Sinar matahari pagi menyeruak masuk melalui gorden jendela kamar Regina dan Ardi.
Regina berbalik. Melihat laki-laki yang sekarang sedang tertidur pulas di sebelahnya. “Akhirnya kamu tidur juga, Mas, setelah tadi malam naik turun tempat tidur aku, mondar mandir. Ganggu tau,” ucapnya dalam hati.Regina segera bangun dari tempat tidur dan mandi lalu turun ke bawah karena merasakan warga kampung tengahnya sudah berdemo karena kelaparan.“Jadi gimana, Mbak?”“Gimana apanya, Yani?”Seorang ART yang hampir seumuran dengan Regina sibuk mengikutinya dari ujung ke ujung hanya untuk menanyakan bagaimana rasanya menikah. Yani sudah bekerja selama 4 tahun di rumah orangtua Regina bersama dengan ART yang lain. Jika dibandingkan dengan ART yang lain, Yani memang yang paling muda sehingga tidak sulit untuk dekat dengan Regina yang merupakan anak tunggal.“Ih, Mbak Gina mah. Bukan masa gak ngerti sama pertanyaan Yani. Sepilin (spill) dikit dong Mbak,” rengek Yani.“Gak ada yang spesial, Yani. Biasa aja, bedanya yah kamu bangun pagi ada orang lain di sebelah kamu,” jawab Regina santai.“Loh, masa iya, Mbak? Kata orang spesial gitu, apalagi malam pertamanya,” lanjut Yani.“Ya Allah, Yani. Gak percaya banget. Aaa ... coba buka mulutnya.” Regina memegang dagu Yani dan mencoba menyuapi nasi goreng yang dia buat. “Apa yang kurang?” tanya Regina meminta pendapat.“Kurang banyak, Mbak. Masa masaknya cuma satu porsi. Suaminya gak di kasih makan?” jawab Yani sambil terus mengunyah.“Astagfirullah, gara-gara kamu nih,” kata Regina panik.“Loh kok saya, Mbak?” Yani kebingungan sambil mengumpulkan bekas piring kotor untuk dicuci.“Iyalah! Dari tadi ngintil terus, kepo banget. Mana kamu gak ingetin aku buat masak dua porsi. Aku kan biasanya masak cuma buat diri sendiri. Bantuin aku ngupas bawang sama siapin bahan-bahannya lagi. Kali ini jangan banyak cincong.” Yani memberi hormat sambil bergegas menjalankan tugas sesuai dengan yang dikatakan Regina.Regina sedang meracik nasi goreng yang dibuatnya dengan bumbu. Tiba-tiba Yani berdehem terus-menerus.“Apa sih, Yani. Kalau sakit jangan kerja deh, nanti virus HRV (Human rhinovirus) kamu nular ke makanan. Orang jadi batuk juga,” tegur Regina sambil terus mengaduk nasi goreng.“Masa kamu gak bisa bedain mana yang batuk beneran sama yang ngegodain sih?” Suara berat Ardi membuat Regina kaget dan segera berbalik.“Eh ... iya, Mas.” Regina tertawa kikuk mendengar Ardi yang senyum-senyum sendiri melihat tingkahnya. Regina memincingkan matanya pada Yani. “Kenapa gak bilang sih?” cicit Regina pada Yani.“Udah ah, Yani mo gosok baju dulu. Males jadi obat nyamuk,” goda Yani sambil berlari pelan meninggalkan dapur.“Gimana tidurnya? Aku gak ganggu atau rese kan tidurnya?” tanya Ardi sambil beralih mendekati Regina.“Eh ... an-anu, Mas. Itu ...”“Itu nasinya mau gosong, sayang.” Ardi segera mengambil alih untuk mengaduk nasi goreng.Regina terdiam, melihat Ardi dengan posis yang begitu dekat dengannya. Rahang terlihat begitu tegas , kulitnya yang bersih berhasil membuat Regina tidak berkutik.“Ya ampun, dia manusia atau dewa dari kerajaan Thor sih? Matanya coklat terang, hidung mancung dan bibirnya ....”“Liat apa sih? Belum puas ya semalam liat di kamar?” Ratmi tiba-tiba muncul dan mengagetkan Regina yang masih memuji suaminya dalam hati.“Eh, Mama ... anu.” Regina mundur selangkah dan mengambil sembarang barang yang ada di depannya, karena merasa tertangkap basah dengan ibunya.“Eh, nanti tangan kamu perih. Masa cabe diubek-ubek sih,” kata Ardi sambil menahan tangan Regina.Regina hanya menatap Ardi dengan sedikit mendongak dan mengikuti langkah Ardi menuju wastafel untuk mencuci tangan. “Tolong ambilkan piring ya, nasi gorengnya sudah jadi,” sambung Ardi setelah mengelap tangan Regina.“I-Iya, Mas.”Ratmi yang melihat tingkah anaknya hanya tersenyum geli. Ratmi bersyukur Ardi hadir setelah kepergian Adri, dia juga bersukur Adri memperkenalkan dan menitipkan Regina pada Ardi. Setidaknya, anak gadisnya itu tidak akan merasa kesepian dan berlarut-larut dalam kesedihannya.“Bu, ikut sarapan ya sama kami,” ajak Ardi pada Ratmi.“Kalian saja, Nak, lagian itu nasi gorengnya cuma dua porsi. Mama juga mau keluar kok, ini tadi kelupaan bawa Hp,” jawab Ratmi lembut.“Tadi aja mbak Gina masak cuma satu loh, Bu. Lupa dia kalau udah punya suami,” kata Yani yang kebetulan lewat membawa pakaian kotor sambil menaik turunkan alisnya pada Regina.“Dih apaan sih, Yan,” sergah Regina.Ardi dan mertuanya hanya tertawa melihat wajah merah Regina yang sudah seperti kepiting rebus akibat ulah Yani.“Besok-besok kamu harus ingat kalau udah punya suami, Gin. Jangan masak buat dimakan sendiri. Masa suamimu makan batu,” kata Ratmi.“Iya, Ma. Habisnya Yani gak negur sih,” jawab Regina.“Wajar sih, Bu. Kan baru hari pertama. Kebiasaan Gina selama bertahun-tahun tidak akan berubah hanya dalam sehari. Jadi aku maklum kok, gak apa-apa,” bela Ardi.“Mas, panggilnya mama aja dong. Jangan Ibu. Lama-lama jadi kayak mbak-mbak sama mamang yang di rumah,” pinta Regina.“Eh, iya iya, Sayang.”Blush, pipi Regina kembali memerah karena panggilan Ardi barusan. Ardi dan Ratmi yang menyadari bahwa Regina salah tingkah kembali tertawa. Pagi itu sukses mambuat jantung Regina tidak karuan.Setelah sarapan Ardi duduk di halaman belakang, melihat bunga-bunga Bougenville yang melambai-lambai terkena angin sepoi. Bunga di rumah Regina ada bemacam-macam jenis, warna dan bentuknya.“Mas, liat apa?” Ardi terkejut dengan suara Regina yang tiba-tiba sudah ada di belakangnya.“Bunga-bunga itu.” Ardi menunjuk seluruh bunga di sana. “Milik siapa?” tanyanya.Regina mengikuti arah tangan laki-laki itu lalu duduk disebelahnya. “Oh.. punya aku, Mas. Kalau papa ada proyek keluar kota dan aku diajak buat ikut, itu saatnya aku beraksi,” tutur Regina.“Mas, gak paham. Maksudnya?” “Aku bakalan cari bunga-bunga yang belum ada di rumah ini, terus aku tanam dan rawat. Walaupun mereka lebih banyak dirawat sama Pak Niur sih, tukang kebun yang datang khusus buat rawat bunga-bunga itu,” jelas Regina.Ardi memperhatikan dengan saksama, penjelasan Regina sambil sesekali tersenyum melihat antusias perempuan itu. “Jadi kalau kamu pindah rumah gimana?” tanya Ardi.“Ha? Pindah? Emang aku mau kemana? Ka
“Ibu, Bapak. Sekarang Ardi sudah jadi seorang suami dan Insya Allah kalau sudah waktunya Ardi juga akan menjadi seorang ayah. Ardi bingung harus bersikap seperti apa. Ardi takut tidak bisa menjadi kepala keluarga yang baik, Ardi takut tidak bisa menjaga dan membimbing Regina dengan baik. Pak, Ardi rindu. Bu, Ardi pengen ibu bisa dekat sama Regina. Perempuan yang sekarang jadi istri Ardi. Ya Allah, hamba mohon petunjuk, berikan kekuatan, kesabaran dan kebijakan dalam membangun rumah tangga ini. Hamba yakin Regina bisa menjadi teman hidup yang baik untuk hamba.” Subuh, dalam sujudnya Ardi menangis. Begitu khawatir tidak dapat menjalankan tugas dan tanggung jawabnya dengan baik.Diam-diam Regina mendengar doa suaminya itu. Tadinya Ardi ingin mengajak Regina ikut bersamanya untuk sholat subuh, tetapi laki-laki itu tidak tega membangunkan Regina.“Adri, kamu apa kabar? Ini hari keduaku bersama laki-laki pilihanmu. Apa kamu yakin memberikan dia tanggung jawab untuk menjagaku? Adri jujur, ak
Setelah menempuh perjalanan sekitar 3 jam lebih dari Jakarta ke Bandung, akhirnya Regina dan Ardi sampai disebuah rumah yang didesain tradisional tetapi tetap terlihat modern.“Gin, bangun,” panggil Ardi dengan lembut. Regina hanya berdehem dan terus meringkuk tanpa membuka mata sedikitpun. “Gina, kita sudah sampai.” Sekali lagi Ardi mencoba membangunkan Regina dengan lembut.Perlahan Regina membuka matanya, beberapa kali mengerjap dan menghentikan pandangannya pada senyum Ardi.“Udah sampai, Mas?” tanyanya tanpa berkedip.“Udah. Ini rumah aku.” Ardi menunjuk rumah yang sudah dia tinggali seorang diri sejak lama. Regina dan Ardi turun dari mobil. Meluruskan belakang yang rasanya cukup lelah setelah ditekuk beberapa jam.“Tolong buka pintunya, ya. Kuncinya yang sedikit lebih kecil dari kunci mobil. Mas mau turunkan barang-barang,” kata Ardi yang sudah berada di belakang mobil.“Boleh, Mas?” tanya Regina sedikit kebingungan melihat ada banyak kunci yang dipadukan dengan kunci mobil.Ard
“Bagaimana para saksi, SAH?”“Sah!!!” sahut semua orang yang menghadiri pernikahan hari ini.“Kamu dengarkan Gin. Sekarang kamu sah menjadi istri seorang laki-laki yang kamu tidak cintai sedikitpun, bahkan tidak kamu kenali sama sekali,” lirih Gina di sebuah kamar.Tok ... tok ... tok ...“Gina. Ini aku, Sabrina. Boleh aku masuk?”Regina menghapus air matanya pelan, agar riasan cantik itu tidak luntur. Tepatnya Ia tidak ingin orang lain melihatnya menangis, termasuk sahabatnya sendiri.“Masuk, Sab.”Sabrina melangkah dengan hati-hati setelah memastikan pintu kamar sudah tertutup rapat. Sabrina duduk di hadapan Regina sambil tersenyum. Ia tahu semua yang terjadi, namun memilih bungkam dan menunggu Regina sendiri yang menceritakan isi hatinya.“Aku pikir tadi bakalan telat loh, Gin. Macet parah. Hm.... gaunnya cantik, make up kamu juga bagus,” ucapnya sambil tersenyum.“Kamu juga cantik. Ijab Qabul-nya udah selesai?” tanya Regina.“Udah. Sebentar lagi pasti ada yang datang buat ketuk p
Pintu kamar itu terbuka, memperlihatkan seorang laki-laki yang begitu gagah dengan senyum yang begitu mempesona bagi orang lain. Kecuali ... Regina.“Dia di belakang kamu sekarang,” bisik Sabrina sambil memegang bahu Regina.Regina terdiam, tidak mengatakan apapun. Hanya hembusan nafas panjang sebagai balasan dari bisikan Sabrina.Regina berbalik, langkah demi langkah terlihat jelas olehnya. Ardi mendekat dengan senyum yang tidak pernah pudar dan tatapannya yang begitu hangat.“Assalamualaikum, Gin.” Ardi bersuara begitu tenang, yakin dan tanpa keraguan sedikitpun.“Waalaikumsalam, Mas Ardi,” jawab Regina nyaris tidak terdengar.Pertama kalinya, Regina mengambil tangan laki-laki itu dan menciumnya. Ardi mendekat, mencium kening wanita yang tidak pernah dikenalnya namun dengan takdir, dijadikan sebagai istrinya. Air mata kedua anak manusia itu menetes. Penuh tanya, apakah mereka mampu menyampingkan ego masing-masing. Ardi dan Regina kini duduk bersanding di pelaminan. Tersenyum pada
Setelah menempuh perjalanan sekitar 3 jam lebih dari Jakarta ke Bandung, akhirnya Regina dan Ardi sampai disebuah rumah yang didesain tradisional tetapi tetap terlihat modern.“Gin, bangun,” panggil Ardi dengan lembut. Regina hanya berdehem dan terus meringkuk tanpa membuka mata sedikitpun. “Gina, kita sudah sampai.” Sekali lagi Ardi mencoba membangunkan Regina dengan lembut.Perlahan Regina membuka matanya, beberapa kali mengerjap dan menghentikan pandangannya pada senyum Ardi.“Udah sampai, Mas?” tanyanya tanpa berkedip.“Udah. Ini rumah aku.” Ardi menunjuk rumah yang sudah dia tinggali seorang diri sejak lama. Regina dan Ardi turun dari mobil. Meluruskan belakang yang rasanya cukup lelah setelah ditekuk beberapa jam.“Tolong buka pintunya, ya. Kuncinya yang sedikit lebih kecil dari kunci mobil. Mas mau turunkan barang-barang,” kata Ardi yang sudah berada di belakang mobil.“Boleh, Mas?” tanya Regina sedikit kebingungan melihat ada banyak kunci yang dipadukan dengan kunci mobil.Ard
“Ibu, Bapak. Sekarang Ardi sudah jadi seorang suami dan Insya Allah kalau sudah waktunya Ardi juga akan menjadi seorang ayah. Ardi bingung harus bersikap seperti apa. Ardi takut tidak bisa menjadi kepala keluarga yang baik, Ardi takut tidak bisa menjaga dan membimbing Regina dengan baik. Pak, Ardi rindu. Bu, Ardi pengen ibu bisa dekat sama Regina. Perempuan yang sekarang jadi istri Ardi. Ya Allah, hamba mohon petunjuk, berikan kekuatan, kesabaran dan kebijakan dalam membangun rumah tangga ini. Hamba yakin Regina bisa menjadi teman hidup yang baik untuk hamba.” Subuh, dalam sujudnya Ardi menangis. Begitu khawatir tidak dapat menjalankan tugas dan tanggung jawabnya dengan baik.Diam-diam Regina mendengar doa suaminya itu. Tadinya Ardi ingin mengajak Regina ikut bersamanya untuk sholat subuh, tetapi laki-laki itu tidak tega membangunkan Regina.“Adri, kamu apa kabar? Ini hari keduaku bersama laki-laki pilihanmu. Apa kamu yakin memberikan dia tanggung jawab untuk menjagaku? Adri jujur, ak
Setelah sarapan Ardi duduk di halaman belakang, melihat bunga-bunga Bougenville yang melambai-lambai terkena angin sepoi. Bunga di rumah Regina ada bemacam-macam jenis, warna dan bentuknya.“Mas, liat apa?” Ardi terkejut dengan suara Regina yang tiba-tiba sudah ada di belakangnya.“Bunga-bunga itu.” Ardi menunjuk seluruh bunga di sana. “Milik siapa?” tanyanya.Regina mengikuti arah tangan laki-laki itu lalu duduk disebelahnya. “Oh.. punya aku, Mas. Kalau papa ada proyek keluar kota dan aku diajak buat ikut, itu saatnya aku beraksi,” tutur Regina.“Mas, gak paham. Maksudnya?” “Aku bakalan cari bunga-bunga yang belum ada di rumah ini, terus aku tanam dan rawat. Walaupun mereka lebih banyak dirawat sama Pak Niur sih, tukang kebun yang datang khusus buat rawat bunga-bunga itu,” jelas Regina.Ardi memperhatikan dengan saksama, penjelasan Regina sambil sesekali tersenyum melihat antusias perempuan itu. “Jadi kalau kamu pindah rumah gimana?” tanya Ardi.“Ha? Pindah? Emang aku mau kemana? Ka
Sinar matahari pagi menyeruak masuk melalui gorden jendela kamar Regina dan Ardi.Regina berbalik. Melihat laki-laki yang sekarang sedang tertidur pulas di sebelahnya. “Akhirnya kamu tidur juga, Mas, setelah tadi malam naik turun tempat tidur aku, mondar mandir. Ganggu tau,” ucapnya dalam hati. Regina segera bangun dari tempat tidur dan mandi lalu turun ke bawah karena merasakan warga kampung tengahnya sudah berdemo karena kelaparan.“Jadi gimana, Mbak?”“Gimana apanya, Yani?”Seorang ART yang hampir seumuran dengan Regina sibuk mengikutinya dari ujung ke ujung hanya untuk menanyakan bagaimana rasanya menikah. Yani sudah bekerja selama 4 tahun di rumah orangtua Regina bersama dengan ART yang lain. Jika dibandingkan dengan ART yang lain, Yani memang yang paling muda sehingga tidak sulit untuk dekat dengan Regina yang merupakan anak tunggal.“Ih, Mbak Gina mah. Bukan masa gak ngerti sama pertanyaan Yani. Sepilin (spill) dikit dong Mbak,” rengek Yani.“Gak ada yang spesial, Yani. Biasa
Pintu kamar itu terbuka, memperlihatkan seorang laki-laki yang begitu gagah dengan senyum yang begitu mempesona bagi orang lain. Kecuali ... Regina.“Dia di belakang kamu sekarang,” bisik Sabrina sambil memegang bahu Regina.Regina terdiam, tidak mengatakan apapun. Hanya hembusan nafas panjang sebagai balasan dari bisikan Sabrina.Regina berbalik, langkah demi langkah terlihat jelas olehnya. Ardi mendekat dengan senyum yang tidak pernah pudar dan tatapannya yang begitu hangat.“Assalamualaikum, Gin.” Ardi bersuara begitu tenang, yakin dan tanpa keraguan sedikitpun.“Waalaikumsalam, Mas Ardi,” jawab Regina nyaris tidak terdengar.Pertama kalinya, Regina mengambil tangan laki-laki itu dan menciumnya. Ardi mendekat, mencium kening wanita yang tidak pernah dikenalnya namun dengan takdir, dijadikan sebagai istrinya. Air mata kedua anak manusia itu menetes. Penuh tanya, apakah mereka mampu menyampingkan ego masing-masing. Ardi dan Regina kini duduk bersanding di pelaminan. Tersenyum pada
“Bagaimana para saksi, SAH?”“Sah!!!” sahut semua orang yang menghadiri pernikahan hari ini.“Kamu dengarkan Gin. Sekarang kamu sah menjadi istri seorang laki-laki yang kamu tidak cintai sedikitpun, bahkan tidak kamu kenali sama sekali,” lirih Gina di sebuah kamar.Tok ... tok ... tok ...“Gina. Ini aku, Sabrina. Boleh aku masuk?”Regina menghapus air matanya pelan, agar riasan cantik itu tidak luntur. Tepatnya Ia tidak ingin orang lain melihatnya menangis, termasuk sahabatnya sendiri.“Masuk, Sab.”Sabrina melangkah dengan hati-hati setelah memastikan pintu kamar sudah tertutup rapat. Sabrina duduk di hadapan Regina sambil tersenyum. Ia tahu semua yang terjadi, namun memilih bungkam dan menunggu Regina sendiri yang menceritakan isi hatinya.“Aku pikir tadi bakalan telat loh, Gin. Macet parah. Hm.... gaunnya cantik, make up kamu juga bagus,” ucapnya sambil tersenyum.“Kamu juga cantik. Ijab Qabul-nya udah selesai?” tanya Regina.“Udah. Sebentar lagi pasti ada yang datang buat ketuk p