FLASH BACK ON
“Sayang!” Geisha berseru sambil melambaikan tangan memanggil sang kekasih yang rela datang ke Bali atas permintaannya.Sudah dua minggu Geisha berada di Australia untuk syuting sebuah film terbaru dan sebelum kembali ke Jakarta, timnya merayakan kelancaran dan kesuksesan syuting dengan berkunjung ke Bali untuk sejenak melepas penat.Geisha sudah tidak bisa menahan rindu sehingga memaksa Biru menyusulnya ke Bali.Biru sampai harus membatalkan jadwal praktik di hari Sabtu demi dirinya dan Geisha senang sekali.Tubuh tinggi besar itu langsung memeluk Geisha yang duduk di stool meja bar.Geisha tenggelam di dada sang kekasih yang bidang.Dia selalu suka aroma Biru, lelah karena syuting dari pagi hingga pagi selama dua minggu terakhir seketika sirna seakan Biru adalah charger yang bisa mengisi dayanya kembali.“Aku kangen.” Geisha berujar manja.Dia mendapat kecupan di kepala dari Biru yang juga begitu merindukan Geisha sampai tidak segan memperlihatkan kemesraan di depan para asisten Geisha.Biru melepaskan pelukannya, dia duduk di stool di samping Geisha.“Aku pikir kamu enggak bisa datang … aku tahu kamu bisa bolos praktik tapi kamu enggak bisa pergi kalau mami enggak kasih ijin ‘kan?” Geisha mengerucutkan bibirnya sebal.Biru hanya tersenyum, dia tidak membantah karena ucapan Geisha benar.Sebagai dokter, dia bisa sesekali ijin untuk tidak praktik karena urusan pribadi tapi sebagai anak yang masih tinggal dengan kedua orang tua meski usianya telah menginjak tiga puluh tahun—Biru tidak bisa membangkang kepada orang tua yang telah membesarkannya.“Kenapa sih mami kamu enggak suka banget sama aku?”“Kamu tahu alasannya … makanya kurang-kurangin skandal … kamu bisa sukses dengan kelebihan kamu ….”“Tapi kata Manager aku, skandal bagus untuk naikin pamor … biar masuk infotainment terus … lagian semua cuma setingan kok.”“Kayanya kamu harus ganti Manager, Yang.” Biru berpendapat.“Aku bisa aja sih enggak peduli dengan pamor-pamoran gitu… kalau punya alasan.” Geisha meraih tangan Biru dan menggenggamnya erat.“Misalnya jadi istri kamu … sekalipun sepi job, aku bisa bilang kalau suami aku ngelarang aku banyak ambil kerjaan,” sambung Geisha yang kemudian memeluk tangan kekar Biru dan menyimpan dagu di pundak pria itu.Biru tertawa kering, mana mungkin untuk saat ini dia memperistri Geisha.Mami masih belum memberi restu malah sering menjodohkannya dengan anak Jendral yang lain.Dia pergi ke sini saja harus membohongi mami dan mengatakan hendak mengikuti seminar kedokteran.Memang benar kebetulan sedang diadakan seminar kedokteran di Universitas Udayana selama dua hari di sabtu dan minggu tapi Biru tidak mendaftar seminar tersebut, dia malah menjadikannya kesempatan untuk bisa bertemu Geisha.“Malah ketawa ….” Geisha melepaskan pelukan, dia menghela tangan Biru lalu menghentakan kakinya.“Sayaaaang, aku usahain ya … aku akan bujuk mami tapi kamunya juga bantu aku dengan menjaga harkat dan martabat kamu sendiri ….”Geisha berhenti merajuk, dia menatap wajah tampan kekasihnya lekat.“Kamu cinta sama aku ‘kan?” Geisha bertanya pertanyaan yang sama yang hampir setiap hari dia tanyakan.“Ya iya lah, aku cinta banget sama kamu.” Biru berkata jujur.Dia tidak akan menjadikan Geisha sebagai seorang kekasih kalau tidak mencintainya.“Kalau aku hamil anak kamu, kira-kira mami kamu mau restuin kita enggak?”Pertanyaan bodoh yang diucapkan Geisha dengan takut-takut ternyata mampu mengubah ekspresi di wajah Biru.“Kita udah pernah bahas ini ‘kan sayang, kamu akan semakin dianggap rendah sama mami kalau kamu hamil duluan.”Hati Geisha berdenyut ngilu saat melihat tatap mata tajam tidak suka Biru kepadanya walau dia tahu kalau apa yang diucapkan Biru adalah demi kebaikannya dan keberlangsungan hubungan mereka berdua.Geisha sangat mencintai Biru, meski pria itu bukan tipe pria romantis dan kadang tidak peka tapi Biru tidak mempermasalahkan dirinya yang sudah kehilangan keperawanan semenjak SMA.Biru juga bersedia memperistrinya dan tidak pernah membahas tentang itu sekalipun setelah mengetahui hal tersebut.“Maaf ….” Geisha mengalah, dia meminta maaf lebih dulu.Biru menatap malas Geisha bersama hembusan napas panjang kemudian turun dari stool.“Mau ke mana?” Geisha menahan tangan Biru.“Aku ke toilet sebentar, kamu pesenin aku minum ya.”Geisha menganggukan kepala, dia melepaskan tangannya dari lengan Biru yang kemudian pergi menjauh.Biru sempat melirik ke arah daybed yang terdapat kumpulan gadis sedang tertawa kencang entah membicarakan apa.Dan matanya terpaku pada salah seorang gadis yang hanya menutup mulutnya dengan tangan ketika dia tertawa.Tampak anggun dan bersahaja dengan posisi duduk yang elegan seperti seorang keturunan Aristrokat.Tanpa dia duga kalau gadis tersebut adalah Langit Jingga, gadis yang akan dia renggut keperawanannya sebentar lagi.Masih di meja bar, Geisha yang sudah merencanakan semua ini memanggil asistennya.Sang asisten memasukan obat dengan kandungan Avanafil ke dalam minuman yang baru saja dipesan Geisha untuk Biru agar mereka bisa bercinta tanpa pengaman malam ini.Pasalnya Biru selalu ingat untuk memakai pengaman bila bercinta dalam keadaan sadar sementara Geisha ingin segera menikah dengan anak Panglima TNI itu.Geisha keukeuh akan menempuh jalur hamil di luar nikah untuk bisa memiliki Biru sehingga dengan terpaksa maminya Biru akan memberi restu.Setelah menikah, dia akan masa bodoh dengan calon ibu mertuanya itu.“Kamar udah oke?” Geisha memastikan.“Udah ….” Sang asisten mengangkat kedua jempolnya.Tidak lama Biru kembali, dia duduk di tempat sebelumnya di samping Geisha dan meminum minuman yang disodorkan sang kekasih.Biru dan Geisha menikmati perform persembahan pihak Beach Club yang mendatangkan DJ ternama Indonesia yang sedang naik daun.Sampai akhirnya Biru merasa tidak nyaman dengan tubuhnya, hawa panas tiba-tiba menyeruak dari dalam, kepalanya pening dampak hasratnya yang telah terpicu.Geisha yang melihat gelagat Biru langsung mengulurkan tangan mengusap paha pria itu kemudian meremat pelan miliknya yang ternyata telah mengeras.“Yaaang.” Biru mengerang, dia menyelimuti tangan Geisha tanpa berusaha menyingkirkan dari miliknya.“Kenapa sayang?” tanya Geisha tanpa dosa.“Ke kamar yuk?” bisik Biru di telinga Geisha.Geisha tersenyum kemudian mengangguk.Dia turun dari stool diikuti Biru.Keduanya berjalan saling berangkulan keluar dari Beach Club menuju loby di mana tadi Biru menitipkan kopernya di sana.Geisha meminta petugas hotel membawakan koper Biru ke kamar karena dia sibuk menopang tubuh sang kekasih yang nyaris kehilangan kesadaran.Obatnya sudah bekerja.Tubuh Biru langsung ambruk di atas kasur, dia menarik Geisha hingga ikut jatuh menindihnya“Sayang, aku kasih tip dulu ya … sabar.”Geisha bangkit dari atas Biru, dia memberikan tip kepada petugas hotel yang tadi membantu membawa koper Biru.Setelah menutup pintu dan mengunci sebanyak dua kali, Geisha mulai melucuti satu persatu pakaiannya.Antara sadar dan tidak, Biru mendudukan tubuhnya.Mata pria itu kini terbuka lebar menatap tubuh Geisha yang polos.Biru tersenyum, dia mengulurkan tangan meminta Geisha mendekat yang langsung menuruti keinginannya dan duduk di atas pangkuan.“Sayang.”Usai mengerang memanggil Geisha, Biru memagut bibir ranum itu.Kedua tangan Geisha melingkar di leher Biru sementara bagian intinya menekan milik Biru yang masih terbalut celana.Sengaja Geisha menyiksa Biru sedikit lebih lama sambil menunggu kesadaran pria itu benar-benar hilang.Namun sayang ponselnya berdering panjang menandakan sebuah panggilan masuk.Geisha berusaha mengabaikan selama beberapa saat.Dia berdecak lidah kesal tatkala mendengar suara bel dan ketukan di pintu.Terpaksa Geisha harus menghentikan kegiatannya.“Sayang, sebentar … aku angkat telepon dulu.” Geisha meringis melihat ekspresi tersiksa Biru.Pria itu menghempaskan punggungnya di atas ranjang kemudian memejamkan mata.“Hallo!” bentak Geisha menjawab panggilan telepon dari sang Manager.“Di mana lo?” tanya Febri sang Manager tidak kalah nyolot.“Di kamar, mau ngapain? Ganggu aja!”“Gue di kamar lo tapi lonya enggak ada!”“Gue di kamar Biru, dia nyusul ke sini.”“Apapun yang lo sama Biru lakuin segera hentikan dan lo harus ke sini sekarang juga karena agensi dari Paris nawarin lo jadi model salah satu brand ternama dunia … kita meetingsama mereka sekarang!”“Apa?” Geisha menoleh ke arah ranjang.Dia bingung harus bagaimana.Tapi kesempatan menjadi brand ambasador merk ternama dunia tidak akan datang dua kali.“Ya udah … gue ke sana sekarang.” Geisha memutuskan bungagan telepon.Dia bergegas memakai pakaiannya lagi.“Sayang, tunggu sebentar ya … aku meeting dulu sebentar aja, nanti aku balik lagi.”Biru yang memang kekasih pengertian terpaksa menganggukan kepala.Mata pria itu tampak sayu berkabut, wajahnya memerah dampak dari menahan gelora hasrat yang telah sampai ke ubun-ubun.Geisha menyesal sekali, tapi dia ingat masih memiliki satu kantung obat untuk digunakan nanti bila efek obat yang telah dia masukan ke minuman Biru tadi habis sekembalinya dari meeting.Dengan terburu-buru Geisha keluar dari kamar Biru, ada asistennya yang bernama Susan telah menunggu di depan pintu.Dia yang menggedor-gedor dan membunyikan bel tadi.“Apa mereka enggak tidur? Masa tengah malem gini meeting?” Geisha bersungut-sungut sambil menghentakan kakinya menyusuri lorong.“Jakarta lebih cepat enam jam dari Paris … di sana masih sore.” Susan memberitahu.Geisha mendelik kesal pada Susan.Tidak lama dari itu, bel pintu kamar Biru berbunyi disusul suara pintu di ketuk.Biru yang kesadarannya menipis bangun dari atas ranjang untuk membuka pintu.Dia langsung menarik gadis di depannya yang dia pikir adalah Geisha.Dan tanpa Biru sadari kalau dia kemudian melecehkan gadis tersebut yang ternyata bukan Geisha.FLASHBACK OFFUsai menceritakan apa yang dia ingat meski beberapa kali harus memejamkan mata dan terdiam sebentar mengingat kembali apa yang telah terjadi—akhirnya Biru diminta untuk melakukan tes urin.Dia meraih gelas kecil kosong dari tangan petugas.“Pak, apa saya bisa bicara dengan Kapolseknya?” Biru bertanya kepada petugas.“Kapolseknya sedang berada di sambungan telepon dengan ayah Pak Bumi.” Petugas itu memberitahu.Biru menganggukan kepala, dia keluar menuju toilet.Mungkin setelah mengetahui nama belakangnya, Kapolsek langsung menghubungi ajudan papi.Sekembalinya dari menampung urin, dia melewati ruangan di mana tadi melihat seorang gadis sedang menangis sambil dikelilingi tiga hadis lain.Masih terdengar isak tangis dari dalam sana dan dia berhenti tepat di depan pintu.“Itu adalah gadis yang melaporkan Pak Bumi.”Biru sampai menoleh terkejut mendengar suara di sampingnya.“Dia datang dengan tubuh bergetar dan ketakutan, memar terdapat di pergelangan tangan dan lehernya … dia menceritakan semuanya sambil menangis … saya yang menerimanya pertama kali,” sambung petugas polisi tersebut.“Tapi dia wanita kuat, dia masih bisa menjelaskan kronologis kejadian dengan lancar … dia hanya ingin keadilan.” Petugas polisi tersebut pergi usai mengakhiri ucapannya dengan kalimat menohok.Biru memejamkan mata sekilas, napasnya terembus panjang.Dia melanjutkan langkah kembali ke ruangan tadi dan memberikan sampel urinenya kepada seorang petugas yang telah menunggu.Biru sangat kooperatif karena dia tahu telah melakukan kesalahan.Dia sudah tidak bisa menghindar lagi.“Pak … boleh saya bicara dengan gadis yang telah saya lecehkan?”Polisi yang tadi menginterogasi Biru mengangkat pandangan dati layar komputer.“Sebaiknya tidak … gadis itu bernama Langit Jingga dan dia masih syok … Ayah Pak Bumi dan ayah bu Langit sedang dalam perjalanan ke sini … mungkin mediasi akan langsung dilakukan oleh beliau-beliau….”Biru menjatuhkan bokongnya di salah satu kursi, dia mencerna kembali kalimat petugas polisi tersebut.Namanya dan nama gadis itu sama-sama memiliki unsur alam dan warna.Apakah ini hanya kebetulan?Atau kah memang takdir yang sudah digariskan sang Pencipta?Jadi langkah pertama untuk masalah ini adalah mediasi.Dengan kekuasaan papi, mungkin dia akan terlepas dari jeratan hukum.Tapi hidupnya tidak akan tenang mengingat ada gadis yang sudah dia hancurkan masa depannya.Ponsel Biru berbunyi nyaring, dia merogoh saku celananya mencari tahu siapa yang menghubungi.Nama sang kekasih muncul di layar.“Hallo, Yang.” Suara Biru terdengar putus asa.“Sayang … buka pintu, kamu enggak denger aku gedor-gedor?”“Yang … aku di kantor polisi.”“Apa? Kenapa?”Ada jeda cukup lama, Biru ragu mengatakan yang sebenarnya.Tapi dia tidak mungkin menyembunyikan kejadian ini dari Geisha.“Tadi waktu kamu pergi, enggak lama bel pintu kamar bunyi … di balik pintu berdiri seorang gadis … aku pikir itu kamu, aku tarik tangan gadis itu ke dalam kamar dan ….” Biru memutuskan memberi tahu Geisha meski dia sendiri tidak mampu melanjutkan kalimatnya.“Dan apa?” Suara Geisha begitu lantang, dia terdengar panik.“Dan aku memperkosa gadis itu … aku enggak sengaja, aku enggak sadar, aku—“Klik.Biru menghentikan kalimatnya karena tahu Geisha memutus sepihak panggilan tersebut.Itu yang selalu dilakukan Geisha bila sedang marah pada Biru.Biru mengembuskan napas panjang, dia mengusap wajahnya kasar.Nasib sial menghampiri Biru mungkin karena dia telah membohongi mami agar mendapat ijin pergi ke Bali.“Gue lupa, Ra … gue lupa kamar kita itu 325 apa 352 … gue ketuk kamar 325 dan berakhir kaya gini, apa yang harus gue bilang sama Davian.” Jingga meracau di sela isak tangis, terus mengulang kalimat penyesalannya tersebut. Andaikan dia mendengarkan baik-baik nomor kamar yang diberitahu Kiara mungkin dia tidak akan salah kamar. Ketiga sahabatnya memeluk Jingga, mereka semua pun menangis ikut merasakan penderitaan Jingga. “Nanti kita bantu jelasin, ini musibah … kalau Davian cinta sama lo … dia pasti akan nerima lo.” Kiara mencoba menjelaskan. Terdengar suara langkah kaki mendekat, keempat gadis itu menoleh ke arah pintu. “Ibu Jingga sudah bisa dibawa kembali ke hotel agar bisa beristirahat.” Petugas berpakaian preman yang tidak lain adalah AKP Rizky yang menjabat sebagai Kapolsek di sana memberi ijin kepada Jingga untuk kembali ke hotel. “Lalu bagaimana kelanjutan kasusnya? Apa laki-laki itu sudah dit
“Menurut kronologis yang disampaikan ibu Jingga, dia memang ragu apakah kamar sahabatnya di nomor 325 atau 352 … tapi karena tidak bisa menghubungi ponsel ketiga sahabatnya yang mati kehabisan batre jadi ibu Jingga mencoba mencari tahu dengan mengetuk kamar bernomor 325 yang ternyata adalah kamar pak Biru yang tengah dalam pengaruh obat … begitu mendapat rekaman CCTV kami langsung mendatangi kamar ibu Geisha tapi dia dan timnya sudah keluar dari hotel … kami melakukan pencarian dan dari informasi yang kami terima secara langsung dari Managernya melalui sambungan telepon yang nomornya berhasil kami dapatkan dari data booking kamar—ternyata mereka sudah menyeberang pulau dengan alasan ibu Geisha harus segera berada di Jakarta untuk pekerjaan.” Geisha langsung pergi setelah mendengar berita ini dari Biru melalui sambungan telepon dini hari tadi. Ada perasaan lega menjalar di dada papi mendapati semua bukti tidak memberatkan putranya bahkan bisa dibilang kalau p
Liburan Jingga dan ketiga sahabatnya yang berakhir tragedi itu menyisakan kenangan pilu. Mereka berempat beserta papa Reza kembali ke Jakarta sore harinya. “Maafin gue ya Jingga … kalau aja gue enggak maksa lo datang ke Bali, mungkin lo enggak akan kaya gini.” Kiara yang paling menyesal karena dia yang paling bersikeras agar Jingga datang ke acara ulang tahunnya. “Bukan salah lo … gue yang salah karena lupa nomor kamar.” Jingga mengatakannya sambil menahan isakan. Mereka semua menangis, saling berpelukan di depan pintu kedatangan sebelum berpisah kembali ke rumah masing-masing. “Berkabar ya, hubungin kita kalau lo butuh sesuatu.” Sabila berujar sambil menatap sendu Jingga. “Sabar ya, gue tau lo pasti bisa ngelewatinya.” Ghea memeluk Jingga lagi kemudian dengan berat hati melepaskannya. “Maafin kami semua ya, Om.” Tidak lupa Kiara meminta maaf kepada papa Reza. “Sudah lah, ini
Di waktu yang sama ketika papa Reza dan ayah Roni bertemu untuk membicarakan pembatalan pernikahan anak-anak mereka—di tempat berbeda Jingga mengajak Davian untuk bertemu. Jingga memang harus segera memberitahu Davian mengenai musibah yang telah menimpanya. Dia juga ingin tahu bagaimana respon Davian. Jujur, hati kecil Jingga ingin Davian tetap mempertahankannya dan melanjutkan rencana pernikahan mereka. Jingga sampai lebih dulu ke restoran yang telah ditentukan. Gugup melanda, telapak tangannya sampai dingin dan basah. Beberapa saat kemudian sosok pria jangkung bertubuh atletis berjalan tegap melewati pintu utama dengan masih menggunakan seragam Abdi Negaranya. Begitu tampan dan gagah, memesona setiap kaum hawa yang melihat. Davian melemparkan senyum manis membuat hati Jingga berdebar. Pria itu adalah pria yang sangat Jingga cintai, pria yang selama dua tahun ini menemani Ji
Hebatnya Jingga, dia tidak mengambil cuti setelah akhir minggunya dirundung musibah. Hari Seninnya dia tetap bekerja seolah tidak ada apapun yang terjadi dengannya. Jingga bergerilya turun langsung ke lapangan untuk memenuhi target tim. Itu dilakukan Jingga untuk melupakan semua masalahnya. Jingga merasa waras jika tetap bekerja. Hari demi hari pun berlalu, papa Reza sudah memutuskan untuk menerima lamaran papi Yuna untuk Biru. Kegundahan Jingga semakin menjadi namun tidak berdampak pada kinerjanya di kantor. “Saya duluan Bu,” pamit seorang sales yang merupakan anggota tim Jingga. Jingga hanya memberikan senyum dan anggukan samar. Pria itu pun keluar dari ruangan. “Jingga, lo belum pulang?” tanya Melissa teman sekantor yang selevel dengannya. “Belum … rapihin aplikasi tim dulu.” Dia beralasan padahal jika sudah sampai rumah dia akan kesepian dan gundah
“Aah … Biru, eemmhh … yaah … yaah ….” Geisha memang selalu berisik setiap kali bercinta tapi itu justru membuat hasrat Biru memuncak. Biru terus menggerakan bokong menghentak dari belakang sementara Geisha membungkuk membelakanginya. Dengan satu gerakan mudah Biru menarik pinggang Geisha, mengubah posisi mereka. Biru duduk di sisi ranjang sedangkan Geisha naik ke atas pangkuannya. Geisha mulai bergerak naik turun, dia melempar senyum sebelum memagut bibir Biru. Cukup lama kemudian dia membusungkan dada membuat Biru mudah meraup puncak dadanya menggunakan bibir. Kepala Geisha menengadah, rambut panjang nan tebalnya terjuntai di punggung menambah kesan seksi. Sambil masih menghisap dada Geisha, kedua tangan Biru ikut membantu bokong Geisha agar gerakannya semakin cepat karena dia akan sampai. “Biruuuu.” Geisha merengek, dia hampir sampai. “Bersama sayang.” Biru meng
Biru dan Jingga tidak pernah bertemu lagi setelah tragedi di Bali. Selama tiga bulan mempersiapkan pernikahan, Jingga selalu menghindar setiap kali Wedding Organizer mengajak meeting bersama kedua calon mempelai pengantin untuk acara besar nanti. Tapi Biru selalu datang, dia menunjukkan kesungguhannya menikahi Jingga. Memang tidak banyak yang harus dilakukan lagi karena melanjutkan yang sudah dimulai hanya saja calon mempelai pengantin prianya bukan Davian melainkan Biru. Jingga sempat berulah dengan menolak fitting gaun pengantin karena gaun itu adalah pilihan Davian sementara yang akan dia nikahi adalah Biru. Tidak ada bridal shower padahal sudah masuk dalam paket pernikahan sebab lagi-lagi Jingga menolak. Mama dan papa juga ketiga sahabatnya khawatir dengan kondisi psikis Jingga namun Jingga memperlihatkan kalau dirinya baik-baik saja meski sedikit berulah. Sampai akhirnya hari yang semestinya ditunggu-t
Di luar kamar, Biru tidak pergi ke mana-mana. Dia bersandar punggung di samping pintu seraya membuka aplikasi chat. Banyak chat yang dikirim Geisha selama beberapa minggu terakhir yang sengaja tidak Biru buka. Biru sempat menghubungi Febri perihal niatnya menjauh dari Geisha demi kebaikan Geisha juga dan Febri setuju. Sebagai Manager, Febri tidak ingin kehilangan artisnya yang sedang berada di puncak kesuksesan. Geisha harus bisa melupakan Biru jadi Febri mengambil banyak Job untuk Geisha di luar kota maupun Luar Negri sehingga Geisha sibuk dan tidak mencari Biru terutama di hari pernikahannya ini yang kebetulan Geisha sedang melakukan sesi pemotretan di Paris sana karena berhasil menjadi brand ambasador sebuah merek ternama dunia. Biru memilih membuka pesan dari pasien dan perawat, dia membalasnya satu persatu. Belum selesai dia membalas banyak chat yang masuk—Biru mendengar suara pintu di sebelahny
Biru merangkul pundak Jingga, mengecup pelipisnya sebagai ungkapan Terimakasih yang sudah ribuan kali dia ungkapkan semenjak Jingga dengan kesadaran sendiri mengajak Biru ke dokter kandungan setahun lalu untuk membuka KB IUD.Katanya Jingga merindukan suara tawa bayi dan pekerjaannya yang sekarang pun tidak seberat dulu.Jadi Jingga merasa mungkin sudah waktunya memiliki anak ke tiga.Dan tanpa dia duga, hanya dalam jangka waktu kurang lebih setahun setelah membuka KB IUD—Tuhan mempercayakan malaikat kecilnya lagi kepada mereka. Semua bahagia mendengar kabar kehamilan Jingga.Kehamilannya yang ketiga ini pun begitu dinikmati oleh Jingga.Pekerjaan Jingga tidak terganggu karena tidak ada kendala berarti selama kehamilan.Sampai Jingga lupa mengajukan cuti hamil, dia tetap pergi ke kantor meski kandungannya sudah memasuki masa persalinan.Pagi itu satu kantor geger karena Jingga ditemukan jatuh di kamar mandi oleh stafnya dengan ketuban pecah.“Panggil ambulan!” Atasan Jingga berseru k
Papi sudah pensiun sebagai Panglima TNI Republik Indonesia, sekarang beliau sedang menikmati masa tua di rumah saja. Ada beberapa bisnis yang digeluti papi yang sudah dipersiapkan sebelum pensiun tapi tidak memerlukan perhatian khusus dari beliau.Hanya sesekali saja mengecek dan sisa waktunya papi bisa habiskan dengan bermain bersama cucu.Setelah Cinta menjadi sarjana meski sempat terseok menjalaninya karena harus melahirkan anak ke tiga, papi meminta besannya yaitu papanya Jingga untuk memasukan Cinta menjadi pegawai Bank dari jalur Officer Development Program.Kebetulan Cinta berkuliah di kampus unggulan dan memiliki IPK yang baik dan ternyata Cinta bisa lulus menjalani test yang dilakukan pihak ketiga dan sekarang Cinta seperti kakak iparnya, menjadi seorang bankir.Davian tidak melarang Cinta berkarir, seperti halnya Biru yang justru mendukung karir Jingga.Meski sekarang Jingga lebih menikmati bekerja dibalik meja menjadi backoffice berkutat setiap harinya dengan kertas dan an
Hari berikutnya dan hari-hari selanjutnya, Cinta seakan bukan miliknya lagi.Cinta dikuasai oleh Kiana dan Bara apalagi Bara yang masih sering tantrum, kalau kata bunda dan mami—mungkin Bara tahu akan memiliki adik sementara dia masih ingin kasih sayang dan perhatian full dari kedua orang tuanya.Baiklah, ingatkan Davian untuk meminta Cinta pasang KB setelah melahirkan anak ketiga mereka nanti.Karena sesungguhnya, tanpa ada yang tahu kalau Cinta tertekan.Dia lelah karena harus membagi waktu dengan anak-anak dan kuliah.Berimbas pada bobot tubuh Cinta yang menurun padahal sedang mengandung.“Sayang.” Suara Davian yang baru saja masuk ke dalam kamar membuat Cinta refleks mengusap air mata di pipi.“Kamu nangis?” Davian bergerak mendekat dengan langkah cepat.Pria yang gagah dan selalu tampan di mata Cinta dengan seragam Polisinya itu langsung menangkup wajah Cinta menggunakan tangannya yang besar.“Kamu nangis?” Davian mengulang.“Enggak, tadi aku pakai obat tetes mata karena mata aku
Semenjak kejadian Davian menyusul Cinta yang pergi tanpa ijinnya ke Puncak, Cinta jadi banyak berubah.Sekarang Cinta lebih mementingkan keluarga kecilnya.Cinta sudah tidak lagi melimpahkan urusan anak-anak kepada Nanny kalau dia ada di rumah.Meski keteteran dengan tugas kuliah tapi sebisa mungkin Cinta yang mengambil peran untuk mengurus anak-anaknya.Davian juga sebagai suami tidak merasa dirinya paling benar, dia berpikir kalau Cinta sempat khilaf pasti karena kesalahannya juga.Bila dulu Davian jarang sekali mengajak Cinta jalan-jalan, setelah kejadian itu Davian membuat jadwal kencan berdua dengan Cinta di malam minggu.Jadi setiap malam minggu, Davian dan Cinta akan mengantarkan Kiana dan Bara bergantian antara rumah papinya Cinta atau rumah ayahnya Davian untuk menitipkan mereka sementara dia dan Cinta menghabiskan malam minggu berdua.Entah itu hanya makan malam, nonton konser, nonton film atau checkin di hotel berbintang dan pulang keesokan harinya. Dan malam ini—selagi ka
Davian menarik pundak Cinta kemudian mengecup pelipis istrinya.“Aku pake baju dulu ya, kasian papi sama mami udah nungguin.” Tidak ada respon dari Cinta, raut wajahnya masih masam.“Papi ganti baju dulu ya, Kiana duduk sini sama bunda.”Cinta merangkul Kiana sehingga Kiana mau duduk di atas pangkuannya sedangkan Davian pergi ke walk in closet memakai pakaian.“Kakak kenapa pukul ade? Adenya disayang ya?” Cinta menegur Kiana dengan suara lembut.Melihat jejak air mata di wajah sang bunda membuat perasaan Kiana jadi tidak nyaman.Dia memeluk sang bunda.“Maafin Kiana Buna.” “Harus sayang sama ade ya?” pinta sang bunda dengan pendar sendu di mata.Kiana mengangguk.Davian bisa mendengar percakapan Cinta dengan Kiana dari dalam walk in closet kemudian bibirnya tersenyum karena hatinya menghangat.*** Mobil yang kemudikan Davian dan Biru bersamaan tiba di pelataran parkir sebuah studio.Protokoler papi yang mengetahui kedatangan mobil putra dan menantu sang Jendral langsung mengarahkan
“Mas … tolong jawab dulu itu telepon enggak tahu dari siapa,” kata Cinta meminta bantuan saat sang suami masuk ke dalam kamar anak-anak untuk mencari tahu kenapa anak-anak menangis.“Oh … oke.” Davian bergerak ke sebuah meja di mana ponsel sang istri berada.“Kiana … hey, udah nangisnya … tadi Bunda ‘kan harus menyusui ade Bara dulu.”“Hallo ….” Suara Davian terdengar menyahut.Om Ridho sampai menjauhkan ponsel dari telinga untuk mengecek apakah mungkin dia salah menekan nomor karena bukan suara Cinta yang seharusnya dia dengar malah suara seorang pria.“Om Ridho!” Davian berseru karena telah melihat nama di layar ponsel Cinta. “Oh … ini Mas Davian ya?” Ridho memastikan.“Iya, Om.” “Uuuh sayang … sayang …” Suara Cinta bersama tangisan anak kecil masih bisa didengar oleh Ridho.Seperti dejavu karena saat menghubungi Biru tadi dia juga mendengar hal yang sama.“Ini kalian masih di rumah ya? Ibu sama Bapak udah sampai, beliau meminta kalian segera datang.” Om Ridho memberitahu.“Iya Om
Mengetahui kalau Biru dengan Davian telah berdamai, papi dan mami berinisiatif untuk melakukan foto keluarga bersama anak, cucu, menantunya.Kebahagiaan yang setiap tahun dirasakan mami dan papi dengan kehadiran cucu-cucu patut diabadikan.Studio foto milik photographer ternama yang menjadi pilihan papi dan mami untuk mengabadikan moment kelengkapan keluarga mereka.“Lho … Biru sama Cinta belum sampai?” Papi bicara pada Ridho-sang ajudan begitu tiba di studio foto dan tidak mendapati anak cucu dan menantunya di sana.Ya mana Ridho tahu, ‘kan dia pergi dari rumah bersama papi.“Sepertinya belum, Pak.” Ridho menjawab.“Mungkin mereka kejebak macet. “Mami menimpali.”“Selamat siang Pak Yuna Dewangga.” Sang photographer menyambut.“Selamat siang.” Papi dan pria Photographer saling menjabat tangan, setelah itu pria photographer beralih pada mami.“Anak dan menantu beserta cucu-cucu saya belum datang, bisa kita tunggu sebentar?“ kata papi meminta waktu.“Oh … tidak masalah, bagaimana kalau
“Raina itu sekertaris aku … aku akan selalu ngajak dia ke pesta untuk cari tahu tentang klien dari sekertaris mereka … aku sengaja beliin dia gaun biar dia enggak ngoceh di luaran kalau uangnya habis beli gaun untuk nemenin aku ke pesta … hubungan aku sama Raina hanya sebatas pekerjaan.” Reyshaka akhirnya bersuara setelah beberapa lama diam sambil memeluk Namira.Namira tidak menyahut, membiarkan kalimat penjelasan Reyshaka menguap begitu saja.Gemas karena Namira tidak memberikan respon, pria itu lantas menegakan tubuh membawa Namira dalam pelukannya.“Terus … penjelasan kamu apa?” tanya Reyshaka menuntut setelah mengurai pelukan.Mata almond Namira mengerjap, istri cantiknya melongo bingung.“Penjelasan atas apa?” Namira bertanya polos.“Tadi ‘kan aku udah jelasin kenapa aku harus pergi ke pesta dengan Raina dan beliin dia gaun … sekarang aku mau denger penjelasan kamu kenapa bisa makan siang sama Erwan?”Namira tersenyum di dalam hati, suaminya ternyata benar-benar cemburu dan dia
“Pagi, Pak …,” sapa Jingga saat netranya bertemu dengan netra sang bos yang duduk di balik meja kerja.“Pagi … duduk, Bu Jingga.” Pak Kurnia mempersilahkan.Jingga tahu kalau dia akan dicecar habis-habisan karena target timnya masih merah sedangkan lima hari lagi akhir bulan.Jingga duduk, senyumnya tampak kaku tapi dia siap menerima apapun yang akan disampaikan pak Kurnia.“Begini Bu Jingga, mengingat hampir sepanjang tahun target Bu Jingga antara merah kuning belum pernah mencapai hijau … maka kemarin dalam panel saya terus dicecar oleh Bos … saya sudah mencoba mempertahankan Bu Jingga karena saya tahu kinerja Bu Jingga sebelum menikah tapi ternyata mereka tidak mau tahu … dan tetap memutuskan untuk mengganti Bu Jingga ….” Pak Kurnia menjeda mencari tahu ekspresi Jingga namun bawahannya itu memasang ekspresi datar hanya kerjapan mata sebagai respon.“Bu Jingga tidak diberhentikan tapi dipindahkan ke divisi lain, backoffice.” Pak Kurnia melanjutkan.Jingga mengembuskan napas berat,