Biru mondar-mandir di depan pintu kamar mandi pasalnya sudah hampir dua jam Jingga di dalam kamar mandi dan tidak terdengar suaranya.
“Apa perlu gue ketuk?”“Tapi nanti dia marah.”“Jangan-jangan dia bunuh diri.”Biru bermonolog kemudian terpengaruh dengan pikiran buruknya sendiri.“Jingga ….”Tok …Tok …Akhirnya Biru mengetuk pintu kamar mandi sambil memanggil nama istrinya.Dia menempelkan telinga pada daun pintu namun tidak mendengar suara apapun di dalam sana.Biru semakin panik, dia kembali menggedor pintu kamar mandi juga berusaha memutar knop pintu.“Jingga … kamu masih hidup, kan?” Biru berteriak lebih kencang.Tanpa pikir panjang dia berniat mendobrak pintu itu namun sebelum lengannya menyentuh pintu, benda tersebut terbuka.Biru kadung mengambil ancang-ancang dan tidak sempat mengerem sehingga harus menabrak tubuh Jingga yang hanyaSelama perjalanan pulang ke rumah Jingga, Biru tidak berhenti berceloteh. Mulai dari memberitahu semua tentangnya termasuk di mana pria itu menempuh pendidikan hingga menjadi dokter bedah termuda dan di mana tempat dia berpraktik. Setelah itu karena Jingga diam saja, Biru yang bertanya banyak hal tentang Jingga. “Kamu suka makanan apa?” “Kamu suka warna apa?” “Apa yang enggak kamu suka?” “Apa yang bikin kamu takut?” Namun tidak ada satu pun yang Jingga jawab. Jingga terus melamun menatap kosong ke depan. “Jingga ….,” panggil Biru karena Jingga diam saja. “Heu?” Jingga menoleh. Biru mengembuskan napas panjang, kentara sekali kalau pria itu tengah kesal. Kemudian hening, Biru tidak lagi bersuara. Jingga tahu suaminya sedang marah tapi dia tidak peduli. Selanjutnya gantian Jingga yang bersuara itu pun karena harus memberi petunj
“Eeeeh, pengantin baru … pagi sekali bangunnya.” Mama menyapa dengan kicauannya begitu Jingga dan Biru tiba di ruang makan. Mereka sepakat untuk turun ke ruang makan bersama agar mama papa tidak banyak bertanya dan overthinking. “Pagi Ma… Pa,” sapa Biru tapi tidak dengan Jingga yang langsung duduk di kursi. “Pagi ….” Mama dan papa kompak menyahut. “Enggak tidur di sofa kamu ‘kan?” Papa yang bertanya dengan maksud menggoda anak dan menantunya. Biru hanya tersenyum menjawab ucapan Papa. Dia memang tidur di single sofa with footrest yang ada di kamar Jingga dengan alasan Jingga masih belum nyaman tidur satu ranjang dengan orang asing. Padahal orang asing itu adalah suaminya. “Jingga,” panggil mama kemudian mengendik memberi kode agar Jingga melayani Biru. “Biru udah besar, Ma … bisa makan sendiri.” Jingga bergumam. “Jinggaaaa.” Papa bukan sedang memanggil melainkan me
Jingga belum pernah bepergian mengendarai motor dalam jarak jauh. Jadi ketika Biru menawarkan pengalaman tersebut, Jingga cukup antusias. Dia bangun pagi sekali mempersiapkan pakaiannya yang cocok digunakan ke daerah dingin. “Kamu mau ke mana?” Biru bertanya melihat Jingga memasukan banyak pakaian ke dalam koper. “Katanya mau ke Puncak, naik motor.” Biru tertawa pelan, dia kemudian berjongkok di depan Jingga yang tengah bersila di lantai. “Koper ini mau di simpen di mana? Kita ‘kan naik motor?” Ditanya seperti itu, Jingga jadi bingung. “Terus gimana donk bawa bajunya?” “Jangan bawa banyak-banyak.” “Memangnya kita mau berapa hari di sana?” Biru tampak berpikir. “Terserah, kamu mau berapa hari di sana?” “Aku takutnya betah, jadi bawa banyak baju.” Mendengar hal tersebut, entah kenapa hati Biru menghangat. Jingga sa
“Geser,” kata Biru sembari mendorong tubuh Jingga ke samping menggunakan sisi tubuhnya agar Jingga menjauh dari meja kasir. Jingga melihat Biru mengeluarkan dompet. “Aku aja yang bayar, ini coklat aku.” Jingga tidak enak hati kalau harus semua Biru yang bayar, soalnya tadi pria itu sudah mentraktirnya makan siang. “Enggak apa-apa, aku aja yang bayar … nanti aku minta ya coklatnya.” Pria itu menaik turunkan kedua alisnya berkali-kali menunjukkan tampang jenaka sambil tersenyum membuat Jingga tidak ada pilihan lain selain membiarkan Biru yang membayar coklatnya. “Di sebelah ada factory outlet, kita beli baju di sana ya?” kata Biru usai membayar belanjaan Jingga. Jingga mengangguk saja mengikuti langkah Biru keluar dari gedung resto yang bersatu dengan pabrik coklat menuju factory outlet. Karena jaraknya dekat sekali, Biru dan Jingga berjalan kaki ke sana. Keduanya memasuki fac
Tanpa terasa hari sudah malam. Jingga sudah selesai berendam gantian Biru yang masuk ke dalam kamar mandi. Tidak lama pria itu keluar dengan menggunakan pakaian tidur yang berupa sweater dan celana training. “Mau makan di luar apa di resto resort?” Biru memberikan tawaran untuk membuat Jingga nyaman. Sekarang prioritas Biru adalah Jingga. “Di taman deket privat pool ada tempat pembakaran terus aku liat di buku menu ada menu barbeque party dengan minimal empat porsi ….” “Kamu mau itu?” Belum selesai Jingga bicara, Biru sudah langsung bertanya. “Tapi sayang ya kebanyakan, nanti siapa yang makan?” “Kita kasih ke petugas hotel aja.” Biru melangkah mendekati meja di mana sebuah pesawat telepon berada di atasnya. Pria itu kemudian menghubungi bagian resto untuk memesan paket barbeque lengkap beserta kokinya. Beberapa menit kemudian dua orang petugas hotel yang Biru teba
Keesokan paginya Jingga bangun dalam pelukan Biru sementara pria itu masih terlelap. Napas Biru menerpa wajahnya, jarak wajah mereka memang sangat dekat jika Jingga mendongak seperti ini. Dan meski terlelap, Biru memeluknya erat sekali. Selama beberapa saat Jingga melamun, memikirkan kembali ucapan Biru tadi malam yang mengatakan bahwa dia memang mencintai Geisha dan harus melupakan kekasihnya itu karena sedang berusaha mencintainya. Sekarang Jingga mengerti kalau semua yang dilakukan Biru mulai dari perhatian sampai physical touch adalah untuk membuatnya bisa melupakan Geisha dan mensugesti perasaan agar bisa mencintainya. Apakah dia juga perlu melakukan itu kepada Biru? Jingga memang tersentuh dengan perhatian Biru tapi untuk mencintainya, dia tidak tahu apakah bisa. Ketika mereka berciuman tadi malam, semua rasa campur aduk. Jingga merasa bersalah terhadap Davian kemudian ingin m
Sinar matahari sore menembus masuk dari bagian belakang kamar melewati dinding dan pintu kaca yang tirainya terbuka. Biru hendak menutup tirai tapi melihat kolam air hangat yang belum dia sentuh semenjak tiba di sini membuatnya ingin berendam sebentar sambil menikmati senja. “Aku berenang ya,” kata Biru memberitahu Jingga. “Kamu mau berenang juga enggak?” sambungnya bertanya. Jingga belum menjawab, dia malah berjalan ke area kolam renang diikuti Biru yang kemudian membuka kaos dan celananya menyisakan boxer. “Aku enggak bawa baju renang.” Jingga bergumam. “Aku juga,” ujar Biru sebelum akhirnya menceburkan diri ke kolam. “Ayo,” ajaknya seraya mengusap wajah dan rambut yang telah basah. “Anget lho airnya.” Biru membujuk. Jingga sebenarnya ingin sekali, dia sudah merencanakan akan berenang semenjak pertama kali melihat kolam air hangat itu. Kenapa juga dia lupa membel
“Yaaa … yaaa ….” Cinta mengesah, tiba-tiba mobil listrik mewah hadiah ulang tahun dari papi berhenti karena mesinnya mati. Beruntung Cinta masih sempat menepi sebelum mobil benar-benar berhenti. Jalanan yang sepi dan hujan cukup deras membuat Cinta berdecak lidah kesal. Dia tidak mengerti tentang mobil, hapenya juga mati karena kehabisan baterai. Lengkap sudah penderitaannya. Kedua tangannya mencengkram stir kuat, Cinta sedang berpikir. Mobilnya adalah mobil listrik, mungkin ada salah satu kabel yang lepas yang menyebabkan mesin mobil mati. Baiklah, dia hanya perlu mencari kabel yang terlepas itu. Cinta membulatkan tekadnya untuk turun dan membuka kap mobil di tengah-tengah guyuran hujan. Dia menarik handle pintu lalu keluar dari dalam mobil setelah menekan tombol dekat stir untuk membuka kap mobil. Dengan kekuatan penuh Cinta mengangkat kap mobil hingga terbuka lebar
Biru merangkul pundak Jingga, mengecup pelipisnya sebagai ungkapan Terimakasih yang sudah ribuan kali dia ungkapkan semenjak Jingga dengan kesadaran sendiri mengajak Biru ke dokter kandungan setahun lalu untuk membuka KB IUD.Katanya Jingga merindukan suara tawa bayi dan pekerjaannya yang sekarang pun tidak seberat dulu.Jadi Jingga merasa mungkin sudah waktunya memiliki anak ke tiga.Dan tanpa dia duga, hanya dalam jangka waktu kurang lebih setahun setelah membuka KB IUD—Tuhan mempercayakan malaikat kecilnya lagi kepada mereka. Semua bahagia mendengar kabar kehamilan Jingga.Kehamilannya yang ketiga ini pun begitu dinikmati oleh Jingga.Pekerjaan Jingga tidak terganggu karena tidak ada kendala berarti selama kehamilan.Sampai Jingga lupa mengajukan cuti hamil, dia tetap pergi ke kantor meski kandungannya sudah memasuki masa persalinan.Pagi itu satu kantor geger karena Jingga ditemukan jatuh di kamar mandi oleh stafnya dengan ketuban pecah.“Panggil ambulan!” Atasan Jingga berseru k
Papi sudah pensiun sebagai Panglima TNI Republik Indonesia, sekarang beliau sedang menikmati masa tua di rumah saja. Ada beberapa bisnis yang digeluti papi yang sudah dipersiapkan sebelum pensiun tapi tidak memerlukan perhatian khusus dari beliau.Hanya sesekali saja mengecek dan sisa waktunya papi bisa habiskan dengan bermain bersama cucu.Setelah Cinta menjadi sarjana meski sempat terseok menjalaninya karena harus melahirkan anak ke tiga, papi meminta besannya yaitu papanya Jingga untuk memasukan Cinta menjadi pegawai Bank dari jalur Officer Development Program.Kebetulan Cinta berkuliah di kampus unggulan dan memiliki IPK yang baik dan ternyata Cinta bisa lulus menjalani test yang dilakukan pihak ketiga dan sekarang Cinta seperti kakak iparnya, menjadi seorang bankir.Davian tidak melarang Cinta berkarir, seperti halnya Biru yang justru mendukung karir Jingga.Meski sekarang Jingga lebih menikmati bekerja dibalik meja menjadi backoffice berkutat setiap harinya dengan kertas dan an
Hari berikutnya dan hari-hari selanjutnya, Cinta seakan bukan miliknya lagi.Cinta dikuasai oleh Kiana dan Bara apalagi Bara yang masih sering tantrum, kalau kata bunda dan mami—mungkin Bara tahu akan memiliki adik sementara dia masih ingin kasih sayang dan perhatian full dari kedua orang tuanya.Baiklah, ingatkan Davian untuk meminta Cinta pasang KB setelah melahirkan anak ketiga mereka nanti.Karena sesungguhnya, tanpa ada yang tahu kalau Cinta tertekan.Dia lelah karena harus membagi waktu dengan anak-anak dan kuliah.Berimbas pada bobot tubuh Cinta yang menurun padahal sedang mengandung.“Sayang.” Suara Davian yang baru saja masuk ke dalam kamar membuat Cinta refleks mengusap air mata di pipi.“Kamu nangis?” Davian bergerak mendekat dengan langkah cepat.Pria yang gagah dan selalu tampan di mata Cinta dengan seragam Polisinya itu langsung menangkup wajah Cinta menggunakan tangannya yang besar.“Kamu nangis?” Davian mengulang.“Enggak, tadi aku pakai obat tetes mata karena mata aku
Semenjak kejadian Davian menyusul Cinta yang pergi tanpa ijinnya ke Puncak, Cinta jadi banyak berubah.Sekarang Cinta lebih mementingkan keluarga kecilnya.Cinta sudah tidak lagi melimpahkan urusan anak-anak kepada Nanny kalau dia ada di rumah.Meski keteteran dengan tugas kuliah tapi sebisa mungkin Cinta yang mengambil peran untuk mengurus anak-anaknya.Davian juga sebagai suami tidak merasa dirinya paling benar, dia berpikir kalau Cinta sempat khilaf pasti karena kesalahannya juga.Bila dulu Davian jarang sekali mengajak Cinta jalan-jalan, setelah kejadian itu Davian membuat jadwal kencan berdua dengan Cinta di malam minggu.Jadi setiap malam minggu, Davian dan Cinta akan mengantarkan Kiana dan Bara bergantian antara rumah papinya Cinta atau rumah ayahnya Davian untuk menitipkan mereka sementara dia dan Cinta menghabiskan malam minggu berdua.Entah itu hanya makan malam, nonton konser, nonton film atau checkin di hotel berbintang dan pulang keesokan harinya. Dan malam ini—selagi ka
Davian menarik pundak Cinta kemudian mengecup pelipis istrinya.“Aku pake baju dulu ya, kasian papi sama mami udah nungguin.” Tidak ada respon dari Cinta, raut wajahnya masih masam.“Papi ganti baju dulu ya, Kiana duduk sini sama bunda.”Cinta merangkul Kiana sehingga Kiana mau duduk di atas pangkuannya sedangkan Davian pergi ke walk in closet memakai pakaian.“Kakak kenapa pukul ade? Adenya disayang ya?” Cinta menegur Kiana dengan suara lembut.Melihat jejak air mata di wajah sang bunda membuat perasaan Kiana jadi tidak nyaman.Dia memeluk sang bunda.“Maafin Kiana Buna.” “Harus sayang sama ade ya?” pinta sang bunda dengan pendar sendu di mata.Kiana mengangguk.Davian bisa mendengar percakapan Cinta dengan Kiana dari dalam walk in closet kemudian bibirnya tersenyum karena hatinya menghangat.*** Mobil yang kemudikan Davian dan Biru bersamaan tiba di pelataran parkir sebuah studio.Protokoler papi yang mengetahui kedatangan mobil putra dan menantu sang Jendral langsung mengarahkan
“Mas … tolong jawab dulu itu telepon enggak tahu dari siapa,” kata Cinta meminta bantuan saat sang suami masuk ke dalam kamar anak-anak untuk mencari tahu kenapa anak-anak menangis.“Oh … oke.” Davian bergerak ke sebuah meja di mana ponsel sang istri berada.“Kiana … hey, udah nangisnya … tadi Bunda ‘kan harus menyusui ade Bara dulu.”“Hallo ….” Suara Davian terdengar menyahut.Om Ridho sampai menjauhkan ponsel dari telinga untuk mengecek apakah mungkin dia salah menekan nomor karena bukan suara Cinta yang seharusnya dia dengar malah suara seorang pria.“Om Ridho!” Davian berseru karena telah melihat nama di layar ponsel Cinta. “Oh … ini Mas Davian ya?” Ridho memastikan.“Iya, Om.” “Uuuh sayang … sayang …” Suara Cinta bersama tangisan anak kecil masih bisa didengar oleh Ridho.Seperti dejavu karena saat menghubungi Biru tadi dia juga mendengar hal yang sama.“Ini kalian masih di rumah ya? Ibu sama Bapak udah sampai, beliau meminta kalian segera datang.” Om Ridho memberitahu.“Iya Om
Mengetahui kalau Biru dengan Davian telah berdamai, papi dan mami berinisiatif untuk melakukan foto keluarga bersama anak, cucu, menantunya.Kebahagiaan yang setiap tahun dirasakan mami dan papi dengan kehadiran cucu-cucu patut diabadikan.Studio foto milik photographer ternama yang menjadi pilihan papi dan mami untuk mengabadikan moment kelengkapan keluarga mereka.“Lho … Biru sama Cinta belum sampai?” Papi bicara pada Ridho-sang ajudan begitu tiba di studio foto dan tidak mendapati anak cucu dan menantunya di sana.Ya mana Ridho tahu, ‘kan dia pergi dari rumah bersama papi.“Sepertinya belum, Pak.” Ridho menjawab.“Mungkin mereka kejebak macet. “Mami menimpali.”“Selamat siang Pak Yuna Dewangga.” Sang photographer menyambut.“Selamat siang.” Papi dan pria Photographer saling menjabat tangan, setelah itu pria photographer beralih pada mami.“Anak dan menantu beserta cucu-cucu saya belum datang, bisa kita tunggu sebentar?“ kata papi meminta waktu.“Oh … tidak masalah, bagaimana kalau
“Raina itu sekertaris aku … aku akan selalu ngajak dia ke pesta untuk cari tahu tentang klien dari sekertaris mereka … aku sengaja beliin dia gaun biar dia enggak ngoceh di luaran kalau uangnya habis beli gaun untuk nemenin aku ke pesta … hubungan aku sama Raina hanya sebatas pekerjaan.” Reyshaka akhirnya bersuara setelah beberapa lama diam sambil memeluk Namira.Namira tidak menyahut, membiarkan kalimat penjelasan Reyshaka menguap begitu saja.Gemas karena Namira tidak memberikan respon, pria itu lantas menegakan tubuh membawa Namira dalam pelukannya.“Terus … penjelasan kamu apa?” tanya Reyshaka menuntut setelah mengurai pelukan.Mata almond Namira mengerjap, istri cantiknya melongo bingung.“Penjelasan atas apa?” Namira bertanya polos.“Tadi ‘kan aku udah jelasin kenapa aku harus pergi ke pesta dengan Raina dan beliin dia gaun … sekarang aku mau denger penjelasan kamu kenapa bisa makan siang sama Erwan?”Namira tersenyum di dalam hati, suaminya ternyata benar-benar cemburu dan dia
“Pagi, Pak …,” sapa Jingga saat netranya bertemu dengan netra sang bos yang duduk di balik meja kerja.“Pagi … duduk, Bu Jingga.” Pak Kurnia mempersilahkan.Jingga tahu kalau dia akan dicecar habis-habisan karena target timnya masih merah sedangkan lima hari lagi akhir bulan.Jingga duduk, senyumnya tampak kaku tapi dia siap menerima apapun yang akan disampaikan pak Kurnia.“Begini Bu Jingga, mengingat hampir sepanjang tahun target Bu Jingga antara merah kuning belum pernah mencapai hijau … maka kemarin dalam panel saya terus dicecar oleh Bos … saya sudah mencoba mempertahankan Bu Jingga karena saya tahu kinerja Bu Jingga sebelum menikah tapi ternyata mereka tidak mau tahu … dan tetap memutuskan untuk mengganti Bu Jingga ….” Pak Kurnia menjeda mencari tahu ekspresi Jingga namun bawahannya itu memasang ekspresi datar hanya kerjapan mata sebagai respon.“Bu Jingga tidak diberhentikan tapi dipindahkan ke divisi lain, backoffice.” Pak Kurnia melanjutkan.Jingga mengembuskan napas berat,