Langit Jingga terkesiap saat tangannya ditarik ke dalam kamar hotel oleh pria yang tidak dia kenal.
Pria itu menutup pintu menggunakan kaki sampai menimbulkan debuman kencang dan pintu otomatis terkunci.Belum hilang keterkejutan Jingga oleh gerakan pria itu yang tiba-tiba dan suara pintu yang membuat telinga mendengung—tanpa aba-aba sang pria mencium bibirnya dengan kasar.Siapa pria ini?Jangan-jangan dia salah kamar?Tanpa bersedia membiarkan Jingga bicara, pria itu mencekal kedua tangannya di atas kepala sambil merapatkan tubuh mendesak Jingga ke tembok.Jingga meronta namun sayang tenaganya kalah jauh.Tangan kiri pria itu mencekal kedua tangan Jingga sementara satu tangannya lagi menggerayangi tubuh Jingga, menjelajah mulai dari bagian ujung rok dan bersama dengan usapan tangan kekarnya sang pria membawa rok Jingga ke pinggang.Satu kaki pria itu berhasil menyelip di antara kedua paha Jingga yang roknya sudah tidak berguna lagi menutupi bagian bawah tubuhnya karena telah melingkar di pinggang.Jingga jadi tidak bisa berkutik, pria itu mengunci pergerakannya.Lama kemudian sang pria mengurai pagutan saat Jingga nyaris kehabisan napas.Napas Jingga tersengal, mencoba memahami apa yang baru saja terjadi.“Apa-apaan ini? Lo siap—“Kalimat Jingga teredam karena bibirnya dibungkam kembali oleh bibir pria yang Jingga sendiri tidak tahu siapa namanya.Kali ini pria itu bukan hanya mencium Jingga tapi juga mengangkat bokong Jingga dan menuntun kedua kakinya melingkar di pinggang.“Turunkan gue!” Jingga berseru dengan satu tangan melingkar di leher pria itu sebagai pegangan sementara yang satu lagi memukul-mukul pundak tegap dan bidangnya.Jingga juga mencakar lengan sang pria yang tampak tidak terpengaruh sedikitpun.“Tolooooong!” teriak Jingga namun harus berhenti karena pria bertubuh atletis itu menjatuhkannya ke atas ranjang.Gaya pegas dari per di dalam kasur sampai membuat tubuh Jingga memantul.“Aaarrrggghh!”Netra Jingga menatap nyalang pria yang sekarang bisa dia lihat wajahnya dengan jelas.Mata pria itu sayu berkabut hasrat seperti dalam pengaruh obat, pipinya sedikit merah.Pria itu juga memiliki rahang tegas yang sudah ditumbuhi bulu halus dan yang membuat mata Jingga semakin terbelalak adalah pria itu sedang membuka satu persatu kancing kemejanya.Jingga berusaha menghindar dengan mencoba merangkak untuk turun dari tempat tidur dari sisi yang lain tapi pria itu masih sempat menarik kaki Jingga kemudian menindihnya dengan dada bidang yang telah polos.Pria itu kembali mencekal kedua tangan Jingga di atas kepala sementara bibirnya sibuk mencium bibir Jingga dengan gerakan menuntut.“Emmppphhh….” Jingga meronta sekuat tenaga.Peluh mulai bercucuran, panik mendera Jingga dan dia menjerit saat hanya sekali tarikan saja pria itu berhasil membuka kancing kemejanya sampai bulir kancing berhamburan ke lantai.Dan saat itu juga Jingga tahu dirinya akan berakhir seperti apa malam ini.“Ja … ngaaan.” Jingga memohon saat pria itu dengan kekuatan penuh menarik turun celana dalamnya.Air mata mulai merebak, dia mencoba melepaskan diri dari pria itu.Dan lagi-lagi usaha Jingga tidak berhasil, dia harus kembali berbaring di atas ranjang karena pria itu menindihnya tapi sekarang pria itu sudah melepaskan celana.“Aku … mohon … lepaskan aku.” Jingga melirih terbata merasakan milik pria itu menekan bagian intinya.“Toloooong.” Jingga kembali berteriak sekuat tenaga.Mungkin karena panik, pria itu membekap mulut Jingga kemudian mencekik lehernya.Jingga sempat meronta menggunakan sisa tenaga lalu mengendur agar pria itu melepaskan cekalan di lehernya sebelum dia mati kehabisan napas.Usaha Jingga membuahkan hasil, pria itu memindahkan tangannya dari leher membuat Jingga akhirnya bisa bernapas dengan benar.Sedari tadi pria itu tidak mengeluarkan sepatah kata pun dan ketika terdengar geraman tertahan—detik berikutnya Jingga merasakan dirinya seperti terbelah.Pria itu memaksa masuk.Tubuh Jingga menegang, dia menahan napas entah sudah berapa lama sambil berlinang air mata karena baru menyadari kalau sekarang dia bukan perawan lagi.Pria itu merenggut paksa sesuatu paling berharga yang mati-matian Jingga jaga seumur dua puluh lima tahun hidupnya.Ciuman pria itu beralih ke leher Jingga sementara pinggulnya bergerak menghentak.Sakit yang teramat sangat dirasakan Jingga, dia sudah tidak memiliki tenaga untuk meronta.Jingga hanya bisa menoleh ke sebelah kanan, tatapannya kosong pada jendela besar yang tertutup tirai.Tubuh Jingga berguncang setiap kali pria di atasnya menghentak.Jingga bagai mayat kaku, dia tidak bergerak tidak menikmati juga setiap sentuhan pria itu.Karena semestinya momen melepaskan keperawanan ini dilakukan setelah prosesi pernikahan dengan Davian Raziel Dharta-tunangannya, pria yang dia cintai.Bukan oleh pria asing yang tidak dia kenal.Lalu bagaimana Jingga menjelaskan semua ini kepada Davian?Pria itu kemudian melengkungkan punggung, bibirnya bergerak turun menghujani dada Jingga dengan kecupan.Jingga mencoba menahan kepala pria itu menggunakan tangan agar kecupannya tidak terus turun tapi sekeras apapun dia berusaha mempertahankan diri dan berteriak—pria itu akan selalu bisa mendapat keinginannya seperti saat ini, dia berhasil meraup puncak di dada Jingga menggunakan mulutnya.Air mata Jingga mengalir semakin deras, samar dia terisak dan bersamaan dengan itu pria di atasnya telah berhasil mencapai puncak kenikmatan.Pria itu bergulir ke samping sambil menarik selimut menutupi tubuh Jingga dengan asal.Lalu berbaring terlentang, matanya terpejam dengan satu lengan dia simpan di atas kening.Cukup lama hening mencekam menjadi satu-satunya suasana saat itu, Jingga mendengar napas pria di sampingnya berubah teratur.Dia menoleh ke samping, menatap pria yang berhasil merenggut kehormatannya secara paksa.Masih belum mengerti kenapa pria itu berbuat keji padanya.Jingga menatap pria itu lamat-lamat dari samping, wajahnya tampan rupawan dan tidak terlihat seperti pria brengsek.Entah sudah berapa lama Jingga diam kaku tidak bergerak.Setelah merasa tenaganya telah terkumpul kembali, dengan sangat perlahan Jingga menurunkan kakinya.Perih terasa di pangkal paha tapi dia harus segera pergi sebelum pria itu tersadar.Sambil tertatih menahan sakit di bagian intinya, Jingga menjauh dari area tempat tidur, dia merapihkan pakaiannya sambil bersembunyi di balik lemari.Jingga hendak pergi tapi langkahnya tertahan, dia kembali ke area tempat tidur, mengendap-ngendap mencari sesuatu.Tidak membutuhkan waktu lama sampai dia menemukan celana pria itu teronggok di lantai.Jingga meringis saat harus berjongkok meraih celana pria itu dan mengeluarkan dompet.Dia mengambil kartu identitas sang pria yang kemudian dimasukan ke dalam tas.Jantungnya berdetak kencang, kepala Jingga dengan sering menoleh ke atas ranjang menatap was-was dengan mata bulatnya.Hanya punggung bidang dengan gurat otot trapezius yang dilihat Jingga sekarang karena pria itu sudah mengubah posisi tidur menjadi telungkup.Jingga mengambil kesempatan tersebut dengan berjalan cepat menuju pintu mengabaikan rasa sakit yang mendera di bagian yang telah terenggut paksa.Air mata Jingga kembali berlinang seiring langkahnya menyusuri lorong untuk tiba di lift.Sakit bukan hanya dibagian intinya saja tapi juga di hatinya karena telah mengecewakan Davian.Sesekali Jingga menoleh ke belakang, dia khawatir pria itu bangun dan mengejarnya lalu membawanya kembali ke kamar untuk dibunuh agar kejadian ini tidak terungkap.Pintu lift akhirnya terbuka, Jingga masuk dan berulang kali menekan tombol agar pintu lift tertutup.Dia baru bisa sedikit lega setelah lift mulai bergerak turun.Jingga bersandar punggung pada dinding lift yang kosong sembari bernapas dengan benar kemudian melangkah gontai menyebrangi loby hotel dengan telanjang kaki saat pintu lift terbuka.Dia memilih menenteng heels tidak mempedulikan tatapan aneh dari petugas hotel dan tamu hotel yang berpapasan dengannya.“Taksi,” kata Jingga kepada sekuriti yang mengerutkan kening menatapnya dari atas hingga bawah.Jingga memang berantakan sekali, dia menarik kedua sisi kemejanya yang sudah tidak memiliki kancing.Rambut Jingga dan makeup-nya pun berantakan.Tanpa ingin ikut campur urusan Jingga, sekuriti itu berusaha membantu dengan sigap memanggilkan taksi dan tidak lupa membuka pintunya setelah taksi sampai di depan mereka.“Pak, ke kantor polisi terdekat …,” kata Jingga kepada sang driver.Pria yang duduk di belakang kemudi melirik Jingga sekilas dari kaca spion tengah kemudian mengangguk samar dan mulai mengemudikan kendaraannya ke tempat yang Jingga tuju.Hanya lima belas menit perjalanan taksi membawa Jingga sampai di kantor polisi, dia turun usai membayar ongkos taksi.Seketika hati Jingga berdenyut ngilu, tangisnya kembali pecah mengingat apa yang baru saja terjadi padanya.Jingga disambut oleh seorang petugas polisi karena tampak berantakan dan linglung.“Pak tolong saya, Pak … saya baru diperkosa.” Jingga meraung melepaskan tangis di detik berikutnya.“Mari Bu, tenangkan dulu diri Ibu sebelum cerita … Ibu aman di sini.”Petugas polisi yang seusia dengan papanya itu memapah Jingga ke dalam gedung.Bisa sang petugas rasakan kalau tubuh Jingga bergetar hebat.“Duduk dulu di sini ya, Bu.”Sang petugas mendudukan Jingga di depan sebuah meja, dia meminta office boy untuk membawakan minum.Petugas jaga di Polsek itu menatap Jingga lekat saat Jingga sedang mencoba menenangkan dirinya dengan berkali-kali meraup udara dalam-dalam.Terdapat memar di leher dan pergelangan tangan Jingga yang samar terlihat meyakinkan petugas polisi itu tentang apa yang diadukan Jingga.Office boy datang membawa satu botol air mineral, masih dengan tangan bergetar Jingga meraih botol itu dan meminum isinya.Setelah dirasa Jingga terlihat lebih tenang, sang petugas pun mulai bertanya.“Coba ceritakan dari awal, apa yang terjadi dengan Ibu.”Dan Jingga mulai menceritakan semuanya.FLASHBACK ONSuara musik dengan volume kencang memekakan telinga Jingga.Kalau bukan karena sahabat semasa kecilnya yang berulang tahun, dia tidak akan mau memaksakan diri pergi ke Bali di akhir minggu yang seharusnya bisa dihabiskan untuk beristirahat setelah lima hari bekerja mengejar target.Gadis yang sekarang menjabat sebagai Tim Leader Marketing Kartu Kredit di sebuah Bank Swasta milik Amerika itu sengaja mengambil pernerbangan terakhir di hari jum’at yang hectic ini untuk bisa bergabung bersama ghenknya merayakan ulang tahun Kiara Zenia di salah satu Beach Club di Bali.Jingga menyimpan kopernya di resepsionis karena semua sahabatnya tidak bisa dihubungi dan si pria resepsionis tidak mau memberitahu di mana kamar yang telah di-booked olehKiara.Kiara meminta incognito karena dia baru memutuskan hubungan dengan sang kekasih yang bisa saja menyusul ke Bali mencari keberadaannya karena belum bisa move on.Karena hal itu lah, Jingga yang masih menggu
Ting … Tong … Suara bel disertai gedoran di pintu memaksa Bumi Xabiru Dewangga harus meraih kesadarannya.Dia merasakan pening di kepala tapi hawa panas dari dalam tubuh dan hasrat bergelora yang tadi menyiksanya sudah mulai menipis.Biru mendudukan tubuhnya mengingat-ngingat apa yang terjadi sebelum dia tertidur. Apakah dia baru selesai bercinta dengan Geisha-sang kekasih karena saat ini tubuhnya polos tanpa sehelai benang pun.Tadi ketika mereka hendak bercinta, Geisha mengatakan akan kembali karena tiba-tiba dia harus meeting dengan tim-nya.Tapi kapan kekasihnya itu kembali ke sini?Biru tidak mengingat apapun tentang Geisha namun benaknya memutar samar moment bercinta dengan seorang gadis.Biru bersumpah dia seorang gadis dan bukan Geisha karena gadis itu masih perawan sementara Geisha sudah tidak lagi perawan.“Tunggu … siapa gadis itu?” Biru bergumam dengan raut syok.Ting … Tong …Suara b
FLASH BACK ON “Sayang!” Geisha berseru sambil melambaikan tangan memanggil sang kekasih yang rela datang ke Bali atas permintaannya. Sudah dua minggu Geisha berada di Australia untuk syuting sebuah film terbaru dan sebelum kembali ke Jakarta, timnya merayakan kelancaran dan kesuksesan syuting dengan berkunjung ke Bali untuk sejenak melepas penat. Geisha sudah tidak bisa menahan rindu sehingga memaksa Biru menyusulnya ke Bali. Biru sampai harus membatalkan jadwal praktik di hari Sabtu demi dirinya dan Geisha senang sekali. Tubuh tinggi besar itu langsung memeluk Geisha yang duduk di stool meja bar. Geisha tenggelam di dada sang kekasih yang bidang. Dia selalu suka aroma Biru, lelah karena syuting dari pagi hingga pagi selama dua minggu terakhir seketika sirna seakan Biru adalah charger yang bisa mengisi dayanya kembali. “Aku kangen.” Geisha berujar manja. Dia mendapat kecupan di kepala dari Biru yang juga begitu merindukan Geisha sampai ti
“Gue lupa, Ra … gue lupa kamar kita itu 325 apa 352 … gue ketuk kamar 325 dan berakhir kaya gini, apa yang harus gue bilang sama Davian.” Jingga meracau di sela isak tangis, terus mengulang kalimat penyesalannya tersebut. Andaikan dia mendengarkan baik-baik nomor kamar yang diberitahu Kiara mungkin dia tidak akan salah kamar. Ketiga sahabatnya memeluk Jingga, mereka semua pun menangis ikut merasakan penderitaan Jingga. “Nanti kita bantu jelasin, ini musibah … kalau Davian cinta sama lo … dia pasti akan nerima lo.” Kiara mencoba menjelaskan. Terdengar suara langkah kaki mendekat, keempat gadis itu menoleh ke arah pintu. “Ibu Jingga sudah bisa dibawa kembali ke hotel agar bisa beristirahat.” Petugas berpakaian preman yang tidak lain adalah AKP Rizky yang menjabat sebagai Kapolsek di sana memberi ijin kepada Jingga untuk kembali ke hotel. “Lalu bagaimana kelanjutan kasusnya? Apa laki-laki itu sudah dit
“Menurut kronologis yang disampaikan ibu Jingga, dia memang ragu apakah kamar sahabatnya di nomor 325 atau 352 … tapi karena tidak bisa menghubungi ponsel ketiga sahabatnya yang mati kehabisan batre jadi ibu Jingga mencoba mencari tahu dengan mengetuk kamar bernomor 325 yang ternyata adalah kamar pak Biru yang tengah dalam pengaruh obat … begitu mendapat rekaman CCTV kami langsung mendatangi kamar ibu Geisha tapi dia dan timnya sudah keluar dari hotel … kami melakukan pencarian dan dari informasi yang kami terima secara langsung dari Managernya melalui sambungan telepon yang nomornya berhasil kami dapatkan dari data booking kamar—ternyata mereka sudah menyeberang pulau dengan alasan ibu Geisha harus segera berada di Jakarta untuk pekerjaan.” Geisha langsung pergi setelah mendengar berita ini dari Biru melalui sambungan telepon dini hari tadi. Ada perasaan lega menjalar di dada papi mendapati semua bukti tidak memberatkan putranya bahkan bisa dibilang kalau p
Liburan Jingga dan ketiga sahabatnya yang berakhir tragedi itu menyisakan kenangan pilu. Mereka berempat beserta papa Reza kembali ke Jakarta sore harinya. “Maafin gue ya Jingga … kalau aja gue enggak maksa lo datang ke Bali, mungkin lo enggak akan kaya gini.” Kiara yang paling menyesal karena dia yang paling bersikeras agar Jingga datang ke acara ulang tahunnya. “Bukan salah lo … gue yang salah karena lupa nomor kamar.” Jingga mengatakannya sambil menahan isakan. Mereka semua menangis, saling berpelukan di depan pintu kedatangan sebelum berpisah kembali ke rumah masing-masing. “Berkabar ya, hubungin kita kalau lo butuh sesuatu.” Sabila berujar sambil menatap sendu Jingga. “Sabar ya, gue tau lo pasti bisa ngelewatinya.” Ghea memeluk Jingga lagi kemudian dengan berat hati melepaskannya. “Maafin kami semua ya, Om.” Tidak lupa Kiara meminta maaf kepada papa Reza. “Sudah lah, ini
Di waktu yang sama ketika papa Reza dan ayah Roni bertemu untuk membicarakan pembatalan pernikahan anak-anak mereka—di tempat berbeda Jingga mengajak Davian untuk bertemu. Jingga memang harus segera memberitahu Davian mengenai musibah yang telah menimpanya. Dia juga ingin tahu bagaimana respon Davian. Jujur, hati kecil Jingga ingin Davian tetap mempertahankannya dan melanjutkan rencana pernikahan mereka. Jingga sampai lebih dulu ke restoran yang telah ditentukan. Gugup melanda, telapak tangannya sampai dingin dan basah. Beberapa saat kemudian sosok pria jangkung bertubuh atletis berjalan tegap melewati pintu utama dengan masih menggunakan seragam Abdi Negaranya. Begitu tampan dan gagah, memesona setiap kaum hawa yang melihat. Davian melemparkan senyum manis membuat hati Jingga berdebar. Pria itu adalah pria yang sangat Jingga cintai, pria yang selama dua tahun ini menemani Ji
Hebatnya Jingga, dia tidak mengambil cuti setelah akhir minggunya dirundung musibah. Hari Seninnya dia tetap bekerja seolah tidak ada apapun yang terjadi dengannya. Jingga bergerilya turun langsung ke lapangan untuk memenuhi target tim. Itu dilakukan Jingga untuk melupakan semua masalahnya. Jingga merasa waras jika tetap bekerja. Hari demi hari pun berlalu, papa Reza sudah memutuskan untuk menerima lamaran papi Yuna untuk Biru. Kegundahan Jingga semakin menjadi namun tidak berdampak pada kinerjanya di kantor. “Saya duluan Bu,” pamit seorang sales yang merupakan anggota tim Jingga. Jingga hanya memberikan senyum dan anggukan samar. Pria itu pun keluar dari ruangan. “Jingga, lo belum pulang?” tanya Melissa teman sekantor yang selevel dengannya. “Belum … rapihin aplikasi tim dulu.” Dia beralasan padahal jika sudah sampai rumah dia akan kesepian dan gundah
Biru merangkul pundak Jingga, mengecup pelipisnya sebagai ungkapan Terimakasih yang sudah ribuan kali dia ungkapkan semenjak Jingga dengan kesadaran sendiri mengajak Biru ke dokter kandungan setahun lalu untuk membuka KB IUD.Katanya Jingga merindukan suara tawa bayi dan pekerjaannya yang sekarang pun tidak seberat dulu.Jadi Jingga merasa mungkin sudah waktunya memiliki anak ke tiga.Dan tanpa dia duga, hanya dalam jangka waktu kurang lebih setahun setelah membuka KB IUD—Tuhan mempercayakan malaikat kecilnya lagi kepada mereka. Semua bahagia mendengar kabar kehamilan Jingga.Kehamilannya yang ketiga ini pun begitu dinikmati oleh Jingga.Pekerjaan Jingga tidak terganggu karena tidak ada kendala berarti selama kehamilan.Sampai Jingga lupa mengajukan cuti hamil, dia tetap pergi ke kantor meski kandungannya sudah memasuki masa persalinan.Pagi itu satu kantor geger karena Jingga ditemukan jatuh di kamar mandi oleh stafnya dengan ketuban pecah.“Panggil ambulan!” Atasan Jingga berseru k
Papi sudah pensiun sebagai Panglima TNI Republik Indonesia, sekarang beliau sedang menikmati masa tua di rumah saja. Ada beberapa bisnis yang digeluti papi yang sudah dipersiapkan sebelum pensiun tapi tidak memerlukan perhatian khusus dari beliau.Hanya sesekali saja mengecek dan sisa waktunya papi bisa habiskan dengan bermain bersama cucu.Setelah Cinta menjadi sarjana meski sempat terseok menjalaninya karena harus melahirkan anak ke tiga, papi meminta besannya yaitu papanya Jingga untuk memasukan Cinta menjadi pegawai Bank dari jalur Officer Development Program.Kebetulan Cinta berkuliah di kampus unggulan dan memiliki IPK yang baik dan ternyata Cinta bisa lulus menjalani test yang dilakukan pihak ketiga dan sekarang Cinta seperti kakak iparnya, menjadi seorang bankir.Davian tidak melarang Cinta berkarir, seperti halnya Biru yang justru mendukung karir Jingga.Meski sekarang Jingga lebih menikmati bekerja dibalik meja menjadi backoffice berkutat setiap harinya dengan kertas dan an
Hari berikutnya dan hari-hari selanjutnya, Cinta seakan bukan miliknya lagi.Cinta dikuasai oleh Kiana dan Bara apalagi Bara yang masih sering tantrum, kalau kata bunda dan mami—mungkin Bara tahu akan memiliki adik sementara dia masih ingin kasih sayang dan perhatian full dari kedua orang tuanya.Baiklah, ingatkan Davian untuk meminta Cinta pasang KB setelah melahirkan anak ketiga mereka nanti.Karena sesungguhnya, tanpa ada yang tahu kalau Cinta tertekan.Dia lelah karena harus membagi waktu dengan anak-anak dan kuliah.Berimbas pada bobot tubuh Cinta yang menurun padahal sedang mengandung.“Sayang.” Suara Davian yang baru saja masuk ke dalam kamar membuat Cinta refleks mengusap air mata di pipi.“Kamu nangis?” Davian bergerak mendekat dengan langkah cepat.Pria yang gagah dan selalu tampan di mata Cinta dengan seragam Polisinya itu langsung menangkup wajah Cinta menggunakan tangannya yang besar.“Kamu nangis?” Davian mengulang.“Enggak, tadi aku pakai obat tetes mata karena mata aku
Semenjak kejadian Davian menyusul Cinta yang pergi tanpa ijinnya ke Puncak, Cinta jadi banyak berubah.Sekarang Cinta lebih mementingkan keluarga kecilnya.Cinta sudah tidak lagi melimpahkan urusan anak-anak kepada Nanny kalau dia ada di rumah.Meski keteteran dengan tugas kuliah tapi sebisa mungkin Cinta yang mengambil peran untuk mengurus anak-anaknya.Davian juga sebagai suami tidak merasa dirinya paling benar, dia berpikir kalau Cinta sempat khilaf pasti karena kesalahannya juga.Bila dulu Davian jarang sekali mengajak Cinta jalan-jalan, setelah kejadian itu Davian membuat jadwal kencan berdua dengan Cinta di malam minggu.Jadi setiap malam minggu, Davian dan Cinta akan mengantarkan Kiana dan Bara bergantian antara rumah papinya Cinta atau rumah ayahnya Davian untuk menitipkan mereka sementara dia dan Cinta menghabiskan malam minggu berdua.Entah itu hanya makan malam, nonton konser, nonton film atau checkin di hotel berbintang dan pulang keesokan harinya. Dan malam ini—selagi ka
Davian menarik pundak Cinta kemudian mengecup pelipis istrinya.“Aku pake baju dulu ya, kasian papi sama mami udah nungguin.” Tidak ada respon dari Cinta, raut wajahnya masih masam.“Papi ganti baju dulu ya, Kiana duduk sini sama bunda.”Cinta merangkul Kiana sehingga Kiana mau duduk di atas pangkuannya sedangkan Davian pergi ke walk in closet memakai pakaian.“Kakak kenapa pukul ade? Adenya disayang ya?” Cinta menegur Kiana dengan suara lembut.Melihat jejak air mata di wajah sang bunda membuat perasaan Kiana jadi tidak nyaman.Dia memeluk sang bunda.“Maafin Kiana Buna.” “Harus sayang sama ade ya?” pinta sang bunda dengan pendar sendu di mata.Kiana mengangguk.Davian bisa mendengar percakapan Cinta dengan Kiana dari dalam walk in closet kemudian bibirnya tersenyum karena hatinya menghangat.*** Mobil yang kemudikan Davian dan Biru bersamaan tiba di pelataran parkir sebuah studio.Protokoler papi yang mengetahui kedatangan mobil putra dan menantu sang Jendral langsung mengarahkan
“Mas … tolong jawab dulu itu telepon enggak tahu dari siapa,” kata Cinta meminta bantuan saat sang suami masuk ke dalam kamar anak-anak untuk mencari tahu kenapa anak-anak menangis.“Oh … oke.” Davian bergerak ke sebuah meja di mana ponsel sang istri berada.“Kiana … hey, udah nangisnya … tadi Bunda ‘kan harus menyusui ade Bara dulu.”“Hallo ….” Suara Davian terdengar menyahut.Om Ridho sampai menjauhkan ponsel dari telinga untuk mengecek apakah mungkin dia salah menekan nomor karena bukan suara Cinta yang seharusnya dia dengar malah suara seorang pria.“Om Ridho!” Davian berseru karena telah melihat nama di layar ponsel Cinta. “Oh … ini Mas Davian ya?” Ridho memastikan.“Iya, Om.” “Uuuh sayang … sayang …” Suara Cinta bersama tangisan anak kecil masih bisa didengar oleh Ridho.Seperti dejavu karena saat menghubungi Biru tadi dia juga mendengar hal yang sama.“Ini kalian masih di rumah ya? Ibu sama Bapak udah sampai, beliau meminta kalian segera datang.” Om Ridho memberitahu.“Iya Om
Mengetahui kalau Biru dengan Davian telah berdamai, papi dan mami berinisiatif untuk melakukan foto keluarga bersama anak, cucu, menantunya.Kebahagiaan yang setiap tahun dirasakan mami dan papi dengan kehadiran cucu-cucu patut diabadikan.Studio foto milik photographer ternama yang menjadi pilihan papi dan mami untuk mengabadikan moment kelengkapan keluarga mereka.“Lho … Biru sama Cinta belum sampai?” Papi bicara pada Ridho-sang ajudan begitu tiba di studio foto dan tidak mendapati anak cucu dan menantunya di sana.Ya mana Ridho tahu, ‘kan dia pergi dari rumah bersama papi.“Sepertinya belum, Pak.” Ridho menjawab.“Mungkin mereka kejebak macet. “Mami menimpali.”“Selamat siang Pak Yuna Dewangga.” Sang photographer menyambut.“Selamat siang.” Papi dan pria Photographer saling menjabat tangan, setelah itu pria photographer beralih pada mami.“Anak dan menantu beserta cucu-cucu saya belum datang, bisa kita tunggu sebentar?“ kata papi meminta waktu.“Oh … tidak masalah, bagaimana kalau
“Raina itu sekertaris aku … aku akan selalu ngajak dia ke pesta untuk cari tahu tentang klien dari sekertaris mereka … aku sengaja beliin dia gaun biar dia enggak ngoceh di luaran kalau uangnya habis beli gaun untuk nemenin aku ke pesta … hubungan aku sama Raina hanya sebatas pekerjaan.” Reyshaka akhirnya bersuara setelah beberapa lama diam sambil memeluk Namira.Namira tidak menyahut, membiarkan kalimat penjelasan Reyshaka menguap begitu saja.Gemas karena Namira tidak memberikan respon, pria itu lantas menegakan tubuh membawa Namira dalam pelukannya.“Terus … penjelasan kamu apa?” tanya Reyshaka menuntut setelah mengurai pelukan.Mata almond Namira mengerjap, istri cantiknya melongo bingung.“Penjelasan atas apa?” Namira bertanya polos.“Tadi ‘kan aku udah jelasin kenapa aku harus pergi ke pesta dengan Raina dan beliin dia gaun … sekarang aku mau denger penjelasan kamu kenapa bisa makan siang sama Erwan?”Namira tersenyum di dalam hati, suaminya ternyata benar-benar cemburu dan dia
“Pagi, Pak …,” sapa Jingga saat netranya bertemu dengan netra sang bos yang duduk di balik meja kerja.“Pagi … duduk, Bu Jingga.” Pak Kurnia mempersilahkan.Jingga tahu kalau dia akan dicecar habis-habisan karena target timnya masih merah sedangkan lima hari lagi akhir bulan.Jingga duduk, senyumnya tampak kaku tapi dia siap menerima apapun yang akan disampaikan pak Kurnia.“Begini Bu Jingga, mengingat hampir sepanjang tahun target Bu Jingga antara merah kuning belum pernah mencapai hijau … maka kemarin dalam panel saya terus dicecar oleh Bos … saya sudah mencoba mempertahankan Bu Jingga karena saya tahu kinerja Bu Jingga sebelum menikah tapi ternyata mereka tidak mau tahu … dan tetap memutuskan untuk mengganti Bu Jingga ….” Pak Kurnia menjeda mencari tahu ekspresi Jingga namun bawahannya itu memasang ekspresi datar hanya kerjapan mata sebagai respon.“Bu Jingga tidak diberhentikan tapi dipindahkan ke divisi lain, backoffice.” Pak Kurnia melanjutkan.Jingga mengembuskan napas berat,