Share

Bab 4

Author: Naya
last update Huling Na-update: 2024-10-29 19:42:56

<span;>Ivan menatap Fara yang baru saja keluar dari kamar mandi. Keningnya berkerut dan wajahnya cemberut hingga membuat Fara menjadi kikuk. Fara tak mengerti kenapa Ivan menatapnya seperti itu. Dia merasa sikap Ivan itu begitu aneh. Karena tanpa alasan yang jelas dia seolah menatap Fara dengan kesal.

<span;>"Ada apa?" tanya Fara bingung.

<span;>"Matamu bengkak." sahut Ivan cemberut.

<span;>Huh? Fara pun cepat mengusap matanya. "Ini karena aku habis menangis."

<span;>"Siapa yang menyuruhmu menangis?" tanya Ivan dengan nada marah.

<span;>Huh? Fara melongo menatap suaminya yang masih terus menatapnya dengan wajah yang cemberut.

<span;>"Aku sudah bilang jangan kelewat cengeng. Sekarang matamu bengkak begini bagaimana kamu bisa keluar dan bertemu orang-orang? Mereka pasti bertanya kenapa matamu sampai bengkak begitu? Terus aku harus jawab apa? Apa tidak mungkin jika nanti mereka berpikir kalau aku sudah menyakitimu, Fara?" omel Ivan. Wajah tampannya terlihat galak hingga Fara takut untuk menatapnya.

<span;>"Aku akan menutupinya dengan riasan wajah," sahut Fara menunduk.

<span;>"Cuci lagi mukamu!" perintah Ivan.

<span;>"Tapi aku sudah cuci muka tadi. Aku kan baru selesai mandi," kata Fara menyahuti.

<span;>"Cuci lagi aku bilang! Cuci sampai hilang bengkak matamu itu! Aku tidak mau kalau orang-orang sampai mengira aku telah menyakitimu! Mana ada orang yang habis melakukan malam pertama matanya bengkak-bengkak seperti itu? Bikin malu!"

<span;>Fara pun menurut. Dia kembali masuk ke kamar mandi dan mencuci mukanya seraya memijit-mijit kelopak matanya yang bengkak. Setelah dirasa cukup, dia keluar dari kamar mandi dan segera bercermin. Ah, ternyata masih tetap terlihat bengkak. Rasanya memang butuh waktu untuk menghilangkan bengkak itu. Tak kan bisa hilang cuma dengan mencuci muka saja.

<span;>Ivan ikut memperhatikan. Kemudian dia pun berdecak kesal. "Masih terlihat jelas," gerutunya.

<span;>"Aku tidak mau kalau harus cuci muka lagi," kata Fara segera.

<span;>"Tidak perlu. Percuma, tidak akan hilang. Tutupi saja dengan riasanmu."

<span;>"Dari tadi pun aku bilang begitu," kata Fara pelan.

<span;>"Tidak usah menyahut. Kerjakan saja apa yang aku perintahkan. Kamu yang salah karena terlalu cengeng. Sekarang aku yang akan mendapatkan pertanyaan dari orang-orang. Kamu membuatku susah!"

<span;>Fara diam. Dia malas berdebat dengan Ivan. Suaminya itu pasti tak akan mau mengalah. Dia akan tetap berpendapat kalau Fara menangis karena cengeng. Dia tak akan mengakui kesalahannya. Jika terus berdebat, pasti akan berujung pada pertengkaran. Jadi rasanya lebih baik diam dan lakukan saja apa yang suaminya itu perintahkan.

<span;>Fara pun mengeringkan tubuhnya. Lalu dia memakai pakaian dan duduk di depan meja riasnya mencoba untuk menutupi bengkak di kelopak matanya dengan riasan wajah. Tidak seperti biasanya, kini sedikit lebih tebal Fara mengoleskan riasan di matanya itu. Tak apa meski dia tak suka. Yang penting orang-orang tak lagi bisa melihat tanda bekas dia menangis.

<span;>Ivan cemberut memperhatikan. "Sebetulnya aku tidak suka melihatmu memakai riasan setebal itu. Tapi apa boleh buat, yang penting bisa menutupi kelopak matamu yang bengkak itu dari orang-orang. Lain kali aku tidak mau melihatmu cengeng seperti itu. Kamu harus selalu kelihatan ceria di depan semua orang. Aku tidak mau dibilang suami yang tidak baik."

<span;>"Ya, Mas Ivan memang suami yang baik," sahut Fara pelan.

<span;>"Jangan menyindir seperti itu, Fara. Aku tahu, aku memang bukanlah seorang suami yang baik. Tapi setidaknya aku tidak menyakitimu, kan?"

<span;>Fara tak menyahuti. Dia cuma menatap Ivan lewat pantulan cermin di hadapannya. Suami tampannya itu tampak berdiri di belakangnya dengan wajah yang kaku.

<span;>"Kita keluar sekarang?" tanya Fara kemudian.

<span;>Ivan mengangguk. Lalu digandengnya Fara dengan mesra. Fara tahu jika suaminya itu ingin menunjukkan di depan semua orang kalau dia adalah seorang suami yang baik. Mungkin dia terbiasa dipandang sempurna. Dan kini dia pun ingin dipandang orang sebagai suami yang sempurna.

<span;>Mereka pun bergandengan menuju ruang depan yang ramai. Beberapa orang keluarga Fara memang masih menginap di sana. Mungkin masih ingin menikmati kebersamaan dalam momen yang indah ini. Apa lagi beberapa dari mereka tinggal diluar kota. Jadi pastinya kebersamaan seperti ini tak mudah untuk mereka lakukan.

<span;>Kedua orangtua Ivan pun ikut menginap di sana. Sebab keluarga besar Fara, adalah keluarga besar ayah Ivan juga. Karena dulu ayah Ivan besar dan tumbuh bersama mereka. Acara pernikahan Ivan dan Fara pun jadi seperti Acara reuni keluarga. Mereka berkumpul, menyatukan dua keluarga yang sesungguhnya telah menyatu.

<span;>"Hei, pengantin baru sudah keluar dari kamar!" seru Tante Nin, adik bungsu ayah Fara, ketika dia melihat Ivan dan Fara berjalan bergandengan menghampiri mereka.

<span;>Ivan dan Fara pun tersenyum. "Kami ingin sarapan bersama, tante," ucap Ivan.

<span;>"Kenapa tidak sarapan di kamar saja? Biar suruh si bibik yang antarkan makanan nanti. Namanya pengantin baru, pasti ingin selalu berdua," goda Tante Nin.

<span;>"Ah, tante, masih banyak waktu bagi kami untuk menghabiskan waktu bersama," sahut Ivan hingga memancing derai tawa orang yang mendengarnya.

<span;>"Tidak sangka, ternyata jodoh mereka tidak jauh-jauh. Mas Arifin dan Mas Surya akhirnya menjadi besan. Kalau tahu begini, kenapa tidak sejak dulu saja mereka kita nikahkan? Biar mereka tidak perlu berpetualang ke sana kemari dengan orang yang tidak jelas," kata Tante Nin lagi.

<span;>"Mungkin jodohnya memang baru datang sekarang, tante. Tuhan baru menyatukan kami sekarang," sahut Ivan dengan suara yang manis.

<span;>Sementara Fara hanya tersenyum menanggapi sambil menahan perasaan dongkol melihat sandiwara suaminya itu.

<span;>"Senangnya melihat kalian langsung cocok seperti ini," kata Pak Surya, ayah Fara, dengan gembira.

 "Ya sudah pasti Ivan merasa cocok dengan Fara, Dik Surya. Fara itu gadis yang baik. Kami pun senang mendapat menantu seperti Fara," sahut Bu Elsa menimpali.

<span;>Fara menatap ayahnya yang sedang duduk bersandar di sofa. Hatinya sedih. Dia tahu, dia harus menutup rapat-rapat tentang keadaan rumah tangganya yang sesungguhnya dari semua orang, terutama ayahnya. Fara terharu melihat kebahagiaan yang terpancar di mata ayahnya saat melihat dia berdampingan dengan mesra bersama Ivan, suaminya. Sorot bahagia itu tak boleh hilang, tekat Fara. Biarlah dia ikhlas menjalani rumah tangga bersama dengan laki-laki yang menyebalkan seperti Ivan. Yang penting ayahnya merasa bahagia dan bisa segera sembuh dari sakitnya.

<span;>Fara pun berjalan menghampiri ayahnya yang sedang menatapnya dengan bahagia. Lalu dia duduk dan mendaratkan sebuah kecupan sayang di pipi ayahnya itu. Pak Surya tersenyum. Dia mengerti jika putrinya itu tak akan bisa menghilangkan kebiasaan manjanya. Fara yang anak satu-satunya memang masih selalu manja pada ayahnya. Maklumlah, sejak kecil ayahnya memang selalu memanjakannya dengan kasih sayang yang berlebih.

<span;>Kini ayahnya sakit. Dan keinginan ayahnya adalah melihat dia menikah dan berumah tangga. Memiliki suami dan anak-anak lucu sebagai penghias hidupnya. Dan menurut ayahnya, Ivan adalah laki-laki terbaik untuknya. Laki-laki bertanggungjawab dan bisa dipercaya. Ayahnya tak pernah tahu bagaimana Ivan yang sesungguhnya. Biarlah. Fara pun tak ingin jika ayahnya sampai mengetahuinya.

<span;>"Sekarang sudah punya suami, masa masih manja juga sama bapak?" goda Pak Surya tersenyum.

<span;>"Apa tidak boleh? Fara kan tetap anak kesayangan bapak?" kata Fara menyahuti.

<span;>"Sampai kapan pun kamu akan tetap menjadi anak kesayangan bapak. Anak bapak kan cuma satu. Kalau tidak menyayangi kamu, lantas bapak harus menyayangi siapa?" kata Pak Surya sambil memeluk Fara dengan sayang.

<span;>"Makanya cepat-cepat kasih cucuk untuk bapakmu. Jangan cuma satu. Tapi yang banyak sekalian," celetuk tante Nin menimpali.

<span;>"Sabar, tante. Kami ingin menikmati bulan madu dulu." Ivan cepat menyahut.

<span;>"Jangan lama-lama. Mama dan papa menunggu," sambar Bu Elsa menimpali kata-kata putranya. "Karena itu mama dan papa ingin kalian tinggal bersama kami. Supaya nanti kami tidak perlu jauh-jauh kalau ingin bertemu dengan cucu."

<span;>"Jadi benar nanti mereka akan tinggal bersama Mbak Elsa dan Mas Arifin?" tanya Tante Nin pada Bu Elsa.

<span;>Bu Elsa pun mengangguk. "Rumah kami terlalu besar untuk kami tempati berdua. Itulah makanya Ivan dan Fiona tidak kami izinkan untuk pindah. Sampai akhirnya Fiona bercerai dengan suaminya pun dia tetap tinggal bersama kami."

<span;>Fiona adalah adik perempuan Ivan satu-satunya. Usianya lima tahun di bawah Fara. Dia seorang janda tanpa anak. Pernikahannya kandas satu tahun yang lalu karena keegoisannya sebagai seorang perempuan. Sifatnya yang keras kepala seringkali menciptakan keributan dalam rumah tangganya. Karena itulah akhirnya dia dan suaminya memutuskan untuk bercerai. Namun begitu sesungguhnya Fiona adalah seorang yang baik. Sikapnya periang dan mudah bergaul. Fara pun senang jika berbincang dengan adik suaminya itu. Fiona pandai membuat suasana menjadi hangat.

<span;>"Ya tidak apa jika Ivan dan Fara nanti tinggal di rumah Mbak Elsa. Rumah kalian besar sekali, toh? Memang akan terlalu sepi jika hanya kalian tempati berdua," kata Pak Surya.

<span;>"Syukurlah kalau Dik Surya dan Dewi setuju jika anak-anak kita nanti tinggal bersama kami."

<span;>"Tentu saja kami setuju, Mbak Elsa. Lagi pula Fara kan harus ikut kemana suaminya membawa dia. Kalau mereka tinggal bersama Mbak Elsa, kami malah merasa tenang melepasnya," kata Bu Dewi, ibunda Fara.

<span;>Fara hanya diam mendengarkan orangtua dan mertuanya membahas semua itu. Dia merasa mungkin itu memang yang terbaik untuknya. Karena setidaknya dia akan tinggal bersama mertua yang selama ini memang sudah dia kenal dengan sangat baik.

<span;>Mereka pun terus asyik berbincang sambil menikmati sarapan bersama. Untuk sejenak Fara bisa melupakan tentang rumah tangganya yang tak indah bersama Ivan. Masalah itu, biar tinggalkan dulu. Fara sedang ingin melihat kebahagiaan orangtuanya atas pernikahannya ini. Senyum cerah ayah ibunya membuat Fara semakin yakin bahwa dia memang harus bertahan dengan rumah tangganya.

<span;>Sementara itu Ivan terus sibuk bersikap manis di depan semua orang. Dia memperlihatkan betapa dia adalah laki-laki impian. Hingga beberapa orang ada yang berucap kalau Fara sangatlah beruntung karena telah menjadi istrinya. Fara tak bisa membantah kata-kata itu meskipun dia merasa kesal mendengarnya. Fara cuma bisa menebar senyum menanggapi semua perkataan mereka tentang pernikahan Ivan dan dirinya.

Kaugnay na kabanata

  • Bukan Pernikahan Impian    Bab 5

    <span;>Seminggu sudah mereka tinggal di rumah orangtua Fara. Hari ini mereka berencana untuk pindah ke rumah orangtua Ivan dan menetap di sana seperti rencana mereka semula. Karena itulah sejak pagi Fara sibuk berkemas, memilih pakaian dan barang-barang lainnya yang akan dia bawa. <span;>Sebuah tas besar telah penuh oleh pakaiannya. Lalu satu tas lainnya akan dia isi dengan berbagai macam barang keperluannya. Fara berpikir sekiranya barang apa saja yang akan dibawanya. Fara pun mengedarkan pandangannya ke seluruh kamar. Dia melihat deretan buku bacaan koleksinya yang tersusun rapi di lemari kecil. Juga koleksi parfum dan sepatunya. Hm, Fara bingung karena seakan tak rela berpisah dengan semua barang koleksinya itu. Tapi tadi Ivan telah berpesan dengan tegas supaya Fara tidak membawa banyak barang yang akan memenuhi kamarnya nanti. Padahal rasanya Fara ingin membawa semuanya. Terutama koleksi buku- bukunya yang selama ini selalu setia menemaninya disaat sepi.

  • Bukan Pernikahan Impian    Bab 6

    <span;>Mereka tiba di rumah orangtua Ivan ketika langit hampir gelap. Memang hanya butuh waktu satu jam perjalanan saja untuk bisa sampai ke sana. Tapi itu pun kalau tak terjebak dalam kemacetan lalu lintas yang parah. Karena sore itu arus kendaraan tidak terlalu padat, maka mereka pun bisa sampai sebelum malam. Sedikit lebih cepat dari yang Ivan perkirakan. <span;>Ketika mereka sampai, rupanya kedua orangtua Ivan sudah menunggu kedatangan mereka. Pak Arifin dan Bu Elsa langsung menyambut mereka dengan hangat. Sepertinya mereka memang sangat senang karena anak dan menantu mereka mau tinggal bersama dengan mereka di sana. <span;>"Hanya ini barang yang kamu bawa, Fara?" tanya Bu Elsa ketika dilihatnya tas yang dibawa Fara. <span;>"Iya, ma. Kata Mas Ivan tidak usah membawa banyak-banyak," sahut Fara. <span;>"Ah, Ivan tidak mengerti kalau perempuan itu pasti memiliki banyak barang," kata Bu Elsa sambil melirik

  • Bukan Pernikahan Impian    Bab 7

    <span;>Kita kembali ke malam hari di saat Ivan baru saja keluar dari rumahnya. <span;>Laki-laki tampan itu bergegas mengendarai mobilnya memecah kepadatan lalu lintas malam itu demi untuk menemui seseorang yang sangat dirindukannya. Mereka memang telah merencanakan pertemuan ini. Dan Ivan berharap masih ada setitik harapan baginya untuk bisa meraih kembali cintanya. Lantas bagaimana dengan Fara? Ivan berpikir tak apa jika dia bisa merahasiakannya dari istrinya itu. Jika dia tak tahu, berarti dia tak kan terluka, kan? Ivan merasa mampu untuk memenuhi kebutuhan dua istri. Jadi dia bisa tetap menjalani rumah tangganya bersama Fara sesuai dengan keinginan orangtuanya tanpa harus kehilangan cintanya. <span;>Adelia, adalah perempuan cantik yang telah dipacarinya selama lima tahun ini. Mereka bertemu di acara ulang tahun seorang teman. Dan dari pertemuan itulah tumbuh benih-benih cinta yang semakin hari semakin bermekaran. <span;>

  • Bukan Pernikahan Impian    Bab 8

    <span;>Ivan duduk bersama tiga orang teman dekatnya. Hentakkan musik mengalahkan suara mereka yang sedang asyik bercanda dan berbincang tentang masalah perempuan. Tapi Ivan tak banyak bicara. Dia hanya menimpali sesekali saja obrolan teman-temannya itu. Pikirannya sebagian masih terpusat pada Adelia. Belum bisa mengalihkan pikirannya dari gadis terkasih itu meski dia terus mencoba. Jika candaan temannya terdengar lucu, Ivan pun ikut tertawa lepas. Tapi setelah itu pikirannya kembali bercabang. Mengarah sebagian pada Adelia yang kini pergi menghilang. <span;>"Kamu lagi ada masalah, ya?" tanya Dito pada Ivan. <span;>"Kok, tahu?" sahut Ivan pendek. <span;>"Kelihatan dari wajahmu yang murung itu. Lagi pula, kalau ada pengantin baru yang lebih memilih nongkrong di sini dari pada menikmati waktu berdua dengan istrinya, bisa dipastikan dia sedang ada masalah," kata Dito menebak. <span;>Ivan pun mengangguk membena

  • Bukan Pernikahan Impian    Bab 9

    <span;>Fara terjaga dari tidurnya karena dirasakannya ada seseorang yang naik ke tempat tidur. Dengan cepat dia menoleh. Didapatinya Ivan yang sedang berbaring hendak tidur. Suaminya itu pun tampak acuh, seperti tak peduli pada Fara yang terkejut. <span;>"Mas Ivan?!" Fara pun cepat melihat pada jam mungil yang ada di atas nakas. Pukul setengah lima pagi. "Mas Ivan baru pulang?" <span;>"Bangunkan aku jam enam," pinta Ivan tanpa menjawab pertanyaan Fara barusan. <span;>"Kenapa Mas Ivan baru pulang?" Fara melanjutkan pertanyaannya. <span;>"Bertanyanya nanti saja, Fara. Sekarang aku ngantuk, ingin tidur," sahut Ivan sambil terus terpejam. <span;>"Aku tunggu Mas Ivan semalaman. Janjinya mau pulang sebelum tengah malam. Tapi ternyata malah pulang pagi. Keterlaluan!" kata Fara kesal. <span;>Ivan pun membuka matanya dan menoleh pada Fara. Ekspresi wajahnya datar seolah dia tak m

  • Bukan Pernikahan Impian    Bab 10

    <span;>Fara duduk termenung sendirian di kamar. Ini baru lewat jam makan siang. Belum satu harian dia menjalani waktunya di rumah mertuanya ini. Tapi rasa jenuh sudah mengurungnya sejak tadi. Fara tak tahu harus melakukan apa. Bu Elsa, ibu mertuanya sudah keluar rumah sejak tadi. Ada arisan katanya. Sedangkan Fiona, adik Ivan, sampai hari ini masih berada di luar kota untuk urusan pekerjaan. Fara pun kesepian. Kalau saja sebelum pernikahan Ivan tidak memintanya berhenti bekerja, tentulah saat ini Fara tak kan mengalami kejenuhan seperti ini. Tapi Ivan bilang, dia ingin punya istri perempuan yang diam di rumah, bukan wanita karier yang sibuk bekerja. Karena itulah kedua orangtua Fara langsung meminta Fara berhenti bekerja agar bisa menjadi ibu rumah tangga seperti yang Ivan inginkan. Fara pun menurut. Toh, menjadi ibu rumah tangga juga satu hal yang menyenangkan. Mengurus suami dan anak-anak adalah kebahagiaan yang tak ternilai bagi seorang perempuan. Tapi sekarang, kenyataanny

  • Bukan Pernikahan Impian    Bab 11

    <span;>Malam itu Fara mendapat telepon dari seorang teman. <span;>"Pesta ulang tahun?" tanya Fara ceria. <span;>"Nggak, kok. Cuma sekadar kumpul teman-teman lama saja. Temu kangen sekalian makan-makan di rumahku. Kamu mau datang kan, Far?" tanya temannya di seberang sana. <span;>"Aku pasti mau, dong. Nanti aku datang bersama Riska dan Lusy, ya!" janji Fara. <span;>"Oke, kalau begitu aku tunggu, ya!" sahut temannya senang. <span;>Setelah itu pembicaraan pun selesai. Fara yang saat itu sedang duduk di atas tempat tidur menghadap ke jendela kamarnya, tak tahu jika Ivan sudah masuk dan berdiri di pintu kamar mendengarkan obrolannya barusan. Dan ketika Fara menoleh, dia pun terpekik kaget. <span;>"Mas Ivan?!" serunya terkejut. <span;>"Kenapa terkejut seperti itu?" tanya Ivan dengan ekspresi wajah yang dingin seperti biasanya. <span;>"Mas Iv

  • Bukan Pernikahan Impian    Bab 12

    <span;>“Sedang teleponan sama siapa?” Suara Ivan yang bertanya mengejutkan Fara. Ketika itu Ivan yang baru saja masuk ke kamarnya, mendapati Fara sedang duduk santai di atas tempat tidur sambil berbicara dengan seseorang di telepon. <span;>Fara pun menoleh cepat. “Kenapa Mas Ivan selalu membuatku terkejut?” <span;>“Terkejut? Apa sedang membicarakan tentang sesuatu yang rahasia?” Ivan bertanya sambil mengambil ponselnya yang ada di atas nakas. Kemudian dia duduk di sofa yang ada di depan jendela dan mulai asyik memainkan ponselnya di sana. <span;>“Rahasia? Rahasia apa? Aku cuma bicara dengan Riska,” kata Fara segera. <span;>“Riska sahabatmu itu?” tanya Ivan tanpa menoleh. <span;>“Ya. Jadi mas masih ingat pada sahabatku itu?” <span;>“Tentu saja ingat. Apa kamu pikir aku sudah pikun?” ketus

Pinakabagong kabanata

  • Bukan Pernikahan Impian    Bab 69

    "Sungguhkah kamu dan Mas Ivan telah bersatu lagi, Fara?" tanya Gilang dengan raut wajah kecewa yang tidak bisa dia sembunyikan. "Ya, aku dan Mas Ivan telah bersatu lagi. Lusy telah mengakui kebohongannya. Dan itu berarti tidak ada lagi yang menghalangi kami untuk kembali bersatu," jawab Fara jujur. "Maafkan aku," sambungnya. "Kamu tidak bersalah. Mungkin itulah jalan terbaik yang telah tuhan gariskan untuk kalian berdua," sahut Gilang tulus. "Kamu tidak marah?" tanya Fara. "Marah? Kenapa aku harus marah?" sahut Gilang lembut. "Karena aku telah mengecewakan dan membuatmu terluka." "Tidak, bukan kamu yang membuatku terluka. Tapi cintakulah yang telah membuatku terluka. Aku tidak ingin menyalahkanmu, Fara. Dan aku tidak akan pernah menyalahkanmu." "Jadi sekarang kamu telah bisa mengerti?" Gilang mengangguk. "Aku harus bisa mengerti. Aku tidak ingin rasa kecewaku membuatku terluka semakin dalam. Selama ini aku telah menunggumu dengan sabar. Tapi ternyata keputusan terakhirmu tetap

  • Bukan Pernikahan Impian    Bab 68

    Lusy berdiri kaku di hadapan semua orang. Wajahnya tampak pucat. Betapa terkejutnya dia ketika melihat Rudy ada di sana. Dia langsung bisa menerka apa yang telah terjadi. Rudy pasti telah membongkar kebohongannya. Sebab tidak mungkin Rudy ada di sana dengan alasan berkunjung. Rudy bukan teman Ivan. Bukan pula orang yang kenal dengan keluarganya. Jadi kunjungan Rudy ke rumah ini pasti ada maksud tertentu yang ingin dia sampaikan. Dan tentu saja itu masalah tentang bayinya. Rudy pasti telah menceritakan cerita yang sebenarnya. Dan sekarang tentulah mereka semua ingin agar dia mengakui semuanya. "Duduk!" perintah Bu Elsa dingin. Tak ada setitik pun raut yang ramah terpancar di wajahnya. Perempuan paruh baya itu sepertinya enggan untuk berbasa-basi dengan Lusy. Dia bicara dengan nada yang tegas dan ekspresi wajah yang kaku. Tanpa bisa menolak, Lusy pun segera duduk. Tak ada yang bicara untuk beberapa saat. Suasana terasa hening tak mengenakkan. Tapi Lusy masih bisa berusaha untuk bersik

  • Bukan Pernikahan Impian    Bab 67

    "Ku dengar Lusy akan segera menikah dengan Ivan," kata Rudy pada Riska yang duduk di hadapannya. Siang itu Rudy memang sengaja meminta Riska untuk menemuinya di sebuah cafe. Rudy ingin menceritakan tentang rahasia yang sebenarnya pada Riska. Sebab Rudy tak tahan terus didera oleh perasaan bersalah karena telah membiarkan Lusy melakukan rencana busuknya. Karena itulah akhirnya Rudy memutuskan untuk bercerita pada Riska dan meminta pendapat Riska mengenai rencana Lusy itu. Riska yang mendengar kata-kata Rudy itu pun mengangguk dengan ekspresi wajah yang sedih. "Ya. Kasihan Fara. Di saat dia dan Mas Ivan ingin memperbaiki kembali rumah tangga mereka, Lusy kembali datang dan mengacaukan semuanya." Rudy menghela napas panjang seolah hatinya gundah mendengar kata-kata Riska itu. Kemudian dia pun menatap Riska dengan wajah yang serius. "Jadi kamu juga percaya kalau bayi yang dikandung Lusy itu anak Ivan, suami Fara?" tanyanya. "Maksudmu?" Riska mengerutkan keningnya karena merasa bingung

  • Bukan Pernikahan Impian    Bab 66

    Ivan kembali ke rumah orangtuanya. Pupus sudah harapan untuk memperbaiki rumah tangganya bersama Fara. Kini Fara tak mungkin lagi mau menerima dia sebagai teman hidupnya. Kehamilan Lusy benar-benar mengacaukan semua yang telah Ivan perjuangkan untuk kembali pada Fara. Tak ada yang bisa Ivan lakukan kini. Mau tidak mau dia harus rela berpisah dengan Fara dan menikahi Lusy. Ketika keluarganya mengetahui tentang kehamilan Lusy, mereka pun sangat terkejut. Bahkan Bu Elsa seperti tidak bisa menerimanya. Dia tidak rela jika putranya menikahi Lusy dan membawa perempuan itu masuk ke dalam keluarga mereka. "Ini semua salahmu, Ivan!" seru Bu Elsa marah. "Mama dan papa sudah memilihkan seorang perempuan yang baik dan pantas untuk menjadi istrimu! Tapi malah kamu sia-siakan dia dan kamu jatuh cinta pada perempuan brengsek itu! Sekarang kita terpaksa harus menerima dia menjadi anggota keluarga kita! Oh, mama tidak rela, Van! Sungguh mama tidak rela!" "Saya pun menyesal, ma," ucap Ivan lirih. "

  • Bukan Pernikahan Impian    Bab 65

    Lusy duduk diam di atas tempat tidurnya dengan wajah yang cemberut. Pikirannya sedang kacau saat ini. Dia merasa kesal dengan keadaan dirinya. Dan kekesalannya itu sejak tadi dia tumpahkan pada Rudy yang duduk tak jauh darinya. "Mestinya ini tidak perlu terjadi padaku! Sekarang aku tidak tahu lagi apa yang harus aku lakukan!" geramnya kesal. Rudy pun menoleh padanya. "Yang harus kamu lakukan adalah menerima kehamilanmu ini lalu kita menikah! Sudah berulangkali aku katakan padamu kalau aku akan bertanggungjawab pada kehamilanmu ini, Lusy! Sebab bayi yang kamu kandung itu adalah anakku! Darah dagingku! Dan aku tidak seburuk yang kamu kira! Aku tidak akan menelantarkan darah dagingku sendiri! Aku pasti bertanggungjawab!" "Kamu? Bertanggungjawab? Hah!" dengus Lusy diiringi dengan tertawa mengejek. "Apa yang bisa aku harapkan dari laki-laki sepertimu, Rudy? Kamu laki-laki bebas yang tidak mungkin bisa terikat pada pernikahan! Jadi jangan bujuk aku lagi untuk menikah denganmu! Karena aku

  • Bukan Pernikahan Impian    Bab 64

    Fara jatuh sakit. Beban persoalan yang membelitnya saat ini membuatnya terkapar tak berdaya di atas tempat tidur. Badannya demam dan kepalanya sakit bukan kepalang. Obat pereda sakit kepala yang diminumnya seakan tak meredakan sakitnya sama sekali. Demamnya tetap tinggi dan kepalanya tetap berdenyut seakan hampir meledak. Sebetulnya kedua orangtuanya sudah berulangkali mengajaknya untuk pergi berobat. Tapi Fara tidak mau. Sebab dia merasa dokter manapun tidak akan ada yang bisa mengobati sakitnya ini. Sakit yang disebabkan oleh masalah yang tengah dihadapinya ini tak kan sembuh dengan obat manapun. Cara satu-satunya untuk sembuh adalah dengan menenangkan hati dan pikirannya. Biarkan semua mengalir seperti yang seharusnya. Dan jika ada yang terluka, mungkin itu bukanlah kesalahannya. Sebab dia tak kan mungkin bisa membahagiakan keduanya. Tak kan mungkin memilih dua cinta yang ada di hadapannya. Hanya satu. Dan harus melepas yang satu meski sakit rasanya. Fara pun terus berusaha untuk

  • Bukan Pernikahan Impian    Bab 63

    "Pulanglah, mas," pinta Fara dengan suara yang bernada lembut. Entah mengapa sesungguhnya hatinya tak tega untuk mengusir Ivan dengan tegas. Meski Ivan telah menyakiti hatinya, tapi Fara tak mampu untuk bersikap kasar pada suaminya itu. Ada luka yang dalam terpancar lewat tatapan Ivan yang dapat Fara lihat dengan jelas tiapkali mereka beradu pandang. Luka? Sungguhkah dia terluka dengan perpisahan ini? Ah, hati Fara bertanya ragu. "Pulanglah." Fara mengulangi kata-katanya karena Ivan tak juga beranjak dari tempatnya berdiri. Ivan menggeleng. "Tidak sebelum aku mendengar jawaban 'ya' darimu." Fara menghela napas panjang. Dia bingung tak tahu lagi harus berkata apa pada suaminya itu. Mestinya Ivan bisa mengerti kalau Fara bersungguh-sungguh menginginkan perceraian mereka. Bukankah tiapkali dia datang Fara selalu menolaknya? Tapi kenapa suaminya itu malah semakin gencar berusaha membujuknya untuk mau kembali? Bahkan suaminya itu seperti mengenyampingkan harga dirinya yang dulu selalu d

  • Bukan Pernikahan Impian    Bab 62

    Seperti biasa sepulang dari bekerja Ivan melajukan mobilnya menuju ke rumah Fara. Tapi kali ini dia menghentikan mobilnya di pinggir jalan yang agak jauh dari rumah istrinya itu. Sebab dia melihat ada motor Gilang terparkir di sana. Dengan perasaan cemburu Ivan memperhatikan tanpa kedip. Tapi pemuda yang menjadi saingannya itu tak terlihat sama sekali. Tembok pagar rumah Fara menghalangi pandangan Ivan untuk memantau apa yang sedang dilakukan oleh pemuda itu di sana. Pikiran Ivan pun melayang membentuk gambar-gambar yang membuat rasa cemburunya semakin menggelora. Pasti pemuda ingusan itu sedang duduk bersama Fara, pikir Ivan kesal. Pasti dia sedang melancarkan rayuan gombalnya pada Fara! Oh, apakah Fara bahagia mendengar rayuannya? Apakah dia tersipu malu? Brengsek betul aku tidak dapat melihat mereka dari sini! Tapi aku yakin! Aku yakin kalau pemuda itu sedang merayu istriku! Berani betul dia merayu Fara! Fara masih istriku! Aku dan dia belum resmi bercerai! Kurangajar! Betul-betul

  • Bukan Pernikahan Impian    Bab 61

    Lusy berjalan terhuyung memasuki rumahnya lalu terjatuh di atas sofa. Saat itu pukul dua malam. Seorang teman mengantarkannya pulang karena Lusy telah terlalu mabuk untuk dibiarkan pulang sendirian. Temannya itu bernama Rudy. Seorang laki-laki gagah berkulit coklat yang cukup menawan. Lusy mengenalnya sudah cukup lama. Mereka bertemu di sebuah acara pesta ulang tahun seorang teman. Kebetulan saat itu Lusy datang bersama dengan Fara dan Riska. Dan Riska yang ternyata telah mengenal Rudy pun memperkenalkannya pada Lusy dan Fara. Sejak saat itu pertemanan antara Lusy dan Rudy pun terjalin. Mereka jadi semakin akrab karena ternyata mereka sama-sama suka nongkrong di club malam untuk menghabiskan waktu yang kosong. Mereka sama-sama orang yang menyukai kebebasan. Tidak suka peraturan dan tidak suka terikat. Karena itulah Rudy merasa kaget ketika dalam mabuknya tadi Lusy meracau tentang keinginannya untuk menikah. Tapi sayangnya pernikahannya itu gagal karena sang calon suami kembali pada i

DMCA.com Protection Status