Setelah sarapan Ardi duduk di halaman belakang, melihat bunga-bunga Bougenville yang melambai-lambai terkena angin sepoi. Bunga di rumah Regina ada bemacam-macam jenis, warna dan bentuknya.
“Mas, liat apa?” Ardi terkejut dengan suara Regina yang tiba-tiba sudah ada di belakangnya.“Bunga-bunga itu.” Ardi menunjuk seluruh bunga di sana. “Milik siapa?” tanyanya.Regina mengikuti arah tangan laki-laki itu lalu duduk disebelahnya. “Oh.. punya aku, Mas. Kalau papa ada proyek keluar kota dan aku diajak buat ikut, itu saatnya aku beraksi,” tutur Regina.“Mas, gak paham. Maksudnya?”“Aku bakalan cari bunga-bunga yang belum ada di rumah ini, terus aku tanam dan rawat. Walaupun mereka lebih banyak dirawat sama Pak Niur sih, tukang kebun yang datang khusus buat rawat bunga-bunga itu,” jelas Regina.Ardi memperhatikan dengan saksama, penjelasan Regina sambil sesekali tersenyum melihat antusias perempuan itu. “Jadi kalau kamu pindah rumah gimana?” tanya Ardi.“Ha? Pindah? Emang aku mau kemana? Kan ini rumahku, Mas.” Regina balik bertanya, bingung dengan pertanyaan Ardi.“Masa kita mau tinggal sama orangtua kamu terus. Kita harus mandiri, kita atur semuanya sendiri dan urus semuanya sendiri. Lagipula, Mas gak punya kerjaan di sini. Mas harus balik ke Bandung, buat kerja lagi.”“Loh, terus kita harus tinggal di mana? Mas punya rumah? Lagian kalau masalah kerjaan, papa bisa kok ngasih kerjaan ke Mas. Jadi, kita tinggal di sini aja. Gak usah kemana-mana,” balas Regina.“Mas punya rumah di Bandung, tidak sebesar ini. Tapi mas yakin kamu bakalan betah di sana. Gimana?” tanya Ardi penuh hati-hati.“Harus seperti itu ya, Mas?” tanya Regina dengan lesu.“Harus. Sebagai istri yang baik, kamu harus taat sama, Mas. Selama itu bukan ke arah yang buruk,” jelas Ardi.“Yaudah kalau gitu. Tapi bunga-bungaku harus dibawa semuanya,” pinta Regina.“Walah, jauh loh, Gin. Bisa mati semua bunganya kepanasan di jalan. Nanti kalau kamu mau lihat atau kangen sama bunga-bunga kamu, kamu boleh kok balik ke sini. Kapanpun kamu mau.” Ardi mencoba meyakinkan Regina dan memberi pemahaman pelan-pelan.“Mas, udah bicara sama papa mama?” tanya Regina.“Udah, semalam. Dan mereka percayakan pengambilan keputusan sepenuhnya ke kita.”Ardi merupakan seorang pebisnis di bidang kuliner. Ardi memiliki beberapa restoran yang dikelolanya dari nol hingga mampu membuka beberapa cabang.Regina tidak mengenal Ardi sedikitpun, yang dia tahu, Ardi juga merupakan anak tunggal yang berstatus yatim piatu.Latar belakang pekerjaan, pendidikan, keluarga tidak ada satupun yang diketahui oleh Regina. Semuanya serba mendadak. Pernikahan yang tiba-tiba membuat Regina tidak bisa mengetahui banyak hal tentang Ardi. Demikian juga Ardi yang sama sekali tidak mengetahui sosok perempuan yang akan dia nikahi.“Kamu mau makan apa siang ini?” tanya Ardi pada Regina.“Makan ayam spicy yuk, Mas. Di tempat kesukaan aku sama Adri. Ayamnya enak, empuk, pedasnya pas. Beuh Mas pasti suka,” jawab Regina.“Yuklah, jadi penasaran juga.” Ardi menerima ajakan Regina dan segera berganti pakaian.Di perjalanan, Ardi mengikuti arahan Regina.“Masih jauh, Gina?” tanya Ardi.“dua puluh turunan sama tiga belas belokan lagi, Mas,” celetuk Regina. Refleks Ardi menoleh dengan mulut ternganga. “Heheh, gak. Itu di depan, yang parkirannya rame.”“Oh Ayam Spicydar toh,” gumam Ardi.“Apa, Mas?”“Gak kok, ayo turun. Kita makan siang. Laperlah perut mas ini.”Ardi dan Regina turun dari mobil, mengantri sebentar dan memesan makanan masing-masing.“Selamat datang. Boleh dibantu untuk pesanananya?” tanya pelayan dengan ramah.“Ayam spicy level 5, paha, extra nasi,” jawab mereka bersama-sama. “Loh?” Regina menatap Ardi bingung.“Baik, 2 paket ayam spicy level 5, pilihan paha, dengan 4 bungkus nasi. Di tunggu, terima kasih.”“Mas, udah sering makan di sini? Kata Adri mereka punya banyak cabang.”“Baru beberapa kali, hanya saja itu paket yang paling pas dilidah sama perut aku,” jawab Ardi.Setelah makan siang, mereka langsung pulang. Tampaknya Regina terkena cap 5L. Lemah, letih, lesu, loyo, lunglai. Selama di perjalanan, Regina berulang kali menguap dan tidak fokus ketika ditanya oleh Ardi.Hari sudah sore. Ardi sedang asyik mengobrol dengan Handoko, ayah Regina di taman belakang. Melihat-lihat Pak Niur yang memangkas beberapa tanaman, menyiram, memupuk untuk memastikan bunga-bunga itu tumbuh dengan baik.“Pa, saya minta maaf kalau harus memisahkan Papa dan Regina,” kata Ardi tulus.“Tidak apa-apa, Di. Justru bagus untuk kalian, jadi lebih paham bagaimana berkeluarga tanpa campur tangan orang lain. Biar Gina juga mandiri, belajar bertanggung jawab sebagai istri untuk mengurus keperluan kamu.”“Mungkin papa akan mendengar keluhan-keluhan dari Gina, karena saya hanya laki-laki biasa, Pa. Akan ada banyak hal tentang keinginan Gina yang tidak bisa Ardi kasih. Tapi Ardi janji, Ardi akan berusaha kasih yang terbaik buat dia,” tutur Ardi lagi.“Di, Gina itu anaknya tidak neko-neko. Gak ribet. Mulai dari makanan, baju, mandinya, tidurnya. Dia bisa survive disemua situasi dan kondisi. Tapi ... kamu harus tau kalau dia suka pendam semuanya sendiri. Dia bisa kelihatan baik-baik saja, padahal dia sedang takut, bimbang, sedih, dan semua hal-hal lain. Kamu harus mengerti dengan perubahan sikapnya. Harus paham dengan semua gesturenya. Karena disetiap perilakunya ada clue-clue yang sebenarnya dia tunjukkan,” jelas Handoko.“Silakan atur rumah tangga kalian, tapi kalau ada apa-apa, kalian kesulitan atau sedang dalam masalah, jangan sungkan minta bantuan sama papa. Insya Allah kita semua bisa bahagia. Papa titip anak semata wayang kami ke kamu. Jaga, sayangi dan bimbing dia. Papa yakin Adri punya alasan mempercayai kamu untuk menjaga Gina,” sambung Handoko.“Ibu, Bapak. Sekarang Ardi sudah jadi seorang suami dan Insya Allah kalau sudah waktunya Ardi juga akan menjadi seorang ayah. Ardi bingung harus bersikap seperti apa. Ardi takut tidak bisa menjadi kepala keluarga yang baik, Ardi takut tidak bisa menjaga dan membimbing Regina dengan baik. Pak, Ardi rindu. Bu, Ardi pengen ibu bisa dekat sama Regina. Perempuan yang sekarang jadi istri Ardi. Ya Allah, hamba mohon petunjuk, berikan kekuatan, kesabaran dan kebijakan dalam membangun rumah tangga ini. Hamba yakin Regina bisa menjadi teman hidup yang baik untuk hamba.” Subuh, dalam sujudnya Ardi menangis. Begitu khawatir tidak dapat menjalankan tugas dan tanggung jawabnya dengan baik.Diam-diam Regina mendengar doa suaminya itu. Tadinya Ardi ingin mengajak Regina ikut bersamanya untuk sholat subuh, tetapi laki-laki itu tidak tega membangunkan Regina.“Adri, kamu apa kabar? Ini hari keduaku bersama laki-laki pilihanmu. Apa kamu yakin memberikan dia tanggung jawab untuk menjagaku? Adri jujur, ak
Setelah menempuh perjalanan sekitar 3 jam lebih dari Jakarta ke Bandung, akhirnya Regina dan Ardi sampai disebuah rumah yang didesain tradisional tetapi tetap terlihat modern.“Gin, bangun,” panggil Ardi dengan lembut. Regina hanya berdehem dan terus meringkuk tanpa membuka mata sedikitpun. “Gina, kita sudah sampai.” Sekali lagi Ardi mencoba membangunkan Regina dengan lembut.Perlahan Regina membuka matanya, beberapa kali mengerjap dan menghentikan pandangannya pada senyum Ardi.“Udah sampai, Mas?” tanyanya tanpa berkedip.“Udah. Ini rumah aku.” Ardi menunjuk rumah yang sudah dia tinggali seorang diri sejak lama. Regina dan Ardi turun dari mobil. Meluruskan belakang yang rasanya cukup lelah setelah ditekuk beberapa jam.“Tolong buka pintunya, ya. Kuncinya yang sedikit lebih kecil dari kunci mobil. Mas mau turunkan barang-barang,” kata Ardi yang sudah berada di belakang mobil.“Boleh, Mas?” tanya Regina sedikit kebingungan melihat ada banyak kunci yang dipadukan dengan kunci mobil.Ard
“Bagaimana para saksi, SAH?”“Sah!!!” sahut semua orang yang menghadiri pernikahan hari ini.“Kamu dengarkan Gin. Sekarang kamu sah menjadi istri seorang laki-laki yang kamu tidak cintai sedikitpun, bahkan tidak kamu kenali sama sekali,” lirih Gina di sebuah kamar.Tok ... tok ... tok ...“Gina. Ini aku, Sabrina. Boleh aku masuk?”Regina menghapus air matanya pelan, agar riasan cantik itu tidak luntur. Tepatnya Ia tidak ingin orang lain melihatnya menangis, termasuk sahabatnya sendiri.“Masuk, Sab.”Sabrina melangkah dengan hati-hati setelah memastikan pintu kamar sudah tertutup rapat. Sabrina duduk di hadapan Regina sambil tersenyum. Ia tahu semua yang terjadi, namun memilih bungkam dan menunggu Regina sendiri yang menceritakan isi hatinya.“Aku pikir tadi bakalan telat loh, Gin. Macet parah. Hm.... gaunnya cantik, make up kamu juga bagus,” ucapnya sambil tersenyum.“Kamu juga cantik. Ijab Qabul-nya udah selesai?” tanya Regina.“Udah. Sebentar lagi pasti ada yang datang buat ketuk p
Pintu kamar itu terbuka, memperlihatkan seorang laki-laki yang begitu gagah dengan senyum yang begitu mempesona bagi orang lain. Kecuali ... Regina.“Dia di belakang kamu sekarang,” bisik Sabrina sambil memegang bahu Regina.Regina terdiam, tidak mengatakan apapun. Hanya hembusan nafas panjang sebagai balasan dari bisikan Sabrina.Regina berbalik, langkah demi langkah terlihat jelas olehnya. Ardi mendekat dengan senyum yang tidak pernah pudar dan tatapannya yang begitu hangat.“Assalamualaikum, Gin.” Ardi bersuara begitu tenang, yakin dan tanpa keraguan sedikitpun.“Waalaikumsalam, Mas Ardi,” jawab Regina nyaris tidak terdengar.Pertama kalinya, Regina mengambil tangan laki-laki itu dan menciumnya. Ardi mendekat, mencium kening wanita yang tidak pernah dikenalnya namun dengan takdir, dijadikan sebagai istrinya. Air mata kedua anak manusia itu menetes. Penuh tanya, apakah mereka mampu menyampingkan ego masing-masing. Ardi dan Regina kini duduk bersanding di pelaminan. Tersenyum pada
Sinar matahari pagi menyeruak masuk melalui gorden jendela kamar Regina dan Ardi.Regina berbalik. Melihat laki-laki yang sekarang sedang tertidur pulas di sebelahnya. “Akhirnya kamu tidur juga, Mas, setelah tadi malam naik turun tempat tidur aku, mondar mandir. Ganggu tau,” ucapnya dalam hati. Regina segera bangun dari tempat tidur dan mandi lalu turun ke bawah karena merasakan warga kampung tengahnya sudah berdemo karena kelaparan.“Jadi gimana, Mbak?”“Gimana apanya, Yani?”Seorang ART yang hampir seumuran dengan Regina sibuk mengikutinya dari ujung ke ujung hanya untuk menanyakan bagaimana rasanya menikah. Yani sudah bekerja selama 4 tahun di rumah orangtua Regina bersama dengan ART yang lain. Jika dibandingkan dengan ART yang lain, Yani memang yang paling muda sehingga tidak sulit untuk dekat dengan Regina yang merupakan anak tunggal.“Ih, Mbak Gina mah. Bukan masa gak ngerti sama pertanyaan Yani. Sepilin (spill) dikit dong Mbak,” rengek Yani.“Gak ada yang spesial, Yani. Biasa
Setelah menempuh perjalanan sekitar 3 jam lebih dari Jakarta ke Bandung, akhirnya Regina dan Ardi sampai disebuah rumah yang didesain tradisional tetapi tetap terlihat modern.“Gin, bangun,” panggil Ardi dengan lembut. Regina hanya berdehem dan terus meringkuk tanpa membuka mata sedikitpun. “Gina, kita sudah sampai.” Sekali lagi Ardi mencoba membangunkan Regina dengan lembut.Perlahan Regina membuka matanya, beberapa kali mengerjap dan menghentikan pandangannya pada senyum Ardi.“Udah sampai, Mas?” tanyanya tanpa berkedip.“Udah. Ini rumah aku.” Ardi menunjuk rumah yang sudah dia tinggali seorang diri sejak lama. Regina dan Ardi turun dari mobil. Meluruskan belakang yang rasanya cukup lelah setelah ditekuk beberapa jam.“Tolong buka pintunya, ya. Kuncinya yang sedikit lebih kecil dari kunci mobil. Mas mau turunkan barang-barang,” kata Ardi yang sudah berada di belakang mobil.“Boleh, Mas?” tanya Regina sedikit kebingungan melihat ada banyak kunci yang dipadukan dengan kunci mobil.Ard
“Ibu, Bapak. Sekarang Ardi sudah jadi seorang suami dan Insya Allah kalau sudah waktunya Ardi juga akan menjadi seorang ayah. Ardi bingung harus bersikap seperti apa. Ardi takut tidak bisa menjadi kepala keluarga yang baik, Ardi takut tidak bisa menjaga dan membimbing Regina dengan baik. Pak, Ardi rindu. Bu, Ardi pengen ibu bisa dekat sama Regina. Perempuan yang sekarang jadi istri Ardi. Ya Allah, hamba mohon petunjuk, berikan kekuatan, kesabaran dan kebijakan dalam membangun rumah tangga ini. Hamba yakin Regina bisa menjadi teman hidup yang baik untuk hamba.” Subuh, dalam sujudnya Ardi menangis. Begitu khawatir tidak dapat menjalankan tugas dan tanggung jawabnya dengan baik.Diam-diam Regina mendengar doa suaminya itu. Tadinya Ardi ingin mengajak Regina ikut bersamanya untuk sholat subuh, tetapi laki-laki itu tidak tega membangunkan Regina.“Adri, kamu apa kabar? Ini hari keduaku bersama laki-laki pilihanmu. Apa kamu yakin memberikan dia tanggung jawab untuk menjagaku? Adri jujur, ak
Setelah sarapan Ardi duduk di halaman belakang, melihat bunga-bunga Bougenville yang melambai-lambai terkena angin sepoi. Bunga di rumah Regina ada bemacam-macam jenis, warna dan bentuknya.“Mas, liat apa?” Ardi terkejut dengan suara Regina yang tiba-tiba sudah ada di belakangnya.“Bunga-bunga itu.” Ardi menunjuk seluruh bunga di sana. “Milik siapa?” tanyanya.Regina mengikuti arah tangan laki-laki itu lalu duduk disebelahnya. “Oh.. punya aku, Mas. Kalau papa ada proyek keluar kota dan aku diajak buat ikut, itu saatnya aku beraksi,” tutur Regina.“Mas, gak paham. Maksudnya?” “Aku bakalan cari bunga-bunga yang belum ada di rumah ini, terus aku tanam dan rawat. Walaupun mereka lebih banyak dirawat sama Pak Niur sih, tukang kebun yang datang khusus buat rawat bunga-bunga itu,” jelas Regina.Ardi memperhatikan dengan saksama, penjelasan Regina sambil sesekali tersenyum melihat antusias perempuan itu. “Jadi kalau kamu pindah rumah gimana?” tanya Ardi.“Ha? Pindah? Emang aku mau kemana? Ka
Sinar matahari pagi menyeruak masuk melalui gorden jendela kamar Regina dan Ardi.Regina berbalik. Melihat laki-laki yang sekarang sedang tertidur pulas di sebelahnya. “Akhirnya kamu tidur juga, Mas, setelah tadi malam naik turun tempat tidur aku, mondar mandir. Ganggu tau,” ucapnya dalam hati. Regina segera bangun dari tempat tidur dan mandi lalu turun ke bawah karena merasakan warga kampung tengahnya sudah berdemo karena kelaparan.“Jadi gimana, Mbak?”“Gimana apanya, Yani?”Seorang ART yang hampir seumuran dengan Regina sibuk mengikutinya dari ujung ke ujung hanya untuk menanyakan bagaimana rasanya menikah. Yani sudah bekerja selama 4 tahun di rumah orangtua Regina bersama dengan ART yang lain. Jika dibandingkan dengan ART yang lain, Yani memang yang paling muda sehingga tidak sulit untuk dekat dengan Regina yang merupakan anak tunggal.“Ih, Mbak Gina mah. Bukan masa gak ngerti sama pertanyaan Yani. Sepilin (spill) dikit dong Mbak,” rengek Yani.“Gak ada yang spesial, Yani. Biasa
Pintu kamar itu terbuka, memperlihatkan seorang laki-laki yang begitu gagah dengan senyum yang begitu mempesona bagi orang lain. Kecuali ... Regina.“Dia di belakang kamu sekarang,” bisik Sabrina sambil memegang bahu Regina.Regina terdiam, tidak mengatakan apapun. Hanya hembusan nafas panjang sebagai balasan dari bisikan Sabrina.Regina berbalik, langkah demi langkah terlihat jelas olehnya. Ardi mendekat dengan senyum yang tidak pernah pudar dan tatapannya yang begitu hangat.“Assalamualaikum, Gin.” Ardi bersuara begitu tenang, yakin dan tanpa keraguan sedikitpun.“Waalaikumsalam, Mas Ardi,” jawab Regina nyaris tidak terdengar.Pertama kalinya, Regina mengambil tangan laki-laki itu dan menciumnya. Ardi mendekat, mencium kening wanita yang tidak pernah dikenalnya namun dengan takdir, dijadikan sebagai istrinya. Air mata kedua anak manusia itu menetes. Penuh tanya, apakah mereka mampu menyampingkan ego masing-masing. Ardi dan Regina kini duduk bersanding di pelaminan. Tersenyum pada
“Bagaimana para saksi, SAH?”“Sah!!!” sahut semua orang yang menghadiri pernikahan hari ini.“Kamu dengarkan Gin. Sekarang kamu sah menjadi istri seorang laki-laki yang kamu tidak cintai sedikitpun, bahkan tidak kamu kenali sama sekali,” lirih Gina di sebuah kamar.Tok ... tok ... tok ...“Gina. Ini aku, Sabrina. Boleh aku masuk?”Regina menghapus air matanya pelan, agar riasan cantik itu tidak luntur. Tepatnya Ia tidak ingin orang lain melihatnya menangis, termasuk sahabatnya sendiri.“Masuk, Sab.”Sabrina melangkah dengan hati-hati setelah memastikan pintu kamar sudah tertutup rapat. Sabrina duduk di hadapan Regina sambil tersenyum. Ia tahu semua yang terjadi, namun memilih bungkam dan menunggu Regina sendiri yang menceritakan isi hatinya.“Aku pikir tadi bakalan telat loh, Gin. Macet parah. Hm.... gaunnya cantik, make up kamu juga bagus,” ucapnya sambil tersenyum.“Kamu juga cantik. Ijab Qabul-nya udah selesai?” tanya Regina.“Udah. Sebentar lagi pasti ada yang datang buat ketuk p