Share

Bab 6

Author: Naya
last update Huling Na-update: 2024-10-29 19:42:56

<span;>Mereka tiba di rumah orangtua Ivan ketika langit hampir gelap. Memang hanya butuh waktu satu jam perjalanan saja untuk bisa sampai ke sana. Tapi itu pun kalau tak terjebak dalam kemacetan lalu lintas yang parah. Karena sore itu arus kendaraan tidak terlalu padat, maka mereka pun bisa sampai sebelum malam. Sedikit lebih cepat dari yang Ivan perkirakan.

<span;>Ketika mereka sampai, rupanya kedua orangtua Ivan sudah menunggu kedatangan mereka. Pak Arifin dan Bu Elsa langsung menyambut mereka dengan hangat. Sepertinya mereka memang sangat senang karena anak dan menantu mereka mau tinggal bersama dengan mereka di sana.

<span;>"Hanya ini barang yang kamu bawa, Fara?" tanya Bu Elsa ketika dilihatnya tas yang dibawa Fara.

<span;>"Iya, ma. Kata Mas Ivan tidak usah membawa banyak-banyak," sahut Fara.

<span;>"Ah, Ivan tidak mengerti kalau perempuan itu pasti memiliki banyak barang," kata Bu Elsa sambil melirik pada putranya itu.

<span;>"Kalau tidak saya larang, Fara pasti akan membawa semua barangnya, ma," kata Ivan menyahuti.

<span;>Bu Elsa pun tersenyum. "Ya sudah, nanti kalau Fara butuh sesuatu, minta dibelikan saja sama Ivan. Bukankah kewajiban dia untuk memenuhi semua kebutuhanmu?" ucapnya pada Fara.

<span;>Fara pun tersenyum dan mengangguk. "Ya, ma."

<span;>Setelah itu Ivan membawa Fara ke kamarnya. Kamar yang luas dengan tempat tidur yang cukup besar. Fara pun mengedarkan pandangannya dan hatinya jadi merasa sedikit jengkel.

<span;>"Kamar Mas Ivan seluas ini, bagaimana mungkin Mas Ivan bisa merasa takut jika barang-barangku membuat kamar mas ini menjadi sempit?" tanya Fara pada Ivan.

<span;>"Kenapa masalah itu juga yang kamu ributkan? Jangan suka memperpanjang masalah yang tidak penting seperti itu, Fara," sahut Ivan cemberut.

<span;>Fara diam. Tak dilanjutkannya protesnya itu walaupun sesungguhnya dia masih ingin mengatakan kekesalannya. Dia pun duduk di tepi tempat tidur. Sementara Ivan tampak bersiap hendak mandi. Laki-laki gagah itu membuka pakaiannya dan mengambil sebuah handuk dari dalam lemari.

<span;>Fara memperhatikan. Jika saja kenyataannya berbeda, tidak seperti sekarang ini, pasti Fara akan menghampiri dan memeluk tubuh indah Ivan, suaminya. Ah, aku ingin bisa bermanja di dada bidangnya. Merasakan hangat pelukkannya dengan penuh kasih sayang. Tapi sejauh ini sikapnya begitu dingin....

<span;>Tak lama Ivan keluar dari kamar mandi. Dia pun segera menuju ke lemari pakaiannya dan tampak sibuk memilih pakaian. Sebuah kemeja dan celana jeans panjang? Fara memperhatikan dengan perasaan bingung. Ivan berdandan rapi seperti orang yang hendak keluar rumah. Dia pun memakai parfumnya banyak-banyak hingga wanginya memenuhi seluruh ruangan kamar.

<span;>"Kenapa rapi sekali? Apa mas akan pergi?" tanya Fara pada Ivan yang sedang asyik bercermin.

<span;>"Ya, cuma keluar sebentar," sahut Ivan tanpa menoleh.

<span;>"Kemana?"

<span;>"Ke tempat teman."

<span;>"Tapi kita baru saja sampai. Kenapa tidak di rumah saja dulu? Apa urusan dengan teman Mas Ivan itu begitu penting?"

<span;>"Aku pergi tidak lama, Fara. Apa kamu pikir kita harus bersama-sama terus sepanjang waktu?"

<span;>"Tidak seperti itu. Tapi...."

<span;>"Jangan bawel. Sebelum tengah malam aku pulang. Kalau kamu ngantuk, tidur saja duluan. Tidak usah menungguku."

<span;>Fara mendesah pelan. Ini baru awal, keluh hatinya sedih. Mungkin hari-hari berikutnya dia akan asyik dengan dunianya dan melupakan aku sebagai istrinya.

<span;>Setelah beberapa saat asyik memandangi dirinya yang tampak sempurna di cermin, Ivan pun melangkah keluar dari kamar. Tak ada lagi basa-basi untuk Fara. Dia cuma melenggang santai keluar pintu dan menutup kembali pintu itu rapat-rapat seakan-akan Fara tak ada di sana.

<span;>Fara menatap kepergian Ivan dengan mata berkaca-kaca. Hatinya kembali perih, entah untuk yang kesekian kali. Menjadi istri yang tak dianggap memang menyakitkan. Tapi harus bisa dia terima jika memang itu jalan hidup yang telah digariskan. Mungkin ini tak selamanya. Mungkin esok akan ada cerita indah. Ah benarkah?

<span;>Ketika makan malam kedua mertuanya bertanya kemanakah suaminya. Fara pun menjawab sesuai seperti yang Ivan katakan tadi padanya. Ada perlu dengan teman.

<span;>"Memangnya ada urusan apa? Apakah penting sekali? Kenapa dia langsung pergi begitu saja meninggalkan kamu di sini sedangkan kalian baru saja sampai?"

<span;>Fara cuma bisa menggeleng. Sebab dia tak tahu harus menjawab apa. Sesungguhnya dia pun memiliki pertanyaan yang sama dengan mertuanya itu. Pertanyaan yang terpaksa dia simpan karena Ivan tak mau menjawabnya. 

<span;>Selesai makan malam, Fara duduk mengobrol dengan kedua mertuanya di ruang tv. Mereka membicarakan berbagai macam hal. Dari mulai obrolan serius, sampai ke obrolan ringan yang tidak penting. Tapi Fara menikmatinya. Setidaknya dia tidak harus melamun sendirian menunggu Ivan pulang.

<span;>Ketika jarum jam menunjukkan pukul sepuluh, ternyata Ivan belum juga pulang. Fara telah mengantuk. Akhirnya dia pun pamit untuk ke kamar dan menunggu Ivan di sana.

<span;>Fara menguap. Dia memang tak terbiasa untuk terjaga sampai malam. Biasanya pukul sepuluh malam Fara sudah bersiap tidur. Fara pun berbaring. Tapi dia mencoba untuk tidak terlelap. Dipusatkannya matanya pada televisi yang menyala. Namun kelopak matanya terasa berat. Beberapakali dia hampir lelap, terbang ke alam mimpi. Tapi segera Fara kembali tersadar dan berusaha untuk tetap terjaga.

<span;>Tak sampai setengah jam Fara pun harus menyerah kalah pada rasa kantuknya. Dia terlelap, tanpa mimpi yang menemani. Sementara jarum jam terus bergerak pelan, merambat melewati angka tertinggi. Tengah malam telah lewat.

<span;>Fara terus terlelap. Napasnya terdengar teratur dan lembut. Suara televisi yang masih menyala tak mengganggu tidurnya sama sekali. Dia terlelap seperti bayi. Namun tiba-tiba saja dia terjaga. Fara tersentak dan segera menoleh pada jam mungil yang ada di atas nakas. Oh, Fara mendesah pelan. Sudah lewat tengah malam? Fara pun cepat mengedarkan pandangannya ke seluruh kamar. Sepi. Tak ada Ivan di sana. Apakah suaminya itu belum pulang?

<span;>Pukul satu, Fara mendesah dalam hati. Kemana dia? Tadi dia berjanji akan pulang sebelum tengah malam. Tapi sekarang sudah pukul satu. Seharusnya dia sudah ada di sini.

<span;>Bagaimana cara mencarinya? Aku tak menyimpan nomor ponselnya. Aku tak pernah meminta nomornya dan dia pun tak pernah memberikannya. Bodoh. Mana ada istri yang tak tahu nomor ponsel suaminya? Sekarang aku tak bisa menghubunginya. Aku tak tahu dia dimana dan bersama siapa dia di sana.

<span;>Bersama siapa...? Oh! Mungkinkah Mas Ivan sedang bersama perempuan itu? Perempuan pilihan hatinya yang sangat dia cintai. Mungkinkah mereka sedang melepas rindu karena seminggu kemarin tidak bisa bertemu?

<span;>Rasa cemburu dan sakit hati pun memenuhi rongga dada Fara hingga dia merasa sesak. Bayang-bayang kemesraan Ivan bersama dengan kekasih hatinya begitu menyiksa. 

<span;>Benarkah kamu sedang bersamanya, mas? Sungguhkah kamu khianati aku? Aku tahu, kamu memang tak mencintai aku. Bahkan kamu membenci pernikahan kita. Tapi bagaimana pun aku adalah perempuan yang punya perasaan. Hatiku sakit membayangkanmu bersama dengan orang lain.

<span;>Fara cepat mencoba menghapus bayang-bayang itu. Dia memaksa otaknya untuk berpikir positif. Mungkin Ivan tak sedang bersama perempuan itu. Mungkin Ivan sedang bersama dengan teman-temannya. Mereka pasti asyik berbincang hingga lupa waktu. Tapi..., ah, hatinya tak bisa diajak kompromi. Meski kepalanya mencoba berpikir positif, tapi hatinya tetap saja merasa cemburu. Hati memang tak bisa dibohongi dan ditipu. Hati akan tetap jujur, merasa apa yang memang dia rasa.

<span;>Fara terus menunggu dengan gelisah. Namun hingga satu jam berlalu, suaminya itu belum juga pulang. Sampai akhirnya Fara pun kembali terlelap, dibuai oleh mimpi yang teramat sepi. Dimana dia hanya sendirian, tanpa cinta, tanpa hangat dekapan kasih sayang dari suaminya. Sepi, sungguh teramat sepi.

Mga Comments (1)
goodnovel comment avatar
Ria Fella
tidur di teras kali si Ivan itu, dikunci pintu sama ibunya. biarin! ahahahahaaa
Tignan lahat ng Komento

Kaugnay na kabanata

  • Bukan Pernikahan Impian    Bab 7

    <span;>Kita kembali ke malam hari di saat Ivan baru saja keluar dari rumahnya. <span;>Laki-laki tampan itu bergegas mengendarai mobilnya memecah kepadatan lalu lintas malam itu demi untuk menemui seseorang yang sangat dirindukannya. Mereka memang telah merencanakan pertemuan ini. Dan Ivan berharap masih ada setitik harapan baginya untuk bisa meraih kembali cintanya. Lantas bagaimana dengan Fara? Ivan berpikir tak apa jika dia bisa merahasiakannya dari istrinya itu. Jika dia tak tahu, berarti dia tak kan terluka, kan? Ivan merasa mampu untuk memenuhi kebutuhan dua istri. Jadi dia bisa tetap menjalani rumah tangganya bersama Fara sesuai dengan keinginan orangtuanya tanpa harus kehilangan cintanya. <span;>Adelia, adalah perempuan cantik yang telah dipacarinya selama lima tahun ini. Mereka bertemu di acara ulang tahun seorang teman. Dan dari pertemuan itulah tumbuh benih-benih cinta yang semakin hari semakin bermekaran. <span;>

  • Bukan Pernikahan Impian    Bab 8

    <span;>Ivan duduk bersama tiga orang teman dekatnya. Hentakkan musik mengalahkan suara mereka yang sedang asyik bercanda dan berbincang tentang masalah perempuan. Tapi Ivan tak banyak bicara. Dia hanya menimpali sesekali saja obrolan teman-temannya itu. Pikirannya sebagian masih terpusat pada Adelia. Belum bisa mengalihkan pikirannya dari gadis terkasih itu meski dia terus mencoba. Jika candaan temannya terdengar lucu, Ivan pun ikut tertawa lepas. Tapi setelah itu pikirannya kembali bercabang. Mengarah sebagian pada Adelia yang kini pergi menghilang. <span;>"Kamu lagi ada masalah, ya?" tanya Dito pada Ivan. <span;>"Kok, tahu?" sahut Ivan pendek. <span;>"Kelihatan dari wajahmu yang murung itu. Lagi pula, kalau ada pengantin baru yang lebih memilih nongkrong di sini dari pada menikmati waktu berdua dengan istrinya, bisa dipastikan dia sedang ada masalah," kata Dito menebak. <span;>Ivan pun mengangguk membena

  • Bukan Pernikahan Impian    Bab 9

    <span;>Fara terjaga dari tidurnya karena dirasakannya ada seseorang yang naik ke tempat tidur. Dengan cepat dia menoleh. Didapatinya Ivan yang sedang berbaring hendak tidur. Suaminya itu pun tampak acuh, seperti tak peduli pada Fara yang terkejut. <span;>"Mas Ivan?!" Fara pun cepat melihat pada jam mungil yang ada di atas nakas. Pukul setengah lima pagi. "Mas Ivan baru pulang?" <span;>"Bangunkan aku jam enam," pinta Ivan tanpa menjawab pertanyaan Fara barusan. <span;>"Kenapa Mas Ivan baru pulang?" Fara melanjutkan pertanyaannya. <span;>"Bertanyanya nanti saja, Fara. Sekarang aku ngantuk, ingin tidur," sahut Ivan sambil terus terpejam. <span;>"Aku tunggu Mas Ivan semalaman. Janjinya mau pulang sebelum tengah malam. Tapi ternyata malah pulang pagi. Keterlaluan!" kata Fara kesal. <span;>Ivan pun membuka matanya dan menoleh pada Fara. Ekspresi wajahnya datar seolah dia tak m

  • Bukan Pernikahan Impian    Bab 10

    <span;>Fara duduk termenung sendirian di kamar. Ini baru lewat jam makan siang. Belum satu harian dia menjalani waktunya di rumah mertuanya ini. Tapi rasa jenuh sudah mengurungnya sejak tadi. Fara tak tahu harus melakukan apa. Bu Elsa, ibu mertuanya sudah keluar rumah sejak tadi. Ada arisan katanya. Sedangkan Fiona, adik Ivan, sampai hari ini masih berada di luar kota untuk urusan pekerjaan. Fara pun kesepian. Kalau saja sebelum pernikahan Ivan tidak memintanya berhenti bekerja, tentulah saat ini Fara tak kan mengalami kejenuhan seperti ini. Tapi Ivan bilang, dia ingin punya istri perempuan yang diam di rumah, bukan wanita karier yang sibuk bekerja. Karena itulah kedua orangtua Fara langsung meminta Fara berhenti bekerja agar bisa menjadi ibu rumah tangga seperti yang Ivan inginkan. Fara pun menurut. Toh, menjadi ibu rumah tangga juga satu hal yang menyenangkan. Mengurus suami dan anak-anak adalah kebahagiaan yang tak ternilai bagi seorang perempuan. Tapi sekarang, kenyataanny

  • Bukan Pernikahan Impian    Bab 11

    <span;>Malam itu Fara mendapat telepon dari seorang teman. <span;>"Pesta ulang tahun?" tanya Fara ceria. <span;>"Nggak, kok. Cuma sekadar kumpul teman-teman lama saja. Temu kangen sekalian makan-makan di rumahku. Kamu mau datang kan, Far?" tanya temannya di seberang sana. <span;>"Aku pasti mau, dong. Nanti aku datang bersama Riska dan Lusy, ya!" janji Fara. <span;>"Oke, kalau begitu aku tunggu, ya!" sahut temannya senang. <span;>Setelah itu pembicaraan pun selesai. Fara yang saat itu sedang duduk di atas tempat tidur menghadap ke jendela kamarnya, tak tahu jika Ivan sudah masuk dan berdiri di pintu kamar mendengarkan obrolannya barusan. Dan ketika Fara menoleh, dia pun terpekik kaget. <span;>"Mas Ivan?!" serunya terkejut. <span;>"Kenapa terkejut seperti itu?" tanya Ivan dengan ekspresi wajah yang dingin seperti biasanya. <span;>"Mas Iv

  • Bukan Pernikahan Impian    Bab 12

    <span;>“Sedang teleponan sama siapa?” Suara Ivan yang bertanya mengejutkan Fara. Ketika itu Ivan yang baru saja masuk ke kamarnya, mendapati Fara sedang duduk santai di atas tempat tidur sambil berbicara dengan seseorang di telepon. <span;>Fara pun menoleh cepat. “Kenapa Mas Ivan selalu membuatku terkejut?” <span;>“Terkejut? Apa sedang membicarakan tentang sesuatu yang rahasia?” Ivan bertanya sambil mengambil ponselnya yang ada di atas nakas. Kemudian dia duduk di sofa yang ada di depan jendela dan mulai asyik memainkan ponselnya di sana. <span;>“Rahasia? Rahasia apa? Aku cuma bicara dengan Riska,” kata Fara segera. <span;>“Riska sahabatmu itu?” tanya Ivan tanpa menoleh. <span;>“Ya. Jadi mas masih ingat pada sahabatku itu?” <span;>“Tentu saja ingat. Apa kamu pikir aku sudah pikun?” ketus

  • Bukan Pernikahan Impian    Bab 13

    <span;>Ivan tak ikut dalam obrolan ketiga perempuan itu. Dia hanya duduk diam di antara mereka sambil sesekali tersenyum sebagai tanda kalau dia ikut mendengarkan canda mereka. Ivan pun berusaha untuk tidak merasa jenuh. Dia memusatkan perhatiannya pada Lusy yang duduk di hadapannya. Lusy pun tersenyum. Dia tahu jika mata suami sahabatnya itu terpusat padanya. Lalu dengan bahasa tubuhnya dia segera berusaha menggoda Ivan yang memang sudah tertarik pada kemolekan tubuhnya. <span;>Ivan yang mengerti bahasa tubuh Lusy itu pun tersenyum penuh arti. Dia menikmati setiap gerakan yang Lusy buat lewat pandangan matanya. Namun begitu, Ivan tetap pandai menjaga sikap. Dia harus tetap terlihat sebagai seorang yang baik, terutama di depan Riska. Sebab dia harus selalu tampil sebagai laki-laki yang sempurna. Tak boleh ada seorang pun yang tahu keburukannya. Termasuk Riska, sahabat istrinya. <span;>"Wah, minumannya sudah habis. Biar aku buatkan lagi," kat

  • Bukan Pernikahan Impian    Bab 14

    <span;>"Kok, main hp terus? Sudah malam, Mas Ivan tidak tidur?" tanya Fara yang malam itu melihat Ivan asyik dengan ponselnya sambil duduk santai di dekat jendela kamar. <span;>"Aku bukan anak kecil yang diwajibkan tidur sore, kan?" Ivan balik bertanya tanpa menoleh. <span;>"Ini sudah jam sepuluh. Sudah malam, mas," kata Fara lagi sambil masuk ke dalam selimut hangatnya. <span;>"Jam sepuluh itu masih sore. Sudahlah jangan cerewet, Fara. Jangan bilang kalau kamu minta dikeloni. Seperti anak kecil saja," gerutu Ivan tanpa mengalihkan mata dari ponselnya. <span;>"Siapa yang minta dikeloni?" Fara menyahut cepat. <span;>"Malam ini aku sedang tidak ingin. Jadi sebaiknya kamu tidur saja," kata Ivan lagi hingga Fara pun menoleh cepat padanya. <span;>"Aku tidak minta itu, mas!" <span;>"Oh ya? Baguslah kalau begitu. Karena malam ini aku tidak bisa. Aku mau ketemu

Pinakabagong kabanata

  • Bukan Pernikahan Impian    Bab 69

    "Sungguhkah kamu dan Mas Ivan telah bersatu lagi, Fara?" tanya Gilang dengan raut wajah kecewa yang tidak bisa dia sembunyikan. "Ya, aku dan Mas Ivan telah bersatu lagi. Lusy telah mengakui kebohongannya. Dan itu berarti tidak ada lagi yang menghalangi kami untuk kembali bersatu," jawab Fara jujur. "Maafkan aku," sambungnya. "Kamu tidak bersalah. Mungkin itulah jalan terbaik yang telah tuhan gariskan untuk kalian berdua," sahut Gilang tulus. "Kamu tidak marah?" tanya Fara. "Marah? Kenapa aku harus marah?" sahut Gilang lembut. "Karena aku telah mengecewakan dan membuatmu terluka." "Tidak, bukan kamu yang membuatku terluka. Tapi cintakulah yang telah membuatku terluka. Aku tidak ingin menyalahkanmu, Fara. Dan aku tidak akan pernah menyalahkanmu." "Jadi sekarang kamu telah bisa mengerti?" Gilang mengangguk. "Aku harus bisa mengerti. Aku tidak ingin rasa kecewaku membuatku terluka semakin dalam. Selama ini aku telah menunggumu dengan sabar. Tapi ternyata keputusan terakhirmu tetap

  • Bukan Pernikahan Impian    Bab 68

    Lusy berdiri kaku di hadapan semua orang. Wajahnya tampak pucat. Betapa terkejutnya dia ketika melihat Rudy ada di sana. Dia langsung bisa menerka apa yang telah terjadi. Rudy pasti telah membongkar kebohongannya. Sebab tidak mungkin Rudy ada di sana dengan alasan berkunjung. Rudy bukan teman Ivan. Bukan pula orang yang kenal dengan keluarganya. Jadi kunjungan Rudy ke rumah ini pasti ada maksud tertentu yang ingin dia sampaikan. Dan tentu saja itu masalah tentang bayinya. Rudy pasti telah menceritakan cerita yang sebenarnya. Dan sekarang tentulah mereka semua ingin agar dia mengakui semuanya. "Duduk!" perintah Bu Elsa dingin. Tak ada setitik pun raut yang ramah terpancar di wajahnya. Perempuan paruh baya itu sepertinya enggan untuk berbasa-basi dengan Lusy. Dia bicara dengan nada yang tegas dan ekspresi wajah yang kaku. Tanpa bisa menolak, Lusy pun segera duduk. Tak ada yang bicara untuk beberapa saat. Suasana terasa hening tak mengenakkan. Tapi Lusy masih bisa berusaha untuk bersik

  • Bukan Pernikahan Impian    Bab 67

    "Ku dengar Lusy akan segera menikah dengan Ivan," kata Rudy pada Riska yang duduk di hadapannya. Siang itu Rudy memang sengaja meminta Riska untuk menemuinya di sebuah cafe. Rudy ingin menceritakan tentang rahasia yang sebenarnya pada Riska. Sebab Rudy tak tahan terus didera oleh perasaan bersalah karena telah membiarkan Lusy melakukan rencana busuknya. Karena itulah akhirnya Rudy memutuskan untuk bercerita pada Riska dan meminta pendapat Riska mengenai rencana Lusy itu. Riska yang mendengar kata-kata Rudy itu pun mengangguk dengan ekspresi wajah yang sedih. "Ya. Kasihan Fara. Di saat dia dan Mas Ivan ingin memperbaiki kembali rumah tangga mereka, Lusy kembali datang dan mengacaukan semuanya." Rudy menghela napas panjang seolah hatinya gundah mendengar kata-kata Riska itu. Kemudian dia pun menatap Riska dengan wajah yang serius. "Jadi kamu juga percaya kalau bayi yang dikandung Lusy itu anak Ivan, suami Fara?" tanyanya. "Maksudmu?" Riska mengerutkan keningnya karena merasa bingung

  • Bukan Pernikahan Impian    Bab 66

    Ivan kembali ke rumah orangtuanya. Pupus sudah harapan untuk memperbaiki rumah tangganya bersama Fara. Kini Fara tak mungkin lagi mau menerima dia sebagai teman hidupnya. Kehamilan Lusy benar-benar mengacaukan semua yang telah Ivan perjuangkan untuk kembali pada Fara. Tak ada yang bisa Ivan lakukan kini. Mau tidak mau dia harus rela berpisah dengan Fara dan menikahi Lusy. Ketika keluarganya mengetahui tentang kehamilan Lusy, mereka pun sangat terkejut. Bahkan Bu Elsa seperti tidak bisa menerimanya. Dia tidak rela jika putranya menikahi Lusy dan membawa perempuan itu masuk ke dalam keluarga mereka. "Ini semua salahmu, Ivan!" seru Bu Elsa marah. "Mama dan papa sudah memilihkan seorang perempuan yang baik dan pantas untuk menjadi istrimu! Tapi malah kamu sia-siakan dia dan kamu jatuh cinta pada perempuan brengsek itu! Sekarang kita terpaksa harus menerima dia menjadi anggota keluarga kita! Oh, mama tidak rela, Van! Sungguh mama tidak rela!" "Saya pun menyesal, ma," ucap Ivan lirih. "

  • Bukan Pernikahan Impian    Bab 65

    Lusy duduk diam di atas tempat tidurnya dengan wajah yang cemberut. Pikirannya sedang kacau saat ini. Dia merasa kesal dengan keadaan dirinya. Dan kekesalannya itu sejak tadi dia tumpahkan pada Rudy yang duduk tak jauh darinya. "Mestinya ini tidak perlu terjadi padaku! Sekarang aku tidak tahu lagi apa yang harus aku lakukan!" geramnya kesal. Rudy pun menoleh padanya. "Yang harus kamu lakukan adalah menerima kehamilanmu ini lalu kita menikah! Sudah berulangkali aku katakan padamu kalau aku akan bertanggungjawab pada kehamilanmu ini, Lusy! Sebab bayi yang kamu kandung itu adalah anakku! Darah dagingku! Dan aku tidak seburuk yang kamu kira! Aku tidak akan menelantarkan darah dagingku sendiri! Aku pasti bertanggungjawab!" "Kamu? Bertanggungjawab? Hah!" dengus Lusy diiringi dengan tertawa mengejek. "Apa yang bisa aku harapkan dari laki-laki sepertimu, Rudy? Kamu laki-laki bebas yang tidak mungkin bisa terikat pada pernikahan! Jadi jangan bujuk aku lagi untuk menikah denganmu! Karena aku

  • Bukan Pernikahan Impian    Bab 64

    Fara jatuh sakit. Beban persoalan yang membelitnya saat ini membuatnya terkapar tak berdaya di atas tempat tidur. Badannya demam dan kepalanya sakit bukan kepalang. Obat pereda sakit kepala yang diminumnya seakan tak meredakan sakitnya sama sekali. Demamnya tetap tinggi dan kepalanya tetap berdenyut seakan hampir meledak. Sebetulnya kedua orangtuanya sudah berulangkali mengajaknya untuk pergi berobat. Tapi Fara tidak mau. Sebab dia merasa dokter manapun tidak akan ada yang bisa mengobati sakitnya ini. Sakit yang disebabkan oleh masalah yang tengah dihadapinya ini tak kan sembuh dengan obat manapun. Cara satu-satunya untuk sembuh adalah dengan menenangkan hati dan pikirannya. Biarkan semua mengalir seperti yang seharusnya. Dan jika ada yang terluka, mungkin itu bukanlah kesalahannya. Sebab dia tak kan mungkin bisa membahagiakan keduanya. Tak kan mungkin memilih dua cinta yang ada di hadapannya. Hanya satu. Dan harus melepas yang satu meski sakit rasanya. Fara pun terus berusaha untuk

  • Bukan Pernikahan Impian    Bab 63

    "Pulanglah, mas," pinta Fara dengan suara yang bernada lembut. Entah mengapa sesungguhnya hatinya tak tega untuk mengusir Ivan dengan tegas. Meski Ivan telah menyakiti hatinya, tapi Fara tak mampu untuk bersikap kasar pada suaminya itu. Ada luka yang dalam terpancar lewat tatapan Ivan yang dapat Fara lihat dengan jelas tiapkali mereka beradu pandang. Luka? Sungguhkah dia terluka dengan perpisahan ini? Ah, hati Fara bertanya ragu. "Pulanglah." Fara mengulangi kata-katanya karena Ivan tak juga beranjak dari tempatnya berdiri. Ivan menggeleng. "Tidak sebelum aku mendengar jawaban 'ya' darimu." Fara menghela napas panjang. Dia bingung tak tahu lagi harus berkata apa pada suaminya itu. Mestinya Ivan bisa mengerti kalau Fara bersungguh-sungguh menginginkan perceraian mereka. Bukankah tiapkali dia datang Fara selalu menolaknya? Tapi kenapa suaminya itu malah semakin gencar berusaha membujuknya untuk mau kembali? Bahkan suaminya itu seperti mengenyampingkan harga dirinya yang dulu selalu d

  • Bukan Pernikahan Impian    Bab 62

    Seperti biasa sepulang dari bekerja Ivan melajukan mobilnya menuju ke rumah Fara. Tapi kali ini dia menghentikan mobilnya di pinggir jalan yang agak jauh dari rumah istrinya itu. Sebab dia melihat ada motor Gilang terparkir di sana. Dengan perasaan cemburu Ivan memperhatikan tanpa kedip. Tapi pemuda yang menjadi saingannya itu tak terlihat sama sekali. Tembok pagar rumah Fara menghalangi pandangan Ivan untuk memantau apa yang sedang dilakukan oleh pemuda itu di sana. Pikiran Ivan pun melayang membentuk gambar-gambar yang membuat rasa cemburunya semakin menggelora. Pasti pemuda ingusan itu sedang duduk bersama Fara, pikir Ivan kesal. Pasti dia sedang melancarkan rayuan gombalnya pada Fara! Oh, apakah Fara bahagia mendengar rayuannya? Apakah dia tersipu malu? Brengsek betul aku tidak dapat melihat mereka dari sini! Tapi aku yakin! Aku yakin kalau pemuda itu sedang merayu istriku! Berani betul dia merayu Fara! Fara masih istriku! Aku dan dia belum resmi bercerai! Kurangajar! Betul-betul

  • Bukan Pernikahan Impian    Bab 61

    Lusy berjalan terhuyung memasuki rumahnya lalu terjatuh di atas sofa. Saat itu pukul dua malam. Seorang teman mengantarkannya pulang karena Lusy telah terlalu mabuk untuk dibiarkan pulang sendirian. Temannya itu bernama Rudy. Seorang laki-laki gagah berkulit coklat yang cukup menawan. Lusy mengenalnya sudah cukup lama. Mereka bertemu di sebuah acara pesta ulang tahun seorang teman. Kebetulan saat itu Lusy datang bersama dengan Fara dan Riska. Dan Riska yang ternyata telah mengenal Rudy pun memperkenalkannya pada Lusy dan Fara. Sejak saat itu pertemanan antara Lusy dan Rudy pun terjalin. Mereka jadi semakin akrab karena ternyata mereka sama-sama suka nongkrong di club malam untuk menghabiskan waktu yang kosong. Mereka sama-sama orang yang menyukai kebebasan. Tidak suka peraturan dan tidak suka terikat. Karena itulah Rudy merasa kaget ketika dalam mabuknya tadi Lusy meracau tentang keinginannya untuk menikah. Tapi sayangnya pernikahannya itu gagal karena sang calon suami kembali pada i

DMCA.com Protection Status