"Jangan bercanda kamu, Hen! Lahirannya masih satu bulan lagi.""Savira terjatuh, perutnya terbentur hingga pendarahan.""Apa!""Aku tunggu di bandara sekarang juga!"Belum sempat menjawab sambungan telepon sudah dimatikan sepihak oleh Hendra. Sikap itu yang membuat Dion semakin panik dan ketakutan. Sesaat Dion kebingungan, tidak tahu harus berbuat apa. Namun pesan masuk dari Hendra kembali menyadarkan lelaki itu. Dion segera menyambar kunci mobil, dia akan pergi ke bandara. Mobil yang dikemudikan oleh supir melaju dengan kecepatan tinggi. Sepanjang jalan Dion terus meminta sopirnya untuk mempercepat laju kendaraannya. Lelaki itu tak ingin ketinggalan pesawat. "Ngebut lagi, Man!""Tapi, Tuan ....""Kalau sampai aku ketinggalan pesawat, mati kamu!"Supir Dion yang bernama Herman menelan ludah dengan susah payah. Dia pun kian menginjak pedal gas. Hingga akhirnya sampai tepat di depan jalan masuk bandara. "Untung gak mati," ucap supir itu seraya mengelus dada. Tanpa menjawab Dion kel
"Tidak, Pa. Aku tidak mau!" Dada Dion naik turun.Sorot matanya menatap tajam ke arah lelaki yang terbujur lemah di atas ranjang khas rumah sakit. "Tapi, Dion. Savira perempuan baik-baik, Papa ingin kamu menikahinya," ucap Purnawan lirih. Suaranya pelan bahkan hampir tak terdengar. "Mana ada wanita baik-baik yang berhubungan dengan lelaki beristri. Sampai kapan pun aku tak sudi menikah dengan wanita simpanan Papa!" ucap Dion lalu melangkah pergi meninggalkan Purnawan. Sepeninggal Dion, Purnawan mengelus dada yang terasa sesak. Ucapan Dion mampu memporak-porandakan hati lelaki berusia enam puluh tahun itu. "Kamu selalu sibuk dengan duniamu, Dion. Andai kamu tahu apa yang Papa rasakan saat ini, " ucap Purnawan lirih. Lelaki bertubuh tambun itu terdiam seraya menatap langit-langit kamar bernuansa putih itu. Purnawan seorang pengusaha kelapa sawit terkenal di pelosok negeri. Dia tergeletak tak berdaya karena penyakit komplikasi yang ia derita dua tahun ini. Rasa sakit tubuh tak seban
"Ini pasti rencana lelaki tua itu agar gundiknya hidup terjamin. Atau jangan-jangan ini ulah wanita murahan itu! Dia merayu Papamu! Astaga, kita kecolongan, Dion!"Berbagai prasangka muncul di kepala ibu dan anak itu. Mereka menuduh Savira menjadi biang kerok masalah besar yang kini mereka alami. Mereka seolah tak sadar jika semua ini buah atas pohon yang ia tanam sendiri. "Kamu harus menikah dengan Savira, itu satu-satunya cara agar kita tak jatuh miskin," ucap Regina seraya menyentuh kedua pundak Dion. "Sampai kapan pun, Dion tak sudi menikahi wanita murahan itu!" pekik Dion sambil menepis kedua tangan Regina. Lelaki itu dengan cepat berdiri lalu melangkah meninggalkan ruang keluarga. "Kamu mau ke mana, Dion? Masalah ini belum selesai!" Teriak Regina lantang. "Dion tak mau menikahi Savira. TITIK!" ucapnya lalu pergi meninggalkan sang ibu seorang diri. "Dion berhenti!""Dion!"Dion terus melangkah tanpa menghiraukan panggilan ibunya. Dia mulai bosan dan muak dengan permintaan g
"Sudah, yang pergi tak akan mungkin kembali. Kamu masih muda Vira, jalanmu masih panjang, masih banyak lelaki yang menanti kamu." Savira masih diam, bingung harus menjawab apa. Sudah menjadi rahasia umum hubungan yang terjalin antara Savira dan Purnawan. Perbedaan usia yang terlalu jauh membuat hubungan mereka penuh dengan kontroversi. Itu pula yang membuat Savira belum siap saat Purnawan melamarnya beberapa minggu yang lalu. Menyesal. Ya, perasaan itu yang hinggap di hatinya. Bukan karena dia gagal memiliki harta Purnawan. Namun ia menyesal karena di saat akhir hidupnya, Savira tak bisa menemani. Bahkan mendekat pun ia tak bisa. Dia dilarang oleh mantan istri dan putra Purnawan. "Kamu mau kopi, Ra?" tanya Bram lagi, ia berusaha memecah keheningan yang terjadi di antara mereka. "Saya ti ...."Suara sirine ambulans menghentikan perkataannya. Dengan cepat Savira berlari lalu membuka pintu masuk ruang IGD. Bram mendengus kesal,ambulans datang disaat yang tidak tepat. Baru saja ia ba
Mata Savira membola kala melihat seorang lelaki keluar dari sana. Tangannya mengepal mengingat perlakuan Dion padanya dulu. "Mau apa kamu?" tanya Savira datar. "Tamu tidak dipersilahkan masuk?" sindir Dion sambil menatap Savira tak berkedip. Baru pertama kali Dion melihat Savira tanpa penutup kepala. Kulit putih, hidung mancung, dan leher jenjang membuat Dion tak berkedip melihatnya. Savira memakai hijab hanya di rumah sakit, itu karena tuntutan pekerjaan. Dia merasa belum pantas memakai hijab meski ia tahu memakai hijab wajib hukumnya. "Kamu bukan tamu, untuk apa mempersilakan masuk?""Kamu tak tahu bagaimana cara memuliakan tamu seperti yang diajarkan agamamu?" jawab Dion sambil terus memandang wajah wanita di depannya. Dion sengaja membawa-bawa ajaran dalam agama agar Savira memperbolehkannya masuk. Kalimat baru saja terucap hanya ia dengar sekilas saja. Selama ini dia hanya mengaku beragama islam tapi tak sekali pun ia mengerjakan kewajiban layaknya umat muslim lainnya. "Apa
Savira melotot mendengar pertanyaan yang baru saja Bram lontarkan. Bahkan mulutnya terbuka lebar. Beruntung tak ada lalat yang bertamu di sana. "Dokter tidak sedang bercanda, kan?"Bram tidak menjawab, dia justru tengah sibuk mencari tepat untuk menepikan kendaraan roda empat miliknya. "Apa aku terlihat bercanda, Ra?" Bram menatap lekat manik hitam Savira. Tatapan itu membuat Savira salah tingkah dan gugup. Haning, tak ada kata yang keluar dari mulut keduanya. Savira memilih diam dengan kebingungan yang menyelimuti hatinya. Masalah dengan Dion belum selesai tapi sudah ada masalah baru yang menimpanya. "Aku menyukaimu sudah sejak lama, Ra. Jauh sebelum kamu menjalin hubungan dengan Pak Purnawan."Savira memilin ujung seragam yang ia kenakan. Dia tak menyangka dokter yang digemari para perawat justru menyukainya. "Savira, maukah kamu menjadi istriku?" Bram menggenggam tangan wanita di depannya seraya mengunci netra bening itu. Jantung Savira berdetak kencang, tatapan Bram mampu me
Savira melotot mendengar ucapan Dion. Kemudian menggelengkan kepala saat beradu padang dengan Bram. Dokter muda itu berusaha menata hati yang telah diselimuti amarah. "Purnawan sudah mati tapi kenapa muncul lelaki ini?" batin Bram kesal. "Kamu gila, Dion! Kita tak memiliki hubungan apa pun!" Savira menempis tangan kiri Dion yang menggandeng tangannya. Lebih tepatnya mencengkeram tangannya. "Lepaskan! Jangan paksa orang!" Bram berusaha melepas tangan Dion yang mencengkeram lengan Savira. Namun gagal, lelaki itu justru merangkul tubuh Savira dari samping. "Jangan ikut campur, aku dan Savira akan segera menikah. Jangan lagi ganggu calon istri orang!" Dion berjalan sambil merangkul tubuh savira. "Lepaskan, Di!" Savira berusaha mendorong tubuh Dion tapi tak bisa, tenaga lelaki itu jauh lebih kuat. "Ingat Savira, kamu itu milikku!""Jangan bermimpi, aku tak mencintai kamu!""Aku tak butuh cinta, aku hanya butuh kamu.""Tak waras!" maki Savira dengan wajah merah padam. "Ayah kamu sud
"Apa benar Bapak menjual aku pada Dion?"Kalimat itu akhirnya keluar dari mulut Savira. Susah payah dia menahan kata-kata agar tak menyakiti hati kedua orang tuanya. Namun melihat Nurdin pulang dengan membawa barang belanjaan membuat dada wanita itu bergemuruh. Emosi yang ia tahan lepas tak terkendali. Nurdin membalikkan badan, ia jatuhkan barang belanjaan di lantai begitu saja. Lelaki paruh baya itu menatap tajam ke arah Savira, giginya gemeletuk dengan wajah merah padam. Membuang napas kasar, Savira mengalihkan pandangan lalu membalikkan badan. Dia tutup rapat pintu depan rumahnya. Pertengkaran yang terjadi tak boleh sampai dilihat orang lain. Malu, kata itu yang ada dibenak Savira. "Apa kamu bilang tadi, menjual? Bapak hanya menerima lamaran Dion, bukan menjual kamu. Harusnya kamu senang dipinang lelaki tampan dan yang pasti dia mapan." Nurdin berusaha menutupi kenyataan dengan menonjolkan amarahnya. "Bukan menjual kata Bapak? Bapak menerima uang dari Dion agar dia bisa menik
"Jangan bercanda kamu, Hen! Lahirannya masih satu bulan lagi.""Savira terjatuh, perutnya terbentur hingga pendarahan.""Apa!""Aku tunggu di bandara sekarang juga!"Belum sempat menjawab sambungan telepon sudah dimatikan sepihak oleh Hendra. Sikap itu yang membuat Dion semakin panik dan ketakutan. Sesaat Dion kebingungan, tidak tahu harus berbuat apa. Namun pesan masuk dari Hendra kembali menyadarkan lelaki itu. Dion segera menyambar kunci mobil, dia akan pergi ke bandara. Mobil yang dikemudikan oleh supir melaju dengan kecepatan tinggi. Sepanjang jalan Dion terus meminta sopirnya untuk mempercepat laju kendaraannya. Lelaki itu tak ingin ketinggalan pesawat. "Ngebut lagi, Man!""Tapi, Tuan ....""Kalau sampai aku ketinggalan pesawat, mati kamu!"Supir Dion yang bernama Herman menelan ludah dengan susah payah. Dia pun kian menginjak pedal gas. Hingga akhirnya sampai tepat di depan jalan masuk bandara. "Untung gak mati," ucap supir itu seraya mengelus dada. Tanpa menjawab Dion kel
“Kamu sembunyikan di mana Savira,Hen? Dia masih istriku ... aku berhak tahu!’Dion memekik seraya menarik kerah kemeja yang Hendra kenakan. Caci dan maki tak hentinya keluar dari mulut suami Savira. Dia ingin segera menemukan Savira. Lelaki itu menyesal karena telah mengusir istrinya.Hendra tersenyum sinis. Dia singkirkan tangan mantan atasannya. Tatapan muak nampak jelas di mata Hendra. Dia kesal dengan keegoisan Dion yang tak ada habisnya, bahkan kian menjadi.“Ck! Sejak kapan kamu mengakui Savira sebagai istri, Tuan Dion yang terhormat? Seorang istri itu dilindungi dan dicintai ... bukan justru kamu sia-siakan! Sejak awal menikah kamu selalu menanamkan luka padanya, bahkan saat dia memberikan segenap cinta kamu justru menancapkan belati. Harusnya aku sadar, kamu memang tak pantas untuk Savira. Harusnya aku yang menikahinya,bukan kamu!”BUUG!Sebuah tangan menyentuh keras wajah Hendra. Tinju menciptakan luka di sudut bibirnya. Namun justru senyum sinis dia berikan. Tindakannya kian
Empat bulan kemudian. Semilir angin memainkan rambut Savira yang dibiarkan tergerai. Helai demi helai rambut hitam itu menari, terkadang berhenti di hidung, bahkan mulut. Namun perempuan itu masih diam menikmati senja dengan hamparan sawah di depan mata. "Mbak Savira wes arep magrib lho! Pamali ibu hamil masih di luar."Seorang perempuan menyapa Savira. Dia juga memintanya segera masuk ke rumah karena malam segera datang. "Nggeh, Bu. Terima kasih."Perempuan itu mengangguk, kemudian melanjutkan langkah menuju rumah. Begitu pula Savira yang memilih mengikuti permintaan tetangganya tersebut. Sudah empat bulan Savira tinggal di sebuah desa. Jauh dari hingar-bingar kota Jakarta. Setiap bulan sekali Hendra akan datang sambil membawa bahan makanan dan kebutuhan Savira selama satu bulan. Maklum, desa itu jauh dari pasar, bahkan swalayan. Pasar terdekat berjarak 10 kilometer dari rumah Savira, itu pun hanya buka satu minggu sekali. Perempuan itu hanya ke pasar jika menginginkan ikan sega
Hujan angin menyambut perjalanan Hendra dan Savira. Keduanya saling diam, fokus menatap depan. Kejadian beberapa menit lalu menghancurkan hati mereka.Mendapatkan fitnah dari orang yang disayangi adalah lara yang tiada obatnya. Namun untuk menjelaskan kenyataan juga percuma. Dion tak akan percaya meski Savira menjelaskan sampai berbusa. Kebencian dan kekecewaan sudah tertanam dalam hatinya. Tetes demi tetes air jatuh ke bumi, semakin lama semakin deras. Hendra masih melajukan kendaraannya, tapi kini perlahan. "Kamu mau diantar pulang, Ra?"Hendra melirik ke sebelah kiri, lalu kembali fokus menatap depan. Lima menit lelaki itu menunggu jawaban dari Savira, tapi perempuan itu masih diam membisu. "Aku antar pulang, ya, Ra!"Hendra memutar stang mobil ke kiri. Kendaraan roda empat itu melaju ke rumah sederhana Nurdin. Tak tujuan lain selain tempat Savira dibesarkan. "Antar aku ke bertemu Pak Ridwan, Hen?""Untuk apa?""Kamu akan tahu tapi nanti."Tanpa menjawab Hendra mengubah arah m
"Kamu kenapa, Dion?"Lelaki itu membisu, menerobos melewati Savira tanpa menoleh sedikit pun. Tak ada senyum apalagi kecupan hangat yang selalu ia berikan. Dion menahan amarah karena sebuah foto yang dikirim ke nomornya pagi ini. Dion kenapa sih? Sebuah tanda tanya memenuhi pikiran Savira. Perempuan itu terus menerka masalah apa yang terjadi sehingga Dion berwajah masam, bahkan mendiamkannya. Hanya masalah pekerjaan yang ada dalam pikiran Savira, dia tak tahu ada duri yang menancap di pernikahannya. Dengan hati-hati Savira melangkah mengikuti Dion. Dia ingin menghilangkan rasa penat dalam diri suaminya. "Kamu mau dibuatkan teh atau kopi, Dion?""Pergi saja kamu! Aku gak mau lihat wajah kamu!"Dion menunjuk pintu, tatapan lelaki itu tajam dan penuh kebencian. Sama seperti saat Savira datang pertama kali. Dion menjadi kasar dan angkuh. Savira menurut, berjalan pelan keluar kamar. Kakinya menginjak anak tangga dengan hati-hati. Sikap kasar Dion menghilangkan konsentrasi. Kaki kirin
"Pergi! Jangan tunjukkan wajah Mama di hadapanku lagi. Aku muak melihat wajah penuh dusta!"Dion menunjuk pintu. Suara teriakannya menciptakan ketakutan. Nunung yang masih berada di balik pintu segera keluar meski rasa penasaran begitu besar. Asisten rumah tangga itu tak ingin dipecat hanya karena jiwa penasarannya meronta-ronta. "Jangan seperti ini, Dion."Savira menggenggam tangan kanan Dion. Perempuan itu berusaha menenangkan amarah suaminya. Namun tak menggubris "Mama minta maaf, Dion."Regina berlutut di depan Dion, tangan merangkul kedua kaki putranya. Perempuan itu berkali-kali mengucapkan kata maaf seraya menitikkan air mata. Regina berusaha meyakinkan Dion agar memaafkan kesalahannya. Melihat sikap Regina, tumbuhlah rasa iba di hati Savira. Hatinya yang tulus tak kuasa melihat Regina bersimpuh untuk mendapatkan maaf dari Dion. Bahkan perempuan itu sudah memaafkan kesalahan Regina. Savira beranjak, menarik tubuh Regina dan memeluknya erat. "Savira dan Dion sudah memaafkan
"Kamu gak suka aku hamil?" Savira menyilangkan kedua tangan di dada. Senyum yang semula merekah seketika lenyap. Dia kecewa dengan tanggapan Dion atas kehamilannya. "Bukan kecewa, Sayang."Dion mendekat, memeluk perempuan yang tengah merajuk. Beberapa kecupan mendarat di wajah Savira. Seketika wajahnya memerah, amarah pun perlahan mereda. Begitu mudah menghilangkan kemarahan seorang perempuan. Pelukan dan kecupan adalah obat mujarab dari besarnya amarah. "Aku masih gak percaya akan menjadi seorang papa, Ra. Maaf jika ekspresi ku tak sesuai dengan ekspetasi yang kamu harapkan."Dion melepas pelukannya, menatap Savira dengan lekat. Sesaat lelaki itu diam, menunduk dengan netra berkabut. Bulir demi bulir pun jatuh membasahi pipinya. "Kenapa kamu menangis, Dion?"Savira menempelkan kedua telapak tangan di pipi Dion. Bulir demi bulir yang menempel ia hapus dengan jemarinya. "Apa aku sanggup menjadi papa yang baik, Ra? Sementara aku tak bisa menjadi anak yang baik bagi papa hingga akh
"Kenapa, Sayang?"Dion semakin mendekatkan wajahnya. Lelaki itu tak sabar ingin mengecup kening istrinya. "Aku mau muntah."Savira berlari menuju kamar mandi. Dia keluarkan semua isi perutnya, hingga lidahnya terasa begitu pahit. Namun perutnya terus meronta sampai tubuh perempuan itu lemas. "Kamu kenapa sih, Ra? Kan sudah turun dari pesawat. Ya, kali masih mabuk udara."Dion memijit tengkuk Savira agar tubuhnya lebih membaik. Namun aroma mulut Dion justru kembali memancing rasa mual dalam perutnya. Untuk kesekian kali Savira muntah dan tubuhnya semakin lemas. "Kamu kenapa sih, Ra?""Diem! Jangan ngomong terus, Dion! Bau mulut kamu gak enak!"Savira menutup hidung dengan kedua tangannya. "Apaan, sih? Orang gak bau kok."Dion terus mencium bau mulutnya. Namun tak ada yang aneh. Aroma kopi justru keluar dari mulutnya, bukan bau jengkol yang menjijikkan. "Kamu habis makan apa sih, Dion?""Gak makan apa-apa, Ra.""Tapi bau!"Savira semakin rapat menutup hidungnya. Dia pun mendorong
Savira duduk setelah mengeluarkan semua isi dalam perutnya. Perempuan itu menyandarkan tubuh seraya memijit kepala yang terasa berdenyut. Baru beberapa menit menghirup aroma pesawat,namun dirinya seakan mau pingsan. Belum lagi isi perut yang meronta, hendak berlari keluar. Tak tahan, Savira pun ingin melarikan diri. "Turun yuk, Dion!"Savira hendak membuka sabuk pengaman yang terpasang di tubuhnya. "Mau terjun bebas, Ra?""Gak tahan, Dion.""Apanya?" Dion menautkan dua alis, tak mengerti dengan ucapan istrinya. "Aku pengen muntah, gak tahan."Savira menutup mulutnya dengan kedua tangan. Sekuat tenaga ia tahan guncangan dalam perut. Dion segera mengambil kantung muntah dan memberikannya pada Savira. Perempuan itu dengan sigap mengambilnya. Dion memijit tengkuk Savira agar membuatnya merasa nyaman. "Masih mual?""Bau apaan sih ini? Gak enak banget!"Dion mengendus-endus, tapi tak menemukan bau busuk yang Savira maksud. Semenjak masuk pesawat, lelaki itu justru suka mencium pewangi