<span;>Seminggu sudah mereka tinggal di rumah orangtua Fara. Hari ini mereka berencana untuk pindah ke rumah orangtua Ivan dan menetap di sana seperti rencana mereka semula. Karena itulah sejak pagi Fara sibuk berkemas, memilih pakaian dan barang-barang lainnya yang akan dia bawa.
<span;>Sebuah tas besar telah penuh oleh pakaiannya. Lalu satu tas lainnya akan dia isi dengan berbagai macam barang keperluannya. Fara berpikir sekiranya barang apa saja yang akan dibawanya. Fara pun mengedarkan pandangannya ke seluruh kamar. Dia melihat deretan buku bacaan koleksinya yang tersusun rapi di lemari kecil. Juga koleksi parfum dan sepatunya. Hm, Fara bingung karena seakan tak rela berpisah dengan semua barang koleksinya itu. Tapi tadi Ivan telah berpesan dengan tegas supaya Fara tidak membawa banyak barang yang akan memenuhi kamarnya nanti. Padahal rasanya Fara ingin membawa semuanya. Terutama koleksi buku- bukunya yang selama ini selalu setia menemaninya disaat sepi.<span;>"Tidak! Jangan kamu bawa buku-bukumu itu. Aku tidak punya lemari buku. Mau kamu taruh dimana nanti? Bikin berantakan. Aku tidak suka!" larang Ivan barusan.<span;>"Kita beli saja lemari buku kecil. Nanti kita letakan di luar kamar. Jadi kamar Mas Ivan tidak akan sempit," kata Fara membujuk.<span;>Ivan menggeleng dengan tegas. "Tidak!"<span;>Akhirnya Fara pun menurut dan hanya membawa tiga buah buku kesayangannya.<span;>Fara menoleh pada suaminya yang sejak tadi sedang asyik duduk di atas tempat tidur sambil bermain game di hpnya. "Mas," panggilnya.<span;>"Hm," sahut Ivan tanpa mengalihkan matanya dari permainan game di ponselnya itu.<span;>"Apa mas tidak mau membantuku?"<span;>"Bantu? Memangnya kamu tidak bisa berkemas sendiri?"<span;>"Bisa. Tapi aku bingung karena Mas Ivan melarang aku membawa hampir semua dari barang-barangku. Sampai-sampai sepatu pun aku tidak boleh membawa banyak-banyak."<span;>"Untuk apa membawa sepatu banyak-banyak? Memangnya kamu mau keluyuran setiap hari nanti? Kerja pun kamu sudah berhenti, Fara. Jadi kamu cukup diam di rumah saja. Kamu tidak perlu sepatu!"<span;>"Jadi aku harus membawa apa?"<span;>"Bawa saja pakaianmu. Tidak perlu kamu bawa yang lain."<span;>"Hanya pakaian?"<span;>"Ya, hanya pakaian."<span;>"Lalu sepatuku? Bagaimana jika aku ingin pergi keluar rumah?"<span;>"Bawa saja dua atau tiga pasang. Kamu tidak sedang mau pamer sepatu, kan?"<span;>"Tapi, mas...."<span;>"Jangan ganggu aku, Fara. Kerjakan saja sendiri. Pilih mana yang penting untuk kamu gunakan nanti. Masa begitu saja kamu tidak bisa?" Nada suara Ivan mulai terdengar kesal.<span;>"Apa Mas Ivan sedang sibuk? Bukannya sejak tadi mas cuma main game saja?"<span;>Ivan pun mengangkat wajahnya dan menatap Fara. "Apa kamu lebih suka jika aku ngobrol dengan Adelia?"<span;>Seketika Fara langsung cemberut. Dibalasnya tatapan kesal Ivan hingga mereka pun kini saling bertatapan.<span;>"Jadi namanya Adelia?" tanya Fara sambil menekan rasa cemburunya.<span;>"Ya, namanya Adelia," sahut Ivan. Lalu seakan tak terjadi apa-apa, dia pun kembali asyik menatap ponselnya.<span;>"Mas Ivan masih mencintai dia?" tanya Fara lagi.<span;>"Untuk apa kamu bertanya seperti itu? Nyatanya yang sekarang jadi istriku itu kamu, kan?" Ivan menyahuti dengan sikap santai, seolah tak ingin menanggapi rasa cemburu Fara.<span;>"Tapi dia-lah yang Mas Ivan cinta, kan?" tanya Fara lagi. Kali ini suaranya mulai terdengar bergetar.<span;>Ivan pun kembali mengangkat wajahnya dan menatap Fara. "Kamulah yang akan menjadi teman hidupku sampai aku tua nanti, Fara. Apa itu belum cukup bagimu?"<span;>Fara terdiam. Dia merasakan dadanya sesak oleh kekecewaan. Jika harus terikat seumur hidup, cukupkah hanya dengan memiliki raganya saja? Tanpa sedikit pun memiliki hati dan perhatiannya?<span;>Perlahan air mata pun mengalir di pipinya. Dia membayangkan betapa pahitnya hari-hari yang akan dilaluinya besok. Betapa hampanya. Dan tak lama, Fara pun mulai terisak pelan.<span;>"Hei, Fara!" protes Ivan segera. "Jangan menangis lagi, Fara. Nanti matamu bengkak. Kenapa kamu cengeng sekali? Aku sudah bilang jangan suka berpikir yang macam-macam. Nyatanya sekarang aku ada di sini bersamamu, kan? Aku tidak bersama Adelia."<span;>Fara terus terisak. Dia seolah tak mendengar protes Ivan barusan. Mungkin perlu waktu untuk membiasakan diri dengan pernikahan yang tak biasa ini. Atau dia memang tak kan pernah bisa terbiasa. Karena tiapkali dia teringat kalau Ivan tak kan mau memberikan hatinya, Fara pasti merasa sedih.<span;>Melihat Fara terus menangis, Ivan pun segera turun dari tempat tidur. Kemudian dia mengambil kotak tisu dan memberikannya pada Fara. Tapi Fara diam. Tak diambilnya kotak tisu yang Ivan sodorkan di depan wajahnya. Dia terus terisak dan menunduk.<span;>Ivan berdecak tak sabar. Dia segera berjongkok di depan Fara. Kemudian diambilnya beberapa lembar tisu dan dihapusnya air mata yang mengalir di kedua pipi istrinya itu.<span;>"Sudah dibilang jangan suka cengeng, masih saja cengeng. Aku kan ada di sini bersamamu, Fara. Apa lagi yang membuatmu sedih? Kalau kamu ingin aku mencintaimu, buatlah supaya aku jatuh cinta padamu. Dan caranya bukan dengan menangis seperti ini."<span;>Fara menatap Ivan dengan matanya yang basah. Lalu perlahan ditepiskannya tangan Ivan yang masih terus menghapus air matanya hingga suaminya itu tampak terkejut. Kemudian dia kembali melanjutkan pekerjaannya tadi. Dibiarkannya Ivan yang masih tetap berjongkok di tempatnya.<span;>"Kamu marah?" tanya Ivan pelan.<span;>Fara tak menjawab.<span;>Ivan pun menghela napas panjang untuk kemudian kembali duduk di atas tempat tidur. Dari sana diperhatikannya Fara yang cemberut.<span;>"Bisa marah juga rupanya."<span;>Fara tetap tak menyahuti. Dia terus sibuk berkemas sambil menahan perasaan kesal pada suaminya itu. Sementara Ivan malah kembali asyik melanjutkan memainkan game di ponselnya. Suasana kamar pun terasa hening. Di antara mereka tak ada lagi yang bersuara.<span;>***<span;>Sore itu mereka pamit. Dengan menahan kesedihan Fara memeluk erat kedua orangtuanya. Hatinya perih. Kedua orangtuanya tak tahu jika mereka telah memilihkan jodoh yang salah untuknya. Dan besok, dia akan memulai kehidupan berumah tangga yang sesungguhnya bersama laki-laki yang tak menginginkannya.<span;>"Jadilah istri yang baik, Fara. Layanilah segala keperluan suamimu dengan sebaik-baiknya. Jangan suka membantah dan membuat suamimu marah. Ingat, Ivan adalah pemimpin buatmu sekarang. Patuhi dia," nasihat ayahnya.<span;>Fara mengangguk. "Ya, pak."<span;>"Sudah jangan bersedih seperti ini. Dari tadi kau menangis terus, ya? Matamu sampai bengkak begini. Jadi berkurang cantiknya nanti," canda ayahnya agar Fara tak terus bersedih.<span;>"Iya, pak. Saya sudah bilang supaya Fara jangan menangis terus. Toh, dia bisa datang kemari kapan saja jika kangen sama bapak dan ibu," sambar Ivan dengan suara manisnya.<span;>Pak Surya pun tersenyum mendengar kata-kata menantunya itu. "Fara memang manja sekali sama bapak dan ibu, Van. Meski sudah dewasa tapi dia tidak bisa jauh dari kami. Tapi bapak yakin kamu pasti bisa menghapus kesedihan Fara nanti. Bapak percaya kamu bisa membuat Fara bahagia."<span;>Ivan ikut tersenyum. "Mungkin nanti Fara manjanya sama saya, pak," sahutnya masih tetap dengan sikap dan suara yang manis.<span;>Pak Surya pun tertawa. "Ya, itu sudah pasti. Nanti Fara pasti akan manja sama kamu. Tapi kamu jangan kaget karena Fara sedikit cengeng. Mungkin karena biasa dimanja sama bapak."<span;>"Ya, pak, saya sudah tahu kalau Fara itu sedikit cengeng. Buktinya sejak pagi tadi dia nangis karena akan berpisah sama bapak dan ibu. Tapi tidak apa, saya bisa memaklumi. Namanya juga perempuan. Kalau sedikit manja dan cengeng itu kan sudah biasa." Ivan kembali menunjukkan kesempurnaannya sebagai laki-laki hingga Pak Surya menatapnya dengan penuh kekaguman.<span;>"Bapak senang kamu bisa menerima Fara apa adanya. Kamu memang seorang suami yang baik. Fara beruntung memiliki suami seperti kamu," puji Pak Surya.<span;>Fara pun mendesah sedih mendengar kata-kata ayahnya itu. Andai saja dia bisa bercerita pada kedua orangtuanya tentang bagaimana Ivan yang sesungguhnya, mungkin dadanya tak kan sesesak ini. Tapi Fara hanya bisa diam mendengarkan ayahnya memuji dan mengagumi Ivan seperti itu. Sementara Ivan tampak sangat menikmati segala pujian yang tertuju padanya. Dia yang terbiasa dianggap sempurna, bisa dengan sempurna menutupi segala sifat aslinya. Dan semua itu hanya Fara-lah yang tahu. Sedang dia tak bisa bercerita pada siapa pun tentang kebenaran itu.<span;>Mereka tiba di rumah orangtua Ivan ketika langit hampir gelap. Memang hanya butuh waktu satu jam perjalanan saja untuk bisa sampai ke sana. Tapi itu pun kalau tak terjebak dalam kemacetan lalu lintas yang parah. Karena sore itu arus kendaraan tidak terlalu padat, maka mereka pun bisa sampai sebelum malam. Sedikit lebih cepat dari yang Ivan perkirakan. <span;>Ketika mereka sampai, rupanya kedua orangtua Ivan sudah menunggu kedatangan mereka. Pak Arifin dan Bu Elsa langsung menyambut mereka dengan hangat. Sepertinya mereka memang sangat senang karena anak dan menantu mereka mau tinggal bersama dengan mereka di sana. <span;>"Hanya ini barang yang kamu bawa, Fara?" tanya Bu Elsa ketika dilihatnya tas yang dibawa Fara. <span;>"Iya, ma. Kata Mas Ivan tidak usah membawa banyak-banyak," sahut Fara. <span;>"Ah, Ivan tidak mengerti kalau perempuan itu pasti memiliki banyak barang," kata Bu Elsa sambil melirik
<span;>Kita kembali ke malam hari di saat Ivan baru saja keluar dari rumahnya. <span;>Laki-laki tampan itu bergegas mengendarai mobilnya memecah kepadatan lalu lintas malam itu demi untuk menemui seseorang yang sangat dirindukannya. Mereka memang telah merencanakan pertemuan ini. Dan Ivan berharap masih ada setitik harapan baginya untuk bisa meraih kembali cintanya. Lantas bagaimana dengan Fara? Ivan berpikir tak apa jika dia bisa merahasiakannya dari istrinya itu. Jika dia tak tahu, berarti dia tak kan terluka, kan? Ivan merasa mampu untuk memenuhi kebutuhan dua istri. Jadi dia bisa tetap menjalani rumah tangganya bersama Fara sesuai dengan keinginan orangtuanya tanpa harus kehilangan cintanya. <span;>Adelia, adalah perempuan cantik yang telah dipacarinya selama lima tahun ini. Mereka bertemu di acara ulang tahun seorang teman. Dan dari pertemuan itulah tumbuh benih-benih cinta yang semakin hari semakin bermekaran. <span;>
<span;>Ivan duduk bersama tiga orang teman dekatnya. Hentakkan musik mengalahkan suara mereka yang sedang asyik bercanda dan berbincang tentang masalah perempuan. Tapi Ivan tak banyak bicara. Dia hanya menimpali sesekali saja obrolan teman-temannya itu. Pikirannya sebagian masih terpusat pada Adelia. Belum bisa mengalihkan pikirannya dari gadis terkasih itu meski dia terus mencoba. Jika candaan temannya terdengar lucu, Ivan pun ikut tertawa lepas. Tapi setelah itu pikirannya kembali bercabang. Mengarah sebagian pada Adelia yang kini pergi menghilang. <span;>"Kamu lagi ada masalah, ya?" tanya Dito pada Ivan. <span;>"Kok, tahu?" sahut Ivan pendek. <span;>"Kelihatan dari wajahmu yang murung itu. Lagi pula, kalau ada pengantin baru yang lebih memilih nongkrong di sini dari pada menikmati waktu berdua dengan istrinya, bisa dipastikan dia sedang ada masalah," kata Dito menebak. <span;>Ivan pun mengangguk membena
<span;>Fara terjaga dari tidurnya karena dirasakannya ada seseorang yang naik ke tempat tidur. Dengan cepat dia menoleh. Didapatinya Ivan yang sedang berbaring hendak tidur. Suaminya itu pun tampak acuh, seperti tak peduli pada Fara yang terkejut. <span;>"Mas Ivan?!" Fara pun cepat melihat pada jam mungil yang ada di atas nakas. Pukul setengah lima pagi. "Mas Ivan baru pulang?" <span;>"Bangunkan aku jam enam," pinta Ivan tanpa menjawab pertanyaan Fara barusan. <span;>"Kenapa Mas Ivan baru pulang?" Fara melanjutkan pertanyaannya. <span;>"Bertanyanya nanti saja, Fara. Sekarang aku ngantuk, ingin tidur," sahut Ivan sambil terus terpejam. <span;>"Aku tunggu Mas Ivan semalaman. Janjinya mau pulang sebelum tengah malam. Tapi ternyata malah pulang pagi. Keterlaluan!" kata Fara kesal. <span;>Ivan pun membuka matanya dan menoleh pada Fara. Ekspresi wajahnya datar seolah dia tak m
<span;>Fara duduk termenung sendirian di kamar. Ini baru lewat jam makan siang. Belum satu harian dia menjalani waktunya di rumah mertuanya ini. Tapi rasa jenuh sudah mengurungnya sejak tadi. Fara tak tahu harus melakukan apa. Bu Elsa, ibu mertuanya sudah keluar rumah sejak tadi. Ada arisan katanya. Sedangkan Fiona, adik Ivan, sampai hari ini masih berada di luar kota untuk urusan pekerjaan. Fara pun kesepian. Kalau saja sebelum pernikahan Ivan tidak memintanya berhenti bekerja, tentulah saat ini Fara tak kan mengalami kejenuhan seperti ini. Tapi Ivan bilang, dia ingin punya istri perempuan yang diam di rumah, bukan wanita karier yang sibuk bekerja. Karena itulah kedua orangtua Fara langsung meminta Fara berhenti bekerja agar bisa menjadi ibu rumah tangga seperti yang Ivan inginkan. Fara pun menurut. Toh, menjadi ibu rumah tangga juga satu hal yang menyenangkan. Mengurus suami dan anak-anak adalah kebahagiaan yang tak ternilai bagi seorang perempuan. Tapi sekarang, kenyataanny
<span;>Malam itu Fara mendapat telepon dari seorang teman. <span;>"Pesta ulang tahun?" tanya Fara ceria. <span;>"Nggak, kok. Cuma sekadar kumpul teman-teman lama saja. Temu kangen sekalian makan-makan di rumahku. Kamu mau datang kan, Far?" tanya temannya di seberang sana. <span;>"Aku pasti mau, dong. Nanti aku datang bersama Riska dan Lusy, ya!" janji Fara. <span;>"Oke, kalau begitu aku tunggu, ya!" sahut temannya senang. <span;>Setelah itu pembicaraan pun selesai. Fara yang saat itu sedang duduk di atas tempat tidur menghadap ke jendela kamarnya, tak tahu jika Ivan sudah masuk dan berdiri di pintu kamar mendengarkan obrolannya barusan. Dan ketika Fara menoleh, dia pun terpekik kaget. <span;>"Mas Ivan?!" serunya terkejut. <span;>"Kenapa terkejut seperti itu?" tanya Ivan dengan ekspresi wajah yang dingin seperti biasanya. <span;>"Mas Iv
<span;>“Sedang teleponan sama siapa?” Suara Ivan yang bertanya mengejutkan Fara. Ketika itu Ivan yang baru saja masuk ke kamarnya, mendapati Fara sedang duduk santai di atas tempat tidur sambil berbicara dengan seseorang di telepon. <span;>Fara pun menoleh cepat. “Kenapa Mas Ivan selalu membuatku terkejut?” <span;>“Terkejut? Apa sedang membicarakan tentang sesuatu yang rahasia?” Ivan bertanya sambil mengambil ponselnya yang ada di atas nakas. Kemudian dia duduk di sofa yang ada di depan jendela dan mulai asyik memainkan ponselnya di sana. <span;>“Rahasia? Rahasia apa? Aku cuma bicara dengan Riska,” kata Fara segera. <span;>“Riska sahabatmu itu?” tanya Ivan tanpa menoleh. <span;>“Ya. Jadi mas masih ingat pada sahabatku itu?” <span;>“Tentu saja ingat. Apa kamu pikir aku sudah pikun?” ketus
<span;>Ivan tak ikut dalam obrolan ketiga perempuan itu. Dia hanya duduk diam di antara mereka sambil sesekali tersenyum sebagai tanda kalau dia ikut mendengarkan canda mereka. Ivan pun berusaha untuk tidak merasa jenuh. Dia memusatkan perhatiannya pada Lusy yang duduk di hadapannya. Lusy pun tersenyum. Dia tahu jika mata suami sahabatnya itu terpusat padanya. Lalu dengan bahasa tubuhnya dia segera berusaha menggoda Ivan yang memang sudah tertarik pada kemolekan tubuhnya. <span;>Ivan yang mengerti bahasa tubuh Lusy itu pun tersenyum penuh arti. Dia menikmati setiap gerakan yang Lusy buat lewat pandangan matanya. Namun begitu, Ivan tetap pandai menjaga sikap. Dia harus tetap terlihat sebagai seorang yang baik, terutama di depan Riska. Sebab dia harus selalu tampil sebagai laki-laki yang sempurna. Tak boleh ada seorang pun yang tahu keburukannya. Termasuk Riska, sahabat istrinya. <span;>"Wah, minumannya sudah habis. Biar aku buatkan lagi," kat
"Sungguhkah kamu dan Mas Ivan telah bersatu lagi, Fara?" tanya Gilang dengan raut wajah kecewa yang tidak bisa dia sembunyikan. "Ya, aku dan Mas Ivan telah bersatu lagi. Lusy telah mengakui kebohongannya. Dan itu berarti tidak ada lagi yang menghalangi kami untuk kembali bersatu," jawab Fara jujur. "Maafkan aku," sambungnya. "Kamu tidak bersalah. Mungkin itulah jalan terbaik yang telah tuhan gariskan untuk kalian berdua," sahut Gilang tulus. "Kamu tidak marah?" tanya Fara. "Marah? Kenapa aku harus marah?" sahut Gilang lembut. "Karena aku telah mengecewakan dan membuatmu terluka." "Tidak, bukan kamu yang membuatku terluka. Tapi cintakulah yang telah membuatku terluka. Aku tidak ingin menyalahkanmu, Fara. Dan aku tidak akan pernah menyalahkanmu." "Jadi sekarang kamu telah bisa mengerti?" Gilang mengangguk. "Aku harus bisa mengerti. Aku tidak ingin rasa kecewaku membuatku terluka semakin dalam. Selama ini aku telah menunggumu dengan sabar. Tapi ternyata keputusan terakhirmu tetap
Lusy berdiri kaku di hadapan semua orang. Wajahnya tampak pucat. Betapa terkejutnya dia ketika melihat Rudy ada di sana. Dia langsung bisa menerka apa yang telah terjadi. Rudy pasti telah membongkar kebohongannya. Sebab tidak mungkin Rudy ada di sana dengan alasan berkunjung. Rudy bukan teman Ivan. Bukan pula orang yang kenal dengan keluarganya. Jadi kunjungan Rudy ke rumah ini pasti ada maksud tertentu yang ingin dia sampaikan. Dan tentu saja itu masalah tentang bayinya. Rudy pasti telah menceritakan cerita yang sebenarnya. Dan sekarang tentulah mereka semua ingin agar dia mengakui semuanya. "Duduk!" perintah Bu Elsa dingin. Tak ada setitik pun raut yang ramah terpancar di wajahnya. Perempuan paruh baya itu sepertinya enggan untuk berbasa-basi dengan Lusy. Dia bicara dengan nada yang tegas dan ekspresi wajah yang kaku. Tanpa bisa menolak, Lusy pun segera duduk. Tak ada yang bicara untuk beberapa saat. Suasana terasa hening tak mengenakkan. Tapi Lusy masih bisa berusaha untuk bersik
"Ku dengar Lusy akan segera menikah dengan Ivan," kata Rudy pada Riska yang duduk di hadapannya. Siang itu Rudy memang sengaja meminta Riska untuk menemuinya di sebuah cafe. Rudy ingin menceritakan tentang rahasia yang sebenarnya pada Riska. Sebab Rudy tak tahan terus didera oleh perasaan bersalah karena telah membiarkan Lusy melakukan rencana busuknya. Karena itulah akhirnya Rudy memutuskan untuk bercerita pada Riska dan meminta pendapat Riska mengenai rencana Lusy itu. Riska yang mendengar kata-kata Rudy itu pun mengangguk dengan ekspresi wajah yang sedih. "Ya. Kasihan Fara. Di saat dia dan Mas Ivan ingin memperbaiki kembali rumah tangga mereka, Lusy kembali datang dan mengacaukan semuanya." Rudy menghela napas panjang seolah hatinya gundah mendengar kata-kata Riska itu. Kemudian dia pun menatap Riska dengan wajah yang serius. "Jadi kamu juga percaya kalau bayi yang dikandung Lusy itu anak Ivan, suami Fara?" tanyanya. "Maksudmu?" Riska mengerutkan keningnya karena merasa bingung
Ivan kembali ke rumah orangtuanya. Pupus sudah harapan untuk memperbaiki rumah tangganya bersama Fara. Kini Fara tak mungkin lagi mau menerima dia sebagai teman hidupnya. Kehamilan Lusy benar-benar mengacaukan semua yang telah Ivan perjuangkan untuk kembali pada Fara. Tak ada yang bisa Ivan lakukan kini. Mau tidak mau dia harus rela berpisah dengan Fara dan menikahi Lusy. Ketika keluarganya mengetahui tentang kehamilan Lusy, mereka pun sangat terkejut. Bahkan Bu Elsa seperti tidak bisa menerimanya. Dia tidak rela jika putranya menikahi Lusy dan membawa perempuan itu masuk ke dalam keluarga mereka. "Ini semua salahmu, Ivan!" seru Bu Elsa marah. "Mama dan papa sudah memilihkan seorang perempuan yang baik dan pantas untuk menjadi istrimu! Tapi malah kamu sia-siakan dia dan kamu jatuh cinta pada perempuan brengsek itu! Sekarang kita terpaksa harus menerima dia menjadi anggota keluarga kita! Oh, mama tidak rela, Van! Sungguh mama tidak rela!" "Saya pun menyesal, ma," ucap Ivan lirih. "
Lusy duduk diam di atas tempat tidurnya dengan wajah yang cemberut. Pikirannya sedang kacau saat ini. Dia merasa kesal dengan keadaan dirinya. Dan kekesalannya itu sejak tadi dia tumpahkan pada Rudy yang duduk tak jauh darinya. "Mestinya ini tidak perlu terjadi padaku! Sekarang aku tidak tahu lagi apa yang harus aku lakukan!" geramnya kesal. Rudy pun menoleh padanya. "Yang harus kamu lakukan adalah menerima kehamilanmu ini lalu kita menikah! Sudah berulangkali aku katakan padamu kalau aku akan bertanggungjawab pada kehamilanmu ini, Lusy! Sebab bayi yang kamu kandung itu adalah anakku! Darah dagingku! Dan aku tidak seburuk yang kamu kira! Aku tidak akan menelantarkan darah dagingku sendiri! Aku pasti bertanggungjawab!" "Kamu? Bertanggungjawab? Hah!" dengus Lusy diiringi dengan tertawa mengejek. "Apa yang bisa aku harapkan dari laki-laki sepertimu, Rudy? Kamu laki-laki bebas yang tidak mungkin bisa terikat pada pernikahan! Jadi jangan bujuk aku lagi untuk menikah denganmu! Karena aku
Fara jatuh sakit. Beban persoalan yang membelitnya saat ini membuatnya terkapar tak berdaya di atas tempat tidur. Badannya demam dan kepalanya sakit bukan kepalang. Obat pereda sakit kepala yang diminumnya seakan tak meredakan sakitnya sama sekali. Demamnya tetap tinggi dan kepalanya tetap berdenyut seakan hampir meledak. Sebetulnya kedua orangtuanya sudah berulangkali mengajaknya untuk pergi berobat. Tapi Fara tidak mau. Sebab dia merasa dokter manapun tidak akan ada yang bisa mengobati sakitnya ini. Sakit yang disebabkan oleh masalah yang tengah dihadapinya ini tak kan sembuh dengan obat manapun. Cara satu-satunya untuk sembuh adalah dengan menenangkan hati dan pikirannya. Biarkan semua mengalir seperti yang seharusnya. Dan jika ada yang terluka, mungkin itu bukanlah kesalahannya. Sebab dia tak kan mungkin bisa membahagiakan keduanya. Tak kan mungkin memilih dua cinta yang ada di hadapannya. Hanya satu. Dan harus melepas yang satu meski sakit rasanya. Fara pun terus berusaha untuk
"Pulanglah, mas," pinta Fara dengan suara yang bernada lembut. Entah mengapa sesungguhnya hatinya tak tega untuk mengusir Ivan dengan tegas. Meski Ivan telah menyakiti hatinya, tapi Fara tak mampu untuk bersikap kasar pada suaminya itu. Ada luka yang dalam terpancar lewat tatapan Ivan yang dapat Fara lihat dengan jelas tiapkali mereka beradu pandang. Luka? Sungguhkah dia terluka dengan perpisahan ini? Ah, hati Fara bertanya ragu. "Pulanglah." Fara mengulangi kata-katanya karena Ivan tak juga beranjak dari tempatnya berdiri. Ivan menggeleng. "Tidak sebelum aku mendengar jawaban 'ya' darimu." Fara menghela napas panjang. Dia bingung tak tahu lagi harus berkata apa pada suaminya itu. Mestinya Ivan bisa mengerti kalau Fara bersungguh-sungguh menginginkan perceraian mereka. Bukankah tiapkali dia datang Fara selalu menolaknya? Tapi kenapa suaminya itu malah semakin gencar berusaha membujuknya untuk mau kembali? Bahkan suaminya itu seperti mengenyampingkan harga dirinya yang dulu selalu d
Seperti biasa sepulang dari bekerja Ivan melajukan mobilnya menuju ke rumah Fara. Tapi kali ini dia menghentikan mobilnya di pinggir jalan yang agak jauh dari rumah istrinya itu. Sebab dia melihat ada motor Gilang terparkir di sana. Dengan perasaan cemburu Ivan memperhatikan tanpa kedip. Tapi pemuda yang menjadi saingannya itu tak terlihat sama sekali. Tembok pagar rumah Fara menghalangi pandangan Ivan untuk memantau apa yang sedang dilakukan oleh pemuda itu di sana. Pikiran Ivan pun melayang membentuk gambar-gambar yang membuat rasa cemburunya semakin menggelora. Pasti pemuda ingusan itu sedang duduk bersama Fara, pikir Ivan kesal. Pasti dia sedang melancarkan rayuan gombalnya pada Fara! Oh, apakah Fara bahagia mendengar rayuannya? Apakah dia tersipu malu? Brengsek betul aku tidak dapat melihat mereka dari sini! Tapi aku yakin! Aku yakin kalau pemuda itu sedang merayu istriku! Berani betul dia merayu Fara! Fara masih istriku! Aku dan dia belum resmi bercerai! Kurangajar! Betul-betul
Lusy berjalan terhuyung memasuki rumahnya lalu terjatuh di atas sofa. Saat itu pukul dua malam. Seorang teman mengantarkannya pulang karena Lusy telah terlalu mabuk untuk dibiarkan pulang sendirian. Temannya itu bernama Rudy. Seorang laki-laki gagah berkulit coklat yang cukup menawan. Lusy mengenalnya sudah cukup lama. Mereka bertemu di sebuah acara pesta ulang tahun seorang teman. Kebetulan saat itu Lusy datang bersama dengan Fara dan Riska. Dan Riska yang ternyata telah mengenal Rudy pun memperkenalkannya pada Lusy dan Fara. Sejak saat itu pertemanan antara Lusy dan Rudy pun terjalin. Mereka jadi semakin akrab karena ternyata mereka sama-sama suka nongkrong di club malam untuk menghabiskan waktu yang kosong. Mereka sama-sama orang yang menyukai kebebasan. Tidak suka peraturan dan tidak suka terikat. Karena itulah Rudy merasa kaget ketika dalam mabuknya tadi Lusy meracau tentang keinginannya untuk menikah. Tapi sayangnya pernikahannya itu gagal karena sang calon suami kembali pada i