Di waktu yang sama ketika papa Reza dan ayah Roni bertemu untuk membicarakan pembatalan pernikahan anak-anak mereka—di tempat berbeda Jingga mengajak Davian untuk bertemu.
Jingga memang harus segera memberitahu Davian mengenai musibah yang telah menimpanya.Dia juga ingin tahu bagaimana respon Davian.Jujur, hati kecil Jingga ingin Davian tetap mempertahankannya dan melanjutkan rencana pernikahan mereka.Jingga sampai lebih dulu ke restoran yang telah ditentukan.Gugup melanda, telapak tangannya sampai dingin dan basah.Beberapa saat kemudian sosok pria jangkung bertubuh atletis berjalan tegap melewati pintu utama dengan masih menggunakan seragam Abdi Negaranya.Begitu tampan dan gagah, memesona setiap kaum hawa yang melihat.Davian melemparkan senyum manis membuat hati Jingga berdebar.Pria itu adalah pria yang sangat Jingga cintai, pria yang selama dua tahun ini menemani Jingga melewati banyak momen.Mereka tidak pernah bertengkar karena Davian tidak memiliki ego, pria itu juga begitu sabar menghadapi Jingga.Meski berprofesi sebagai anggota Polisi yang dituntut untuk tegas, Davian malah memiliki kepribadian santai dan tenang juga humoris.Dia tidak pernah mengatur Jingga untuk melakukan ini dan itu.Jingga dibiarkan bebas mengambil keputusan dan Davian akan menghargai bila masih dalam koridor yang aman.Meski Jingga sibuk sekali dengan pekerjaannya, Davian tidak pernah menuntut waktu Jingga.Jika dia merindukan Jingga yang sedang tidak memiliki waktu untuk bertemu karena sibuk oleh pekerjaannya maka dia yang akan pergi menemui Jingga di kantornya atau menjemput Jingga pulang kerja.Davian adalah pria sempurna yang suami-able sekali.Rugi bagi Jingga yang harus melepaskan Davian.“Hai babe.” Davian membungkuk untuk mengecup kepala Jingga.Jantung Jingga semakin berdetak kencang.Davian sepertinya belum mengetahui apapun perihal tragedi di Bali.“Gimana liburannya?” Pria itu bertanya seraya mengangkat tangan memanggil pelayan.Jingga tidak bersuara hanya tersenyum sebagai respon.Dia memberi waktu kepada Davian untuk memilih menu makan malam terlebih dahulu.“Kamu sakit?” Davian bertanya setelah pelayan pergi.Pria itu merasa aneh karena kekasihnya tidak banyak bicara.“Dav … ada yang mau aku omongin, tolong kamu dengerin dulu cerita aku sampai selesai ya.”Melihat raut serius di wajah tunangannya membuat Davian menegakan punggung, menyimpan kedua tangan di atas meja.Matanya fokus menatap Jingga.“Kenapa sayang?” tanyanya kemudian.Jingga meraup udara banyak-banyak sebelum akhirnya mulai menceritakan semuanya.Davian penurut sekali, dia tidak menyela kalimat Jingga meski Jingga tahu kalau Davian ingin.Tunangannya itu juga tidak merespon dengan ekspresi yang mungkin bisa melukai hati Jingga padahal Jingga bisa merasakan apa yang ada di hati Davian saat ini dari matanya yang menyiratkan banyak hal.Ada marah, kesal, kecewa dan kegetiran yang terlihat jelas sampai Jingga juga bisa merasakannya.Kalimat Jingga sempat terjeda karena pelayan mengantar makanan tapi Davian tetap tidak menyela, masih mampu bersabar mendengar cerita Jingga hingga selesai.“Maafin aku Davian.” Jingga mengakhiri ceritanya.Dia pun leluasa menumpahkan tangis.Davian mengembuskan napas panjang, kedua tangannya terlipat di dada dengan punggung kembali bersandar pada sandaran kursi.Sekarang Davian tidak berselera makan padahal tadi dia lapar sekali karena melewatkan makan siang.Tatapannya dia buang ke arah lain, ke mana saja asal tidak menatap Jingga untuk menyembunyikan matanya yang basah.Hancur adalah kata yang tepat menggambarkan perasaan Davian saat ini.Jingga sudah tidak sempurna lagi tapi Davian masih mencintainya.“Siapa namanya?” Davian bertanya dengan ekspresi berang seakan ingin membunuh pria yang telah melecehkan Jingga.Dalam ceritanya, sengaja Jingga tidak menyebutkan nama Biru juga jabatan papinya untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan karena dia hapal betul bagaimana karakter Davian.Biar lah nanti Davian tahu dengan sendirinya setelah amarahnya mereda.Jingga menggelengkan kepala, menutup mulut rapat-rapat.“Siapa namanya!” bentak Davian sambil memukul meja dengan kedua tangan yang dikepal.Davian tersulut emosi, matanya yang merah menatap tajam Jingga penuh kebencian.Rasanya Jingga tidak mengenali siapa pria di depannya.Orang- orang yang berada di sekitar meja mereka seketika menjadikan Jingga dan Davian sebagai tontonan.“Siapa nama laki-laki yang sudah memperkosa kamu, Jingga?” Davian bertanya lagi sambil menggertakan giginya, dia menggeram tertahan.Air mata Jingga semakin mengalir deras, dia masih teguh untuk tidak memberitahu Davian.Davian bangkit dari kursi.“Pernikahan kita batal!” katanya dengan emosi membuncah karena Jingga menutupi identitas si pelaku.Davian jadi berpikir kalau Jingga memang ingin menikahi pria yang telah memperkosanya.Entah alasannya apa, bisa jadi karena lebih tampan, lebih kaya atau apapun, setidaknya itu yang ada dalam pikiran Davian saat ini.Davian pergi membawa amarahnya yang tak terbendung.Meski Jingga tidak memberitahu siapa nama laki-laki itu tapi Jingga lupa kalau dia tadi menceritakan bahwa setelah diperkosa langsung pergi ke Polsek terdekat.Mudah bagi Davian untuk mencari tahu ke Polsek mana Jingga pergi, dia tinggal menghubungi teman satu angkatannya sewaktu menempuh pendidikan Akpol yang kebetulan sekarang menjabat sebagai Kapolsek di salah satu Polsek di pulau Bali.Di mejanya, Jingga menangis tersedu.Ternyata Davian tidak sesuai harapan.***“Aku enggak mau kamu nikah sama perempuan ituuu … aku enggak mauuuu hiks … hiks … hiks ….”Geisha memukul-mukul dada Biru menggunakan kedua tangannya yang dia kepal.Biru tidak merasakan sakit, mungkin karena Geisha pun tidak melakukannya dengan sungguh-sungguh.Dia mencintai Biru.“Hanya ini cara agar pihak Jingga enggak menuntut kamu, aku lakukan demi kamu.”Biru mencekal kedua tangan Geisha dan membawanya melingkar di pinggang.Dia kemudian memeluk Geisha erat.Diam-diam Biru menemui Geisha di apartemennya sebelum mami dan papi pulang ke rumah.Geisha balas memeluk Biru, dia terharu karena Biru tidak marah setelah mengetahui kalau dirinya biang masalah ini.Pria itu malah mengorbankan diri untuk melindunginya.“Apa enggak ada cara lain? Kita sogok aja keluarganya.”Geisha mengurai pelukan, dia hentikan tangisnya ketika mengungkapkan ide yang menurutnya brilian.“Papanya juga bukan orang sembarangan … beliau punya jabatan tinggi di Bank BUMN, mereka enggak butuh uang kita.”Geisha mengesah, menghentakan kaki sambil menggaruk kepalanya.“Sayaaang.” Biru menarik kedua tangan Geisha agar kekasihnya itu tidak menyakiti diri sendiri.“Terus kita gimana?” Geisha melirih, menatap sendu Biru yang hatinya jadi berdenyut ngilu.Biru mengulurkan tangannya mengusap air mata di pipi Geisha.“Kita harus berpisah.” Biru balas menjawab dengan suara lirih dan mata basah oleh buliran kristal.“Enggak mauuu, aku mencintai kamu … aku masukin obat ke minuman kamu biar kita bisa menikah bukan berpisah … aku cuma mau sama kamu.” Tangis Geisha semakin kencang saja.Biru kembali memeluk Geisha.“Aku juga mencintai kamu, tapi aku harus bertanggungjawab agar kamu bebas dari tuntutan … aku enggak akan maafin diri aku kalau kamu sampe masuk penjara.”Biru mengungkapkan fakta agar Geisha mengerti.Geisha mengurai pelukannya lagi.“Kamu menikahi perempuan itu hanya karena kamu telah merenggut keperawanannya, kan?”Biru menganggukan kepala.“Jadi kamu bisa ceraikan dia setelah setahun menikah, kalau status dia janda nanti enggak akan ada yang mempermasalahkan dia bukan perawan.”Mata Biru mengerjap kemudian tercenung memikirkan ucapan Geisha barusan.Ketika menyanggupi untuk menikahi Jingga, dia tidak berpikir sampai ke sana.Tapi apakah tidak kejam kalau dia menikahi Jingga selama setahun hanya untuk memberinya status lalu menceraikannya?Jika seperti itu apakah masih masuk ke dalam bertanggungjawab?Jingga juga memiliki tunangan, Biru belum tahu bagaimana respon tunangannya.Dan bila sekarang tunangannya Jingga tidak mau menerima Jingga sebagai istri karena sudah bukan perawan lagi, mungkin ketika dia dan Jingga bercerai nanti—tunangannya Jingga akan mau menerima Jingga yang sudah berstatus janda.“Sayaaang …,” panggil Geisha yang entah sudah panggilan ke berapa karena Davian sibuk membuat rencana.“Ya sayang?” sahut Biru refleks menoleh kepada Geisha.“Kamu nikahin dia setahun terus ceraikan dia, ya?”Geisha memohon dengan suara manja, tentu dia tidak bisa memaksa Biru untuk tidak menikahi Jingga karena pernikahan itu bisa menyelamatkannya dari jeratan hukum.“Aku enggak bisa janji, tapi kalau Jingga yang menggugat cerai lebih dulu … akan aku kabulkan.”Biru sudah mempertimbangkan, dia tidak bisa berbuat licik seperti itu meski mencintai Geisha.Dia harus bertanggungjawab hingga tuntas namun bila di tengah-tengah pernikahan mereka—jingga tidak bisa menerimanya lalu mengajukan cerai maka Biru dengan senang hati akan mempermudah proses cerai tersebut.“Kamu tuh gimana sih, sebenarnya kamu cinta enggak sama aku? Kenapa kamu malah ingin menikah sama si Jingga itu?” Geisha bangkit dari sofa besar di apartemennya.Dia marah sampai terdengar suara hentakan setiap kali melangkahkan kakinya menjauh.“Sayang.” Biru mengejar Geisha ke kamar.“Kamu tahu aku enggak punya pilihan, kan?”Biru menarik tangan Geisha hingga sang kekasih membalikan badan.“Percuma aku bebas kalau harus kehilangan kamu.”Geisha masih merengek tidak terima dengan keputusan Biru.“Kita harus memilih … kamu masuk penjara atau kita berpisah dan aku memilih kita berpisah agar kamu enggak masuk penjara, kamu bisa meneruskan karir kamu … aku tahu perjuangan kamu untuk sampai di titik ini ….”Geisha melepaskan cekalan tangan Biru lalu memeluknya.“Tapi kita bisa selingkuh, kan? Kamu bisa jadiin aku istri simpanan.”Hebatnya Jingga, dia tidak mengambil cuti setelah akhir minggunya dirundung musibah. Hari Seninnya dia tetap bekerja seolah tidak ada apapun yang terjadi dengannya. Jingga bergerilya turun langsung ke lapangan untuk memenuhi target tim. Itu dilakukan Jingga untuk melupakan semua masalahnya. Jingga merasa waras jika tetap bekerja. Hari demi hari pun berlalu, papa Reza sudah memutuskan untuk menerima lamaran papi Yuna untuk Biru. Kegundahan Jingga semakin menjadi namun tidak berdampak pada kinerjanya di kantor. “Saya duluan Bu,” pamit seorang sales yang merupakan anggota tim Jingga. Jingga hanya memberikan senyum dan anggukan samar. Pria itu pun keluar dari ruangan. “Jingga, lo belum pulang?” tanya Melissa teman sekantor yang selevel dengannya. “Belum … rapihin aplikasi tim dulu.” Dia beralasan padahal jika sudah sampai rumah dia akan kesepian dan gundah
“Aah … Biru, eemmhh … yaah … yaah ….” Geisha memang selalu berisik setiap kali bercinta tapi itu justru membuat hasrat Biru memuncak. Biru terus menggerakan bokong menghentak dari belakang sementara Geisha membungkuk membelakanginya. Dengan satu gerakan mudah Biru menarik pinggang Geisha, mengubah posisi mereka. Biru duduk di sisi ranjang sedangkan Geisha naik ke atas pangkuannya. Geisha mulai bergerak naik turun, dia melempar senyum sebelum memagut bibir Biru. Cukup lama kemudian dia membusungkan dada membuat Biru mudah meraup puncak dadanya menggunakan bibir. Kepala Geisha menengadah, rambut panjang nan tebalnya terjuntai di punggung menambah kesan seksi. Sambil masih menghisap dada Geisha, kedua tangan Biru ikut membantu bokong Geisha agar gerakannya semakin cepat karena dia akan sampai. “Biruuuu.” Geisha merengek, dia hampir sampai. “Bersama sayang.” Biru meng
Biru dan Jingga tidak pernah bertemu lagi setelah tragedi di Bali. Selama tiga bulan mempersiapkan pernikahan, Jingga selalu menghindar setiap kali Wedding Organizer mengajak meeting bersama kedua calon mempelai pengantin untuk acara besar nanti. Tapi Biru selalu datang, dia menunjukkan kesungguhannya menikahi Jingga. Memang tidak banyak yang harus dilakukan lagi karena melanjutkan yang sudah dimulai hanya saja calon mempelai pengantin prianya bukan Davian melainkan Biru. Jingga sempat berulah dengan menolak fitting gaun pengantin karena gaun itu adalah pilihan Davian sementara yang akan dia nikahi adalah Biru. Tidak ada bridal shower padahal sudah masuk dalam paket pernikahan sebab lagi-lagi Jingga menolak. Mama dan papa juga ketiga sahabatnya khawatir dengan kondisi psikis Jingga namun Jingga memperlihatkan kalau dirinya baik-baik saja meski sedikit berulah. Sampai akhirnya hari yang semestinya ditunggu-t
Di luar kamar, Biru tidak pergi ke mana-mana. Dia bersandar punggung di samping pintu seraya membuka aplikasi chat. Banyak chat yang dikirim Geisha selama beberapa minggu terakhir yang sengaja tidak Biru buka. Biru sempat menghubungi Febri perihal niatnya menjauh dari Geisha demi kebaikan Geisha juga dan Febri setuju. Sebagai Manager, Febri tidak ingin kehilangan artisnya yang sedang berada di puncak kesuksesan. Geisha harus bisa melupakan Biru jadi Febri mengambil banyak Job untuk Geisha di luar kota maupun Luar Negri sehingga Geisha sibuk dan tidak mencari Biru terutama di hari pernikahannya ini yang kebetulan Geisha sedang melakukan sesi pemotretan di Paris sana karena berhasil menjadi brand ambasador sebuah merek ternama dunia. Biru memilih membuka pesan dari pasien dan perawat, dia membalasnya satu persatu. Belum selesai dia membalas banyak chat yang masuk—Biru mendengar suara pintu di sebelahny
Biru mondar-mandir di depan pintu kamar mandi pasalnya sudah hampir dua jam Jingga di dalam kamar mandi dan tidak terdengar suaranya. “Apa perlu gue ketuk?” “Tapi nanti dia marah.” “Jangan-jangan dia bunuh diri.” Biru bermonolog kemudian terpengaruh dengan pikiran buruknya sendiri. “Jingga ….” Tok … Tok … Akhirnya Biru mengetuk pintu kamar mandi sambil memanggil nama istrinya. Dia menempelkan telinga pada daun pintu namun tidak mendengar suara apapun di dalam sana. Biru semakin panik, dia kembali menggedor pintu kamar mandi juga berusaha memutar knop pintu. “Jingga … kamu masih hidup, kan?” Biru berteriak lebih kencang. Tanpa pikir panjang dia berniat mendobrak pintu itu namun sebelum lengannya menyentuh pintu, benda tersebut terbuka. Biru kadung mengambil ancang-ancang dan tidak sempat mengerem sehingga harus menabrak tubuh Jingga yang hanya
Selama perjalanan pulang ke rumah Jingga, Biru tidak berhenti berceloteh. Mulai dari memberitahu semua tentangnya termasuk di mana pria itu menempuh pendidikan hingga menjadi dokter bedah termuda dan di mana tempat dia berpraktik. Setelah itu karena Jingga diam saja, Biru yang bertanya banyak hal tentang Jingga. “Kamu suka makanan apa?” “Kamu suka warna apa?” “Apa yang enggak kamu suka?” “Apa yang bikin kamu takut?” Namun tidak ada satu pun yang Jingga jawab. Jingga terus melamun menatap kosong ke depan. “Jingga ….,” panggil Biru karena Jingga diam saja. “Heu?” Jingga menoleh. Biru mengembuskan napas panjang, kentara sekali kalau pria itu tengah kesal. Kemudian hening, Biru tidak lagi bersuara. Jingga tahu suaminya sedang marah tapi dia tidak peduli. Selanjutnya gantian Jingga yang bersuara itu pun karena harus memberi petunj
“Eeeeh, pengantin baru … pagi sekali bangunnya.” Mama menyapa dengan kicauannya begitu Jingga dan Biru tiba di ruang makan. Mereka sepakat untuk turun ke ruang makan bersama agar mama papa tidak banyak bertanya dan overthinking. “Pagi Ma… Pa,” sapa Biru tapi tidak dengan Jingga yang langsung duduk di kursi. “Pagi ….” Mama dan papa kompak menyahut. “Enggak tidur di sofa kamu ‘kan?” Papa yang bertanya dengan maksud menggoda anak dan menantunya. Biru hanya tersenyum menjawab ucapan Papa. Dia memang tidur di single sofa with footrest yang ada di kamar Jingga dengan alasan Jingga masih belum nyaman tidur satu ranjang dengan orang asing. Padahal orang asing itu adalah suaminya. “Jingga,” panggil mama kemudian mengendik memberi kode agar Jingga melayani Biru. “Biru udah besar, Ma … bisa makan sendiri.” Jingga bergumam. “Jinggaaaa.” Papa bukan sedang memanggil melainkan me
Jingga belum pernah bepergian mengendarai motor dalam jarak jauh. Jadi ketika Biru menawarkan pengalaman tersebut, Jingga cukup antusias. Dia bangun pagi sekali mempersiapkan pakaiannya yang cocok digunakan ke daerah dingin. “Kamu mau ke mana?” Biru bertanya melihat Jingga memasukan banyak pakaian ke dalam koper. “Katanya mau ke Puncak, naik motor.” Biru tertawa pelan, dia kemudian berjongkok di depan Jingga yang tengah bersila di lantai. “Koper ini mau di simpen di mana? Kita ‘kan naik motor?” Ditanya seperti itu, Jingga jadi bingung. “Terus gimana donk bawa bajunya?” “Jangan bawa banyak-banyak.” “Memangnya kita mau berapa hari di sana?” Biru tampak berpikir. “Terserah, kamu mau berapa hari di sana?” “Aku takutnya betah, jadi bawa banyak baju.” Mendengar hal tersebut, entah kenapa hati Biru menghangat. Jingga sa
Biru merangkul pundak Jingga, mengecup pelipisnya sebagai ungkapan Terimakasih yang sudah ribuan kali dia ungkapkan semenjak Jingga dengan kesadaran sendiri mengajak Biru ke dokter kandungan setahun lalu untuk membuka KB IUD.Katanya Jingga merindukan suara tawa bayi dan pekerjaannya yang sekarang pun tidak seberat dulu.Jadi Jingga merasa mungkin sudah waktunya memiliki anak ke tiga.Dan tanpa dia duga, hanya dalam jangka waktu kurang lebih setahun setelah membuka KB IUD—Tuhan mempercayakan malaikat kecilnya lagi kepada mereka. Semua bahagia mendengar kabar kehamilan Jingga.Kehamilannya yang ketiga ini pun begitu dinikmati oleh Jingga.Pekerjaan Jingga tidak terganggu karena tidak ada kendala berarti selama kehamilan.Sampai Jingga lupa mengajukan cuti hamil, dia tetap pergi ke kantor meski kandungannya sudah memasuki masa persalinan.Pagi itu satu kantor geger karena Jingga ditemukan jatuh di kamar mandi oleh stafnya dengan ketuban pecah.“Panggil ambulan!” Atasan Jingga berseru k
Papi sudah pensiun sebagai Panglima TNI Republik Indonesia, sekarang beliau sedang menikmati masa tua di rumah saja. Ada beberapa bisnis yang digeluti papi yang sudah dipersiapkan sebelum pensiun tapi tidak memerlukan perhatian khusus dari beliau.Hanya sesekali saja mengecek dan sisa waktunya papi bisa habiskan dengan bermain bersama cucu.Setelah Cinta menjadi sarjana meski sempat terseok menjalaninya karena harus melahirkan anak ke tiga, papi meminta besannya yaitu papanya Jingga untuk memasukan Cinta menjadi pegawai Bank dari jalur Officer Development Program.Kebetulan Cinta berkuliah di kampus unggulan dan memiliki IPK yang baik dan ternyata Cinta bisa lulus menjalani test yang dilakukan pihak ketiga dan sekarang Cinta seperti kakak iparnya, menjadi seorang bankir.Davian tidak melarang Cinta berkarir, seperti halnya Biru yang justru mendukung karir Jingga.Meski sekarang Jingga lebih menikmati bekerja dibalik meja menjadi backoffice berkutat setiap harinya dengan kertas dan an
Hari berikutnya dan hari-hari selanjutnya, Cinta seakan bukan miliknya lagi.Cinta dikuasai oleh Kiana dan Bara apalagi Bara yang masih sering tantrum, kalau kata bunda dan mami—mungkin Bara tahu akan memiliki adik sementara dia masih ingin kasih sayang dan perhatian full dari kedua orang tuanya.Baiklah, ingatkan Davian untuk meminta Cinta pasang KB setelah melahirkan anak ketiga mereka nanti.Karena sesungguhnya, tanpa ada yang tahu kalau Cinta tertekan.Dia lelah karena harus membagi waktu dengan anak-anak dan kuliah.Berimbas pada bobot tubuh Cinta yang menurun padahal sedang mengandung.“Sayang.” Suara Davian yang baru saja masuk ke dalam kamar membuat Cinta refleks mengusap air mata di pipi.“Kamu nangis?” Davian bergerak mendekat dengan langkah cepat.Pria yang gagah dan selalu tampan di mata Cinta dengan seragam Polisinya itu langsung menangkup wajah Cinta menggunakan tangannya yang besar.“Kamu nangis?” Davian mengulang.“Enggak, tadi aku pakai obat tetes mata karena mata aku
Semenjak kejadian Davian menyusul Cinta yang pergi tanpa ijinnya ke Puncak, Cinta jadi banyak berubah.Sekarang Cinta lebih mementingkan keluarga kecilnya.Cinta sudah tidak lagi melimpahkan urusan anak-anak kepada Nanny kalau dia ada di rumah.Meski keteteran dengan tugas kuliah tapi sebisa mungkin Cinta yang mengambil peran untuk mengurus anak-anaknya.Davian juga sebagai suami tidak merasa dirinya paling benar, dia berpikir kalau Cinta sempat khilaf pasti karena kesalahannya juga.Bila dulu Davian jarang sekali mengajak Cinta jalan-jalan, setelah kejadian itu Davian membuat jadwal kencan berdua dengan Cinta di malam minggu.Jadi setiap malam minggu, Davian dan Cinta akan mengantarkan Kiana dan Bara bergantian antara rumah papinya Cinta atau rumah ayahnya Davian untuk menitipkan mereka sementara dia dan Cinta menghabiskan malam minggu berdua.Entah itu hanya makan malam, nonton konser, nonton film atau checkin di hotel berbintang dan pulang keesokan harinya. Dan malam ini—selagi ka
Davian menarik pundak Cinta kemudian mengecup pelipis istrinya.“Aku pake baju dulu ya, kasian papi sama mami udah nungguin.” Tidak ada respon dari Cinta, raut wajahnya masih masam.“Papi ganti baju dulu ya, Kiana duduk sini sama bunda.”Cinta merangkul Kiana sehingga Kiana mau duduk di atas pangkuannya sedangkan Davian pergi ke walk in closet memakai pakaian.“Kakak kenapa pukul ade? Adenya disayang ya?” Cinta menegur Kiana dengan suara lembut.Melihat jejak air mata di wajah sang bunda membuat perasaan Kiana jadi tidak nyaman.Dia memeluk sang bunda.“Maafin Kiana Buna.” “Harus sayang sama ade ya?” pinta sang bunda dengan pendar sendu di mata.Kiana mengangguk.Davian bisa mendengar percakapan Cinta dengan Kiana dari dalam walk in closet kemudian bibirnya tersenyum karena hatinya menghangat.*** Mobil yang kemudikan Davian dan Biru bersamaan tiba di pelataran parkir sebuah studio.Protokoler papi yang mengetahui kedatangan mobil putra dan menantu sang Jendral langsung mengarahkan
“Mas … tolong jawab dulu itu telepon enggak tahu dari siapa,” kata Cinta meminta bantuan saat sang suami masuk ke dalam kamar anak-anak untuk mencari tahu kenapa anak-anak menangis.“Oh … oke.” Davian bergerak ke sebuah meja di mana ponsel sang istri berada.“Kiana … hey, udah nangisnya … tadi Bunda ‘kan harus menyusui ade Bara dulu.”“Hallo ….” Suara Davian terdengar menyahut.Om Ridho sampai menjauhkan ponsel dari telinga untuk mengecek apakah mungkin dia salah menekan nomor karena bukan suara Cinta yang seharusnya dia dengar malah suara seorang pria.“Om Ridho!” Davian berseru karena telah melihat nama di layar ponsel Cinta. “Oh … ini Mas Davian ya?” Ridho memastikan.“Iya, Om.” “Uuuh sayang … sayang …” Suara Cinta bersama tangisan anak kecil masih bisa didengar oleh Ridho.Seperti dejavu karena saat menghubungi Biru tadi dia juga mendengar hal yang sama.“Ini kalian masih di rumah ya? Ibu sama Bapak udah sampai, beliau meminta kalian segera datang.” Om Ridho memberitahu.“Iya Om
Mengetahui kalau Biru dengan Davian telah berdamai, papi dan mami berinisiatif untuk melakukan foto keluarga bersama anak, cucu, menantunya.Kebahagiaan yang setiap tahun dirasakan mami dan papi dengan kehadiran cucu-cucu patut diabadikan.Studio foto milik photographer ternama yang menjadi pilihan papi dan mami untuk mengabadikan moment kelengkapan keluarga mereka.“Lho … Biru sama Cinta belum sampai?” Papi bicara pada Ridho-sang ajudan begitu tiba di studio foto dan tidak mendapati anak cucu dan menantunya di sana.Ya mana Ridho tahu, ‘kan dia pergi dari rumah bersama papi.“Sepertinya belum, Pak.” Ridho menjawab.“Mungkin mereka kejebak macet. “Mami menimpali.”“Selamat siang Pak Yuna Dewangga.” Sang photographer menyambut.“Selamat siang.” Papi dan pria Photographer saling menjabat tangan, setelah itu pria photographer beralih pada mami.“Anak dan menantu beserta cucu-cucu saya belum datang, bisa kita tunggu sebentar?“ kata papi meminta waktu.“Oh … tidak masalah, bagaimana kalau
“Raina itu sekertaris aku … aku akan selalu ngajak dia ke pesta untuk cari tahu tentang klien dari sekertaris mereka … aku sengaja beliin dia gaun biar dia enggak ngoceh di luaran kalau uangnya habis beli gaun untuk nemenin aku ke pesta … hubungan aku sama Raina hanya sebatas pekerjaan.” Reyshaka akhirnya bersuara setelah beberapa lama diam sambil memeluk Namira.Namira tidak menyahut, membiarkan kalimat penjelasan Reyshaka menguap begitu saja.Gemas karena Namira tidak memberikan respon, pria itu lantas menegakan tubuh membawa Namira dalam pelukannya.“Terus … penjelasan kamu apa?” tanya Reyshaka menuntut setelah mengurai pelukan.Mata almond Namira mengerjap, istri cantiknya melongo bingung.“Penjelasan atas apa?” Namira bertanya polos.“Tadi ‘kan aku udah jelasin kenapa aku harus pergi ke pesta dengan Raina dan beliin dia gaun … sekarang aku mau denger penjelasan kamu kenapa bisa makan siang sama Erwan?”Namira tersenyum di dalam hati, suaminya ternyata benar-benar cemburu dan dia
“Pagi, Pak …,” sapa Jingga saat netranya bertemu dengan netra sang bos yang duduk di balik meja kerja.“Pagi … duduk, Bu Jingga.” Pak Kurnia mempersilahkan.Jingga tahu kalau dia akan dicecar habis-habisan karena target timnya masih merah sedangkan lima hari lagi akhir bulan.Jingga duduk, senyumnya tampak kaku tapi dia siap menerima apapun yang akan disampaikan pak Kurnia.“Begini Bu Jingga, mengingat hampir sepanjang tahun target Bu Jingga antara merah kuning belum pernah mencapai hijau … maka kemarin dalam panel saya terus dicecar oleh Bos … saya sudah mencoba mempertahankan Bu Jingga karena saya tahu kinerja Bu Jingga sebelum menikah tapi ternyata mereka tidak mau tahu … dan tetap memutuskan untuk mengganti Bu Jingga ….” Pak Kurnia menjeda mencari tahu ekspresi Jingga namun bawahannya itu memasang ekspresi datar hanya kerjapan mata sebagai respon.“Bu Jingga tidak diberhentikan tapi dipindahkan ke divisi lain, backoffice.” Pak Kurnia melanjutkan.Jingga mengembuskan napas berat,