Share

Kecurigaan Savira

Penulis: Dyah Ayu Prabandari
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

Savira melotot mendengar ucapan Dion. Kemudian menggelengkan kepala saat beradu padang dengan Bram. Dokter muda itu berusaha menata hati yang telah diselimuti amarah.

"Purnawan sudah mati tapi kenapa muncul lelaki ini?" batin Bram kesal.

"Kamu gila, Dion! Kita tak memiliki hubungan apa pun!" Savira menempis tangan kiri Dion yang menggandeng tangannya. Lebih tepatnya mencengkeram tangannya.

"Lepaskan! Jangan paksa orang!"

Bram berusaha melepas tangan Dion yang mencengkeram lengan Savira. Namun gagal, lelaki itu justru merangkul tubuh Savira dari samping.

"Jangan ikut campur, aku dan Savira akan segera menikah. Jangan lagi ganggu calon istri orang!" Dion berjalan sambil merangkul tubuh savira.

"Lepaskan, Di!" Savira berusaha mendorong tubuh Dion tapi tak bisa, tenaga lelaki itu jauh lebih kuat.

"Ingat Savira, kamu itu milikku!"

"Jangan bermimpi, aku tak mencintai kamu!"

"Aku tak butuh cinta, aku hanya butuh kamu."

"Tak waras!" maki Savira dengan wajah merah padam.

"Ayah kamu sud
Bab Terkunci
Membaca bab selanjutnya di APP

Bab terkait

  • Bukan Pernikahan Impian   50 juta

    "Apa benar Bapak menjual aku pada Dion?"Kalimat itu akhirnya keluar dari mulut Savira. Susah payah dia menahan kata-kata agar tak menyakiti hati kedua orang tuanya. Namun melihat Nurdin pulang dengan membawa barang belanjaan membuat dada wanita itu bergemuruh. Emosi yang ia tahan lepas tak terkendali. Nurdin membalikkan badan, ia jatuhkan barang belanjaan di lantai begitu saja. Lelaki paruh baya itu menatap tajam ke arah Savira, giginya gemeletuk dengan wajah merah padam. Membuang napas kasar, Savira mengalihkan pandangan lalu membalikkan badan. Dia tutup rapat pintu depan rumahnya. Pertengkaran yang terjadi tak boleh sampai dilihat orang lain. Malu, kata itu yang ada dibenak Savira. "Apa kamu bilang tadi, menjual? Bapak hanya menerima lamaran Dion, bukan menjual kamu. Harusnya kamu senang dipinang lelaki tampan dan yang pasti dia mapan." Nurdin berusaha menutupi kenyataan dengan menonjolkan amarahnya. "Bukan menjual kata Bapak? Bapak menerima uang dari Dion agar dia bisa menik

  • Bukan Pernikahan Impian   Harapan

    Savira mengoles hidung Wati dengan minyak kayu putih. Perlahan wanita paruh baya itu membuka mata. Sosok wanita yang masih mengenakan seragam perawat terlihat pertama kali. "Vira...." lirih Wati berucap bagai hembusan angin. Perlahan bulir demi bulir jatuh membasahi pipi Wati. "Ada yang sakit, Bu?" Savira memperhatikan setiap inci tubuh Wati. Namun tak ia temukan barang segaris luka di tubuh wanita yang bertaruh nyawa saat melahirkannya itu. "Dada ibu sesak?" tanya Savira lagi. Wati menggeleng lalu kembali menjatuhkan air matanya. Sebagai seorang ibu dia merasa bersalah karena tak mampu melindungi putrinya. "Kenapa ibu menangis? Katakan bagian mana yang sakit, Bu? Nanti Savira obati.""Maafkan ibu, Nak. Ibu tak bisa melindungi kamu dari keegoisan bapak." Wati terisak, bayangan uang 50 juta menari-nari di pelupuk mata."Savira baik-baik saja Bu. Savira akan mengembalikan uang Dion," jawab Savira ragu. "50 juta, Ra. Uang dari mana?"Savira terdiam tak mampu menjawab pertanyaan Wa

  • Bukan Pernikahan Impian   Siasat

    "Aku yang akan membayarnya!" Semua mata menoleh ke pintu, seorang lelaki berpakaian rapi berdiri di muka pintu dengan membawa amplop coklat berisi uang. "Pak Hendra!""Hendra!"Ucap Savira dan Dion hampir bersamaan. Kedua orang berbeda gender itu menatap heran pada lelaki yang kini berjalan mendekat. Hendra menjatuhkan bobot tepat di samping Savira. Membuat Dion yang duduk di hadapannya menatap tak suka. Bukan, bukan karena ia cemburu tapi karena rencana yang sudah tersusun rapi akan hancur berantakan. Apa lagi jika Savira menerima bantuan dari Hendra. "Apa maksud Pak Hendra tadi?" Savira menoleh ke kanan, dia tatap lekat manik bening lelaki yang duduk di sampingnya. Hendra menggeser kursi kayu yang ia duduki hingga dapat menatap dengan jelas wajah ayu Savira dari dekat. Tak dapat dipungkiri ada rasa tertarik kala melihat Savira untuk pertama kali. Namun Hendra sadar, dia hanya butiran debu jika dibandingkan dengan Purnawan. "Saya akan memberikan uang untuk membayar hutang Dion.

  • Bukan Pernikahan Impian   Jebakan

    Dion melangkah penuh percaya diri menuju kantin rumah sakit, tempat Savira berada. Lunch box berwarna biru berada di tangan kanannya. Rencana yang Regina bicarakan harus segera dilakukan mengingat batas waktu tinggal sepuluh hari lagi. Jika tidak, seluruh aset Purnawan akan lepas dari tangannya. Dia akan jatuh miskin. Sesekali dia mengatur napas. Lelaki itu harus pandai menyembunyikan marah pada Savira. Meski kenyataannya dia begitu membenci wanita itu. Baginya Savira adalah kutu yang harus dibasmi. "Kenapa aku harus menikahi gundikmu, Pa! Papa benar-benar keterlaluan, bisa-bisanya memintaku menikahi wanita bekas dirinya. Menjijikan!" rutuk Dion dalam hati. Dion berhenti melangkah, matanya awas mencari seorang wanita yang kini duduk sambil meminum es teh. "Ini demi uang! Ayo Dion!" ucap Dion menyemangati dirinya sendiri. Setelah cukup tenang Dion melangkah mendekati meja tempat Savira mengistirahatkan tubuh untuk sejenak. Jadwal istirahat diatur bergiliran. Ruang IGD tak boleh k

  • Bukan Pernikahan Impian   Jebakan 2

    Dion membisu, dia benar-benar tak menyangka jika Savira mengetahui semuanya. Kini rasa takut bersemayam di hati lelaki itu. "Kenapa diam? Jadi benar semua hanya kebohonganmu saja, kan?""Tidak... Lihat ini!" Dion menyerahkan ponsel dengan gambar amplop bertuliskan nama Savira di sana. Sebelum ke rumah sakit Dion sempat menulis amplop dengan nama Savira .Kemudian ia foto benda itu. Putra Purnawan itu yakin kejadian ini akan terjadi. Mengingat Savira menolak lamaran dan bujuk rayunya. Ya, wanita itu sama sekali tak menyukai Dion. Melihat foto yang Dion berikan membuat Savira bimbang. Satu sisi hatinya mempercayai perkataan calon anak tirinya itu. Namun sisi lain meragukan keaslian amplop itu. "Kamu masih tak percaya?" Dion melirik Savira yang masih diam membisu. "Akan aku tunjukkan. Tapi tidak sekarang, aku akan menjemputmu. Kita baca surat itu sama-sama. Surat itu masih di rumah, aku takut hilang jika membawa."Dion beranjak dari kursinya lalu melangkah pergi meninggalkan Savira ya

  • Bukan Pernikahan Impian   Dinikahkan

    Regina mulai menjalankan rencana yang sudah ia susun rapi. Dengan tergesa-gesa ia berlari menuju gerombolan lelaki yang asyik berbincang di depan rumah Pak RT. Wanita dengan penampilan cetar itu berhenti tepat di depan rumah Kepala Rukun Tetangga. Dadanya naik turun dengan napas tersengal. Sebenarnya jarak rumah Dion dan Pak RT tidaklah jauh. Jarak olahraga membuat wanita itu kelelahan. "Ada apa, Bu Regina?" tanya salah seorang warga yang ada di sana. "Itu... Itu...." Regina menunjuk rumah Dion. "Mas Dion kenapa?" Regina mengatur napas, mulutnya belum mampu menjawab karena kelelahan. "Ada ular?" Regina menggeleng. "Maling?" "Lalu apa, Bu?" ucap mereka kesal. "Itu ... Dion di dalam kamar dengan seorang wanita. Aku takut mereka berzina. Tolong buka pintu kamarnya." Regina pura-pura panik, walau di dalam hati tertawa tanpa henti. "Jangan bercanda deh, Bu. Anak sendiri kok dilaporin!" Perkataan salah seorang warga membuat niat untuk menggrebek rumah Dion menurun. "Jangan sampa

  • Bukan Pernikahan Impian   Dinikahkan 2

    Kedipan mata Regina membuat lelaki tersadar jika ia tengah bersandiwara, dan Savira adalah kekasihnya. Lelaki yang sudah mengenakan pakaian lengkap itu berjalan mendekati ranjang. Dengan sedikit kasar ia menggoyangkan tubuh Savira. "Bangun, Ra! Bangun!" Dion menepuk-nepuk pipi Savira. Sentuhan kasar dan teriakan membuat Savira terbangun. Matanya yang masih lengket ia paksa agar terbuka lebar. Wanita itu melotot melihat segerombol lelaki berada di hadapannya. "Pergi kalian, kenapa ada di kamarku!" teriak Savira lantang. Dia tak sadar jika berada di dalam kamar Dion. Dengan kesal Savira bersiap untuk beranjak dari ranjang. Namun dengan cepat Dion mendorong tubuhnya. Seketika Savira menarik tangan Dion,hingga lelaki itu jatuh tepat di atas tubuhnya. "Ya Allah, pemandangan haram!" celetuk lelaki berkaos hitam. "Kamu! Menyingkir dari tubuhku!" Savira mendorong tubuh kekar lelaki yang masih menindih tubuhnya. "Yakin kamu mau berdiri dengan penampilan seperti itu?" Dion menatap penuh

  • Bukan Pernikahan Impian   Pernikahan

    Setelah penggerebekan yang dilakukan lima orang lelaki dan Regina. Kini kediaman Dion diselimuti ketegangan. Mereka tengah duduk di ruang keluarga, menunggu Nurdin dan penghulu yang belum juga datang. Ruang keluarga memang didesain luas, ada televisi empat puluh inch yang berada di hadapan mereka. Sebuah rak buku yang terletak di pojok ruangan. Sofa panjang yang bisa di duduki sepuluh orang dewasa. Belum lagi pernak pernik yang ditata indah hingga menimbulkan rasa nyaman bagi orang yang berada di sana. Namun semua itu tidak berlaku untuk mantan kekasih Purnawan. Savira duduk tak tenang, berkali-kali ia mengubah posisi tubuhnya. Keringat dingin mulai membanjiri sekujur tubuh wanita itu. Dia panik, tak tahu harus berbuat apa? Ingin kabur tapi setiap pergerakannya selalu diawasi Pak RT dan warga sekitar. "Ya Allah, bagaimana caranya aku bisa melarikan diri?""Duduklah dengan tenang, Sayang." Dion beranjak dari sofa lalu melangkah mendekati Savira. Wanita itu hanya bisa diam dengan so

Bab terbaru

  • Bukan Pernikahan Impian   Perpisahan

    "Jangan bercanda kamu, Hen! Lahirannya masih satu bulan lagi.""Savira terjatuh, perutnya terbentur hingga pendarahan.""Apa!""Aku tunggu di bandara sekarang juga!"Belum sempat menjawab sambungan telepon sudah dimatikan sepihak oleh Hendra. Sikap itu yang membuat Dion semakin panik dan ketakutan. Sesaat Dion kebingungan, tidak tahu harus berbuat apa. Namun pesan masuk dari Hendra kembali menyadarkan lelaki itu. Dion segera menyambar kunci mobil, dia akan pergi ke bandara. Mobil yang dikemudikan oleh supir melaju dengan kecepatan tinggi. Sepanjang jalan Dion terus meminta sopirnya untuk mempercepat laju kendaraannya. Lelaki itu tak ingin ketinggalan pesawat. "Ngebut lagi, Man!""Tapi, Tuan ....""Kalau sampai aku ketinggalan pesawat, mati kamu!"Supir Dion yang bernama Herman menelan ludah dengan susah payah. Dia pun kian menginjak pedal gas. Hingga akhirnya sampai tepat di depan jalan masuk bandara. "Untung gak mati," ucap supir itu seraya mengelus dada. Tanpa menjawab Dion kel

  • Bukan Pernikahan Impian   Savira Pendarahan

    “Kamu sembunyikan di mana Savira,Hen? Dia masih istriku ... aku berhak tahu!’Dion memekik seraya menarik kerah kemeja yang Hendra kenakan. Caci dan maki tak hentinya keluar dari mulut suami Savira. Dia ingin segera menemukan Savira. Lelaki itu menyesal karena telah mengusir istrinya.Hendra tersenyum sinis. Dia singkirkan tangan mantan atasannya. Tatapan muak nampak jelas di mata Hendra. Dia kesal dengan keegoisan Dion yang tak ada habisnya, bahkan kian menjadi.“Ck! Sejak kapan kamu mengakui Savira sebagai istri, Tuan Dion yang terhormat? Seorang istri itu dilindungi dan dicintai ... bukan justru kamu sia-siakan! Sejak awal menikah kamu selalu menanamkan luka padanya, bahkan saat dia memberikan segenap cinta kamu justru menancapkan belati. Harusnya aku sadar, kamu memang tak pantas untuk Savira. Harusnya aku yang menikahinya,bukan kamu!”BUUG!Sebuah tangan menyentuh keras wajah Hendra. Tinju menciptakan luka di sudut bibirnya. Namun justru senyum sinis dia berikan. Tindakannya kian

  • Bukan Pernikahan Impian   Sebuah Kebenaran

    Empat bulan kemudian. Semilir angin memainkan rambut Savira yang dibiarkan tergerai. Helai demi helai rambut hitam itu menari, terkadang berhenti di hidung, bahkan mulut. Namun perempuan itu masih diam menikmati senja dengan hamparan sawah di depan mata. "Mbak Savira wes arep magrib lho! Pamali ibu hamil masih di luar."Seorang perempuan menyapa Savira. Dia juga memintanya segera masuk ke rumah karena malam segera datang. "Nggeh, Bu. Terima kasih."Perempuan itu mengangguk, kemudian melanjutkan langkah menuju rumah. Begitu pula Savira yang memilih mengikuti permintaan tetangganya tersebut. Sudah empat bulan Savira tinggal di sebuah desa. Jauh dari hingar-bingar kota Jakarta. Setiap bulan sekali Hendra akan datang sambil membawa bahan makanan dan kebutuhan Savira selama satu bulan. Maklum, desa itu jauh dari pasar, bahkan swalayan. Pasar terdekat berjarak 10 kilometer dari rumah Savira, itu pun hanya buka satu minggu sekali. Perempuan itu hanya ke pasar jika menginginkan ikan sega

  • Bukan Pernikahan Impian   Savira Pergi

    Hujan angin menyambut perjalanan Hendra dan Savira. Keduanya saling diam, fokus menatap depan. Kejadian beberapa menit lalu menghancurkan hati mereka.Mendapatkan fitnah dari orang yang disayangi adalah lara yang tiada obatnya. Namun untuk menjelaskan kenyataan juga percuma. Dion tak akan percaya meski Savira menjelaskan sampai berbusa. Kebencian dan kekecewaan sudah tertanam dalam hatinya. Tetes demi tetes air jatuh ke bumi, semakin lama semakin deras. Hendra masih melajukan kendaraannya, tapi kini perlahan. "Kamu mau diantar pulang, Ra?"Hendra melirik ke sebelah kiri, lalu kembali fokus menatap depan. Lima menit lelaki itu menunggu jawaban dari Savira, tapi perempuan itu masih diam membisu. "Aku antar pulang, ya, Ra!"Hendra memutar stang mobil ke kiri. Kendaraan roda empat itu melaju ke rumah sederhana Nurdin. Tak tujuan lain selain tempat Savira dibesarkan. "Antar aku ke bertemu Pak Ridwan, Hen?""Untuk apa?""Kamu akan tahu tapi nanti."Tanpa menjawab Hendra mengubah arah m

  • Bukan Pernikahan Impian   Diusir Dari Rumah

    "Kamu kenapa, Dion?"Lelaki itu membisu, menerobos melewati Savira tanpa menoleh sedikit pun. Tak ada senyum apalagi kecupan hangat yang selalu ia berikan. Dion menahan amarah karena sebuah foto yang dikirim ke nomornya pagi ini. Dion kenapa sih? Sebuah tanda tanya memenuhi pikiran Savira. Perempuan itu terus menerka masalah apa yang terjadi sehingga Dion berwajah masam, bahkan mendiamkannya. Hanya masalah pekerjaan yang ada dalam pikiran Savira, dia tak tahu ada duri yang menancap di pernikahannya. Dengan hati-hati Savira melangkah mengikuti Dion. Dia ingin menghilangkan rasa penat dalam diri suaminya. "Kamu mau dibuatkan teh atau kopi, Dion?""Pergi saja kamu! Aku gak mau lihat wajah kamu!"Dion menunjuk pintu, tatapan lelaki itu tajam dan penuh kebencian. Sama seperti saat Savira datang pertama kali. Dion menjadi kasar dan angkuh. Savira menurut, berjalan pelan keluar kamar. Kakinya menginjak anak tangga dengan hati-hati. Sikap kasar Dion menghilangkan konsentrasi. Kaki kirin

  • Bukan Pernikahan Impian   Amarah Dion

    "Pergi! Jangan tunjukkan wajah Mama di hadapanku lagi. Aku muak melihat wajah penuh dusta!"Dion menunjuk pintu. Suara teriakannya menciptakan ketakutan. Nunung yang masih berada di balik pintu segera keluar meski rasa penasaran begitu besar. Asisten rumah tangga itu tak ingin dipecat hanya karena jiwa penasarannya meronta-ronta. "Jangan seperti ini, Dion."Savira menggenggam tangan kanan Dion. Perempuan itu berusaha menenangkan amarah suaminya. Namun tak menggubris "Mama minta maaf, Dion."Regina berlutut di depan Dion, tangan merangkul kedua kaki putranya. Perempuan itu berkali-kali mengucapkan kata maaf seraya menitikkan air mata. Regina berusaha meyakinkan Dion agar memaafkan kesalahannya. Melihat sikap Regina, tumbuhlah rasa iba di hati Savira. Hatinya yang tulus tak kuasa melihat Regina bersimpuh untuk mendapatkan maaf dari Dion. Bahkan perempuan itu sudah memaafkan kesalahan Regina. Savira beranjak, menarik tubuh Regina dan memeluknya erat. "Savira dan Dion sudah memaafkan

  • Bukan Pernikahan Impian   Permohonan Maaf Regina

    "Kamu gak suka aku hamil?" Savira menyilangkan kedua tangan di dada. Senyum yang semula merekah seketika lenyap. Dia kecewa dengan tanggapan Dion atas kehamilannya. "Bukan kecewa, Sayang."Dion mendekat, memeluk perempuan yang tengah merajuk. Beberapa kecupan mendarat di wajah Savira. Seketika wajahnya memerah, amarah pun perlahan mereda. Begitu mudah menghilangkan kemarahan seorang perempuan. Pelukan dan kecupan adalah obat mujarab dari besarnya amarah. "Aku masih gak percaya akan menjadi seorang papa, Ra. Maaf jika ekspresi ku tak sesuai dengan ekspetasi yang kamu harapkan."Dion melepas pelukannya, menatap Savira dengan lekat. Sesaat lelaki itu diam, menunduk dengan netra berkabut. Bulir demi bulir pun jatuh membasahi pipinya. "Kenapa kamu menangis, Dion?"Savira menempelkan kedua telapak tangan di pipi Dion. Bulir demi bulir yang menempel ia hapus dengan jemarinya. "Apa aku sanggup menjadi papa yang baik, Ra? Sementara aku tak bisa menjadi anak yang baik bagi papa hingga akh

  • Bukan Pernikahan Impian   Hamil

    "Kenapa, Sayang?"Dion semakin mendekatkan wajahnya. Lelaki itu tak sabar ingin mengecup kening istrinya. "Aku mau muntah."Savira berlari menuju kamar mandi. Dia keluarkan semua isi perutnya, hingga lidahnya terasa begitu pahit. Namun perutnya terus meronta sampai tubuh perempuan itu lemas. "Kamu kenapa sih, Ra? Kan sudah turun dari pesawat. Ya, kali masih mabuk udara."Dion memijit tengkuk Savira agar tubuhnya lebih membaik. Namun aroma mulut Dion justru kembali memancing rasa mual dalam perutnya. Untuk kesekian kali Savira muntah dan tubuhnya semakin lemas. "Kamu kenapa sih, Ra?""Diem! Jangan ngomong terus, Dion! Bau mulut kamu gak enak!"Savira menutup hidung dengan kedua tangannya. "Apaan, sih? Orang gak bau kok."Dion terus mencium bau mulutnya. Namun tak ada yang aneh. Aroma kopi justru keluar dari mulutnya, bukan bau jengkol yang menjijikkan. "Kamu habis makan apa sih, Dion?""Gak makan apa-apa, Ra.""Tapi bau!"Savira semakin rapat menutup hidungnya. Dia pun mendorong

  • Bukan Pernikahan Impian   Honeymoon

    Savira duduk setelah mengeluarkan semua isi dalam perutnya. Perempuan itu menyandarkan tubuh seraya memijit kepala yang terasa berdenyut. Baru beberapa menit menghirup aroma pesawat,namun dirinya seakan mau pingsan. Belum lagi isi perut yang meronta, hendak berlari keluar. Tak tahan, Savira pun ingin melarikan diri. "Turun yuk, Dion!"Savira hendak membuka sabuk pengaman yang terpasang di tubuhnya. "Mau terjun bebas, Ra?""Gak tahan, Dion.""Apanya?" Dion menautkan dua alis, tak mengerti dengan ucapan istrinya. "Aku pengen muntah, gak tahan."Savira menutup mulutnya dengan kedua tangan. Sekuat tenaga ia tahan guncangan dalam perut. Dion segera mengambil kantung muntah dan memberikannya pada Savira. Perempuan itu dengan sigap mengambilnya. Dion memijit tengkuk Savira agar membuatnya merasa nyaman. "Masih mual?""Bau apaan sih ini? Gak enak banget!"Dion mengendus-endus, tapi tak menemukan bau busuk yang Savira maksud. Semenjak masuk pesawat, lelaki itu justru suka mencium pewangi

DMCA.com Protection Status