<span;>Kita kembali ke malam hari di saat Ivan baru saja keluar dari rumahnya.
<span;>Laki-laki tampan itu bergegas mengendarai mobilnya memecah kepadatan lalu lintas malam itu demi untuk menemui seseorang yang sangat dirindukannya. Mereka memang telah merencanakan pertemuan ini. Dan Ivan berharap masih ada setitik harapan baginya untuk bisa meraih kembali cintanya. Lantas bagaimana dengan Fara? Ivan berpikir tak apa jika dia bisa merahasiakannya dari istrinya itu. Jika dia tak tahu, berarti dia tak kan terluka, kan? Ivan merasa mampu untuk memenuhi kebutuhan dua istri. Jadi dia bisa tetap menjalani rumah tangganya bersama Fara sesuai dengan keinginan orangtuanya tanpa harus kehilangan cintanya.<span;>Adelia, adalah perempuan cantik yang telah dipacarinya selama lima tahun ini. Mereka bertemu di acara ulang tahun seorang teman. Dan dari pertemuan itulah tumbuh benih-benih cinta yang semakin hari semakin bermekaran.<span;>Ivan sangat mencintai Adelia. Bahkan dia pernah mengungkapkan keinginannya untuk menikahi gadis itu pada kedua orangtuanya. Tapi sayangnya perbedaan keyakinan di antara mereka membuat kedua orangtuanya tak merestuinya. Mereka menolak Adelia untuk menjadi menantu mereka hingga hubungan Ivan dan Adelia pun tak jelas arahnya bagai layang-layang yang putus di udara. Untuk berpisah, Ivan tak rela. Tapi untuk menuju pelaminan pun sulit. Mereka menjalani lima tahun percintaan mereka tanpa tujuan. Hingga akhirnya orangtua Ivan memaksanya untuk menikah dengan Fara dan membuat hubungan diantara mereka pun menjadi semakin genting.<span;>"Aku tidak mencintai Fara," kata Ivan lewat telepon.<span;>"Tapi kenyataannya kamu telah menikahi dia," sahut Adelia menangis.<span;>"Itu keinginan orangtuaku, Del. Maafkan aku."<span;>"Kalau begitu sebaiknya kita akhiri saja hubungan kita ini. Aku pun sudah lelah menjalani hubungan yang tak pasti."<span;>"Tidak, Adel, jangan ambil keputusan seperti itu. Kita harus bertemu dan bicara baik-baik. Aku mencintaimu."<span;>"Baiklah. Ku tunggu di Aurora Cafe jam delapan malam ini."<span;>Itulah tujuan Ivan malam ini. Menemui Adelia di Aurora Cafe, tempat dulu mereka biasa bersantai menghabiskan malam bersama.<span;>Ketika Ivan tiba, tampak Adelia yang telah duduk menunggu. Ivan pun bergegas menghampiri. Dia segera duduk di hadapan Adelia dan menatap gadis terkasih itu dengan penuh kerinduan.<span;>"Adel," panggilnya pelan.<span;>"Kamu terlambat, Van," kata Adelia seperti sebuah protes.<span;>"Ya, maaf. Aku terjebak macet. Lagi pula tadi sore aku harus membawa Fara ke rumah mama," sahut Ivan.<span;>"Istrimu itu?"<span;>"Ya."<span;>"Jadi kamu bawa dia ke rumah orangtuamu?"<span;>"Mama dan papa yang meminta aku dan Fara untuk tinggal di sana."<span;>Adelia pun tersenyum kecut. "Jadi orangtuamu benar-benar sudah menemukan menantu yang mereka inginkan? Bahkan mereka mengajaknya untuk tinggal di sana bersama-sama dengan mereka."<span;>"Bukan begitu, Adel. Tapi...."<span;>"Akuilah, Ivan. Dia memang menantu pilihan orangtuamu."<span;>"Tapi aku mencintaimu, Adel."<span;>Adelia menggeleng pelan. "Sudah tidak mungkin lagi bagiku untuk menjadi bagian dari hidupmu, Ivan. Aku harus bisa menyadari kalau jurang pemisah di antara kita begitu besar. Sekarang kamu telah memiliki istri seiman seperti yang orangtuamu inginkan. Mungkin sudah saatnya aku pergi." Nada suara Adelia penuh kekecewaan. <span;>"Jangan bicara seperti itu, Adel, ku mohon," kata Ivan dengan pandangan memohon.<span;>"Aku memang harus pergi, Ivan. Karena kita tidak mungkin melanjutkan hubungan ini sementara ada istrimu di antara kita."<span;>"Aku akan menikahimu!"<span;>"Menikahiku? Bagaimana mungkin? Kamu sudah beristri dan orangtuamu tidak menginginkan aku!"<span;>"Fara dan orangtuaku tidak perlu tahu. Kita akan menjalaninya berdua, Adel."<span;>Adelia pun berdecak kesal. "Jangan egois, Ivan! Kamu pikir aku tidak punya perasaan? Kamu pikir aku rela diduakan? Sebagai perempuan biasa aku pasti akan cemburu jika suamiku dimiliki oleh orang lain."<span;>"Aku milikmu, Adel. Fara tidak pernah memiliki aku."<span;>Adelia kembali menggeleng pelan. Dia tahu sesungguhnya Ivan sangat menyayanginya. Tapi keadaan memaksa Ivan untuk menikah dengan perempuan lain. Dan pernikahan Ivan itu kini memaksanya untuk mundur, pergi menjauh dari kehidupan kekasihnya itu. Ikhlaskah dia? Sesungguhnya tidak. Dia cemburu. Dia terluka. Dia kecewa. Lantas, haruskah menyalahkan Ivan? Tidak. Ivan telah berjuang untuk mempertahankan cinta mereka selama ini, meskipun tak pernah berhasil mendapatkan restu. Untuk menyalahkan kedua orangtua Ivan pun rasanya tak tepat. Karena wajar sekali jika mereka menginginkan menantu yang seiman dengan mereka. Ini masalah keyakinan. Masalah yang sangat sensitif. Ivan tak mungkin mengorbankan keyakinannya, begitu pun dengan dia yang tak mau melakukan itu. Sedangkan Fara, dia cuma perempuan yang ditakdirkan untuk menjadi teman hidup Ivan.<span;>Jadi haruskah cinta mereka terus dipertahankan? Tidak. Karena ini cinta yang sia-sia. Lima tahun lebih mereka berjuang. Tapi tetap tak menemukan jalannya. Mungkin saat ini adalah saatnya untuk menyerah. Adelia tahu kalau dia harus mampu melakukannya meskipun sulit. Dia yakin jika waktu pasti akan bisa menyembuhkan luka hatinya itu. Tak kan mudah, tapi pasti bisa.<span;>"Kita harus berpisah, Ivan," kata Adelia pelan.<span;>Ivan tercekat. Cepat dia meraih jemari Adelia dan menggenggamnya erat. Ivan tak mau berpisah. Dia tak rela untuk melepaskan kekasih hatinya pergi dari hidupnya.<span;>"Apa kamu tidak lagi mencintaiku, Del?" tanya Ivan.<span;>"Kamu pasti tahu kalau aku sangat mencintaimu. Tapi aku tidak mau terus berjuang untuk sesuatu yang sia-sia. Ivan, sejak kamu bilang kalau kamu tak bisa menolak perjodohan itu, sejak itulah aku yakin kalau aku memang harus pergi. Dan aku pun telah mengatakan tentang semua itu padamu. Sebetulnya pertemuan kita malam ini tidak perlu terjadi. Karena tidak akan merubah keputusan yang telah kubuat kemarin. Mulailah belajar untuk bisa menerima kenyataan, Ivan. Berpisah, itu adalah yang terbaik untuk kita."<span;>Nanar bola mata Ivan menatap Adelia yang sedang berusaha menahan air matanya. Rasa kecewa memenuhi rongga dadanya karena ternyata Adelia tak mau merubah keputusannya. Tadinya Ivan masih berharap jika Adelia mau melanjutkan hubungan mereka secara sembunyi-sembunyi. Mereka menikah dan membangun rumah tangga tanpa ada orang lain yang tahu. Tapi ternyata Adelia tetap memilih pergi. Dan itu berarti dia akan kehilangan kekasih yang sangat dia cintai.<span;>"Jadi hanya sampai di sini?" tanya Ivan kecewa.<span;>Adelia mengangguk. "Sakit perpisahan ini hanya sesaat, Ivan. Besok kamu pasti bisa menemukan bahagiamu bersama Fara."<span;>Ivan berdecak pelan. Ada setitik rasa kesal saat dia mengingat istrinya itu. Dan di dalam hatinya dia mulai kembali menyalahkan Fara atas semua ini.<span;>Seharusnya kamu bisa menolak perjodohan itu, Fara. Dengan begitu aku tak harus kehilangan Adelia, sesal di hati Ivan kembali bergema. Entah bagaimana aku bisa mencintaimu jika kamulah yang menyebabkan aku kehilangan Adelia. Aku tak pernah menginginkanmu. Tapi kenapa justru kamu yang menjadi istriku?<span;>Tak lama Adelia pun berdiri. Ivan menatapnya dengan hati yang perih. Tapi dia tak menahan ketika Adelia pamit pergi, mengucapkan kata-kata terakhir untuknya.<span;>"Aku pergi, Ivan. Lupakanlah aku karena aku pun akan berusaha melupakanmu. Cinta kita adalah salah. Karena cinta seharusnya menciptakan bahagia, bukan luka."<span;>Ivan pun hanya bisa diam. Diikutinya kepergian Adelia dengan pandangan matanya. Dia merasa inilah kali terakhir dia melihat kekasih hatinya itu. Sebab kemarin Adelia sempat mengatakan kalau dia akan menetap di Belanda setelah perpisahan mereka ini. Ah, Ivan mendesah pelan saat Adelia hilang dari pandangan. Kemudian dengan gundah dia pun mengusap wajahnya dengan telapak tangannya. Sekilas muncul bayang-bayang Fara dalam kepalanya. Ivan pun menggeleng pelan. Tidak. Bukan dengan perempuan itu kutemukan bahagiaku, bisik hati Ivan. Aku bahkan tak menginginkan kehadirannya dalam hidupku. Ah, perempuan cengeng itu.... Kenapa harus kamu yang menjadi jodohku, Fara?<span;>Ivan berdiri perlahan. Dia melangkah keluar dari Cafe itu dengan pikiran kacau. Ivan pun menuju mobilnya dan duduk diam di dalamnya sambil berpikir akan kemanakah dia sekarang? Pulang dan menemui Fara? Tidak! Ivan malas bertemu dengan istrinya itu. Lalu harus kemanakah dia?<span;>Ivan mengambil ponselnya dan menelepon seorang teman. Dia menanyakan keberadaan temannya itu sekarang. Karena menurut Ivan, berkumpul bersama teman adalah yang terbaik untuknya. Sekadar bercanda dan berbincang ringan agar dia bisa melewati malam ini tanpa harus terus mengingat Adelia.<span;>"Aku ada di tempat biasa, sedang berkumpul bersama teman-teman yang lain. Kamu pengantin baru, kenapa keluyuran malam-malam begini? Kenapa tidak sayang-sayangan saja bersama istrimu? Kasihan dia, masih jadi pengantin baru saja sudah kamu tinggal keluyuran begini," kata temannya di seberang sana.<span;>Ivan tak menanggapi kata-kata temannya itu. Biarkan saja Fara menunggu, pikirnya kesal. Biar Fara mau berpikir lagi apakah mereka harus melanjutkan pernikahan mereka ini atau secepatnya mencari jalan untuk bercerai.<span;>"Hei, Van! Kamu masih di sana?" panggil temannya di seberang telepon.<span;>"Ya. Tunggu aku. Aku akan ke sana sekarang," sahut Ivan segera. Dan tanpa berpikir panjang lagi dia pun melajukan mobilnya menuju club dimana mereka biasa berkumpul.<span;>Ivan duduk bersama tiga orang teman dekatnya. Hentakkan musik mengalahkan suara mereka yang sedang asyik bercanda dan berbincang tentang masalah perempuan. Tapi Ivan tak banyak bicara. Dia hanya menimpali sesekali saja obrolan teman-temannya itu. Pikirannya sebagian masih terpusat pada Adelia. Belum bisa mengalihkan pikirannya dari gadis terkasih itu meski dia terus mencoba. Jika candaan temannya terdengar lucu, Ivan pun ikut tertawa lepas. Tapi setelah itu pikirannya kembali bercabang. Mengarah sebagian pada Adelia yang kini pergi menghilang. <span;>"Kamu lagi ada masalah, ya?" tanya Dito pada Ivan. <span;>"Kok, tahu?" sahut Ivan pendek. <span;>"Kelihatan dari wajahmu yang murung itu. Lagi pula, kalau ada pengantin baru yang lebih memilih nongkrong di sini dari pada menikmati waktu berdua dengan istrinya, bisa dipastikan dia sedang ada masalah," kata Dito menebak. <span;>Ivan pun mengangguk membena
<span;>Fara terjaga dari tidurnya karena dirasakannya ada seseorang yang naik ke tempat tidur. Dengan cepat dia menoleh. Didapatinya Ivan yang sedang berbaring hendak tidur. Suaminya itu pun tampak acuh, seperti tak peduli pada Fara yang terkejut. <span;>"Mas Ivan?!" Fara pun cepat melihat pada jam mungil yang ada di atas nakas. Pukul setengah lima pagi. "Mas Ivan baru pulang?" <span;>"Bangunkan aku jam enam," pinta Ivan tanpa menjawab pertanyaan Fara barusan. <span;>"Kenapa Mas Ivan baru pulang?" Fara melanjutkan pertanyaannya. <span;>"Bertanyanya nanti saja, Fara. Sekarang aku ngantuk, ingin tidur," sahut Ivan sambil terus terpejam. <span;>"Aku tunggu Mas Ivan semalaman. Janjinya mau pulang sebelum tengah malam. Tapi ternyata malah pulang pagi. Keterlaluan!" kata Fara kesal. <span;>Ivan pun membuka matanya dan menoleh pada Fara. Ekspresi wajahnya datar seolah dia tak m
<span;>Fara duduk termenung sendirian di kamar. Ini baru lewat jam makan siang. Belum satu harian dia menjalani waktunya di rumah mertuanya ini. Tapi rasa jenuh sudah mengurungnya sejak tadi. Fara tak tahu harus melakukan apa. Bu Elsa, ibu mertuanya sudah keluar rumah sejak tadi. Ada arisan katanya. Sedangkan Fiona, adik Ivan, sampai hari ini masih berada di luar kota untuk urusan pekerjaan. Fara pun kesepian. Kalau saja sebelum pernikahan Ivan tidak memintanya berhenti bekerja, tentulah saat ini Fara tak kan mengalami kejenuhan seperti ini. Tapi Ivan bilang, dia ingin punya istri perempuan yang diam di rumah, bukan wanita karier yang sibuk bekerja. Karena itulah kedua orangtua Fara langsung meminta Fara berhenti bekerja agar bisa menjadi ibu rumah tangga seperti yang Ivan inginkan. Fara pun menurut. Toh, menjadi ibu rumah tangga juga satu hal yang menyenangkan. Mengurus suami dan anak-anak adalah kebahagiaan yang tak ternilai bagi seorang perempuan. Tapi sekarang, kenyataanny
<span;>Malam itu Fara mendapat telepon dari seorang teman. <span;>"Pesta ulang tahun?" tanya Fara ceria. <span;>"Nggak, kok. Cuma sekadar kumpul teman-teman lama saja. Temu kangen sekalian makan-makan di rumahku. Kamu mau datang kan, Far?" tanya temannya di seberang sana. <span;>"Aku pasti mau, dong. Nanti aku datang bersama Riska dan Lusy, ya!" janji Fara. <span;>"Oke, kalau begitu aku tunggu, ya!" sahut temannya senang. <span;>Setelah itu pembicaraan pun selesai. Fara yang saat itu sedang duduk di atas tempat tidur menghadap ke jendela kamarnya, tak tahu jika Ivan sudah masuk dan berdiri di pintu kamar mendengarkan obrolannya barusan. Dan ketika Fara menoleh, dia pun terpekik kaget. <span;>"Mas Ivan?!" serunya terkejut. <span;>"Kenapa terkejut seperti itu?" tanya Ivan dengan ekspresi wajah yang dingin seperti biasanya. <span;>"Mas Iv
<span;>“Sedang teleponan sama siapa?” Suara Ivan yang bertanya mengejutkan Fara. Ketika itu Ivan yang baru saja masuk ke kamarnya, mendapati Fara sedang duduk santai di atas tempat tidur sambil berbicara dengan seseorang di telepon. <span;>Fara pun menoleh cepat. “Kenapa Mas Ivan selalu membuatku terkejut?” <span;>“Terkejut? Apa sedang membicarakan tentang sesuatu yang rahasia?” Ivan bertanya sambil mengambil ponselnya yang ada di atas nakas. Kemudian dia duduk di sofa yang ada di depan jendela dan mulai asyik memainkan ponselnya di sana. <span;>“Rahasia? Rahasia apa? Aku cuma bicara dengan Riska,” kata Fara segera. <span;>“Riska sahabatmu itu?” tanya Ivan tanpa menoleh. <span;>“Ya. Jadi mas masih ingat pada sahabatku itu?” <span;>“Tentu saja ingat. Apa kamu pikir aku sudah pikun?” ketus
<span;>Ivan tak ikut dalam obrolan ketiga perempuan itu. Dia hanya duduk diam di antara mereka sambil sesekali tersenyum sebagai tanda kalau dia ikut mendengarkan canda mereka. Ivan pun berusaha untuk tidak merasa jenuh. Dia memusatkan perhatiannya pada Lusy yang duduk di hadapannya. Lusy pun tersenyum. Dia tahu jika mata suami sahabatnya itu terpusat padanya. Lalu dengan bahasa tubuhnya dia segera berusaha menggoda Ivan yang memang sudah tertarik pada kemolekan tubuhnya. <span;>Ivan yang mengerti bahasa tubuh Lusy itu pun tersenyum penuh arti. Dia menikmati setiap gerakan yang Lusy buat lewat pandangan matanya. Namun begitu, Ivan tetap pandai menjaga sikap. Dia harus tetap terlihat sebagai seorang yang baik, terutama di depan Riska. Sebab dia harus selalu tampil sebagai laki-laki yang sempurna. Tak boleh ada seorang pun yang tahu keburukannya. Termasuk Riska, sahabat istrinya. <span;>"Wah, minumannya sudah habis. Biar aku buatkan lagi," kat
<span;>"Kok, main hp terus? Sudah malam, Mas Ivan tidak tidur?" tanya Fara yang malam itu melihat Ivan asyik dengan ponselnya sambil duduk santai di dekat jendela kamar. <span;>"Aku bukan anak kecil yang diwajibkan tidur sore, kan?" Ivan balik bertanya tanpa menoleh. <span;>"Ini sudah jam sepuluh. Sudah malam, mas," kata Fara lagi sambil masuk ke dalam selimut hangatnya. <span;>"Jam sepuluh itu masih sore. Sudahlah jangan cerewet, Fara. Jangan bilang kalau kamu minta dikeloni. Seperti anak kecil saja," gerutu Ivan tanpa mengalihkan mata dari ponselnya. <span;>"Siapa yang minta dikeloni?" Fara menyahut cepat. <span;>"Malam ini aku sedang tidak ingin. Jadi sebaiknya kamu tidur saja," kata Ivan lagi hingga Fara pun menoleh cepat padanya. <span;>"Aku tidak minta itu, mas!" <span;>"Oh ya? Baguslah kalau begitu. Karena malam ini aku tidak bisa. Aku mau ketemu
<span;>Dentuman alunan musik terdengar menghentak keras memenuhi ruangan. Suasana riuh dan ceria seolah mengajak semua yang hadir di sana untuk bersemangat. Ruangan yang dipadati oleh para pengunjung itu pun jadi terasa hidup. Malam tak hening di sini. Malam begitu hingar bingar. Mereka seolah merubahnya menjadi siang, hingga mereka tak lagi merasa jika sesungguhnya malam adalah waktunya bagi tubuh mereka untuk beristirahat. <span;>Ivan berjalan pelan menghampiri seorang perempuan cantik yang sedang duduk sendirian menunggunya. Dan ketika melihat kedatangannya, perempuan itu pun tersenyum dan berdiri menyambutnya. Lalu segera dia memeluk Ivan dan bersandar manja di dadanya. <span;>"Kenapa lama? Aku sudah satu jam menunggu di sini," kata perempuan yang adalah Lusy, melontarkan sedikit protes. <span;>Ivan pun melihat pada jam tangannya. "Ini baru tengah malam, cantik. Aku datang tepat waktu," katanya sambil mendaratkan sebuah
"Sungguhkah kamu dan Mas Ivan telah bersatu lagi, Fara?" tanya Gilang dengan raut wajah kecewa yang tidak bisa dia sembunyikan. "Ya, aku dan Mas Ivan telah bersatu lagi. Lusy telah mengakui kebohongannya. Dan itu berarti tidak ada lagi yang menghalangi kami untuk kembali bersatu," jawab Fara jujur. "Maafkan aku," sambungnya. "Kamu tidak bersalah. Mungkin itulah jalan terbaik yang telah tuhan gariskan untuk kalian berdua," sahut Gilang tulus. "Kamu tidak marah?" tanya Fara. "Marah? Kenapa aku harus marah?" sahut Gilang lembut. "Karena aku telah mengecewakan dan membuatmu terluka." "Tidak, bukan kamu yang membuatku terluka. Tapi cintakulah yang telah membuatku terluka. Aku tidak ingin menyalahkanmu, Fara. Dan aku tidak akan pernah menyalahkanmu." "Jadi sekarang kamu telah bisa mengerti?" Gilang mengangguk. "Aku harus bisa mengerti. Aku tidak ingin rasa kecewaku membuatku terluka semakin dalam. Selama ini aku telah menunggumu dengan sabar. Tapi ternyata keputusan terakhirmu tetap
Lusy berdiri kaku di hadapan semua orang. Wajahnya tampak pucat. Betapa terkejutnya dia ketika melihat Rudy ada di sana. Dia langsung bisa menerka apa yang telah terjadi. Rudy pasti telah membongkar kebohongannya. Sebab tidak mungkin Rudy ada di sana dengan alasan berkunjung. Rudy bukan teman Ivan. Bukan pula orang yang kenal dengan keluarganya. Jadi kunjungan Rudy ke rumah ini pasti ada maksud tertentu yang ingin dia sampaikan. Dan tentu saja itu masalah tentang bayinya. Rudy pasti telah menceritakan cerita yang sebenarnya. Dan sekarang tentulah mereka semua ingin agar dia mengakui semuanya. "Duduk!" perintah Bu Elsa dingin. Tak ada setitik pun raut yang ramah terpancar di wajahnya. Perempuan paruh baya itu sepertinya enggan untuk berbasa-basi dengan Lusy. Dia bicara dengan nada yang tegas dan ekspresi wajah yang kaku. Tanpa bisa menolak, Lusy pun segera duduk. Tak ada yang bicara untuk beberapa saat. Suasana terasa hening tak mengenakkan. Tapi Lusy masih bisa berusaha untuk bersik
"Ku dengar Lusy akan segera menikah dengan Ivan," kata Rudy pada Riska yang duduk di hadapannya. Siang itu Rudy memang sengaja meminta Riska untuk menemuinya di sebuah cafe. Rudy ingin menceritakan tentang rahasia yang sebenarnya pada Riska. Sebab Rudy tak tahan terus didera oleh perasaan bersalah karena telah membiarkan Lusy melakukan rencana busuknya. Karena itulah akhirnya Rudy memutuskan untuk bercerita pada Riska dan meminta pendapat Riska mengenai rencana Lusy itu. Riska yang mendengar kata-kata Rudy itu pun mengangguk dengan ekspresi wajah yang sedih. "Ya. Kasihan Fara. Di saat dia dan Mas Ivan ingin memperbaiki kembali rumah tangga mereka, Lusy kembali datang dan mengacaukan semuanya." Rudy menghela napas panjang seolah hatinya gundah mendengar kata-kata Riska itu. Kemudian dia pun menatap Riska dengan wajah yang serius. "Jadi kamu juga percaya kalau bayi yang dikandung Lusy itu anak Ivan, suami Fara?" tanyanya. "Maksudmu?" Riska mengerutkan keningnya karena merasa bingung
Ivan kembali ke rumah orangtuanya. Pupus sudah harapan untuk memperbaiki rumah tangganya bersama Fara. Kini Fara tak mungkin lagi mau menerima dia sebagai teman hidupnya. Kehamilan Lusy benar-benar mengacaukan semua yang telah Ivan perjuangkan untuk kembali pada Fara. Tak ada yang bisa Ivan lakukan kini. Mau tidak mau dia harus rela berpisah dengan Fara dan menikahi Lusy. Ketika keluarganya mengetahui tentang kehamilan Lusy, mereka pun sangat terkejut. Bahkan Bu Elsa seperti tidak bisa menerimanya. Dia tidak rela jika putranya menikahi Lusy dan membawa perempuan itu masuk ke dalam keluarga mereka. "Ini semua salahmu, Ivan!" seru Bu Elsa marah. "Mama dan papa sudah memilihkan seorang perempuan yang baik dan pantas untuk menjadi istrimu! Tapi malah kamu sia-siakan dia dan kamu jatuh cinta pada perempuan brengsek itu! Sekarang kita terpaksa harus menerima dia menjadi anggota keluarga kita! Oh, mama tidak rela, Van! Sungguh mama tidak rela!" "Saya pun menyesal, ma," ucap Ivan lirih. "
Lusy duduk diam di atas tempat tidurnya dengan wajah yang cemberut. Pikirannya sedang kacau saat ini. Dia merasa kesal dengan keadaan dirinya. Dan kekesalannya itu sejak tadi dia tumpahkan pada Rudy yang duduk tak jauh darinya. "Mestinya ini tidak perlu terjadi padaku! Sekarang aku tidak tahu lagi apa yang harus aku lakukan!" geramnya kesal. Rudy pun menoleh padanya. "Yang harus kamu lakukan adalah menerima kehamilanmu ini lalu kita menikah! Sudah berulangkali aku katakan padamu kalau aku akan bertanggungjawab pada kehamilanmu ini, Lusy! Sebab bayi yang kamu kandung itu adalah anakku! Darah dagingku! Dan aku tidak seburuk yang kamu kira! Aku tidak akan menelantarkan darah dagingku sendiri! Aku pasti bertanggungjawab!" "Kamu? Bertanggungjawab? Hah!" dengus Lusy diiringi dengan tertawa mengejek. "Apa yang bisa aku harapkan dari laki-laki sepertimu, Rudy? Kamu laki-laki bebas yang tidak mungkin bisa terikat pada pernikahan! Jadi jangan bujuk aku lagi untuk menikah denganmu! Karena aku
Fara jatuh sakit. Beban persoalan yang membelitnya saat ini membuatnya terkapar tak berdaya di atas tempat tidur. Badannya demam dan kepalanya sakit bukan kepalang. Obat pereda sakit kepala yang diminumnya seakan tak meredakan sakitnya sama sekali. Demamnya tetap tinggi dan kepalanya tetap berdenyut seakan hampir meledak. Sebetulnya kedua orangtuanya sudah berulangkali mengajaknya untuk pergi berobat. Tapi Fara tidak mau. Sebab dia merasa dokter manapun tidak akan ada yang bisa mengobati sakitnya ini. Sakit yang disebabkan oleh masalah yang tengah dihadapinya ini tak kan sembuh dengan obat manapun. Cara satu-satunya untuk sembuh adalah dengan menenangkan hati dan pikirannya. Biarkan semua mengalir seperti yang seharusnya. Dan jika ada yang terluka, mungkin itu bukanlah kesalahannya. Sebab dia tak kan mungkin bisa membahagiakan keduanya. Tak kan mungkin memilih dua cinta yang ada di hadapannya. Hanya satu. Dan harus melepas yang satu meski sakit rasanya. Fara pun terus berusaha untuk
"Pulanglah, mas," pinta Fara dengan suara yang bernada lembut. Entah mengapa sesungguhnya hatinya tak tega untuk mengusir Ivan dengan tegas. Meski Ivan telah menyakiti hatinya, tapi Fara tak mampu untuk bersikap kasar pada suaminya itu. Ada luka yang dalam terpancar lewat tatapan Ivan yang dapat Fara lihat dengan jelas tiapkali mereka beradu pandang. Luka? Sungguhkah dia terluka dengan perpisahan ini? Ah, hati Fara bertanya ragu. "Pulanglah." Fara mengulangi kata-katanya karena Ivan tak juga beranjak dari tempatnya berdiri. Ivan menggeleng. "Tidak sebelum aku mendengar jawaban 'ya' darimu." Fara menghela napas panjang. Dia bingung tak tahu lagi harus berkata apa pada suaminya itu. Mestinya Ivan bisa mengerti kalau Fara bersungguh-sungguh menginginkan perceraian mereka. Bukankah tiapkali dia datang Fara selalu menolaknya? Tapi kenapa suaminya itu malah semakin gencar berusaha membujuknya untuk mau kembali? Bahkan suaminya itu seperti mengenyampingkan harga dirinya yang dulu selalu d
Seperti biasa sepulang dari bekerja Ivan melajukan mobilnya menuju ke rumah Fara. Tapi kali ini dia menghentikan mobilnya di pinggir jalan yang agak jauh dari rumah istrinya itu. Sebab dia melihat ada motor Gilang terparkir di sana. Dengan perasaan cemburu Ivan memperhatikan tanpa kedip. Tapi pemuda yang menjadi saingannya itu tak terlihat sama sekali. Tembok pagar rumah Fara menghalangi pandangan Ivan untuk memantau apa yang sedang dilakukan oleh pemuda itu di sana. Pikiran Ivan pun melayang membentuk gambar-gambar yang membuat rasa cemburunya semakin menggelora. Pasti pemuda ingusan itu sedang duduk bersama Fara, pikir Ivan kesal. Pasti dia sedang melancarkan rayuan gombalnya pada Fara! Oh, apakah Fara bahagia mendengar rayuannya? Apakah dia tersipu malu? Brengsek betul aku tidak dapat melihat mereka dari sini! Tapi aku yakin! Aku yakin kalau pemuda itu sedang merayu istriku! Berani betul dia merayu Fara! Fara masih istriku! Aku dan dia belum resmi bercerai! Kurangajar! Betul-betul
Lusy berjalan terhuyung memasuki rumahnya lalu terjatuh di atas sofa. Saat itu pukul dua malam. Seorang teman mengantarkannya pulang karena Lusy telah terlalu mabuk untuk dibiarkan pulang sendirian. Temannya itu bernama Rudy. Seorang laki-laki gagah berkulit coklat yang cukup menawan. Lusy mengenalnya sudah cukup lama. Mereka bertemu di sebuah acara pesta ulang tahun seorang teman. Kebetulan saat itu Lusy datang bersama dengan Fara dan Riska. Dan Riska yang ternyata telah mengenal Rudy pun memperkenalkannya pada Lusy dan Fara. Sejak saat itu pertemanan antara Lusy dan Rudy pun terjalin. Mereka jadi semakin akrab karena ternyata mereka sama-sama suka nongkrong di club malam untuk menghabiskan waktu yang kosong. Mereka sama-sama orang yang menyukai kebebasan. Tidak suka peraturan dan tidak suka terikat. Karena itulah Rudy merasa kaget ketika dalam mabuknya tadi Lusy meracau tentang keinginannya untuk menikah. Tapi sayangnya pernikahannya itu gagal karena sang calon suami kembali pada i