Beranda / Romansa / Bukan Pernikahan Impian / Siapa Yang Datang?

Share

Siapa Yang Datang?

last update Terakhir Diperbarui: 2023-03-08 10:52:10

"Sudah, yang pergi tak akan mungkin kembali. Kamu masih muda Vira, jalanmu masih panjang, masih banyak lelaki yang menanti kamu."

Savira masih diam, bingung harus menjawab apa. Sudah menjadi rahasia umum hubungan yang terjalin antara Savira dan Purnawan. Perbedaan usia yang terlalu jauh membuat hubungan mereka penuh dengan kontroversi. Itu pula yang membuat Savira belum siap saat Purnawan melamarnya beberapa minggu yang lalu.

Menyesal. Ya, perasaan itu yang hinggap di hatinya. Bukan karena dia gagal memiliki harta Purnawan. Namun ia menyesal karena di saat akhir hidupnya, Savira tak bisa menemani. Bahkan mendekat pun ia tak bisa. Dia dilarang oleh mantan istri dan putra Purnawan.

"Kamu mau kopi, Ra?" tanya Bram lagi, ia berusaha memecah keheningan yang terjadi di antara mereka.

"Saya ti ...."

Suara sirine ambulans menghentikan perkataannya. Dengan cepat Savira berlari lalu membuka pintu masuk ruang IGD.

Bram mendengus kesal,ambulans datang disaat yang tidak tepat. Baru saja ia bahagia dapat berbincang dengan Savira. Namun kini harus tertunda karena tugas sudah di depan mata.

"Selalu saja ada gangguan," gumam Bram. Dia segera bersiap menunggu tamu yang datang di tengah malam.

Savira terpaku kala melihat pasien yang baru saja didorong masuk ke ruang IGD. Dia diam, langkah kakinya begitu berat untuk mengikuti pasien yang baru saja masuk.

"Ambil uang ini, tapi jangan dekati papaku! Aku tahu apa yang kamu cari dari lelaki yang sudah bau tanah itu!" ucap Dion sambil melempar segepok uang di atas meja, tepat di hadapan Savira.

Savira tersenyum lalu kembali menyodorkan amplop coklat kepada Dion. Tak sekali pun ada niatan untuk menguasai harta yang bukan menjadi haknya. Dia berhubungan dengan Purnawan atas dasar cinta bukan untuk menikmati harta kekayaannya.

"Aku tak butuh uang itu, berikan saja pada panti asuhan atau yayasan yang membutuhkan bantuan," tolak Savira.

"Brengs*k! Wanita mur*han! Kamu pasti mengincar harta Papa, iya, kan? Jadi kamu tak mau uang receh seperti iki. Dasar wanita licik!" Dion menatap tajam Savira. Namun tak sekali pun membuat wanita yang berada di hadapannya itu gentar.

"Savira!" panggilan Bram menyentak lamunan yang sempat hadir.

Setelah mengumpulkan kekuatan, Savira berjalan mendekat. Kini ia berdiri di samping Bram yang sedang memeriksa keadaan Dion.

Jantung Savira berdetak kencang, bukan karena rasa cinta yang bersemayam dalam dada. Namun rasa takut dipermalukan saat Dion sadar. Namun secepat kilat Savira tepis perasaan itu. Dia sadar tugasnya menolong pasien terlepas dari siapa orang itu, musuh atau teman.

"Savira tolong obati luka di kepalanya!" perintah Bram.

Bram berjalan keluar, menemui dua polisi yang ikut mengantarkan Dion ke rumah sakit. Dia harus memberikan keterangan terkait pasien yang sedang ia tangani.

"Bisa Vira... Kamu pasti bisa!" ucap Savira dalam hati.

Perlahan Savira membersihkan luka yang ada di dahi Dion. Dia berusaha hati-hati agar mantan calon anak tirinya tidak terbangun dan menambah masalah baru dalam hidupnya.

Sentuhan yang Savira lakukan membuat Dion terbangun. Mata lelaki itu membola sempurna kala melihat Savira berdiri tepat di sampingnya. Sontak Dion bangun lalu maju beberapa langkah. Namun langkahnya terhenti karena kepala yang terasa berputar-putar.

"Makannya duduk!" ucap Savira lalu membantu Dion duduk. Tapi secepatnya Dion menepis tangan Savira.

"Jangan sentuh gue!" bentak Dion.

"Tutup mulutmu! Kamu mau aku berteriak lalu memanggil dua polisi yang berada di depan? Kamu bisa masuk penjara karena mengemudikan mobil dalam keadaan mabuk!"

Dion mengusap wajah kasar, "Aw... Sakit!" ucapnya meringis kesakitan. Dengan terpaksa lelaki itu kembali menjatuhkan bobot di atas brankar.

"Pelan-pelan!" teriak Dion kala Savira mengobati lukanya.

"Nih, obatin sendiri!" ucapnya kesal.

"Lo mau gue laporkan pihak rumah sakit karena kasar pada pasien?" Savira membuang napas kasar laku segera menutup luka Dion.

Dion menatap Savira kesal. Bayangan Purnawan dan Savira berbagi peluh menari-nari dalam kepalanya. Rasa bencinya kian bertambah mengingat wasiat yang baru saja ia dengar.

Dia tak terima jika harus menikahi wanita yang sudah berbagi raga dengan ayahnya. Hatinya terus berontak.

"Kalau bukan di rumah sakit, sudah kubunuh kamu!" batin Dion.

"Sudah selesai," ucap Savira lalu membalikkan badan dan melangkah pergi.

"Tunggu!" teriakan Dion membuat langkah Savira berhenti. Wanita itu membalikkan badan lalu menatap gak suka ke arahnya.

"Apa lagi!"

Dion tersenyum menyeringai ke arah Savira. Tatap elangnya membuat Savira sedikit kehilangan nyali. Bukan tak mungkin Dion melakukan hal nekat pada Savira. Apa lagi lelaki itu tengah dalam pengaruh minuman beralkohol.

Savira mundur beberapa langkah, ia takut Dion akan bertindak hal yang membahayakannya.

"Kenapa? Lo takut?" tanya Dion.

"Ti-tidak," jawab Savira terbata

"Wanita licik, aku tahu apa yang ada di kepala lo. Hingga lo meminta Papa agar menikahkan kita, kan!"

"Apa!"

***

"Tidak masuk kerja, Ra?" tanya Nurdin yang duduk di teras sambil menikmati secangkir kopi.

"Libur, Pak," jawab Savira.

Wanita berambut hitam itu kembali sibuk menyirami berbagai tanaman hias. Beberapa pot tersusun rapi di halaman rumahnya yang tak begitu luas. Berbagai tanaman hias itu memberi warna indah untuk rumah Nurdin yang terbilang sederhana.

"Kapan kamu nikah, Ra?" tanya Nurdin lalu meletakkan koran di meja kecil tepat di samping tempat duduknya. Matanya awas mengamati pergerakan Savira.

Savira meletakkan ember dan gayung di tanah. Halaman rumah yang sempit membuat dia mampu mendengar dengan jelas pertanyaan ayahnya. Ini bukan kali pertama Nurdin menanyakan hal serupa. Hampir setiap hari kalimat itu meluncur dari mulut ayah Savira.

"Harusnya kemarin kamu nikah dengan lelaki tua itu, Ra. Pasti sekarang kita jadi kaya raya. Kamu sih terlalu lama menunggu. Jadi wanita itu yang agresif jangan pasif."

Savira masih diam, enggan menjawab ucapan Nurdin yang menyayat hatinya. Wanita itu sudah hafal bagaimana sifat ayah kandungnya. Lelaki itu selalu mementingkan keuntungannya sendiri. Tak perduli itu menyakiti hati Savira atau orang lain.

"Bapak pengen kamu cepat nikah supaya suami kamu bisa memenuhi keinginan Bapak. Cari suami yang kaya, kalau bisa yang sudah tua. Supaya kamu bisa menguasai hartanya."

"Astagfirullah ...," ucap Savira seraya mengelus dada yang terasa sesak.

Bukan hal aneh mendengar ucapan Nurdin yang seperti itu. Lelaki itu hanya mementingkan harta. Tak perduli jika hati putrinya tengah terluka.

"Sudahlah, Pak. Jangan terus mendesak Vira. Savira masih sedih ditinggal Mas Purnawan. Tapi Bapak tak perduli."

"Halah lelaki bangkot seperti itu kamu tangisi. Dia pantas jadi ayah kamu bukan suami kamu. Nyesel bapak tidak memintanya segera menikahi kamu. Seharusnya kita sudah jadi kaya raya."

Savira melangkah kesal menuju kamar, dia tinggalkan ember dan gayung di halaman. Ucapan Nurdi semakin membuat Savira tertekan.

"Kenapa lagi, Ra?" tanya Wati dari depan pintu kamar Savira yang sedikit terbuka.

Hening, tak ada jawaban dari Savira. Hanya suara isak tangis yang terdengar di telinga Wati. Perlahan wanita berusia 52 tahun itu mendekat kemudian menjatuhkan tubuhnya di kasur, tepat di sebelahnya.

"Apa aku tak boleh bahagia, Bu?" tanya Savira dengan linangan air mata.

"Kenapa bicara seperti itu? Semua orang berhak bahagia, termasuk kamu," jawab Wanti seraya mengelus pucuk kepalanya dengan lembut.

"Kenapa saat aku mencintai seseorang dan bapak merestuinya tapi justru dia pergi secepat itu?"

"Itu sudah takdir, Ra. Kamu tak boleh marah dengan garis yang Allah berikan padamu," ucap Wati pelan.

"Savira lelah, Bu. Bapak selalu memintaku mencari lelaki kaya, meminta ini dan itu. Sampai kapan Bapak seperti itu? Sampai Savira tua lalu tak ada yang mau? Memang lebih baik Savira tak menikah saja. Percuma punya suami jika selalu dimanfaatkan Bapak."

Savira kembali terisak, tetes demi tetes air membasahi pipi putihnya.

"Maafkan Bapakmu, Ra. Dia memang keterlaluan. Harusnya dia memikirkan perasaan kamu bukan justru memikirkan kesenangannya sendiri."

Savira diam, dia enggan menjawab perkataan ibunya. Wanita berhidung mancung itu memilih membalikkan badan dan membelakangi Wati.

Seharian Savira mengurung diri di dalam kamar. Dia hanya keluar untuk ke kamar mandi. Bahkan ia melewatkan makan siang. Rasa kesal dan marah membuatnya enggan bertatap muka dengan Nurdin.

Sikap ayahnya membuat Savira selalu dikucilkan, bahkan dia disebut perawan tua karena sampai usia tiga puluh tahun dia masih menyendiri. Itu semua lantaran Nurdi selalu meminta mahar yang tinggi pada semua lelaki yang dekat dengan Savira. Hingga akhirnya mereka memilih pergi meninggalkan Savira.

Sakit, marah dan kecewa selalu Savira rasakan hingga akhirnya ia bertemu dengan Purnawan dua tahun yang lalu. Saat itu Savira bertugas di poliklinik spesialis dalam.

Purnawan yang sedang sakit selalu rutin memeriksa kesehatannya. Pertemuan antara pasien dan suster membuat kedekatan itu tercipta lalu tumbuhlah benih cinta di antara mereka.

Cinta memang tak kenal usia, itu yang dirasakan Purnawan dan Savira. Sayang cinta itu harus kandas karena Purnawan telah kembali ke Sang Pencipta.

Rencana pernikahan yang pernah diucapkan Purnawan nyatanya hanya sebuah angan. Kini Savira harus menata hidupnya tanpa kehadiran Purnawan di sisinya.

Rintik hujan terdengar beradu dengan genting. Savira segera beranjak dari kasur kemudian berlari menuju halaman depan untuk mengambil pakaian yang masih dijemur. Rumah Savira tak memiliki halaman belakang.Pakaian terpaksa mereka jemur di depan rumah. Maklum mereka tinggal di perumahan menengah ke bawah.

Satu persatu pakaian sudah berpindah di tangan, tinggal pakaian dalam yang masih menempel di jemuran.

Bruumm....

Savira membalikkan badan kala mendengar suara mobil yang berhenti tepat di jalan depan rumahnya. Pintu mobil dibuka dari dalam, satu persatu kaki terlihat keluar. Savira masih diam seraya mengamati siapa gerangan yang bertamu? Selama ini hanya mobil Purnawan yang pernah berhenti di situ. Lantas siapa pemilik kendaraan roda empat itu? Savira bertanya-tanya dalam hati.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Nani Mulyani
Oh Savira perawat kirain dokter
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

  • Bukan Pernikahan Impian   Pertanyaan Bram

    Mata Savira membola kala melihat seorang lelaki keluar dari sana. Tangannya mengepal mengingat perlakuan Dion padanya dulu. "Mau apa kamu?" tanya Savira datar. "Tamu tidak dipersilahkan masuk?" sindir Dion sambil menatap Savira tak berkedip. Baru pertama kali Dion melihat Savira tanpa penutup kepala. Kulit putih, hidung mancung, dan leher jenjang membuat Dion tak berkedip melihatnya. Savira memakai hijab hanya di rumah sakit, itu karena tuntutan pekerjaan. Dia merasa belum pantas memakai hijab meski ia tahu memakai hijab wajib hukumnya. "Kamu bukan tamu, untuk apa mempersilakan masuk?""Kamu tak tahu bagaimana cara memuliakan tamu seperti yang diajarkan agamamu?" jawab Dion sambil terus memandang wajah wanita di depannya. Dion sengaja membawa-bawa ajaran dalam agama agar Savira memperbolehkannya masuk. Kalimat baru saja terucap hanya ia dengar sekilas saja. Selama ini dia hanya mengaku beragama islam tapi tak sekali pun ia mengerjakan kewajiban layaknya umat muslim lainnya. "Apa

    Terakhir Diperbarui : 2023-03-08
  • Bukan Pernikahan Impian   Calon Suami

    Savira melotot mendengar pertanyaan yang baru saja Bram lontarkan. Bahkan mulutnya terbuka lebar. Beruntung tak ada lalat yang bertamu di sana. "Dokter tidak sedang bercanda, kan?"Bram tidak menjawab, dia justru tengah sibuk mencari tepat untuk menepikan kendaraan roda empat miliknya. "Apa aku terlihat bercanda, Ra?" Bram menatap lekat manik hitam Savira. Tatapan itu membuat Savira salah tingkah dan gugup. Haning, tak ada kata yang keluar dari mulut keduanya. Savira memilih diam dengan kebingungan yang menyelimuti hatinya. Masalah dengan Dion belum selesai tapi sudah ada masalah baru yang menimpanya. "Aku menyukaimu sudah sejak lama, Ra. Jauh sebelum kamu menjalin hubungan dengan Pak Purnawan."Savira memilin ujung seragam yang ia kenakan. Dia tak menyangka dokter yang digemari para perawat justru menyukainya. "Savira, maukah kamu menjadi istriku?" Bram menggenggam tangan wanita di depannya seraya mengunci netra bening itu. Jantung Savira berdetak kencang, tatapan Bram mampu me

    Terakhir Diperbarui : 2023-03-08
  • Bukan Pernikahan Impian   Kecurigaan Savira

    Savira melotot mendengar ucapan Dion. Kemudian menggelengkan kepala saat beradu padang dengan Bram. Dokter muda itu berusaha menata hati yang telah diselimuti amarah. "Purnawan sudah mati tapi kenapa muncul lelaki ini?" batin Bram kesal. "Kamu gila, Dion! Kita tak memiliki hubungan apa pun!" Savira menempis tangan kiri Dion yang menggandeng tangannya. Lebih tepatnya mencengkeram tangannya. "Lepaskan! Jangan paksa orang!" Bram berusaha melepas tangan Dion yang mencengkeram lengan Savira. Namun gagal, lelaki itu justru merangkul tubuh Savira dari samping. "Jangan ikut campur, aku dan Savira akan segera menikah. Jangan lagi ganggu calon istri orang!" Dion berjalan sambil merangkul tubuh savira. "Lepaskan, Di!" Savira berusaha mendorong tubuh Dion tapi tak bisa, tenaga lelaki itu jauh lebih kuat. "Ingat Savira, kamu itu milikku!""Jangan bermimpi, aku tak mencintai kamu!""Aku tak butuh cinta, aku hanya butuh kamu.""Tak waras!" maki Savira dengan wajah merah padam. "Ayah kamu sud

    Terakhir Diperbarui : 2023-04-04
  • Bukan Pernikahan Impian   50 juta

    "Apa benar Bapak menjual aku pada Dion?"Kalimat itu akhirnya keluar dari mulut Savira. Susah payah dia menahan kata-kata agar tak menyakiti hati kedua orang tuanya. Namun melihat Nurdin pulang dengan membawa barang belanjaan membuat dada wanita itu bergemuruh. Emosi yang ia tahan lepas tak terkendali. Nurdin membalikkan badan, ia jatuhkan barang belanjaan di lantai begitu saja. Lelaki paruh baya itu menatap tajam ke arah Savira, giginya gemeletuk dengan wajah merah padam. Membuang napas kasar, Savira mengalihkan pandangan lalu membalikkan badan. Dia tutup rapat pintu depan rumahnya. Pertengkaran yang terjadi tak boleh sampai dilihat orang lain. Malu, kata itu yang ada dibenak Savira. "Apa kamu bilang tadi, menjual? Bapak hanya menerima lamaran Dion, bukan menjual kamu. Harusnya kamu senang dipinang lelaki tampan dan yang pasti dia mapan." Nurdin berusaha menutupi kenyataan dengan menonjolkan amarahnya. "Bukan menjual kata Bapak? Bapak menerima uang dari Dion agar dia bisa menik

    Terakhir Diperbarui : 2023-04-06
  • Bukan Pernikahan Impian   Harapan

    Savira mengoles hidung Wati dengan minyak kayu putih. Perlahan wanita paruh baya itu membuka mata. Sosok wanita yang masih mengenakan seragam perawat terlihat pertama kali. "Vira...." lirih Wati berucap bagai hembusan angin. Perlahan bulir demi bulir jatuh membasahi pipi Wati. "Ada yang sakit, Bu?" Savira memperhatikan setiap inci tubuh Wati. Namun tak ia temukan barang segaris luka di tubuh wanita yang bertaruh nyawa saat melahirkannya itu. "Dada ibu sesak?" tanya Savira lagi. Wati menggeleng lalu kembali menjatuhkan air matanya. Sebagai seorang ibu dia merasa bersalah karena tak mampu melindungi putrinya. "Kenapa ibu menangis? Katakan bagian mana yang sakit, Bu? Nanti Savira obati.""Maafkan ibu, Nak. Ibu tak bisa melindungi kamu dari keegoisan bapak." Wati terisak, bayangan uang 50 juta menari-nari di pelupuk mata."Savira baik-baik saja Bu. Savira akan mengembalikan uang Dion," jawab Savira ragu. "50 juta, Ra. Uang dari mana?"Savira terdiam tak mampu menjawab pertanyaan Wa

    Terakhir Diperbarui : 2023-04-07
  • Bukan Pernikahan Impian   Siasat

    "Aku yang akan membayarnya!" Semua mata menoleh ke pintu, seorang lelaki berpakaian rapi berdiri di muka pintu dengan membawa amplop coklat berisi uang. "Pak Hendra!""Hendra!"Ucap Savira dan Dion hampir bersamaan. Kedua orang berbeda gender itu menatap heran pada lelaki yang kini berjalan mendekat. Hendra menjatuhkan bobot tepat di samping Savira. Membuat Dion yang duduk di hadapannya menatap tak suka. Bukan, bukan karena ia cemburu tapi karena rencana yang sudah tersusun rapi akan hancur berantakan. Apa lagi jika Savira menerima bantuan dari Hendra. "Apa maksud Pak Hendra tadi?" Savira menoleh ke kanan, dia tatap lekat manik bening lelaki yang duduk di sampingnya. Hendra menggeser kursi kayu yang ia duduki hingga dapat menatap dengan jelas wajah ayu Savira dari dekat. Tak dapat dipungkiri ada rasa tertarik kala melihat Savira untuk pertama kali. Namun Hendra sadar, dia hanya butiran debu jika dibandingkan dengan Purnawan. "Saya akan memberikan uang untuk membayar hutang Dion.

    Terakhir Diperbarui : 2023-04-10
  • Bukan Pernikahan Impian   Jebakan

    Dion melangkah penuh percaya diri menuju kantin rumah sakit, tempat Savira berada. Lunch box berwarna biru berada di tangan kanannya. Rencana yang Regina bicarakan harus segera dilakukan mengingat batas waktu tinggal sepuluh hari lagi. Jika tidak, seluruh aset Purnawan akan lepas dari tangannya. Dia akan jatuh miskin. Sesekali dia mengatur napas. Lelaki itu harus pandai menyembunyikan marah pada Savira. Meski kenyataannya dia begitu membenci wanita itu. Baginya Savira adalah kutu yang harus dibasmi. "Kenapa aku harus menikahi gundikmu, Pa! Papa benar-benar keterlaluan, bisa-bisanya memintaku menikahi wanita bekas dirinya. Menjijikan!" rutuk Dion dalam hati. Dion berhenti melangkah, matanya awas mencari seorang wanita yang kini duduk sambil meminum es teh. "Ini demi uang! Ayo Dion!" ucap Dion menyemangati dirinya sendiri. Setelah cukup tenang Dion melangkah mendekati meja tempat Savira mengistirahatkan tubuh untuk sejenak. Jadwal istirahat diatur bergiliran. Ruang IGD tak boleh k

    Terakhir Diperbarui : 2023-04-11
  • Bukan Pernikahan Impian   Jebakan 2

    Dion membisu, dia benar-benar tak menyangka jika Savira mengetahui semuanya. Kini rasa takut bersemayam di hati lelaki itu. "Kenapa diam? Jadi benar semua hanya kebohonganmu saja, kan?""Tidak... Lihat ini!" Dion menyerahkan ponsel dengan gambar amplop bertuliskan nama Savira di sana. Sebelum ke rumah sakit Dion sempat menulis amplop dengan nama Savira .Kemudian ia foto benda itu. Putra Purnawan itu yakin kejadian ini akan terjadi. Mengingat Savira menolak lamaran dan bujuk rayunya. Ya, wanita itu sama sekali tak menyukai Dion. Melihat foto yang Dion berikan membuat Savira bimbang. Satu sisi hatinya mempercayai perkataan calon anak tirinya itu. Namun sisi lain meragukan keaslian amplop itu. "Kamu masih tak percaya?" Dion melirik Savira yang masih diam membisu. "Akan aku tunjukkan. Tapi tidak sekarang, aku akan menjemputmu. Kita baca surat itu sama-sama. Surat itu masih di rumah, aku takut hilang jika membawa."Dion beranjak dari kursinya lalu melangkah pergi meninggalkan Savira ya

    Terakhir Diperbarui : 2023-04-11

Bab terbaru

  • Bukan Pernikahan Impian   Perpisahan

    "Jangan bercanda kamu, Hen! Lahirannya masih satu bulan lagi.""Savira terjatuh, perutnya terbentur hingga pendarahan.""Apa!""Aku tunggu di bandara sekarang juga!"Belum sempat menjawab sambungan telepon sudah dimatikan sepihak oleh Hendra. Sikap itu yang membuat Dion semakin panik dan ketakutan. Sesaat Dion kebingungan, tidak tahu harus berbuat apa. Namun pesan masuk dari Hendra kembali menyadarkan lelaki itu. Dion segera menyambar kunci mobil, dia akan pergi ke bandara. Mobil yang dikemudikan oleh supir melaju dengan kecepatan tinggi. Sepanjang jalan Dion terus meminta sopirnya untuk mempercepat laju kendaraannya. Lelaki itu tak ingin ketinggalan pesawat. "Ngebut lagi, Man!""Tapi, Tuan ....""Kalau sampai aku ketinggalan pesawat, mati kamu!"Supir Dion yang bernama Herman menelan ludah dengan susah payah. Dia pun kian menginjak pedal gas. Hingga akhirnya sampai tepat di depan jalan masuk bandara. "Untung gak mati," ucap supir itu seraya mengelus dada. Tanpa menjawab Dion kel

  • Bukan Pernikahan Impian   Savira Pendarahan

    “Kamu sembunyikan di mana Savira,Hen? Dia masih istriku ... aku berhak tahu!’Dion memekik seraya menarik kerah kemeja yang Hendra kenakan. Caci dan maki tak hentinya keluar dari mulut suami Savira. Dia ingin segera menemukan Savira. Lelaki itu menyesal karena telah mengusir istrinya.Hendra tersenyum sinis. Dia singkirkan tangan mantan atasannya. Tatapan muak nampak jelas di mata Hendra. Dia kesal dengan keegoisan Dion yang tak ada habisnya, bahkan kian menjadi.“Ck! Sejak kapan kamu mengakui Savira sebagai istri, Tuan Dion yang terhormat? Seorang istri itu dilindungi dan dicintai ... bukan justru kamu sia-siakan! Sejak awal menikah kamu selalu menanamkan luka padanya, bahkan saat dia memberikan segenap cinta kamu justru menancapkan belati. Harusnya aku sadar, kamu memang tak pantas untuk Savira. Harusnya aku yang menikahinya,bukan kamu!”BUUG!Sebuah tangan menyentuh keras wajah Hendra. Tinju menciptakan luka di sudut bibirnya. Namun justru senyum sinis dia berikan. Tindakannya kian

  • Bukan Pernikahan Impian   Sebuah Kebenaran

    Empat bulan kemudian. Semilir angin memainkan rambut Savira yang dibiarkan tergerai. Helai demi helai rambut hitam itu menari, terkadang berhenti di hidung, bahkan mulut. Namun perempuan itu masih diam menikmati senja dengan hamparan sawah di depan mata. "Mbak Savira wes arep magrib lho! Pamali ibu hamil masih di luar."Seorang perempuan menyapa Savira. Dia juga memintanya segera masuk ke rumah karena malam segera datang. "Nggeh, Bu. Terima kasih."Perempuan itu mengangguk, kemudian melanjutkan langkah menuju rumah. Begitu pula Savira yang memilih mengikuti permintaan tetangganya tersebut. Sudah empat bulan Savira tinggal di sebuah desa. Jauh dari hingar-bingar kota Jakarta. Setiap bulan sekali Hendra akan datang sambil membawa bahan makanan dan kebutuhan Savira selama satu bulan. Maklum, desa itu jauh dari pasar, bahkan swalayan. Pasar terdekat berjarak 10 kilometer dari rumah Savira, itu pun hanya buka satu minggu sekali. Perempuan itu hanya ke pasar jika menginginkan ikan sega

  • Bukan Pernikahan Impian   Savira Pergi

    Hujan angin menyambut perjalanan Hendra dan Savira. Keduanya saling diam, fokus menatap depan. Kejadian beberapa menit lalu menghancurkan hati mereka.Mendapatkan fitnah dari orang yang disayangi adalah lara yang tiada obatnya. Namun untuk menjelaskan kenyataan juga percuma. Dion tak akan percaya meski Savira menjelaskan sampai berbusa. Kebencian dan kekecewaan sudah tertanam dalam hatinya. Tetes demi tetes air jatuh ke bumi, semakin lama semakin deras. Hendra masih melajukan kendaraannya, tapi kini perlahan. "Kamu mau diantar pulang, Ra?"Hendra melirik ke sebelah kiri, lalu kembali fokus menatap depan. Lima menit lelaki itu menunggu jawaban dari Savira, tapi perempuan itu masih diam membisu. "Aku antar pulang, ya, Ra!"Hendra memutar stang mobil ke kiri. Kendaraan roda empat itu melaju ke rumah sederhana Nurdin. Tak tujuan lain selain tempat Savira dibesarkan. "Antar aku ke bertemu Pak Ridwan, Hen?""Untuk apa?""Kamu akan tahu tapi nanti."Tanpa menjawab Hendra mengubah arah m

  • Bukan Pernikahan Impian   Diusir Dari Rumah

    "Kamu kenapa, Dion?"Lelaki itu membisu, menerobos melewati Savira tanpa menoleh sedikit pun. Tak ada senyum apalagi kecupan hangat yang selalu ia berikan. Dion menahan amarah karena sebuah foto yang dikirim ke nomornya pagi ini. Dion kenapa sih? Sebuah tanda tanya memenuhi pikiran Savira. Perempuan itu terus menerka masalah apa yang terjadi sehingga Dion berwajah masam, bahkan mendiamkannya. Hanya masalah pekerjaan yang ada dalam pikiran Savira, dia tak tahu ada duri yang menancap di pernikahannya. Dengan hati-hati Savira melangkah mengikuti Dion. Dia ingin menghilangkan rasa penat dalam diri suaminya. "Kamu mau dibuatkan teh atau kopi, Dion?""Pergi saja kamu! Aku gak mau lihat wajah kamu!"Dion menunjuk pintu, tatapan lelaki itu tajam dan penuh kebencian. Sama seperti saat Savira datang pertama kali. Dion menjadi kasar dan angkuh. Savira menurut, berjalan pelan keluar kamar. Kakinya menginjak anak tangga dengan hati-hati. Sikap kasar Dion menghilangkan konsentrasi. Kaki kirin

  • Bukan Pernikahan Impian   Amarah Dion

    "Pergi! Jangan tunjukkan wajah Mama di hadapanku lagi. Aku muak melihat wajah penuh dusta!"Dion menunjuk pintu. Suara teriakannya menciptakan ketakutan. Nunung yang masih berada di balik pintu segera keluar meski rasa penasaran begitu besar. Asisten rumah tangga itu tak ingin dipecat hanya karena jiwa penasarannya meronta-ronta. "Jangan seperti ini, Dion."Savira menggenggam tangan kanan Dion. Perempuan itu berusaha menenangkan amarah suaminya. Namun tak menggubris "Mama minta maaf, Dion."Regina berlutut di depan Dion, tangan merangkul kedua kaki putranya. Perempuan itu berkali-kali mengucapkan kata maaf seraya menitikkan air mata. Regina berusaha meyakinkan Dion agar memaafkan kesalahannya. Melihat sikap Regina, tumbuhlah rasa iba di hati Savira. Hatinya yang tulus tak kuasa melihat Regina bersimpuh untuk mendapatkan maaf dari Dion. Bahkan perempuan itu sudah memaafkan kesalahan Regina. Savira beranjak, menarik tubuh Regina dan memeluknya erat. "Savira dan Dion sudah memaafkan

  • Bukan Pernikahan Impian   Permohonan Maaf Regina

    "Kamu gak suka aku hamil?" Savira menyilangkan kedua tangan di dada. Senyum yang semula merekah seketika lenyap. Dia kecewa dengan tanggapan Dion atas kehamilannya. "Bukan kecewa, Sayang."Dion mendekat, memeluk perempuan yang tengah merajuk. Beberapa kecupan mendarat di wajah Savira. Seketika wajahnya memerah, amarah pun perlahan mereda. Begitu mudah menghilangkan kemarahan seorang perempuan. Pelukan dan kecupan adalah obat mujarab dari besarnya amarah. "Aku masih gak percaya akan menjadi seorang papa, Ra. Maaf jika ekspresi ku tak sesuai dengan ekspetasi yang kamu harapkan."Dion melepas pelukannya, menatap Savira dengan lekat. Sesaat lelaki itu diam, menunduk dengan netra berkabut. Bulir demi bulir pun jatuh membasahi pipinya. "Kenapa kamu menangis, Dion?"Savira menempelkan kedua telapak tangan di pipi Dion. Bulir demi bulir yang menempel ia hapus dengan jemarinya. "Apa aku sanggup menjadi papa yang baik, Ra? Sementara aku tak bisa menjadi anak yang baik bagi papa hingga akh

  • Bukan Pernikahan Impian   Hamil

    "Kenapa, Sayang?"Dion semakin mendekatkan wajahnya. Lelaki itu tak sabar ingin mengecup kening istrinya. "Aku mau muntah."Savira berlari menuju kamar mandi. Dia keluarkan semua isi perutnya, hingga lidahnya terasa begitu pahit. Namun perutnya terus meronta sampai tubuh perempuan itu lemas. "Kamu kenapa sih, Ra? Kan sudah turun dari pesawat. Ya, kali masih mabuk udara."Dion memijit tengkuk Savira agar tubuhnya lebih membaik. Namun aroma mulut Dion justru kembali memancing rasa mual dalam perutnya. Untuk kesekian kali Savira muntah dan tubuhnya semakin lemas. "Kamu kenapa sih, Ra?""Diem! Jangan ngomong terus, Dion! Bau mulut kamu gak enak!"Savira menutup hidung dengan kedua tangannya. "Apaan, sih? Orang gak bau kok."Dion terus mencium bau mulutnya. Namun tak ada yang aneh. Aroma kopi justru keluar dari mulutnya, bukan bau jengkol yang menjijikkan. "Kamu habis makan apa sih, Dion?""Gak makan apa-apa, Ra.""Tapi bau!"Savira semakin rapat menutup hidungnya. Dia pun mendorong

  • Bukan Pernikahan Impian   Honeymoon

    Savira duduk setelah mengeluarkan semua isi dalam perutnya. Perempuan itu menyandarkan tubuh seraya memijit kepala yang terasa berdenyut. Baru beberapa menit menghirup aroma pesawat,namun dirinya seakan mau pingsan. Belum lagi isi perut yang meronta, hendak berlari keluar. Tak tahan, Savira pun ingin melarikan diri. "Turun yuk, Dion!"Savira hendak membuka sabuk pengaman yang terpasang di tubuhnya. "Mau terjun bebas, Ra?""Gak tahan, Dion.""Apanya?" Dion menautkan dua alis, tak mengerti dengan ucapan istrinya. "Aku pengen muntah, gak tahan."Savira menutup mulutnya dengan kedua tangan. Sekuat tenaga ia tahan guncangan dalam perut. Dion segera mengambil kantung muntah dan memberikannya pada Savira. Perempuan itu dengan sigap mengambilnya. Dion memijit tengkuk Savira agar membuatnya merasa nyaman. "Masih mual?""Bau apaan sih ini? Gak enak banget!"Dion mengendus-endus, tapi tak menemukan bau busuk yang Savira maksud. Semenjak masuk pesawat, lelaki itu justru suka mencium pewangi

Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status