Sinar matahari sore menembus masuk dari bagian belakang kamar melewati dinding dan pintu kaca yang tirainya terbuka. Biru hendak menutup tirai tapi melihat kolam air hangat yang belum dia sentuh semenjak tiba di sini membuatnya ingin berendam sebentar sambil menikmati senja. “Aku berenang ya,” kata Biru memberitahu Jingga. “Kamu mau berenang juga enggak?” sambungnya bertanya. Jingga belum menjawab, dia malah berjalan ke area kolam renang diikuti Biru yang kemudian membuka kaos dan celananya menyisakan boxer. “Aku enggak bawa baju renang.” Jingga bergumam. “Aku juga,” ujar Biru sebelum akhirnya menceburkan diri ke kolam. “Ayo,” ajaknya seraya mengusap wajah dan rambut yang telah basah. “Anget lho airnya.” Biru membujuk. Jingga sebenarnya ingin sekali, dia sudah merencanakan akan berenang semenjak pertama kali melihat kolam air hangat itu. Kenapa juga dia lupa membel
“Yaaa … yaaa ….” Cinta mengesah, tiba-tiba mobil listrik mewah hadiah ulang tahun dari papi berhenti karena mesinnya mati. Beruntung Cinta masih sempat menepi sebelum mobil benar-benar berhenti. Jalanan yang sepi dan hujan cukup deras membuat Cinta berdecak lidah kesal. Dia tidak mengerti tentang mobil, hapenya juga mati karena kehabisan baterai. Lengkap sudah penderitaannya. Kedua tangannya mencengkram stir kuat, Cinta sedang berpikir. Mobilnya adalah mobil listrik, mungkin ada salah satu kabel yang lepas yang menyebabkan mesin mobil mati. Baiklah, dia hanya perlu mencari kabel yang terlepas itu. Cinta membulatkan tekadnya untuk turun dan membuka kap mobil di tengah-tengah guyuran hujan. Dia menarik handle pintu lalu keluar dari dalam mobil setelah menekan tombol dekat stir untuk membuka kap mobil. Dengan kekuatan penuh Cinta mengangkat kap mobil hingga terbuka lebar
“Baru bangun kamu?” Pertanyaan mami membuat Jingga yang tengah menata lauk pauk di atas meja makan menoleh mengikuti arah pandang beliau. Netra Jingga menangkap sosok Biru tengah bersandar setengah bagian tubuhnya pada dinding sambil melipat kedua tangan di dada. Rambut Biru sedikit berantakan ala bangun tidur memberikan kesan nakal dan berhasil mencetuskan desiran di sekujur tubuh Jingga. “Iya … terus laper,” sahut Biru berjalan mendekat. “Ini hampir semuanya Jingga yang masak, Mami malah ghibah sama Cinta tadi.” Mami bangga sekali memiliki menantu yang pandai memasak. “Oh ya? Kamu jago masak juga?” Biru mengambil perkedel jagung dari atas piring saji kemudian melahapnya. “Enggak, resep mami semua kok … aku cuma bantu masakin aja.” Jingga menuang air dari jar ke dalam gelas kemudian memberikannya kepada Biru. “Enak.” Biru memuji perkedel jagung buatan Jingga. “Minum dulu ab
“Nak Biru enggak usah angkut-angkut, biar pak Ujang aja yang bawa koper itu ke mobil …,” kata mama Irma agar menantu kesayangan kerepotan. “Enggak apa-apa, Ma … biar cepet,” balas Biru seraya keluar dari dalam kamar Jingga sembari menarik sebuah koper. “Jingga … dilarang donk, suaminya … dokter bedah loh itu suaminya, tangannya harus dijaga.” Mami masuk lebih dalam ke kamar Jingga di mana sang putri tengah merapihkan barang-barangnya. “Mama lebay, lagian dia cowok … udah seharusnya bantu-bantu.” Jingga mengatakannya tanpa menatap wajah mama. Dia sibuk memasukan barang ke dalam plastik container besar. “Mau kamu bawa semua barang-barang kamu?” Mama yang sudah duduk di tepi ranjang bertanya, beliau membantu Jingga melipat pakaian untuk dimasukan ke dalam koper. “Enggak, cuma sebagian aja … siapa tahu nanti Jingga pulang ke sini atau mungkin rumah tangga Jingga enggak berhasil.” Jingga men
Satu persatu makanan dan minuman pesanan Cinta dan Davian datang. Mereka menghentikan sejenak obrolan absurd itu untuk mengisi perut. Dan dilanjutkan usai makanan di piring habis. Karena enggan berpisah dengan Davian, Cinta sampai memesan satu minuman lagi beserta dessert. “Kamu boleh pulang malem?” Pertanyaan Davian layaknya sebuah peringatan bagi Cinta. Cinta melirik arlojinya, tanpa terasa sudah jam sudah menunjukkan pukul delapan malam. Gawat, mami bisa marah. Melihat ekspresi wajah Cinta yang memucat membuat Davian tahu kalau sang gadis tengah didera panik. “Kita pulang aja ya, saya anter ayo … nanti saya jelasin sama orang tua kamu.” “Eeeh, jangan … nanti mami papi mikir yang enggak-enggak tentang Ayang, eh ….” Kelopak mata Cinta mengerjap gugup, melipat bibirnya ke dalam dia kelepasan lalu memalingkan wajah agar Davian tidak melihat pipinya yang telah mero
“Ada apa sih kok rame?” tanya Jingga pada teman-teman yang berkerumun, dia melongokan kepala ke lantai bawah dari pagar pembatas beton di lantai dua. “Ada artis, Bu.” Seorang marketing kartu kredit menjawab. “Artis siapa?” Jingga bertanya sembari berusaha melongokan kepala lebih jauh, mencari tahu secara langsung. “Geisha … aktris dan penyanyi terkenal itu,” jawab Melissa yang berdiri paling dekat dengan pagar pembatas. Deg. Jingga memiliki firasat buruk. Mereka kemudia turun berbondong-bondong untuk meminta tanda tangan. “Bu Jingga, ada yang nyari.” Seorang sekuriti yang akhirnya berhasil naik ke lantai dua memberitahu. Jingga menoleh, menatap sekuriti itu beberapa saat. Tentu saja kedatangan Geisha ke sini bukan untuk membuat kartu kredit melainkan pasti untuk menemuinya. Semenjak mengetahui Geisha menghubungi Biru ketika di Puncak beberapa minggu lalu, Jingga
Cinta yang polos senang-senang saja sewaktu Davian mengajaknya ke apartemen. Dia memindai apartemen Davian yang cukup luas yang terdapat dua kamar, ruangan televisi dan dapur kecil lengkap dengan segala peralatan masak juga ada meja makan yang terletak di samping dinding kaca yang menyuguhkan pemandangan kota Jakarta. Selagi Davian masak, Cinta duduk di salah satu kursi meja makan memandang ke luar. “Ayang kenapa tinggal di apartemen?” tiba-tiba Cinta bertanya tanpa mengalihkan tatapannya dari luar dinding kaca. “Malu, udah umur tiga puluh tahun masih tinggal sama orang tua … lagian capek disuruh nikah terus.” Davian terdengar menggerutu. Cinta menoleh bersamaan dengan Davian yang selesai membuat makan malam. Pria itu berjalan mendekat membawa dua buah piring besar. “Waaaaaa … Seriusan Ayang bisa buat chicken cordon blue?” Mata Cinta berbinar takjub. Davian tertawa pelan sembari kembali k
“Cinta?” Davian terkejut saat mendapati Cinta di apartemennya. Sang gadis tengah meringkuk di atas sofa. Entah sudah berapa lama gadis itu menunggunya di sini. Davian memang memberikan Cinta kartu akses ke apartemennya untuk meyakinkan Cinta kalau hubungan ini memang nyata. Tapi Davian lupa jika apartemen ini hanyalah tempat untuk dirinya melakukan balas dendam bukan untuk tinggal. Dia masih akan pulang ke rumah kedua orang tuanya setiap hari. Namun entah kenapa semenjak pagi perasaan Davian selalu ingin pergi ke apartemennya. Akhirnya dia pergi ke sini setelah bertemu dengan salah satu temannya di Caffe tidak jauh dari apartemen. Cinta mendudukan tubuhnya, matanya merah karena sempat tertidur. “Cinta dari pagi, tadi ijin sama Abang mau ke rumah Ami tapi Cinta malah ke sini.” Davian duduk di samping Cinta, menyerongkan tubuh agar bisa menatap wajah gadisnya yang
Biru merangkul pundak Jingga, mengecup pelipisnya sebagai ungkapan Terimakasih yang sudah ribuan kali dia ungkapkan semenjak Jingga dengan kesadaran sendiri mengajak Biru ke dokter kandungan setahun lalu untuk membuka KB IUD.Katanya Jingga merindukan suara tawa bayi dan pekerjaannya yang sekarang pun tidak seberat dulu.Jadi Jingga merasa mungkin sudah waktunya memiliki anak ke tiga.Dan tanpa dia duga, hanya dalam jangka waktu kurang lebih setahun setelah membuka KB IUD—Tuhan mempercayakan malaikat kecilnya lagi kepada mereka. Semua bahagia mendengar kabar kehamilan Jingga.Kehamilannya yang ketiga ini pun begitu dinikmati oleh Jingga.Pekerjaan Jingga tidak terganggu karena tidak ada kendala berarti selama kehamilan.Sampai Jingga lupa mengajukan cuti hamil, dia tetap pergi ke kantor meski kandungannya sudah memasuki masa persalinan.Pagi itu satu kantor geger karena Jingga ditemukan jatuh di kamar mandi oleh stafnya dengan ketuban pecah.“Panggil ambulan!” Atasan Jingga berseru k
Papi sudah pensiun sebagai Panglima TNI Republik Indonesia, sekarang beliau sedang menikmati masa tua di rumah saja. Ada beberapa bisnis yang digeluti papi yang sudah dipersiapkan sebelum pensiun tapi tidak memerlukan perhatian khusus dari beliau.Hanya sesekali saja mengecek dan sisa waktunya papi bisa habiskan dengan bermain bersama cucu.Setelah Cinta menjadi sarjana meski sempat terseok menjalaninya karena harus melahirkan anak ke tiga, papi meminta besannya yaitu papanya Jingga untuk memasukan Cinta menjadi pegawai Bank dari jalur Officer Development Program.Kebetulan Cinta berkuliah di kampus unggulan dan memiliki IPK yang baik dan ternyata Cinta bisa lulus menjalani test yang dilakukan pihak ketiga dan sekarang Cinta seperti kakak iparnya, menjadi seorang bankir.Davian tidak melarang Cinta berkarir, seperti halnya Biru yang justru mendukung karir Jingga.Meski sekarang Jingga lebih menikmati bekerja dibalik meja menjadi backoffice berkutat setiap harinya dengan kertas dan an
Hari berikutnya dan hari-hari selanjutnya, Cinta seakan bukan miliknya lagi.Cinta dikuasai oleh Kiana dan Bara apalagi Bara yang masih sering tantrum, kalau kata bunda dan mami—mungkin Bara tahu akan memiliki adik sementara dia masih ingin kasih sayang dan perhatian full dari kedua orang tuanya.Baiklah, ingatkan Davian untuk meminta Cinta pasang KB setelah melahirkan anak ketiga mereka nanti.Karena sesungguhnya, tanpa ada yang tahu kalau Cinta tertekan.Dia lelah karena harus membagi waktu dengan anak-anak dan kuliah.Berimbas pada bobot tubuh Cinta yang menurun padahal sedang mengandung.“Sayang.” Suara Davian yang baru saja masuk ke dalam kamar membuat Cinta refleks mengusap air mata di pipi.“Kamu nangis?” Davian bergerak mendekat dengan langkah cepat.Pria yang gagah dan selalu tampan di mata Cinta dengan seragam Polisinya itu langsung menangkup wajah Cinta menggunakan tangannya yang besar.“Kamu nangis?” Davian mengulang.“Enggak, tadi aku pakai obat tetes mata karena mata aku
Semenjak kejadian Davian menyusul Cinta yang pergi tanpa ijinnya ke Puncak, Cinta jadi banyak berubah.Sekarang Cinta lebih mementingkan keluarga kecilnya.Cinta sudah tidak lagi melimpahkan urusan anak-anak kepada Nanny kalau dia ada di rumah.Meski keteteran dengan tugas kuliah tapi sebisa mungkin Cinta yang mengambil peran untuk mengurus anak-anaknya.Davian juga sebagai suami tidak merasa dirinya paling benar, dia berpikir kalau Cinta sempat khilaf pasti karena kesalahannya juga.Bila dulu Davian jarang sekali mengajak Cinta jalan-jalan, setelah kejadian itu Davian membuat jadwal kencan berdua dengan Cinta di malam minggu.Jadi setiap malam minggu, Davian dan Cinta akan mengantarkan Kiana dan Bara bergantian antara rumah papinya Cinta atau rumah ayahnya Davian untuk menitipkan mereka sementara dia dan Cinta menghabiskan malam minggu berdua.Entah itu hanya makan malam, nonton konser, nonton film atau checkin di hotel berbintang dan pulang keesokan harinya. Dan malam ini—selagi ka
Davian menarik pundak Cinta kemudian mengecup pelipis istrinya.“Aku pake baju dulu ya, kasian papi sama mami udah nungguin.” Tidak ada respon dari Cinta, raut wajahnya masih masam.“Papi ganti baju dulu ya, Kiana duduk sini sama bunda.”Cinta merangkul Kiana sehingga Kiana mau duduk di atas pangkuannya sedangkan Davian pergi ke walk in closet memakai pakaian.“Kakak kenapa pukul ade? Adenya disayang ya?” Cinta menegur Kiana dengan suara lembut.Melihat jejak air mata di wajah sang bunda membuat perasaan Kiana jadi tidak nyaman.Dia memeluk sang bunda.“Maafin Kiana Buna.” “Harus sayang sama ade ya?” pinta sang bunda dengan pendar sendu di mata.Kiana mengangguk.Davian bisa mendengar percakapan Cinta dengan Kiana dari dalam walk in closet kemudian bibirnya tersenyum karena hatinya menghangat.*** Mobil yang kemudikan Davian dan Biru bersamaan tiba di pelataran parkir sebuah studio.Protokoler papi yang mengetahui kedatangan mobil putra dan menantu sang Jendral langsung mengarahkan
“Mas … tolong jawab dulu itu telepon enggak tahu dari siapa,” kata Cinta meminta bantuan saat sang suami masuk ke dalam kamar anak-anak untuk mencari tahu kenapa anak-anak menangis.“Oh … oke.” Davian bergerak ke sebuah meja di mana ponsel sang istri berada.“Kiana … hey, udah nangisnya … tadi Bunda ‘kan harus menyusui ade Bara dulu.”“Hallo ….” Suara Davian terdengar menyahut.Om Ridho sampai menjauhkan ponsel dari telinga untuk mengecek apakah mungkin dia salah menekan nomor karena bukan suara Cinta yang seharusnya dia dengar malah suara seorang pria.“Om Ridho!” Davian berseru karena telah melihat nama di layar ponsel Cinta. “Oh … ini Mas Davian ya?” Ridho memastikan.“Iya, Om.” “Uuuh sayang … sayang …” Suara Cinta bersama tangisan anak kecil masih bisa didengar oleh Ridho.Seperti dejavu karena saat menghubungi Biru tadi dia juga mendengar hal yang sama.“Ini kalian masih di rumah ya? Ibu sama Bapak udah sampai, beliau meminta kalian segera datang.” Om Ridho memberitahu.“Iya Om
Mengetahui kalau Biru dengan Davian telah berdamai, papi dan mami berinisiatif untuk melakukan foto keluarga bersama anak, cucu, menantunya.Kebahagiaan yang setiap tahun dirasakan mami dan papi dengan kehadiran cucu-cucu patut diabadikan.Studio foto milik photographer ternama yang menjadi pilihan papi dan mami untuk mengabadikan moment kelengkapan keluarga mereka.“Lho … Biru sama Cinta belum sampai?” Papi bicara pada Ridho-sang ajudan begitu tiba di studio foto dan tidak mendapati anak cucu dan menantunya di sana.Ya mana Ridho tahu, ‘kan dia pergi dari rumah bersama papi.“Sepertinya belum, Pak.” Ridho menjawab.“Mungkin mereka kejebak macet. “Mami menimpali.”“Selamat siang Pak Yuna Dewangga.” Sang photographer menyambut.“Selamat siang.” Papi dan pria Photographer saling menjabat tangan, setelah itu pria photographer beralih pada mami.“Anak dan menantu beserta cucu-cucu saya belum datang, bisa kita tunggu sebentar?“ kata papi meminta waktu.“Oh … tidak masalah, bagaimana kalau
“Raina itu sekertaris aku … aku akan selalu ngajak dia ke pesta untuk cari tahu tentang klien dari sekertaris mereka … aku sengaja beliin dia gaun biar dia enggak ngoceh di luaran kalau uangnya habis beli gaun untuk nemenin aku ke pesta … hubungan aku sama Raina hanya sebatas pekerjaan.” Reyshaka akhirnya bersuara setelah beberapa lama diam sambil memeluk Namira.Namira tidak menyahut, membiarkan kalimat penjelasan Reyshaka menguap begitu saja.Gemas karena Namira tidak memberikan respon, pria itu lantas menegakan tubuh membawa Namira dalam pelukannya.“Terus … penjelasan kamu apa?” tanya Reyshaka menuntut setelah mengurai pelukan.Mata almond Namira mengerjap, istri cantiknya melongo bingung.“Penjelasan atas apa?” Namira bertanya polos.“Tadi ‘kan aku udah jelasin kenapa aku harus pergi ke pesta dengan Raina dan beliin dia gaun … sekarang aku mau denger penjelasan kamu kenapa bisa makan siang sama Erwan?”Namira tersenyum di dalam hati, suaminya ternyata benar-benar cemburu dan dia
“Pagi, Pak …,” sapa Jingga saat netranya bertemu dengan netra sang bos yang duduk di balik meja kerja.“Pagi … duduk, Bu Jingga.” Pak Kurnia mempersilahkan.Jingga tahu kalau dia akan dicecar habis-habisan karena target timnya masih merah sedangkan lima hari lagi akhir bulan.Jingga duduk, senyumnya tampak kaku tapi dia siap menerima apapun yang akan disampaikan pak Kurnia.“Begini Bu Jingga, mengingat hampir sepanjang tahun target Bu Jingga antara merah kuning belum pernah mencapai hijau … maka kemarin dalam panel saya terus dicecar oleh Bos … saya sudah mencoba mempertahankan Bu Jingga karena saya tahu kinerja Bu Jingga sebelum menikah tapi ternyata mereka tidak mau tahu … dan tetap memutuskan untuk mengganti Bu Jingga ….” Pak Kurnia menjeda mencari tahu ekspresi Jingga namun bawahannya itu memasang ekspresi datar hanya kerjapan mata sebagai respon.“Bu Jingga tidak diberhentikan tapi dipindahkan ke divisi lain, backoffice.” Pak Kurnia melanjutkan.Jingga mengembuskan napas berat,