"Kenapa Papa mempersulit hidupku? Hidup atau mati tetap merepotkanku," gerutu Dion. Dion mengusap wajah kasar. Kertas yang masih ada di tangan ia remas lalu ia buang sembarangan. Kesal dan marah menyelimuti hatinya. Surat peringatan Hendra membuat hatinya gusar. Bukan karena Hendra berniat merebut Savira. Namun kehilangan aset dan harta yang membuat lelaki itu geram. Putra tunggal Purnawan melangkah gontai menuju lantai bawah, tepatnya menuju gudang yang telah berubah menjadi kamar Savira. Sempat ia melirik ke arah meja makan. Namun kosong, tak ada secuil pun makanan yang bisa mengobati rasa laparnya. "Ternyata dia benar-benar tidak masak,keterlaluan. Wanita seperti itu memang hanya menginginkan harta. Mana mau dia memasak untuk aku."Savira!" panggil Dion seraya menggedor pintu kamar. "Savira!""Savira!"Hingga tiga kali Dion memanggil nama istrinya. Namun wanita itu tak juga menyahut apa lagi membuka pintu. Dion mengepalkan tangan di samping, amarah telah mendominasi hatinya. B
Lelaki yang sempat menyalip Dion terjatuh setelah menatap trotoar. Untung saja Dion dapat menginjak pedal rem tepat waktu. Kalau tidak lelaki itu pasti terlindas mobilnya. Masalah baru akan kembali muncul jika Dion terlambat beberapa detik saja. "Ada-ada saja lelaki itu. Kalau mau mati jangan di sini, merepotkan!" hardik Dion. "Buka! Aku mau turun!" Savira menatap tajam ke arah Dion. "Mau apa? Kita sudah terlambat!""Dia bisa mati kalau tidak segera ditolong." Savira menatap lelaki itu, dia tergeletak di aspal. Tak ada pergerakan, lelaki itu tak sadarkan diri. "Bukan urusan kita." "Dia bisa mati jika dibiarkan seperti itu, Dion!""Biar diurus orang lain. Urusan kita jauh lebih penting dari nyawa lelaki tak berguna seperti itu."Savira menghela napas, berkali-kali ia beristighfar melihat kelakuan suaminya. Namun kali ini dia tak mau diam, jiwa kemanusiaan meronta. "Aku akan teriak, Dion! Buka pintunya sekarang juga!" ancam Savira. Mata wanita itu melotot, ciri khas saat menakuti
Savira menjerit saat melihat handuk Dion terlepas dari tubuhnya. Tampak sudah sesuatu yang harusnya ditutupi. "Woy! Ini kamar bukan hutan, gak usah teriak-teriak bisa gak sih!" hardik Dion. Lelaki itu belum juga sadar jika handuk meluncur bebas dan jatuh di lantai. Savira menutup mata, tangannya menunjuk Dion. "Itu, beo... Eh, perkutut!" Savira menunjuk bagian bawah Dion. Dion menoleh ke arah telunjuk Savira. Matanya membulat saat benda pusakanya terekspos sempurna. Cepat-cepat ia ambil handuk lalu memakainya kembali. Malu, tapi lelaki itu berusaha menutupi. Dion memang urakan bahkan bar-bar tapi ia tak pernah sekali pun melakukan hubungan terlarang termasuk dengan Julia. Savira yang pertama kali melihat miliknya. "Ah, kenapa harus dia yang melihatnya!" gumamnya kesal. "Keluar aku mau ganti baju!" teriak Dion sambil membenahi handuk agar tidak terjatuh lagi. Sambil menutup mata, Savira membalikkan badan kemudian melangkah keluar. Dalam hati merutuki kebodohannya yang masuk tan
Azan subuh telah berkumandang di masjid. Malam akan segera berganti dengan pagi. Savira membuka mata walau terasa berat. Semalaman ia tak bisa tidur dengan nyenyak, rasa dingin masih saja terasa meski ia telah memakai selimut dan bed cover. Dia pun beranjak dari sofa, melangkah pelan menuju kamar mandi. Namun langkahnya terhenti saat mendengar Dion menggigil kedinginan. Wanita itu membalikkan badan lalu mendekat ke ranjang king size itu. "Astaga, Dion. Badan kamu panas sekali," ucap Savira kala menyentuh tangannya. "Dingin... Dingin ...," ucap Dion seraya memejamkan mata. Dia mengigau. "Remotenya mana, Dion?" Dion semakin menggigil, ucapan Savira tak masuk di telinganya. Lelaki itu merasakan dingin sampai ke tulang. "Tenang, Ra. Kamu harus cari kunci dan remote AC lebih dulu," ucapnya pada dirinya sendiri. Savira meraba bawah bantal, ia temukan kunci dan remote. Dengan cepat ia mematikan AC. Dion tetap saja menggigil kedinginan meski AC telah dimatikan. Savira segera berlari m
Hening, Savira membisu, tak tahu harus menjawab apa. Pernikahan yang diimpikan menjadi surga dunia. Namun nyatanya neraka yang tercipta. "Aku baik-baik saja, Dokter." Dia tarik paksa bibirnya agar tersenyum meski luka merasuk ke dalam rongga dada. "Aku akan siap menjadi tempatmu berteduh saat hujan menerpa.""Saya permisi, Dok," ucapnya lalu pergi meninggalkan Bram. Savira meneruskan langkah, bukan untuk menjadi pembayar hutang Nurdin tetapi untuk menepati janji pada Purnawan. Menjaga dan menyayangi Dion. Kini bukan sebagai anak melainkan sebagai istri. Meski ia tak tahu akankan ia bisa mengubah rasa benci menjadi cinta, di hatinya dan hati Dion. Motor yang Savira kendarai menerobos jalanan kota. Dia berhenti sejenak di bawah pohon, menghirup oksigen dan mengeluarkan perlahan. Namun tetap saja sesak itu terasa. "Enak jadi kupu-kupu, bisa terbang sesuka hati. Tak seperti aku yang terbelenggu dalam sebuah ikatan suci tanpa dasar hati," batin Savira saat melihat serangga berwarna ku
"I-iya, Pak," jawab Dion terbata. Keringat dingin mulai tampak di wajahnya. "Kemari dengan siapa?""Siapa, Dion?" tanya Julia membuat Ridwan membalikkan badan. Lelaki itu mengernyitkan dahi melihat wanita berpakaian minim di hadapannya. "Pengacara Papa," jawab Dion gugup. "Kalian?" Ridwan menatap Dion dan Julia bergantian. "Maaf, Pak Ridwan saya ada urusan penting,bisa kita bicara lain waktu?" Dion mencoba menghentikan rasa ingin tahu lelaki di sebelahnya. Lelaki itu takut pernikahannya terbongkar di depan Julia. Meski ia tahu cepat atau lamat Julia akan mengetahuinya. Ini hanya tengang waktu. "Oke, undangan akan Hendra sebar. Dua minggu lagi pesta akan dilangsungkan. Hendra sudah mempersiapkan semuanya. Semua sesuai permintaan Pak Purnawan."Dion menelan ludah dengan sudah payah. Seakan ada batu besar yang mengganjal tenggorokannya. Dalam hati memaki Hendra karena lelaki tak memberi tahu apa pun. "Saya permisi. Selamat malam."Ridwan melangkah pergi, meninggalkan sepasang keka
"Apa ucapanku terlalu menyakitkan Savira? Bukankah seperti itu kenyataannya?" gumam Savira lirih. Dion membaringkan tubuh di atas ranjang. Dia tatap langit-langit kamar. Putih lalu berganti dengan gambaran masa lalu. Dulu, ketika Purnawan dan Regina masih tinggal satu atap. Sejujurnya lelaki itu rindu. Namun ia malu mengatakan semua. Amarahnya terlalu besar hingga menutupi rasa cinta. ***Savira sibuk dengan tanaman yang ada di halaman rumah. Sesuai permintaan Dion hari ini dia tak memasak. Kemudian mencari kesibukan dengan menyirami tanaman hias. Terbiasa bekerja membuat dia bingung harus melakukan apa. Dion menuruni anak tangga. Diam-diam ia mencari sosok wanita yang tidur satu kamar dengannya. Namun tak ia temukan. Nasi dan lauk sudah tertata di atas meja. Tanpa menunggu Dion segera memakannya. Baru satu suap makanan itu langsung ia muntahkan. "Kenapa, Dion?" Masakannya tidak enak?" tanya Savira yang berdiri di belakangnya. "Enak, siapa bilang tidak enak? Nih aku makan."Di
"Ini tak seperti yang kamu pikirkan, Dion. A-aku hanya...." Kris berusaha menjelaskan pada sahabatnya. Namun Dion menepis tangan lelaki itu lalu menerobos masuk. Dion berjalan Seraya mengepalkan kedua tangan di samping tubuh. Dia melangkah menuju kamar Julia."Aku bisa jelaskan semuanya,Dion," ucap Kris seraya mencekal tangan Dion. Namun lagi-lagi Dion menepis tangan itu kasar. "Tutup mulut lo! Menyingkir atau leher lo gue patahin!" Dion menatap tajam sahabatnya, tatapan bak singa yang hendak menerkam mangsanya. Kris menelan ludah dengan susah payah lalu menyingkir dari hadapan Dion. Dalam hati ia bahagia karena hubungannya dengan Julia tak perlu ditutup-tutupi lagi. Namun mereka tak akan memiliki ATM berjalan karena Dion akan membenci mereka. Dion kembali melangkah menuju ke kamar dengan pintu terbuka lebar."Siapa , Kris?" Julia masih menutup mata, selimut tebal menutupi bagian tangan hingga seluruh tubuhnya."Kris, kamu tidak ingin memeluk lagi? Ayolah, Sayang ... aku ingin tid