini. Dion kenapa sih? Sebuah tanda tanya memenuhi pikiran Savira. Perempuan itu terus menerka masalah apa yang terjadi sehingga Dion berwajah masam, bahkan mendiamkannya. Hanya masalah pekerjaan yang ada dalam pikiran Savira, dia tak tahu ada duri yang menancap di pernikahannya. Dengan hati-hati Savira melangkah mengikuti Dion. Dia ingin menghilangkan rasa penat dalam diri suaminya. "Kamu mau dibuatkan teh atau kopi, Dion?""Pergi saja kamu! Aku gak mau lihat wajah kamu!"Dion menunjuk pintu, tatapan lelaki itu tajam dan penuh kebencian. Sama seperti saat Savira datang pertama kali. Dion menjadi kasar dan angkuh. Savira menurut, berjalan pelan keluar kamar. Kakinya menginjak anak tangga dengan hati-hati. Sikap kasar Dion menghilangkan konsentrasi. Kaki kirin

  • Bukan Pernikahan Impian   Amarah Dion

    "Pergi! Jangan tunjukkan wajah Mama di hadapanku lagi. Aku muak melihat wajah penuh dusta!"Dion menunjuk pintu. Suara teriakannya menciptakan ketakutan. Nunung yang masih berada di balik pintu segera keluar meski rasa penasaran begitu besar. Asisten rumah tangga itu tak ingin dipecat hanya karena jiwa penasarannya meronta-ronta. "Jangan seperti ini, Dion."Savira menggenggam tangan kanan Dion. Perempuan itu berusaha menenangkan amarah suaminya. Namun tak menggubris "Mama minta maaf, Dion."Regina berlutut di depan Dion, tangan merangkul kedua kaki putranya. Perempuan itu berkali-kali mengucapkan kata maaf seraya menitikkan air mata. Regina berusaha meyakinkan Dion agar memaafkan kesalahannya. Melihat sikap Regina, tumbuhlah rasa iba di hati Savira. Hatinya yang tulus tak kuasa melihat Regina bersimpuh untuk mendapatkan maaf dari Dion. Bahkan perempuan itu sudah memaafkan kesalahan Regina. Savira beranjak, menarik tubuh Regina dan memeluknya erat. "Savira dan Dion sudah memaafkan

  • Bukan Pernikahan Impian   Permohonan Maaf Regina

    "Kamu gak suka aku hamil?" Savira menyilangkan kedua tangan di dada. Senyum yang semula merekah seketika lenyap. Dia kecewa dengan tanggapan Dion atas kehamilannya. "Bukan kecewa, Sayang."Dion mendekat, memeluk perempuan yang tengah merajuk. Beberapa kecupan mendarat di wajah Savira. Seketika wajahnya memerah, amarah pun perlahan mereda. Begitu mudah menghilangkan kemarahan seorang perempuan. Pelukan dan kecupan adalah obat mujarab dari besarnya amarah. "Aku masih gak percaya akan menjadi seorang papa, Ra. Maaf jika ekspresi ku tak sesuai dengan ekspetasi yang kamu harapkan."Dion melepas pelukannya, menatap Savira dengan lekat. Sesaat lelaki itu diam, menunduk dengan netra berkabut. Bulir demi bulir pun jatuh membasahi pipinya. "Kenapa kamu menangis, Dion?"Savira menempelkan kedua telapak tangan di pipi Dion. Bulir demi bulir yang menempel ia hapus dengan jemarinya. "Apa aku sanggup menjadi papa yang baik, Ra? Sementara aku tak bisa menjadi anak yang baik bagi papa hingga akh

  • Bukan Pernikahan Impian   Hamil

    "Kenapa, Sayang?"Dion semakin mendekatkan wajahnya. Lelaki itu tak sabar ingin mengecup kening istrinya. "Aku mau muntah."Savira berlari menuju kamar mandi. Dia keluarkan semua isi perutnya, hingga lidahnya terasa begitu pahit. Namun perutnya terus meronta sampai tubuh perempuan itu lemas. "Kamu kenapa sih, Ra? Kan sudah turun dari pesawat. Ya, kali masih mabuk udara."Dion memijit tengkuk Savira agar tubuhnya lebih membaik. Namun aroma mulut Dion justru kembali memancing rasa mual dalam perutnya. Untuk kesekian kali Savira muntah dan tubuhnya semakin lemas. "Kamu kenapa sih, Ra?""Diem! Jangan ngomong terus, Dion! Bau mulut kamu gak enak!"Savira menutup hidung dengan kedua tangannya. "Apaan, sih? Orang gak bau kok."Dion terus mencium bau mulutnya. Namun tak ada yang aneh. Aroma kopi justru keluar dari mulutnya, bukan bau jengkol yang menjijikkan. "Kamu habis makan apa sih, Dion?""Gak makan apa-apa, Ra.""Tapi bau!"Savira semakin rapat menutup hidungnya. Dia pun mendorong

  • Bukan Pernikahan Impian   Honeymoon

    Savira duduk setelah mengeluarkan semua isi dalam perutnya. Perempuan itu menyandarkan tubuh seraya memijit kepala yang terasa berdenyut. Baru beberapa menit menghirup aroma pesawat,namun dirinya seakan mau pingsan. Belum lagi isi perut yang meronta, hendak berlari keluar. Tak tahan, Savira pun ingin melarikan diri. "Turun yuk, Dion!"Savira hendak membuka sabuk pengaman yang terpasang di tubuhnya. "Mau terjun bebas, Ra?""Gak tahan, Dion.""Apanya?" Dion menautkan dua alis, tak mengerti dengan ucapan istrinya. "Aku pengen muntah, gak tahan."Savira menutup mulutnya dengan kedua tangan. Sekuat tenaga ia tahan guncangan dalam perut. Dion segera mengambil kantung muntah dan memberikannya pada Savira. Perempuan itu dengan sigap mengambilnya. Dion memijit tengkuk Savira agar membuatnya merasa nyaman. "Masih mual?""Bau apaan sih ini? Gak enak banget!"Dion mengendus-endus, tapi tak menemukan bau busuk yang Savira maksud. Semenjak masuk pesawat, lelaki itu justru suka mencium pewangi

DMCA.com Protection Status