Savira menjerit saat melihat handuk Dion terlepas dari tubuhnya. Tampak sudah sesuatu yang harusnya ditutupi. "Woy! Ini kamar bukan hutan, gak usah teriak-teriak bisa gak sih!" hardik Dion. Lelaki itu belum juga sadar jika handuk meluncur bebas dan jatuh di lantai. Savira menutup mata, tangannya menunjuk Dion. "Itu, beo... Eh, perkutut!" Savira menunjuk bagian bawah Dion. Dion menoleh ke arah telunjuk Savira. Matanya membulat saat benda pusakanya terekspos sempurna. Cepat-cepat ia ambil handuk lalu memakainya kembali. Malu, tapi lelaki itu berusaha menutupi. Dion memang urakan bahkan bar-bar tapi ia tak pernah sekali pun melakukan hubungan terlarang termasuk dengan Julia. Savira yang pertama kali melihat miliknya. "Ah, kenapa harus dia yang melihatnya!" gumamnya kesal. "Keluar aku mau ganti baju!" teriak Dion sambil membenahi handuk agar tidak terjatuh lagi. Sambil menutup mata, Savira membalikkan badan kemudian melangkah keluar. Dalam hati merutuki kebodohannya yang masuk tan
Azan subuh telah berkumandang di masjid. Malam akan segera berganti dengan pagi. Savira membuka mata walau terasa berat. Semalaman ia tak bisa tidur dengan nyenyak, rasa dingin masih saja terasa meski ia telah memakai selimut dan bed cover. Dia pun beranjak dari sofa, melangkah pelan menuju kamar mandi. Namun langkahnya terhenti saat mendengar Dion menggigil kedinginan. Wanita itu membalikkan badan lalu mendekat ke ranjang king size itu. "Astaga, Dion. Badan kamu panas sekali," ucap Savira kala menyentuh tangannya. "Dingin... Dingin ...," ucap Dion seraya memejamkan mata. Dia mengigau. "Remotenya mana, Dion?" Dion semakin menggigil, ucapan Savira tak masuk di telinganya. Lelaki itu merasakan dingin sampai ke tulang. "Tenang, Ra. Kamu harus cari kunci dan remote AC lebih dulu," ucapnya pada dirinya sendiri. Savira meraba bawah bantal, ia temukan kunci dan remote. Dengan cepat ia mematikan AC. Dion tetap saja menggigil kedinginan meski AC telah dimatikan. Savira segera berlari m
Hening, Savira membisu, tak tahu harus menjawab apa. Pernikahan yang diimpikan menjadi surga dunia. Namun nyatanya neraka yang tercipta. "Aku baik-baik saja, Dokter." Dia tarik paksa bibirnya agar tersenyum meski luka merasuk ke dalam rongga dada. "Aku akan siap menjadi tempatmu berteduh saat hujan menerpa.""Saya permisi, Dok," ucapnya lalu pergi meninggalkan Bram. Savira meneruskan langkah, bukan untuk menjadi pembayar hutang Nurdin tetapi untuk menepati janji pada Purnawan. Menjaga dan menyayangi Dion. Kini bukan sebagai anak melainkan sebagai istri. Meski ia tak tahu akankan ia bisa mengubah rasa benci menjadi cinta, di hatinya dan hati Dion. Motor yang Savira kendarai menerobos jalanan kota. Dia berhenti sejenak di bawah pohon, menghirup oksigen dan mengeluarkan perlahan. Namun tetap saja sesak itu terasa. "Enak jadi kupu-kupu, bisa terbang sesuka hati. Tak seperti aku yang terbelenggu dalam sebuah ikatan suci tanpa dasar hati," batin Savira saat melihat serangga berwarna ku
"I-iya, Pak," jawab Dion terbata. Keringat dingin mulai tampak di wajahnya. "Kemari dengan siapa?""Siapa, Dion?" tanya Julia membuat Ridwan membalikkan badan. Lelaki itu mengernyitkan dahi melihat wanita berpakaian minim di hadapannya. "Pengacara Papa," jawab Dion gugup. "Kalian?" Ridwan menatap Dion dan Julia bergantian. "Maaf, Pak Ridwan saya ada urusan penting,bisa kita bicara lain waktu?" Dion mencoba menghentikan rasa ingin tahu lelaki di sebelahnya. Lelaki itu takut pernikahannya terbongkar di depan Julia. Meski ia tahu cepat atau lamat Julia akan mengetahuinya. Ini hanya tengang waktu. "Oke, undangan akan Hendra sebar. Dua minggu lagi pesta akan dilangsungkan. Hendra sudah mempersiapkan semuanya. Semua sesuai permintaan Pak Purnawan."Dion menelan ludah dengan sudah payah. Seakan ada batu besar yang mengganjal tenggorokannya. Dalam hati memaki Hendra karena lelaki tak memberi tahu apa pun. "Saya permisi. Selamat malam."Ridwan melangkah pergi, meninggalkan sepasang keka
"Apa ucapanku terlalu menyakitkan Savira? Bukankah seperti itu kenyataannya?" gumam Savira lirih. Dion membaringkan tubuh di atas ranjang. Dia tatap langit-langit kamar. Putih lalu berganti dengan gambaran masa lalu. Dulu, ketika Purnawan dan Regina masih tinggal satu atap. Sejujurnya lelaki itu rindu. Namun ia malu mengatakan semua. Amarahnya terlalu besar hingga menutupi rasa cinta. ***Savira sibuk dengan tanaman yang ada di halaman rumah. Sesuai permintaan Dion hari ini dia tak memasak. Kemudian mencari kesibukan dengan menyirami tanaman hias. Terbiasa bekerja membuat dia bingung harus melakukan apa. Dion menuruni anak tangga. Diam-diam ia mencari sosok wanita yang tidur satu kamar dengannya. Namun tak ia temukan. Nasi dan lauk sudah tertata di atas meja. Tanpa menunggu Dion segera memakannya. Baru satu suap makanan itu langsung ia muntahkan. "Kenapa, Dion?" Masakannya tidak enak?" tanya Savira yang berdiri di belakangnya. "Enak, siapa bilang tidak enak? Nih aku makan."Di
"Ini tak seperti yang kamu pikirkan, Dion. A-aku hanya...." Kris berusaha menjelaskan pada sahabatnya. Namun Dion menepis tangan lelaki itu lalu menerobos masuk. Dion berjalan Seraya mengepalkan kedua tangan di samping tubuh. Dia melangkah menuju kamar Julia."Aku bisa jelaskan semuanya,Dion," ucap Kris seraya mencekal tangan Dion. Namun lagi-lagi Dion menepis tangan itu kasar. "Tutup mulut lo! Menyingkir atau leher lo gue patahin!" Dion menatap tajam sahabatnya, tatapan bak singa yang hendak menerkam mangsanya. Kris menelan ludah dengan susah payah lalu menyingkir dari hadapan Dion. Dalam hati ia bahagia karena hubungannya dengan Julia tak perlu ditutup-tutupi lagi. Namun mereka tak akan memiliki ATM berjalan karena Dion akan membenci mereka. Dion kembali melangkah menuju ke kamar dengan pintu terbuka lebar."Siapa , Kris?" Julia masih menutup mata, selimut tebal menutupi bagian tangan hingga seluruh tubuhnya."Kris, kamu tidak ingin memeluk lagi? Ayolah, Sayang ... aku ingin tid
"Kenapa ekspresinya begitu? Nahan kencing?" Savira menahan tawa melihat ekspresi Dion. "Aku bisa sendiri.""Yakin?" Perlahan Dion beranjak dari ranjang, melangkah ke kamar mandi. Namun dia diam, tak bisa melepaskan celana menggunakan satu tangan. "Bisa ngompol di celana nanti," lirihnya. Savira menatap jam berbentuk lingkaran yang menempel di dinding. Sudah terlalu lama untuk sekedar buang air kecil. "Gak bisa sendiri saja belagu," gumam Savira. Tok! Tok! "Dion, buruan! Aku juga ingin ke kamar mandi!" ucap Savira seraya mengetuk pintu beberapa kali. "Apa minta tolong Savira saja, ya? Sumpah, aku gak tahan. Beneran bisa ngompol ini mah." Dion termenung beberapa saat, ingin meminta tolong tetapi gengsi. Namun sesuatu yang ada di dalam harus segera dikeluarkan. Ragu, Dion pun membuka pintu. "Udah selesai?" tanya Savira sambil menahan tawa melihat ekspresi Dion. Lelaki itu terlihat menahan sesuatu. Dion diam, dia bingung harus mengatakan dari mana. Baginya kejujurannya sama hal
"Aku ...." Savira gugup,bingung harus menjawab apa. Ada rasa ragu yang tiba-tiba bersemayam dalam dirinya. Wanita itu terdiam untuk beberapa saat. Dia remas jemari, berharap rasa gugup itu hilang dengan sendirinya. Namun nyatanya jantung itu kian berdebar kencang. Mencoba mengalihkan pandangan, tapi wajah Dion bak magnet yang menariknya kembali. "Tidurlah, aku tak akan meminta hakku. Karena kamu tahu apa alasanku menikahimu, Savira." Dion membalikkan badan, membelakangi Savira yang diam terpatri. Cepat-cepat Savira membalikkan badan, ia tutup wajahnya dengan sebuah selimut agar tangis yang keluar tak terdengar oleh Dion. Tak bisa dipungkiri sudut hatinya terluka mendengar kalimat yang keluar dari mulut Dion. Namun ia sadar, cinta belum sepenuhnya tumbuh. Savira beranjak, ia ambil selimut. Wanita itu berusaha memejamkan mata setelah merebahkan tubuh di atas sofa. Namun bukannya terlelap bayang Purnawan kembali hadir. "Apa aku sanggup menjalankan amanatmu, Mas," gumamnya lirih.
"Jangan bercanda kamu, Hen! Lahirannya masih satu bulan lagi.""Savira terjatuh, perutnya terbentur hingga pendarahan.""Apa!""Aku tunggu di bandara sekarang juga!"Belum sempat menjawab sambungan telepon sudah dimatikan sepihak oleh Hendra. Sikap itu yang membuat Dion semakin panik dan ketakutan. Sesaat Dion kebingungan, tidak tahu harus berbuat apa. Namun pesan masuk dari Hendra kembali menyadarkan lelaki itu. Dion segera menyambar kunci mobil, dia akan pergi ke bandara. Mobil yang dikemudikan oleh supir melaju dengan kecepatan tinggi. Sepanjang jalan Dion terus meminta sopirnya untuk mempercepat laju kendaraannya. Lelaki itu tak ingin ketinggalan pesawat. "Ngebut lagi, Man!""Tapi, Tuan ....""Kalau sampai aku ketinggalan pesawat, mati kamu!"Supir Dion yang bernama Herman menelan ludah dengan susah payah. Dia pun kian menginjak pedal gas. Hingga akhirnya sampai tepat di depan jalan masuk bandara. "Untung gak mati," ucap supir itu seraya mengelus dada. Tanpa menjawab Dion kel
“Kamu sembunyikan di mana Savira,Hen? Dia masih istriku ... aku berhak tahu!’Dion memekik seraya menarik kerah kemeja yang Hendra kenakan. Caci dan maki tak hentinya keluar dari mulut suami Savira. Dia ingin segera menemukan Savira. Lelaki itu menyesal karena telah mengusir istrinya.Hendra tersenyum sinis. Dia singkirkan tangan mantan atasannya. Tatapan muak nampak jelas di mata Hendra. Dia kesal dengan keegoisan Dion yang tak ada habisnya, bahkan kian menjadi.“Ck! Sejak kapan kamu mengakui Savira sebagai istri, Tuan Dion yang terhormat? Seorang istri itu dilindungi dan dicintai ... bukan justru kamu sia-siakan! Sejak awal menikah kamu selalu menanamkan luka padanya, bahkan saat dia memberikan segenap cinta kamu justru menancapkan belati. Harusnya aku sadar, kamu memang tak pantas untuk Savira. Harusnya aku yang menikahinya,bukan kamu!”BUUG!Sebuah tangan menyentuh keras wajah Hendra. Tinju menciptakan luka di sudut bibirnya. Namun justru senyum sinis dia berikan. Tindakannya kian
Empat bulan kemudian. Semilir angin memainkan rambut Savira yang dibiarkan tergerai. Helai demi helai rambut hitam itu menari, terkadang berhenti di hidung, bahkan mulut. Namun perempuan itu masih diam menikmati senja dengan hamparan sawah di depan mata. "Mbak Savira wes arep magrib lho! Pamali ibu hamil masih di luar."Seorang perempuan menyapa Savira. Dia juga memintanya segera masuk ke rumah karena malam segera datang. "Nggeh, Bu. Terima kasih."Perempuan itu mengangguk, kemudian melanjutkan langkah menuju rumah. Begitu pula Savira yang memilih mengikuti permintaan tetangganya tersebut. Sudah empat bulan Savira tinggal di sebuah desa. Jauh dari hingar-bingar kota Jakarta. Setiap bulan sekali Hendra akan datang sambil membawa bahan makanan dan kebutuhan Savira selama satu bulan. Maklum, desa itu jauh dari pasar, bahkan swalayan. Pasar terdekat berjarak 10 kilometer dari rumah Savira, itu pun hanya buka satu minggu sekali. Perempuan itu hanya ke pasar jika menginginkan ikan sega
Hujan angin menyambut perjalanan Hendra dan Savira. Keduanya saling diam, fokus menatap depan. Kejadian beberapa menit lalu menghancurkan hati mereka.Mendapatkan fitnah dari orang yang disayangi adalah lara yang tiada obatnya. Namun untuk menjelaskan kenyataan juga percuma. Dion tak akan percaya meski Savira menjelaskan sampai berbusa. Kebencian dan kekecewaan sudah tertanam dalam hatinya. Tetes demi tetes air jatuh ke bumi, semakin lama semakin deras. Hendra masih melajukan kendaraannya, tapi kini perlahan. "Kamu mau diantar pulang, Ra?"Hendra melirik ke sebelah kiri, lalu kembali fokus menatap depan. Lima menit lelaki itu menunggu jawaban dari Savira, tapi perempuan itu masih diam membisu. "Aku antar pulang, ya, Ra!"Hendra memutar stang mobil ke kiri. Kendaraan roda empat itu melaju ke rumah sederhana Nurdin. Tak tujuan lain selain tempat Savira dibesarkan. "Antar aku ke bertemu Pak Ridwan, Hen?""Untuk apa?""Kamu akan tahu tapi nanti."Tanpa menjawab Hendra mengubah arah m
"Kamu kenapa, Dion?"Lelaki itu membisu, menerobos melewati Savira tanpa menoleh sedikit pun. Tak ada senyum apalagi kecupan hangat yang selalu ia berikan. Dion menahan amarah karena sebuah foto yang dikirim ke nomornya pagi ini. Dion kenapa sih? Sebuah tanda tanya memenuhi pikiran Savira. Perempuan itu terus menerka masalah apa yang terjadi sehingga Dion berwajah masam, bahkan mendiamkannya. Hanya masalah pekerjaan yang ada dalam pikiran Savira, dia tak tahu ada duri yang menancap di pernikahannya. Dengan hati-hati Savira melangkah mengikuti Dion. Dia ingin menghilangkan rasa penat dalam diri suaminya. "Kamu mau dibuatkan teh atau kopi, Dion?""Pergi saja kamu! Aku gak mau lihat wajah kamu!"Dion menunjuk pintu, tatapan lelaki itu tajam dan penuh kebencian. Sama seperti saat Savira datang pertama kali. Dion menjadi kasar dan angkuh. Savira menurut, berjalan pelan keluar kamar. Kakinya menginjak anak tangga dengan hati-hati. Sikap kasar Dion menghilangkan konsentrasi. Kaki kirin
"Pergi! Jangan tunjukkan wajah Mama di hadapanku lagi. Aku muak melihat wajah penuh dusta!"Dion menunjuk pintu. Suara teriakannya menciptakan ketakutan. Nunung yang masih berada di balik pintu segera keluar meski rasa penasaran begitu besar. Asisten rumah tangga itu tak ingin dipecat hanya karena jiwa penasarannya meronta-ronta. "Jangan seperti ini, Dion."Savira menggenggam tangan kanan Dion. Perempuan itu berusaha menenangkan amarah suaminya. Namun tak menggubris "Mama minta maaf, Dion."Regina berlutut di depan Dion, tangan merangkul kedua kaki putranya. Perempuan itu berkali-kali mengucapkan kata maaf seraya menitikkan air mata. Regina berusaha meyakinkan Dion agar memaafkan kesalahannya. Melihat sikap Regina, tumbuhlah rasa iba di hati Savira. Hatinya yang tulus tak kuasa melihat Regina bersimpuh untuk mendapatkan maaf dari Dion. Bahkan perempuan itu sudah memaafkan kesalahan Regina. Savira beranjak, menarik tubuh Regina dan memeluknya erat. "Savira dan Dion sudah memaafkan
"Kamu gak suka aku hamil?" Savira menyilangkan kedua tangan di dada. Senyum yang semula merekah seketika lenyap. Dia kecewa dengan tanggapan Dion atas kehamilannya. "Bukan kecewa, Sayang."Dion mendekat, memeluk perempuan yang tengah merajuk. Beberapa kecupan mendarat di wajah Savira. Seketika wajahnya memerah, amarah pun perlahan mereda. Begitu mudah menghilangkan kemarahan seorang perempuan. Pelukan dan kecupan adalah obat mujarab dari besarnya amarah. "Aku masih gak percaya akan menjadi seorang papa, Ra. Maaf jika ekspresi ku tak sesuai dengan ekspetasi yang kamu harapkan."Dion melepas pelukannya, menatap Savira dengan lekat. Sesaat lelaki itu diam, menunduk dengan netra berkabut. Bulir demi bulir pun jatuh membasahi pipinya. "Kenapa kamu menangis, Dion?"Savira menempelkan kedua telapak tangan di pipi Dion. Bulir demi bulir yang menempel ia hapus dengan jemarinya. "Apa aku sanggup menjadi papa yang baik, Ra? Sementara aku tak bisa menjadi anak yang baik bagi papa hingga akh
"Kenapa, Sayang?"Dion semakin mendekatkan wajahnya. Lelaki itu tak sabar ingin mengecup kening istrinya. "Aku mau muntah."Savira berlari menuju kamar mandi. Dia keluarkan semua isi perutnya, hingga lidahnya terasa begitu pahit. Namun perutnya terus meronta sampai tubuh perempuan itu lemas. "Kamu kenapa sih, Ra? Kan sudah turun dari pesawat. Ya, kali masih mabuk udara."Dion memijit tengkuk Savira agar tubuhnya lebih membaik. Namun aroma mulut Dion justru kembali memancing rasa mual dalam perutnya. Untuk kesekian kali Savira muntah dan tubuhnya semakin lemas. "Kamu kenapa sih, Ra?""Diem! Jangan ngomong terus, Dion! Bau mulut kamu gak enak!"Savira menutup hidung dengan kedua tangannya. "Apaan, sih? Orang gak bau kok."Dion terus mencium bau mulutnya. Namun tak ada yang aneh. Aroma kopi justru keluar dari mulutnya, bukan bau jengkol yang menjijikkan. "Kamu habis makan apa sih, Dion?""Gak makan apa-apa, Ra.""Tapi bau!"Savira semakin rapat menutup hidungnya. Dia pun mendorong
Savira duduk setelah mengeluarkan semua isi dalam perutnya. Perempuan itu menyandarkan tubuh seraya memijit kepala yang terasa berdenyut. Baru beberapa menit menghirup aroma pesawat,namun dirinya seakan mau pingsan. Belum lagi isi perut yang meronta, hendak berlari keluar. Tak tahan, Savira pun ingin melarikan diri. "Turun yuk, Dion!"Savira hendak membuka sabuk pengaman yang terpasang di tubuhnya. "Mau terjun bebas, Ra?""Gak tahan, Dion.""Apanya?" Dion menautkan dua alis, tak mengerti dengan ucapan istrinya. "Aku pengen muntah, gak tahan."Savira menutup mulutnya dengan kedua tangan. Sekuat tenaga ia tahan guncangan dalam perut. Dion segera mengambil kantung muntah dan memberikannya pada Savira. Perempuan itu dengan sigap mengambilnya. Dion memijit tengkuk Savira agar membuatnya merasa nyaman. "Masih mual?""Bau apaan sih ini? Gak enak banget!"Dion mengendus-endus, tapi tak menemukan bau busuk yang Savira maksud. Semenjak masuk pesawat, lelaki itu justru suka mencium pewangi