<span;>Langit masih gelap ketika Fara terjaga dari tidurnya. Dia mendapati Ivan yang sedang duduk di sampingnya sambil menatap telepon genggamnya dengan wajah yang kecewa. Sesaat Fara memperhatikan. Suaminya itu tampak kecewa dengan apa yang dia lihat atau dia baca di layar hpnya. Tapi dengan siapakah suaminya berkomunikasi di pagi buta seperti ini? Dengan kekasih hatinya itukah?
<span;>"Mas," panggil Fara pelan.<span;>Ivan pun terkejut. Sepertinya dia tidak tahu jika Fara telah bangun. Dengan gugup dia seperti hendak menyembunyikan ponselnya itu dari Fara. Tapi Fara telah melihatnya. Termasuk melihat dengan jelas kegugupan suaminya itu yang bertingkah seperti seseorang yang baru saja berbuat salah.<span;>"Jangan mengejutkan aku seperti itu, Fara," protes Ivan tak suka.<span;>"Mas terkejut? Padahal aku cuma memanggil saja," kata Fara menyahuti.<span;>"Aku pikir kamu masih tidur."<span;>Fara diam. Dia memperhatikan ponsel yang Ivan genggam di tangannya.<span;>"Sedang chat dengan siapa?" tanya Fara.<span;>"Teman," sahut Ivan pendek.<span;>"Pada jam segini?"<span;>"Apa tidak boleh?"<span;>"Tentu saja boleh. Hanya saja, tidak biasa orang ngobrol dengan teman pada pagi buta seperti ini. Apa membicarakan sesuatu yang penting?"<span;>Ivan pun menoleh dengan wajah yang cemberut. "Kenapa kamu terus bertanya, Fara?" tanya Ivan tak senang.<span;>"Apa tidak boleh?" Fara balik bertanya.<span;>Ivan menggeleng. "Kamu tidak boleh mencampuri semua urusanku. Kamu memang istriku. Tapi tidak berarti kamu bisa mengawasi aku seperti itu. Aku punya kehidupan pribadi yang tidak boleh kamu campuri, Fara."<span;>"Kenapa begitu?" tanya Fara cepat.<span;>"Karena aku tidak suka jika kamu mencampuri semua urusanku. Aku akan bertanggungjawab sebagai seorang suami untukmu. Aku akan memberikan nafkah lahir dan batin yang cukup. Tapi jangan pernah campuri urusanku. Sebagai seorang laki-laki, aku punya dunia sendiri yang tak perlu kamu tahu."<span;>Fara tercekat mendengar kata-kata Ivan itu. Begitukah? Jadi laki-laki punya dunia sendiri yang tak perlu istrinya tahu? Bukannya di antara suami istri itu tidak boleh ada yang dirahasiakan?<span;>"Pasti perempuan itu, kan? Kekasih Mas Ivan itu?" tanya Fara dengan hati yang perih.<span;>Ivan menaruh ponselnya di atas nakas. Lalu dengan ekspresi wajah yang dingin dia menjawab pertanyaan Fara barusan. "Kenapa harus kamu tanyakan kalau jawabannya akan membuat hatimu sakit?"<span;>Sekali lagi Fara tercekat. Bola matanya nanar menatap Ivan. "Jadi benar itu dia? Mas Ivan sedang ngobrol dengan dia barusan?"<span;>Ivan pun menghela napas panjang. "Dasar perempuan. Sudah dibilang jangan bertanya, masih juga bertanya. Memang sukanya menyakiti diri sendiri."<span;>Fara merasakan hatinya perih mendengar kata-kata Ivan itu. Kata-kata yang secara tak langsung mengakui bahwa memang dengan kekasihnya itulah barusan dia berbincang. Dan entah apa yang ditulis perempuan itu dalam chat-nya hingga Ivan nampak begitu kecewa. Mungkin luapan emosi karena Ivan kini menikah dengannya. Ya, Fara tahu perempuan itu pasti marah dan cemburu. Tapi sebagai istri sah Ivan, Fara pun merasa cemburu jika suaminya masih terus menjalin hubungan dengan perempuan itu. Meski menikah tanpa cinta, tapi toh tetap rasa cemburu itu ada. Sebab tak ada seorang pun istri yang rela jika suaminya dimiliki oleh perempuan lain. Begitu pun Fara, meski belum memiliki hati Ivan sebagai suaminya.<span;>Fara terisak pelan. Ivan pun segera menoleh, menatap istrinya itu dengan ekspresi wajah yang datar.<span;>"Hobimu menangis, ya?" tanya Ivan.<span;>"Istri mana pun pasti akan menangis jika suaminya menyimpan perempuan lain dalam hatinya," sahut Fara kesal.<span;>"Kan, aku sudah bilang jangan bertanya kalau kamu tahu jawabannya itu akan melukai hatimu, Fara. Tapi kenapa kamu malah memikirkannya dan membuat luka hatimu sendiri?"<span;>"Aku tidak bisa untuk tidak memikirkannya! Mas Ivan suamiku! Hatiku sakit jika Mas Ivan memikirkan perempuan lain!" seru Fara sambil terus menangis.<span;>Ivan tak menyahut. Dia cuma diam sambil terus menatap Fara yang menangis.<span;>"Kenapa diam?" tanya Fara kemudian.<span;>"Memangnya aku harus bicara apa? Kamu yang tadi bertanya. Kamu juga yang memikirkan semua itu. Lalu kamu menangis karenanya. Ku pikir, kamu memang hobi menangis, Fara. Dari semalam kerjamu cuma menangis. Lagi pula kan aku sudah bilang kalau aku tidak bisa menjadi suami yang baik untukmu. Sebagai suami aku akan bertanggungjawab. Tapi jangan meminta lebih dariku. Jadi biasakanlah dirimu untuk hidup bersama dengan suami seperti aku. Dan satu hal lagi harus kamu tahu, aku tidak suka dengan perempuan yang cengeng!"<span;>Fara pun reflek memukulkan guling yang sedang dipegangnya ke badan Ivan. Dia benar-benar kesal mendengar kata-kata suaminya itu. Kemudian Fara menutup wajahnya dengan selimut dan menumpahkan tangisnya di sana.<span;>"Tidak boleh seorang istri berbuat kasar seperti ini pada suaminya, Fara. Apa kamu tidak tahu itu?" tanya Ivan tanpa bernada emosi.<span;>Fara tak menyahut. Dia terus tersedu di bawah selimut. Kenapa ada laki-laki yang menyebalkan seperti Ivan, suaminya? Sikapnya begitu dingin dan santai, seolah dia tak merasa bersalah atas perbuatannya itu. Bahkan emosi Fara pun ditanggapinya dengan santai.<span;>"Istri yang baik harus bisa bersikap manis pada suaminya. Kamu seorang perempuan dewasa. Kamu pasti tahu bagaimana caranya menjadi istri yang baik," lanjut Ivan hingga membuat Fara menjadi semakin kesal.<span;>"Aku tidak tahu!" cetus Fara di sela tangisnya.<span;>"Haruskah aku mendidikmu? Tapi aku tidak punya banyak waktu," kata Ivan menyahuti.<span;>Fara menghentakkan kakinya karena kesal. Ivan pun menghela napas panjang melihat tingkah istrinya itu.<span;>"Jangan ngambek seperti anak kecil, Fara. Kamu terlalu cengeng. Aku tidak suka jika harus membujukmu."<span;>"Aku tidak minta mas bujuk!" sahut Fara segera.<span;>"Kalau begitu berhentilah merajuk seperti itu. Kamu membuatku pusing!"<span;>Fara pun kembali menghentakkan kakinya. Rasa jengkelnya pada Ivan seperti memuncak. Tapi tak ada yang bisa dia lakukan untuk meluapkan kekesalannya pada suaminya itu. Fara hanya bisa menangis dan menghentakkan kakinya seperti itu sebagai tanda jika dia merasa marah.<span;>"Hei, Fara," panggil Ivan setelah beberapa saat kemudian.<span;>Fara diam. Ivan pun menarik selimut yang menutupi wajah Fara perlahan. Kemudian ditatapnya wajah Fara yang basah dengan air mata.<span;>"Berhentilah menangis dan layani aku," pinta Ivan membuat Fara terkejut.<span;>"Huh?" Fara balas menatap Ivan dengan wajah bingung. Dia memintaku untuk melayaninya setelah dia membuatku merasa jengkel seperti ini? Apakah dia tidak tahu jika aku sedang merasa kesal padanya?<span;>"Kenapa bengong begitu? Apa kamu tidak mau melayani suamimu?"<span;>"Apa harus sekarang? Aku sedang kesal sama Mas Ivan!" sahut Fara cemberut.<span;>Seolah tak peduli pada amarah Fara, Ivan segera mendekap istrinya itu dan mendaratkan kecupan penuh gairah di wajah Fara yang masih bersimbah air mata.<span;>"Aku tidak peduli kamu sedang kesal atau sedang sayang padaku. Aku hanya ingin kamu melayaniku dengan baik," kata Ivan dengan napas yang menggebu.<span;>"Apa harus sekarang?" tanya Fara lagi.<span;>"Ya, Fara. Kamu harus tahu jika setiap pagi aku selalu bergairah. Kamu istriku, kan? Kamu yang harus melayani aku. Apa harus aku memintanya pada perempuan lain?"<span;>Fara pun membelalakkan matanya menatap Ivan. Apa dia sengaja membuatku marah?<span;>"Apa Mas Ivan ingin meminta pada perempuan lain?" tanya Fara sambil menekan emosinya.<span;>"Apa kamu mengizinkan?"<span;>Mendengar kata-kata Ivan yang menjengkelkan itu, Fara pun kembali menghentakkan kakinya dengan marah.<span;>"Makanya jangan suka bertanya yang macam-macam. Kamu kesal sendiri kan jadinya?"<span;>Fara terus cemberut. Tapi Ivan tak peduli. Dibukanya selimut yang menutupi tubuh polos Fara. Lalu mulai dicumbunya tiap senti tubuh istrinya itu dengan penuh gairah. Setelah melakukan malam pertama semalam, mereka memang sama tidur dalam keadaan yang polos. Ivan merasa senang karena tak harus bersusah payah meminta Fara untuk membuka gaun tidurnya seperti semalam. Istrinya yang masih malu-malu itu membuat Ivan merasa tak sabar.<span;>Seperti semalam, Fara kembali merasakan sakit ketika Ivan menghujam dan menghentak dengan keras. Seperti semalam pula, Ivan seperti tak peduli pada rintih kesakitan Fara. Dia terus asyik dengan gairahnya. Terus bersemangat meraih puncak kenikmatannya.<span;>Dia satu-satunya laki-laki yang menyentuhku. Tapi dia tak memberikan aku kenikmatan yang kudambakan selama ini, keluh hati Fara sedih.<span;>"Jangan khawatir, Fara. Lama-lama kamu pun akan bisa menikmatinya," kata Ivan ketika dilihatnya Fara meringis menahan sakit.<span;>Lain kali maukah kamu melakukannya dengan lembut? Fara bertanya dalam hati. Sementara itu Ivan terus asyik menuju puncaknya. Dan dia mengerang panjang ketika berhasil meraihnya.<span;>Fara pun kembali menelan rasa kecewanya. Ternyata Ivan memang tak bisa melakukannya dengan lembut. Luapan gairahnya seperti tak bisa terbendung. Dan Fara tak bisa mengikuti permainannya itu. Karena Fara menginginkan sentuhan yang lembut. Yang membakar gairahnya secara perlahan hingga dia bisa menikmatinya.<span;>Yang kubayangkan selama ini begitu indah. Tapi dua kali dia melakukan itu, dua kali pula aku merasa terkoyak....<span;>Ivan menatap Fara yang baru saja keluar dari kamar mandi. Keningnya berkerut dan wajahnya cemberut hingga membuat Fara menjadi kikuk. Fara tak mengerti kenapa Ivan menatapnya seperti itu. Dia merasa sikap Ivan itu begitu aneh. Karena tanpa alasan yang jelas dia seolah menatap Fara dengan kesal. <span;>"Ada apa?" tanya Fara bingung. <span;>"Matamu bengkak." sahut Ivan cemberut. <span;>Huh? Fara pun cepat mengusap matanya. "Ini karena aku habis menangis." <span;>"Siapa yang menyuruhmu menangis?" tanya Ivan dengan nada marah. <span;>Huh? Fara melongo menatap suaminya yang masih terus menatapnya dengan wajah yang cemberut. <span;>"Aku sudah bilang jangan kelewat cengeng. Sekarang matamu bengkak begini bagaimana kamu bisa keluar dan bertemu orang-orang? Mereka pasti bertanya kenapa matamu sampai bengkak begitu? Terus aku harus jawab apa? Apa tidak mungkin jika nanti me
<span;>Seminggu sudah mereka tinggal di rumah orangtua Fara. Hari ini mereka berencana untuk pindah ke rumah orangtua Ivan dan menetap di sana seperti rencana mereka semula. Karena itulah sejak pagi Fara sibuk berkemas, memilih pakaian dan barang-barang lainnya yang akan dia bawa. <span;>Sebuah tas besar telah penuh oleh pakaiannya. Lalu satu tas lainnya akan dia isi dengan berbagai macam barang keperluannya. Fara berpikir sekiranya barang apa saja yang akan dibawanya. Fara pun mengedarkan pandangannya ke seluruh kamar. Dia melihat deretan buku bacaan koleksinya yang tersusun rapi di lemari kecil. Juga koleksi parfum dan sepatunya. Hm, Fara bingung karena seakan tak rela berpisah dengan semua barang koleksinya itu. Tapi tadi Ivan telah berpesan dengan tegas supaya Fara tidak membawa banyak barang yang akan memenuhi kamarnya nanti. Padahal rasanya Fara ingin membawa semuanya. Terutama koleksi buku- bukunya yang selama ini selalu setia menemaninya disaat sepi.
<span;>Mereka tiba di rumah orangtua Ivan ketika langit hampir gelap. Memang hanya butuh waktu satu jam perjalanan saja untuk bisa sampai ke sana. Tapi itu pun kalau tak terjebak dalam kemacetan lalu lintas yang parah. Karena sore itu arus kendaraan tidak terlalu padat, maka mereka pun bisa sampai sebelum malam. Sedikit lebih cepat dari yang Ivan perkirakan. <span;>Ketika mereka sampai, rupanya kedua orangtua Ivan sudah menunggu kedatangan mereka. Pak Arifin dan Bu Elsa langsung menyambut mereka dengan hangat. Sepertinya mereka memang sangat senang karena anak dan menantu mereka mau tinggal bersama dengan mereka di sana. <span;>"Hanya ini barang yang kamu bawa, Fara?" tanya Bu Elsa ketika dilihatnya tas yang dibawa Fara. <span;>"Iya, ma. Kata Mas Ivan tidak usah membawa banyak-banyak," sahut Fara. <span;>"Ah, Ivan tidak mengerti kalau perempuan itu pasti memiliki banyak barang," kata Bu Elsa sambil melirik
<span;>Kita kembali ke malam hari di saat Ivan baru saja keluar dari rumahnya. <span;>Laki-laki tampan itu bergegas mengendarai mobilnya memecah kepadatan lalu lintas malam itu demi untuk menemui seseorang yang sangat dirindukannya. Mereka memang telah merencanakan pertemuan ini. Dan Ivan berharap masih ada setitik harapan baginya untuk bisa meraih kembali cintanya. Lantas bagaimana dengan Fara? Ivan berpikir tak apa jika dia bisa merahasiakannya dari istrinya itu. Jika dia tak tahu, berarti dia tak kan terluka, kan? Ivan merasa mampu untuk memenuhi kebutuhan dua istri. Jadi dia bisa tetap menjalani rumah tangganya bersama Fara sesuai dengan keinginan orangtuanya tanpa harus kehilangan cintanya. <span;>Adelia, adalah perempuan cantik yang telah dipacarinya selama lima tahun ini. Mereka bertemu di acara ulang tahun seorang teman. Dan dari pertemuan itulah tumbuh benih-benih cinta yang semakin hari semakin bermekaran. <span;>
<span;>Ivan duduk bersama tiga orang teman dekatnya. Hentakkan musik mengalahkan suara mereka yang sedang asyik bercanda dan berbincang tentang masalah perempuan. Tapi Ivan tak banyak bicara. Dia hanya menimpali sesekali saja obrolan teman-temannya itu. Pikirannya sebagian masih terpusat pada Adelia. Belum bisa mengalihkan pikirannya dari gadis terkasih itu meski dia terus mencoba. Jika candaan temannya terdengar lucu, Ivan pun ikut tertawa lepas. Tapi setelah itu pikirannya kembali bercabang. Mengarah sebagian pada Adelia yang kini pergi menghilang. <span;>"Kamu lagi ada masalah, ya?" tanya Dito pada Ivan. <span;>"Kok, tahu?" sahut Ivan pendek. <span;>"Kelihatan dari wajahmu yang murung itu. Lagi pula, kalau ada pengantin baru yang lebih memilih nongkrong di sini dari pada menikmati waktu berdua dengan istrinya, bisa dipastikan dia sedang ada masalah," kata Dito menebak. <span;>Ivan pun mengangguk membena
<span;>Fara terjaga dari tidurnya karena dirasakannya ada seseorang yang naik ke tempat tidur. Dengan cepat dia menoleh. Didapatinya Ivan yang sedang berbaring hendak tidur. Suaminya itu pun tampak acuh, seperti tak peduli pada Fara yang terkejut. <span;>"Mas Ivan?!" Fara pun cepat melihat pada jam mungil yang ada di atas nakas. Pukul setengah lima pagi. "Mas Ivan baru pulang?" <span;>"Bangunkan aku jam enam," pinta Ivan tanpa menjawab pertanyaan Fara barusan. <span;>"Kenapa Mas Ivan baru pulang?" Fara melanjutkan pertanyaannya. <span;>"Bertanyanya nanti saja, Fara. Sekarang aku ngantuk, ingin tidur," sahut Ivan sambil terus terpejam. <span;>"Aku tunggu Mas Ivan semalaman. Janjinya mau pulang sebelum tengah malam. Tapi ternyata malah pulang pagi. Keterlaluan!" kata Fara kesal. <span;>Ivan pun membuka matanya dan menoleh pada Fara. Ekspresi wajahnya datar seolah dia tak m
<span;>Fara duduk termenung sendirian di kamar. Ini baru lewat jam makan siang. Belum satu harian dia menjalani waktunya di rumah mertuanya ini. Tapi rasa jenuh sudah mengurungnya sejak tadi. Fara tak tahu harus melakukan apa. Bu Elsa, ibu mertuanya sudah keluar rumah sejak tadi. Ada arisan katanya. Sedangkan Fiona, adik Ivan, sampai hari ini masih berada di luar kota untuk urusan pekerjaan. Fara pun kesepian. Kalau saja sebelum pernikahan Ivan tidak memintanya berhenti bekerja, tentulah saat ini Fara tak kan mengalami kejenuhan seperti ini. Tapi Ivan bilang, dia ingin punya istri perempuan yang diam di rumah, bukan wanita karier yang sibuk bekerja. Karena itulah kedua orangtua Fara langsung meminta Fara berhenti bekerja agar bisa menjadi ibu rumah tangga seperti yang Ivan inginkan. Fara pun menurut. Toh, menjadi ibu rumah tangga juga satu hal yang menyenangkan. Mengurus suami dan anak-anak adalah kebahagiaan yang tak ternilai bagi seorang perempuan. Tapi sekarang, kenyataanny
<span;>Malam itu Fara mendapat telepon dari seorang teman. <span;>"Pesta ulang tahun?" tanya Fara ceria. <span;>"Nggak, kok. Cuma sekadar kumpul teman-teman lama saja. Temu kangen sekalian makan-makan di rumahku. Kamu mau datang kan, Far?" tanya temannya di seberang sana. <span;>"Aku pasti mau, dong. Nanti aku datang bersama Riska dan Lusy, ya!" janji Fara. <span;>"Oke, kalau begitu aku tunggu, ya!" sahut temannya senang. <span;>Setelah itu pembicaraan pun selesai. Fara yang saat itu sedang duduk di atas tempat tidur menghadap ke jendela kamarnya, tak tahu jika Ivan sudah masuk dan berdiri di pintu kamar mendengarkan obrolannya barusan. Dan ketika Fara menoleh, dia pun terpekik kaget. <span;>"Mas Ivan?!" serunya terkejut. <span;>"Kenapa terkejut seperti itu?" tanya Ivan dengan ekspresi wajah yang dingin seperti biasanya. <span;>"Mas Iv
"Sungguhkah kamu dan Mas Ivan telah bersatu lagi, Fara?" tanya Gilang dengan raut wajah kecewa yang tidak bisa dia sembunyikan. "Ya, aku dan Mas Ivan telah bersatu lagi. Lusy telah mengakui kebohongannya. Dan itu berarti tidak ada lagi yang menghalangi kami untuk kembali bersatu," jawab Fara jujur. "Maafkan aku," sambungnya. "Kamu tidak bersalah. Mungkin itulah jalan terbaik yang telah tuhan gariskan untuk kalian berdua," sahut Gilang tulus. "Kamu tidak marah?" tanya Fara. "Marah? Kenapa aku harus marah?" sahut Gilang lembut. "Karena aku telah mengecewakan dan membuatmu terluka." "Tidak, bukan kamu yang membuatku terluka. Tapi cintakulah yang telah membuatku terluka. Aku tidak ingin menyalahkanmu, Fara. Dan aku tidak akan pernah menyalahkanmu." "Jadi sekarang kamu telah bisa mengerti?" Gilang mengangguk. "Aku harus bisa mengerti. Aku tidak ingin rasa kecewaku membuatku terluka semakin dalam. Selama ini aku telah menunggumu dengan sabar. Tapi ternyata keputusan terakhirmu tetap
Lusy berdiri kaku di hadapan semua orang. Wajahnya tampak pucat. Betapa terkejutnya dia ketika melihat Rudy ada di sana. Dia langsung bisa menerka apa yang telah terjadi. Rudy pasti telah membongkar kebohongannya. Sebab tidak mungkin Rudy ada di sana dengan alasan berkunjung. Rudy bukan teman Ivan. Bukan pula orang yang kenal dengan keluarganya. Jadi kunjungan Rudy ke rumah ini pasti ada maksud tertentu yang ingin dia sampaikan. Dan tentu saja itu masalah tentang bayinya. Rudy pasti telah menceritakan cerita yang sebenarnya. Dan sekarang tentulah mereka semua ingin agar dia mengakui semuanya. "Duduk!" perintah Bu Elsa dingin. Tak ada setitik pun raut yang ramah terpancar di wajahnya. Perempuan paruh baya itu sepertinya enggan untuk berbasa-basi dengan Lusy. Dia bicara dengan nada yang tegas dan ekspresi wajah yang kaku. Tanpa bisa menolak, Lusy pun segera duduk. Tak ada yang bicara untuk beberapa saat. Suasana terasa hening tak mengenakkan. Tapi Lusy masih bisa berusaha untuk bersik
"Ku dengar Lusy akan segera menikah dengan Ivan," kata Rudy pada Riska yang duduk di hadapannya. Siang itu Rudy memang sengaja meminta Riska untuk menemuinya di sebuah cafe. Rudy ingin menceritakan tentang rahasia yang sebenarnya pada Riska. Sebab Rudy tak tahan terus didera oleh perasaan bersalah karena telah membiarkan Lusy melakukan rencana busuknya. Karena itulah akhirnya Rudy memutuskan untuk bercerita pada Riska dan meminta pendapat Riska mengenai rencana Lusy itu. Riska yang mendengar kata-kata Rudy itu pun mengangguk dengan ekspresi wajah yang sedih. "Ya. Kasihan Fara. Di saat dia dan Mas Ivan ingin memperbaiki kembali rumah tangga mereka, Lusy kembali datang dan mengacaukan semuanya." Rudy menghela napas panjang seolah hatinya gundah mendengar kata-kata Riska itu. Kemudian dia pun menatap Riska dengan wajah yang serius. "Jadi kamu juga percaya kalau bayi yang dikandung Lusy itu anak Ivan, suami Fara?" tanyanya. "Maksudmu?" Riska mengerutkan keningnya karena merasa bingung
Ivan kembali ke rumah orangtuanya. Pupus sudah harapan untuk memperbaiki rumah tangganya bersama Fara. Kini Fara tak mungkin lagi mau menerima dia sebagai teman hidupnya. Kehamilan Lusy benar-benar mengacaukan semua yang telah Ivan perjuangkan untuk kembali pada Fara. Tak ada yang bisa Ivan lakukan kini. Mau tidak mau dia harus rela berpisah dengan Fara dan menikahi Lusy. Ketika keluarganya mengetahui tentang kehamilan Lusy, mereka pun sangat terkejut. Bahkan Bu Elsa seperti tidak bisa menerimanya. Dia tidak rela jika putranya menikahi Lusy dan membawa perempuan itu masuk ke dalam keluarga mereka. "Ini semua salahmu, Ivan!" seru Bu Elsa marah. "Mama dan papa sudah memilihkan seorang perempuan yang baik dan pantas untuk menjadi istrimu! Tapi malah kamu sia-siakan dia dan kamu jatuh cinta pada perempuan brengsek itu! Sekarang kita terpaksa harus menerima dia menjadi anggota keluarga kita! Oh, mama tidak rela, Van! Sungguh mama tidak rela!" "Saya pun menyesal, ma," ucap Ivan lirih. "
Lusy duduk diam di atas tempat tidurnya dengan wajah yang cemberut. Pikirannya sedang kacau saat ini. Dia merasa kesal dengan keadaan dirinya. Dan kekesalannya itu sejak tadi dia tumpahkan pada Rudy yang duduk tak jauh darinya. "Mestinya ini tidak perlu terjadi padaku! Sekarang aku tidak tahu lagi apa yang harus aku lakukan!" geramnya kesal. Rudy pun menoleh padanya. "Yang harus kamu lakukan adalah menerima kehamilanmu ini lalu kita menikah! Sudah berulangkali aku katakan padamu kalau aku akan bertanggungjawab pada kehamilanmu ini, Lusy! Sebab bayi yang kamu kandung itu adalah anakku! Darah dagingku! Dan aku tidak seburuk yang kamu kira! Aku tidak akan menelantarkan darah dagingku sendiri! Aku pasti bertanggungjawab!" "Kamu? Bertanggungjawab? Hah!" dengus Lusy diiringi dengan tertawa mengejek. "Apa yang bisa aku harapkan dari laki-laki sepertimu, Rudy? Kamu laki-laki bebas yang tidak mungkin bisa terikat pada pernikahan! Jadi jangan bujuk aku lagi untuk menikah denganmu! Karena aku
Fara jatuh sakit. Beban persoalan yang membelitnya saat ini membuatnya terkapar tak berdaya di atas tempat tidur. Badannya demam dan kepalanya sakit bukan kepalang. Obat pereda sakit kepala yang diminumnya seakan tak meredakan sakitnya sama sekali. Demamnya tetap tinggi dan kepalanya tetap berdenyut seakan hampir meledak. Sebetulnya kedua orangtuanya sudah berulangkali mengajaknya untuk pergi berobat. Tapi Fara tidak mau. Sebab dia merasa dokter manapun tidak akan ada yang bisa mengobati sakitnya ini. Sakit yang disebabkan oleh masalah yang tengah dihadapinya ini tak kan sembuh dengan obat manapun. Cara satu-satunya untuk sembuh adalah dengan menenangkan hati dan pikirannya. Biarkan semua mengalir seperti yang seharusnya. Dan jika ada yang terluka, mungkin itu bukanlah kesalahannya. Sebab dia tak kan mungkin bisa membahagiakan keduanya. Tak kan mungkin memilih dua cinta yang ada di hadapannya. Hanya satu. Dan harus melepas yang satu meski sakit rasanya. Fara pun terus berusaha untuk
"Pulanglah, mas," pinta Fara dengan suara yang bernada lembut. Entah mengapa sesungguhnya hatinya tak tega untuk mengusir Ivan dengan tegas. Meski Ivan telah menyakiti hatinya, tapi Fara tak mampu untuk bersikap kasar pada suaminya itu. Ada luka yang dalam terpancar lewat tatapan Ivan yang dapat Fara lihat dengan jelas tiapkali mereka beradu pandang. Luka? Sungguhkah dia terluka dengan perpisahan ini? Ah, hati Fara bertanya ragu. "Pulanglah." Fara mengulangi kata-katanya karena Ivan tak juga beranjak dari tempatnya berdiri. Ivan menggeleng. "Tidak sebelum aku mendengar jawaban 'ya' darimu." Fara menghela napas panjang. Dia bingung tak tahu lagi harus berkata apa pada suaminya itu. Mestinya Ivan bisa mengerti kalau Fara bersungguh-sungguh menginginkan perceraian mereka. Bukankah tiapkali dia datang Fara selalu menolaknya? Tapi kenapa suaminya itu malah semakin gencar berusaha membujuknya untuk mau kembali? Bahkan suaminya itu seperti mengenyampingkan harga dirinya yang dulu selalu d
Seperti biasa sepulang dari bekerja Ivan melajukan mobilnya menuju ke rumah Fara. Tapi kali ini dia menghentikan mobilnya di pinggir jalan yang agak jauh dari rumah istrinya itu. Sebab dia melihat ada motor Gilang terparkir di sana. Dengan perasaan cemburu Ivan memperhatikan tanpa kedip. Tapi pemuda yang menjadi saingannya itu tak terlihat sama sekali. Tembok pagar rumah Fara menghalangi pandangan Ivan untuk memantau apa yang sedang dilakukan oleh pemuda itu di sana. Pikiran Ivan pun melayang membentuk gambar-gambar yang membuat rasa cemburunya semakin menggelora. Pasti pemuda ingusan itu sedang duduk bersama Fara, pikir Ivan kesal. Pasti dia sedang melancarkan rayuan gombalnya pada Fara! Oh, apakah Fara bahagia mendengar rayuannya? Apakah dia tersipu malu? Brengsek betul aku tidak dapat melihat mereka dari sini! Tapi aku yakin! Aku yakin kalau pemuda itu sedang merayu istriku! Berani betul dia merayu Fara! Fara masih istriku! Aku dan dia belum resmi bercerai! Kurangajar! Betul-betul
Lusy berjalan terhuyung memasuki rumahnya lalu terjatuh di atas sofa. Saat itu pukul dua malam. Seorang teman mengantarkannya pulang karena Lusy telah terlalu mabuk untuk dibiarkan pulang sendirian. Temannya itu bernama Rudy. Seorang laki-laki gagah berkulit coklat yang cukup menawan. Lusy mengenalnya sudah cukup lama. Mereka bertemu di sebuah acara pesta ulang tahun seorang teman. Kebetulan saat itu Lusy datang bersama dengan Fara dan Riska. Dan Riska yang ternyata telah mengenal Rudy pun memperkenalkannya pada Lusy dan Fara. Sejak saat itu pertemanan antara Lusy dan Rudy pun terjalin. Mereka jadi semakin akrab karena ternyata mereka sama-sama suka nongkrong di club malam untuk menghabiskan waktu yang kosong. Mereka sama-sama orang yang menyukai kebebasan. Tidak suka peraturan dan tidak suka terikat. Karena itulah Rudy merasa kaget ketika dalam mabuknya tadi Lusy meracau tentang keinginannya untuk menikah. Tapi sayangnya pernikahannya itu gagal karena sang calon suami kembali pada i