"Apa ucapanku terlalu menyakitkan Savira? Bukankah seperti itu kenyataannya?" gumam Savira lirih. Dion membaringkan tubuh di atas ranjang. Dia tatap langit-langit kamar. Putih lalu berganti dengan gambaran masa lalu. Dulu, ketika Purnawan dan Regina masih tinggal satu atap. Sejujurnya lelaki itu rindu. Namun ia malu mengatakan semua. Amarahnya terlalu besar hingga menutupi rasa cinta. ***Savira sibuk dengan tanaman yang ada di halaman rumah. Sesuai permintaan Dion hari ini dia tak memasak. Kemudian mencari kesibukan dengan menyirami tanaman hias. Terbiasa bekerja membuat dia bingung harus melakukan apa. Dion menuruni anak tangga. Diam-diam ia mencari sosok wanita yang tidur satu kamar dengannya. Namun tak ia temukan. Nasi dan lauk sudah tertata di atas meja. Tanpa menunggu Dion segera memakannya. Baru satu suap makanan itu langsung ia muntahkan. "Kenapa, Dion?" Masakannya tidak enak?" tanya Savira yang berdiri di belakangnya. "Enak, siapa bilang tidak enak? Nih aku makan."Di
"Ini tak seperti yang kamu pikirkan, Dion. A-aku hanya...." Kris berusaha menjelaskan pada sahabatnya. Namun Dion menepis tangan lelaki itu lalu menerobos masuk. Dion berjalan Seraya mengepalkan kedua tangan di samping tubuh. Dia melangkah menuju kamar Julia."Aku bisa jelaskan semuanya,Dion," ucap Kris seraya mencekal tangan Dion. Namun lagi-lagi Dion menepis tangan itu kasar. "Tutup mulut lo! Menyingkir atau leher lo gue patahin!" Dion menatap tajam sahabatnya, tatapan bak singa yang hendak menerkam mangsanya. Kris menelan ludah dengan susah payah lalu menyingkir dari hadapan Dion. Dalam hati ia bahagia karena hubungannya dengan Julia tak perlu ditutup-tutupi lagi. Namun mereka tak akan memiliki ATM berjalan karena Dion akan membenci mereka. Dion kembali melangkah menuju ke kamar dengan pintu terbuka lebar."Siapa , Kris?" Julia masih menutup mata, selimut tebal menutupi bagian tangan hingga seluruh tubuhnya."Kris, kamu tidak ingin memeluk lagi? Ayolah, Sayang ... aku ingin tid
"Kenapa ekspresinya begitu? Nahan kencing?" Savira menahan tawa melihat ekspresi Dion. "Aku bisa sendiri.""Yakin?" Perlahan Dion beranjak dari ranjang, melangkah ke kamar mandi. Namun dia diam, tak bisa melepaskan celana menggunakan satu tangan. "Bisa ngompol di celana nanti," lirihnya. Savira menatap jam berbentuk lingkaran yang menempel di dinding. Sudah terlalu lama untuk sekedar buang air kecil. "Gak bisa sendiri saja belagu," gumam Savira. Tok! Tok! "Dion, buruan! Aku juga ingin ke kamar mandi!" ucap Savira seraya mengetuk pintu beberapa kali. "Apa minta tolong Savira saja, ya? Sumpah, aku gak tahan. Beneran bisa ngompol ini mah." Dion termenung beberapa saat, ingin meminta tolong tetapi gengsi. Namun sesuatu yang ada di dalam harus segera dikeluarkan. Ragu, Dion pun membuka pintu. "Udah selesai?" tanya Savira sambil menahan tawa melihat ekspresi Dion. Lelaki itu terlihat menahan sesuatu. Dion diam, dia bingung harus mengatakan dari mana. Baginya kejujurannya sama hal
"Aku ...." Savira gugup,bingung harus menjawab apa. Ada rasa ragu yang tiba-tiba bersemayam dalam dirinya. Wanita itu terdiam untuk beberapa saat. Dia remas jemari, berharap rasa gugup itu hilang dengan sendirinya. Namun nyatanya jantung itu kian berdebar kencang. Mencoba mengalihkan pandangan, tapi wajah Dion bak magnet yang menariknya kembali. "Tidurlah, aku tak akan meminta hakku. Karena kamu tahu apa alasanku menikahimu, Savira." Dion membalikkan badan, membelakangi Savira yang diam terpatri. Cepat-cepat Savira membalikkan badan, ia tutup wajahnya dengan sebuah selimut agar tangis yang keluar tak terdengar oleh Dion. Tak bisa dipungkiri sudut hatinya terluka mendengar kalimat yang keluar dari mulut Dion. Namun ia sadar, cinta belum sepenuhnya tumbuh. Savira beranjak, ia ambil selimut. Wanita itu berusaha memejamkan mata setelah merebahkan tubuh di atas sofa. Namun bukannya terlelap bayang Purnawan kembali hadir. "Apa aku sanggup menjalankan amanatmu, Mas," gumamnya lirih.
Savira duduk di atas sofa. Sebuah novel berada di hadapannya. Ekor matanya mengikuti setiap kata yang tertulis di buku itu. Sesekali ia tertawa saat membaca novel tersebut. Dion menghela napas, menatap kesal wanita di hadapannya. Berada di kamar berdua dengan Savira tapi wanita itu justru asyik sendiri. Kesal, Dion menyalakan musik kencang. Alunan lagu pop terdengar nyaring memenuhi kamar mewah itu. Savira masih diam, dia kembali fokus membaca novel di hadapannya. Wanita itu sama sekali tidak terpengaruh dengan suara yang dibuat Dion. Dia justru terkesan menikmati. Kesal, musik itu dimatikan oleh Dion. Niat hati mencari perhatiaan tapi tidak bisa. Savira masih asyik dengan dunianya sendiri, mengabaikan Dion yang tengah bosan. Kebiasaan Dion berkelana membuat ia bosan berada di dalam rumah. Hidupnya terasa bagai di dalam sangkar. Saat hendak terbang sayapnya patah. "Savira!" Wanita itu menghela napas. Beranjak mendekat seraya membawa novel tersebut. "Kenapa? Mau ke kamar mandi?"
"Mangsa baru kamu, Bro?" tanya Aldi, teman kuliah Dion. Lelaki itu terus memandang ke arah Savira. Tatapan suka terlihat jelas di matanya. Cinta pandangan pertama, bisa dikatakan seperti itu. Jantung Aldi kian berdetak saat memandang Savira. Senyum wanita itu bak magnet yang menarik dirinya mendekat. "Siapa kamu, Dion?" tanya salah satu temannya. Dion diam, bingung harus menjawab apa. Pernikahan ini adalah sebuah musibah. Dia membenci wanita yang kini menjadi istri, itu yang membuat dia bungkam tak menjawab pertanyaan Aldi atau temannya yang lain. Dia gengsi memiliki istri dari kalangan rendahan seperti Savira. "Saya perawat Tuan Dion.""Benar begitu, Dion?" tanya Aldi penasaran. "I--iya, dia perawat pribadiku."Cukup berat Dion mengeluarkan kata. Namun dalam hati ia bersyukur karena Savira menutup rahasia pernikahan. Entah sampai kapan. Dalam wasiat jelas tertulis pernikahan mereka harus dipublikasikan. "Sini bentar, Bro!"Aldi menarik tangan Dion, membawanya menjauh dari Savir
"Kamu tak apa, Ra?" Seketika aku menoleh, menatap lelaki yang berjongkok hendak membantuku berdiri. Aroma tubuh, perhatian dan paniknya masih sama. Meski aku sudah menggoreskan luka berulang kali. "Kamu baik saja, Ra?" tanyanya lagi karena aku mematung. "I-iya, Dok." Aku segera beranjak, sebelum ia membantuku berdiri. Merapikan pakaian yang sempat berantakan karena aku terjatuh tadi. Namun seketika berhenti saat Pak Bram terus menatapku. "Ada yang salah, Dok?" tanyaku seraya menatap dari ujung kepala hingga kaki. Memastikan tak ada yang aneh dengan penampilan ini. "Oh, tidak ... tidak. Sedang apa kamu di sini?"Ah, kembali aku teringat dengan Dion. Dia pasti kebingungan mencariku. Tapi biarlah, dia saja tak peduli dengan hatiku. Setidaknya cari jawaban yang tidak menyakitiku. Bukan justru menggoreskan luka dengan sebuah kata. "Ngemall, Dok. Bukan lagi pasang infus.""Ha ha ha ... Savira... Savira, kamu ada-ada saja."Tawa renyah itu kembali hadir. Syukurlah, dia tak membenciku
"Dion!""Ha ha ha, kamu lucu, Ra!" Dion tertawa sambil mengibarkan sebuah lingerie berwarna pink. Tangan kirinya menutup mulut, menahan tawa, meski nyatanya suara tawa itu masih terdengar begitu jelas. Ah, menyebalkan. Aku berlari ke arahnya, merebut pakaian kurang bahah itu. Sungguh lelaki itu tak memiliki urat malu. Bisa-bisanya memperlihatkan pakaian ini di tempat umum. "Gila kamu, Dion!"Dengan kesal aku berjalan ke arah karyawan yang berdiri tak jauh dari kami. Wanita itu menutup mulut, menahan tawa seraya melirik ke arahku. Namun seketika tegang kala aku semakin mendekat ke arahnya. "Maaf, Mbak. Ini tidak jadi.""Eh, i-iya, Mbak." Dia menerima dengan sedikit gugup. "Kamu seksi jika memakai itu, Ra!" bisiknya di telinga kananku. "Ngawur!" Aku jitak kepala lelaki itu. Namun dia justru semakin tertawa. Dion sangat menyebalkan. "Tunggulah di depan, aku akan membayarnya."Tanpa menjawab aku berlalu dari hadapannya. Sempat kulihat dia berbicara dengan kasir, tapi aku memilih m