Setelah penggerebekan yang dilakukan lima orang lelaki dan Regina. Kini kediaman Dion diselimuti ketegangan. Mereka tengah duduk di ruang keluarga, menunggu Nurdin dan penghulu yang belum juga datang. Ruang keluarga memang didesain luas, ada televisi empat puluh inch yang berada di hadapan mereka. Sebuah rak buku yang terletak di pojok ruangan. Sofa panjang yang bisa di duduki sepuluh orang dewasa. Belum lagi pernak pernik yang ditata indah hingga menimbulkan rasa nyaman bagi orang yang berada di sana. Namun semua itu tidak berlaku untuk mantan kekasih Purnawan. Savira duduk tak tenang, berkali-kali ia mengubah posisi tubuhnya. Keringat dingin mulai membanjiri sekujur tubuh wanita itu. Dia panik, tak tahu harus berbuat apa? Ingin kabur tapi setiap pergerakannya selalu diawasi Pak RT dan warga sekitar. "Ya Allah, bagaimana caranya aku bisa melarikan diri?""Duduklah dengan tenang, Sayang." Dion beranjak dari sofa lalu melangkah mendekati Savira. Wanita itu hanya bisa diam dengan so
Badrun membalikkan badan,belum sempat ia memutar motor sebuah motor matik berwarna merah berhenti tepat di sampingnya. Seorang lelaki turun sambil membawa tas. “Maaf,benar ini kediaman Pak Purnawan?” tanya penghulu itu pada satpam yang masih berada di luar gerbang.“Bapak pasti penghulu,kan?” tebak satpam itu.Seperti Nurdin,penghulu itu segera masuk. Kini tinggal Badrun yang di luar dengan tanda tanya yang semakin memuncak.“Savira ... Nak Dion?” ucap Nurdin kaget. Lelaki itu tidak menyangka jika rumah mewah itu milik Dion, lelaki yang diharapkan bisa menjadi menantunya. “Savira tidak melakukan apa yang mereka tuduhkan,Pak. Savira tidak mau menikah dengan dia!” Savira meminta perlindungan pada Nurdin tapi ayahnya justru diam, seolah acuh dengan perkataannya. Buru-buru Dion mengedipkan mata. Pucuk dicinta ulam pun tiba. Nurdin mengangguk, membalas isyarat yang Dion berikan. "Kamu sudah berbuat zina! Memalukan! Bapak tidak pernah mangajarkan kamu menjadi wanita murahan."Perkataan
"Kenapa kamu masih berdiri di situ!" Dion menatap tajam ke arah Savira. Tatapan yang membuat wanita itu menelan ludah dengan susah payah. Savira masih mematung tapi tatapannya telah berganti, kini ia tengah beradu pandang dengan Dion. Calon anak tiri yang justru menjadi suaminya. "Tuhan,dari semua lelaki di dunia ini, kenapa harus Dion yang menjadi suamiku?" ucap Savira tapi hanya di dalam hati. Skenario Tuhan memang tak bisa diterka atau diduga. Apa yang kita rencanakan belum tentu menjadi kenyataan. Seperti itu yang kini menimpa Savira. Dia harus menikah dengan orang yang sangat ia benci. "Kamu tuli! Ayo masuk!" Dion menarik paksa lengan Savira masuk ke rumah, diikuti Regina di belakangnya. Lelaki itu tak memperdulikan Savira yang diam menahan sakit di tangan. "Selamat datang Savira, calon ibu tiri yang kini menjadi istriku," ucap Dion lalu tersenyum mengejek ke arah Savira. Regina diam, ia menikmati tontonan yang sebentar lagi akan dipertunjukkan oleh Dion, putranya. "Kenapa
"Savira.""Pak Hendra."Kedua insan yang berhadapan itu saling terkejut. Terutama Hendra yang melihat Savira ada di rumah Dion. Lelaki itu menelisik pakaian Savira, pikiran buruk tiba-tiba hadir di kepalanya. "Saya pakai celana kolor, Pak," ucap Savira seolah tahu apa yang tengah Hendra pikirkan. "Kenapa bisa ada di sini?"Pertanyaan yang Hendra tahan melesat begitu saja. Bukan hanya penasaran, lelaki yang memakai jas berwarna hitam itu khawatir melihat Savira berada di kandang singa. "Silakan masuk, Pak."Ada keraguan yang menelusup di hati wanita itu. Dia takut salah bicara hingga berakibat fatal. Namun ingatan kembali berputar, bayangan saat Hendra menolongnya hadir lagi. "Apa Pak Hendra mampu membantuku lepas dari Dion untuk kedua kalinya?" Savira bertanya dalam hati. Sesaat mereka diam, ada perasaan canggung yang muncul di hati masing-masing. "Kenapa kamu bisa ada di sini? Maaf sebelumya, kenapa kamu memakai pakaian Tuan Dion?" tanya Hendra sedikit ragu. Hendra tahu betul
"Do-dokter Bram," ucap Savira terbata. Bram melangkah mendekat meski belum dipersilakan masuk oleh pemilik rumah. Rasa penasaran menuntunnya berjalan maju kemudian berhenti di hadapan Savira dan ibunya. "Bukankah kamu sakit, Ra? Tapi kenapa kamu pakai seragam dan membawa ransel begini?" Savira menelan ludah dengan susah payah. Dia kebingungan harus menjawab apa? Tak mungkin ia katakan jika dipaksa menikah setelah digerebek orang. Itu aib yang harus ditutup. Bukan hanya menjaga nama baiknya. Namun juga nama baik rumah sakit dan kedua orang tuanya. Memang berat apa yang harus ditanggung wanita itu. Hidup yang semula damai akan berubah menjadi neraka. Semua karena perbuatan Dion. "Em... Itu, Dok.""Kamu nangis, Ra?" Tangan lelaki itu menyentuh pipih putih Savira, dengan lembut ia hapus jejak air mata yang masih melekat di pipi. Halus dan putih pipi wanita itu bagai magnet yang membuat tangan Bram tak ingin melepasnya. "Ma-maaf, Dokter." Savira mundur hingga pipinya terlepas dari t
BYUURSavira melonjak kaget, matanya melirik ke kiri dan kanan. Dia seperti orang kebingungan. Sebagian besar pakaiannya telah basah oleh air. "Makannya jangan molor di situ!" ucap Dion lalu tertawa puas. "A-apa yang kamu lakukan?" Savira beranjak. Dia kibaskan tubuhnya hingga air mengenai wajah Dion. "Stop! Airnya mengenai wajahku." Dion mengusap air yang menempel di hidung, mata dan pipinya. Bukan Savira jika menurut dengan perintah Dion. Dia justru semakin gencar mengibaskan pakaiannya ke wajah Dion. Savira mendekat hingga Dion mundur beberapa langkah. Lantai yang licin membuat Savira terhuyung lalu menabrak Dion. Mereka pun terjatuh dengan posisi Savira berada tepat di atas Dion. Sesaat mereka saling beradu pandang. Namun secepatnya Dion mendorong tubuh istrinya. "Aw... Sakit!" Savira sentuh pantat yang terasa panas. "Jangan dekat-dekat denganku lagi!" Savira mencebik, rasa kesal dan benci kian merasuk dalam hatinya. Sejujurnya ia benci berada di sana. Namun keadaan membua
"Kenapa Papa mempersulit hidupku? Hidup atau mati tetap merepotkanku," gerutu Dion. Dion mengusap wajah kasar. Kertas yang masih ada di tangan ia remas lalu ia buang sembarangan. Kesal dan marah menyelimuti hatinya. Surat peringatan Hendra membuat hatinya gusar. Bukan karena Hendra berniat merebut Savira. Namun kehilangan aset dan harta yang membuat lelaki itu geram. Putra tunggal Purnawan melangkah gontai menuju lantai bawah, tepatnya menuju gudang yang telah berubah menjadi kamar Savira. Sempat ia melirik ke arah meja makan. Namun kosong, tak ada secuil pun makanan yang bisa mengobati rasa laparnya. "Ternyata dia benar-benar tidak masak,keterlaluan. Wanita seperti itu memang hanya menginginkan harta. Mana mau dia memasak untuk aku."Savira!" panggil Dion seraya menggedor pintu kamar. "Savira!""Savira!"Hingga tiga kali Dion memanggil nama istrinya. Namun wanita itu tak juga menyahut apa lagi membuka pintu. Dion mengepalkan tangan di samping, amarah telah mendominasi hatinya. B
Lelaki yang sempat menyalip Dion terjatuh setelah menatap trotoar. Untung saja Dion dapat menginjak pedal rem tepat waktu. Kalau tidak lelaki itu pasti terlindas mobilnya. Masalah baru akan kembali muncul jika Dion terlambat beberapa detik saja. "Ada-ada saja lelaki itu. Kalau mau mati jangan di sini, merepotkan!" hardik Dion. "Buka! Aku mau turun!" Savira menatap tajam ke arah Dion. "Mau apa? Kita sudah terlambat!""Dia bisa mati kalau tidak segera ditolong." Savira menatap lelaki itu, dia tergeletak di aspal. Tak ada pergerakan, lelaki itu tak sadarkan diri. "Bukan urusan kita." "Dia bisa mati jika dibiarkan seperti itu, Dion!""Biar diurus orang lain. Urusan kita jauh lebih penting dari nyawa lelaki tak berguna seperti itu."Savira menghela napas, berkali-kali ia beristighfar melihat kelakuan suaminya. Namun kali ini dia tak mau diam, jiwa kemanusiaan meronta. "Aku akan teriak, Dion! Buka pintunya sekarang juga!" ancam Savira. Mata wanita itu melotot, ciri khas saat menakuti