"Kenapa kamu masih berdiri di situ!" Dion menatap tajam ke arah Savira. Tatapan yang membuat wanita itu menelan ludah dengan susah payah. Savira masih mematung tapi tatapannya telah berganti, kini ia tengah beradu pandang dengan Dion. Calon anak tiri yang justru menjadi suaminya. "Tuhan,dari semua lelaki di dunia ini, kenapa harus Dion yang menjadi suamiku?" ucap Savira tapi hanya di dalam hati. Skenario Tuhan memang tak bisa diterka atau diduga. Apa yang kita rencanakan belum tentu menjadi kenyataan. Seperti itu yang kini menimpa Savira. Dia harus menikah dengan orang yang sangat ia benci. "Kamu tuli! Ayo masuk!" Dion menarik paksa lengan Savira masuk ke rumah, diikuti Regina di belakangnya. Lelaki itu tak memperdulikan Savira yang diam menahan sakit di tangan. "Selamat datang Savira, calon ibu tiri yang kini menjadi istriku," ucap Dion lalu tersenyum mengejek ke arah Savira. Regina diam, ia menikmati tontonan yang sebentar lagi akan dipertunjukkan oleh Dion, putranya. "Kenapa
"Savira.""Pak Hendra."Kedua insan yang berhadapan itu saling terkejut. Terutama Hendra yang melihat Savira ada di rumah Dion. Lelaki itu menelisik pakaian Savira, pikiran buruk tiba-tiba hadir di kepalanya. "Saya pakai celana kolor, Pak," ucap Savira seolah tahu apa yang tengah Hendra pikirkan. "Kenapa bisa ada di sini?"Pertanyaan yang Hendra tahan melesat begitu saja. Bukan hanya penasaran, lelaki yang memakai jas berwarna hitam itu khawatir melihat Savira berada di kandang singa. "Silakan masuk, Pak."Ada keraguan yang menelusup di hati wanita itu. Dia takut salah bicara hingga berakibat fatal. Namun ingatan kembali berputar, bayangan saat Hendra menolongnya hadir lagi. "Apa Pak Hendra mampu membantuku lepas dari Dion untuk kedua kalinya?" Savira bertanya dalam hati. Sesaat mereka diam, ada perasaan canggung yang muncul di hati masing-masing. "Kenapa kamu bisa ada di sini? Maaf sebelumya, kenapa kamu memakai pakaian Tuan Dion?" tanya Hendra sedikit ragu. Hendra tahu betul
"Do-dokter Bram," ucap Savira terbata. Bram melangkah mendekat meski belum dipersilakan masuk oleh pemilik rumah. Rasa penasaran menuntunnya berjalan maju kemudian berhenti di hadapan Savira dan ibunya. "Bukankah kamu sakit, Ra? Tapi kenapa kamu pakai seragam dan membawa ransel begini?" Savira menelan ludah dengan susah payah. Dia kebingungan harus menjawab apa? Tak mungkin ia katakan jika dipaksa menikah setelah digerebek orang. Itu aib yang harus ditutup. Bukan hanya menjaga nama baiknya. Namun juga nama baik rumah sakit dan kedua orang tuanya. Memang berat apa yang harus ditanggung wanita itu. Hidup yang semula damai akan berubah menjadi neraka. Semua karena perbuatan Dion. "Em... Itu, Dok.""Kamu nangis, Ra?" Tangan lelaki itu menyentuh pipih putih Savira, dengan lembut ia hapus jejak air mata yang masih melekat di pipi. Halus dan putih pipi wanita itu bagai magnet yang membuat tangan Bram tak ingin melepasnya. "Ma-maaf, Dokter." Savira mundur hingga pipinya terlepas dari t
BYUURSavira melonjak kaget, matanya melirik ke kiri dan kanan. Dia seperti orang kebingungan. Sebagian besar pakaiannya telah basah oleh air. "Makannya jangan molor di situ!" ucap Dion lalu tertawa puas. "A-apa yang kamu lakukan?" Savira beranjak. Dia kibaskan tubuhnya hingga air mengenai wajah Dion. "Stop! Airnya mengenai wajahku." Dion mengusap air yang menempel di hidung, mata dan pipinya. Bukan Savira jika menurut dengan perintah Dion. Dia justru semakin gencar mengibaskan pakaiannya ke wajah Dion. Savira mendekat hingga Dion mundur beberapa langkah. Lantai yang licin membuat Savira terhuyung lalu menabrak Dion. Mereka pun terjatuh dengan posisi Savira berada tepat di atas Dion. Sesaat mereka saling beradu pandang. Namun secepatnya Dion mendorong tubuh istrinya. "Aw... Sakit!" Savira sentuh pantat yang terasa panas. "Jangan dekat-dekat denganku lagi!" Savira mencebik, rasa kesal dan benci kian merasuk dalam hatinya. Sejujurnya ia benci berada di sana. Namun keadaan membua
"Kenapa Papa mempersulit hidupku? Hidup atau mati tetap merepotkanku," gerutu Dion. Dion mengusap wajah kasar. Kertas yang masih ada di tangan ia remas lalu ia buang sembarangan. Kesal dan marah menyelimuti hatinya. Surat peringatan Hendra membuat hatinya gusar. Bukan karena Hendra berniat merebut Savira. Namun kehilangan aset dan harta yang membuat lelaki itu geram. Putra tunggal Purnawan melangkah gontai menuju lantai bawah, tepatnya menuju gudang yang telah berubah menjadi kamar Savira. Sempat ia melirik ke arah meja makan. Namun kosong, tak ada secuil pun makanan yang bisa mengobati rasa laparnya. "Ternyata dia benar-benar tidak masak,keterlaluan. Wanita seperti itu memang hanya menginginkan harta. Mana mau dia memasak untuk aku."Savira!" panggil Dion seraya menggedor pintu kamar. "Savira!""Savira!"Hingga tiga kali Dion memanggil nama istrinya. Namun wanita itu tak juga menyahut apa lagi membuka pintu. Dion mengepalkan tangan di samping, amarah telah mendominasi hatinya. B
Lelaki yang sempat menyalip Dion terjatuh setelah menatap trotoar. Untung saja Dion dapat menginjak pedal rem tepat waktu. Kalau tidak lelaki itu pasti terlindas mobilnya. Masalah baru akan kembali muncul jika Dion terlambat beberapa detik saja. "Ada-ada saja lelaki itu. Kalau mau mati jangan di sini, merepotkan!" hardik Dion. "Buka! Aku mau turun!" Savira menatap tajam ke arah Dion. "Mau apa? Kita sudah terlambat!""Dia bisa mati kalau tidak segera ditolong." Savira menatap lelaki itu, dia tergeletak di aspal. Tak ada pergerakan, lelaki itu tak sadarkan diri. "Bukan urusan kita." "Dia bisa mati jika dibiarkan seperti itu, Dion!""Biar diurus orang lain. Urusan kita jauh lebih penting dari nyawa lelaki tak berguna seperti itu."Savira menghela napas, berkali-kali ia beristighfar melihat kelakuan suaminya. Namun kali ini dia tak mau diam, jiwa kemanusiaan meronta. "Aku akan teriak, Dion! Buka pintunya sekarang juga!" ancam Savira. Mata wanita itu melotot, ciri khas saat menakuti
Savira menjerit saat melihat handuk Dion terlepas dari tubuhnya. Tampak sudah sesuatu yang harusnya ditutupi. "Woy! Ini kamar bukan hutan, gak usah teriak-teriak bisa gak sih!" hardik Dion. Lelaki itu belum juga sadar jika handuk meluncur bebas dan jatuh di lantai. Savira menutup mata, tangannya menunjuk Dion. "Itu, beo... Eh, perkutut!" Savira menunjuk bagian bawah Dion. Dion menoleh ke arah telunjuk Savira. Matanya membulat saat benda pusakanya terekspos sempurna. Cepat-cepat ia ambil handuk lalu memakainya kembali. Malu, tapi lelaki itu berusaha menutupi. Dion memang urakan bahkan bar-bar tapi ia tak pernah sekali pun melakukan hubungan terlarang termasuk dengan Julia. Savira yang pertama kali melihat miliknya. "Ah, kenapa harus dia yang melihatnya!" gumamnya kesal. "Keluar aku mau ganti baju!" teriak Dion sambil membenahi handuk agar tidak terjatuh lagi. Sambil menutup mata, Savira membalikkan badan kemudian melangkah keluar. Dalam hati merutuki kebodohannya yang masuk tan
Azan subuh telah berkumandang di masjid. Malam akan segera berganti dengan pagi. Savira membuka mata walau terasa berat. Semalaman ia tak bisa tidur dengan nyenyak, rasa dingin masih saja terasa meski ia telah memakai selimut dan bed cover. Dia pun beranjak dari sofa, melangkah pelan menuju kamar mandi. Namun langkahnya terhenti saat mendengar Dion menggigil kedinginan. Wanita itu membalikkan badan lalu mendekat ke ranjang king size itu. "Astaga, Dion. Badan kamu panas sekali," ucap Savira kala menyentuh tangannya. "Dingin... Dingin ...," ucap Dion seraya memejamkan mata. Dia mengigau. "Remotenya mana, Dion?" Dion semakin menggigil, ucapan Savira tak masuk di telinganya. Lelaki itu merasakan dingin sampai ke tulang. "Tenang, Ra. Kamu harus cari kunci dan remote AC lebih dulu," ucapnya pada dirinya sendiri. Savira meraba bawah bantal, ia temukan kunci dan remote. Dengan cepat ia mematikan AC. Dion tetap saja menggigil kedinginan meski AC telah dimatikan. Savira segera berlari m