Ting …
Tong …Suara bel disertai gedoran di pintu memaksa Bumi Xabiru Dewangga harus meraih kesadarannya.Dia merasakan pening di kepala tapi hawa panas dari dalam tubuh dan hasrat bergelora yang tadi menyiksanya sudah mulai menipis.Biru mendudukan tubuhnya mengingat-ngingat apa yang terjadi sebelum dia tertidur.Apakah dia baru selesai bercinta dengan Geisha-sang kekasih karena saat ini tubuhnya polos tanpa sehelai benang pun.Tadi ketika mereka hendak bercinta, Geisha mengatakan akan kembali karena tiba-tiba dia harus meeting dengan tim-nya.Tapi kapan kekasihnya itu kembali ke sini?Biru tidak mengingat apapun tentang Geisha namun benaknya memutar samar moment bercinta dengan seorang gadis.Biru bersumpah dia seorang gadis dan bukan Geisha karena gadis itu masih perawan sementara Geisha sudah tidak lagi perawan.“Tunggu … siapa gadis itu?” Biru bergumam dengan raut syok.Ting …Tong …Suara bel dan gedoran di pintu semakin tidak sabaran.Dengan kesadaran yang belum sepenuhnya kembali, Biru turun dari atas ranjang lalu memungut celana yang kemudian dia kenakan.Dan ketika dia menarik kemeja, terdapat sebuah kancing yang terhempas.Awalnya Biru berpikir kalau kancing itu adalah kancing dari kemejanya namun bayangan momen bercinta dengan seorang gadis kembali melintas.Biru ingat bagaimana dia membuka paksa dengan sekali tarikan kemeja gadis itu hingga kancingnya berceceran.Lalu Biru juga ingat dengan dua gundukan besar di dada sang gadis membuatnya yakin kalau gadis yang bercinta dengannya bukan Geisha karena dada Geisha tidak sebesar gadis itu.Tapi siapa gadis itu?Kenapa bisa ada di kamarnya?Apakah dia sedang bermimpi?“Pak Bumi Xabiru Dewangga, tolong buka pintunya!”Mendengar seruan formal memanggil namanya dari luar membuat Biru bertanya-tanya dan curiga tentang siapa yang ada di luar sana.Tidak mungkin sang mami meminta orang menguntitnya karena tidak mempercayai apa yang dia katakan ketika meminta ijin untuk pergi ke Bali.Mami tidak menyukai Geisha yang berprofesi sebagai seorang aktris.Sebetulnya bukan karena profesinya tapi Geisha lebih sering terlibat skandal yang menurut pengakuan sang kekasih adalah untuk menaikkan pamor.Biru tidak mempedulikan hal itu tapi mami ternyata sangat peduli.Biru membuka pintu untuk mencari tahu siapa dan apa keperluan orang yang mengganggunya pagi buta seperti ini.Ceklek.“Apakah benar anda adalah Bumi Xabiru Dewangga?”Bumi gagal fokus, dia tidak langsung menjawab pertanyaan pria berseragam polisi di depannya karena bingung kenapa petugas polisi tersebut mengetahui nama dan kamar tempat dia menginap.Seketika perasaan Biru menjadi cemas.“Apakah benar anda yang bernama Bumi Xabiru Dewangga?” Petugas polisi itu mengulang.“Betul,” jawab Biru pelan.“Bisa ikut saya ke kantor polisi? Kami mendapat laporan dari seorang wanita yang mengaku telah mendapatkan pelecehan seksual yang dilakukan oleh Pak Bumi Xabiru Dewangga … Pak Bumi bisa menjelaskannya di kantor polisi.”“Apa?” Biru menganga.Jadi apa yang melintas dalam benaknya bukan mimpi?Jadi dia telah melecehkan seorang gadis?“Seorang gadis melaporkan anda atas tindakan pemerkosaan, Pak Bumi bisa menjelaskannya di kantor polisi.”Petugas polisi itu mengulang kembali kalimatnya.Biru mengerjap pelan, dia masih belum benar-benar sadar dengan apa yang sedang terjadi.“Oke … saya ambil barang-barang saya dulu.”Sengaja Biru membuka pintu lebar agar polisi bisa masuk dan mengijinkannya mengambil dompet beserta ponsel.Dia sempat melirik ke atas seprei di mana ada bercak darah di sana.Biru terpekur, dia baru yakin jika telah merenggut mahkota seorang gadis yang tidak dia kenal tanpa dia sadari.Hatinya mencelos seketika, habis lah dia sekarang.Papi adalah Jendral bintang empat yang baru menjabat sebagai Panglima TNI dan malam ini dia telah mencoreng nama baik yang papi jaga dan usahakan seumur hidupnya.Gelar anak baik dan membanggakan yang disandangnya selama tiga puluh tahun ini harus dia tanggalkan karena kesalahan satu malam.Dan satu yang mengganjal di hati Biru yaitu, kenapa dia bisa sampai tidak sadar bercinta dengan seorang gadis asing?Dia memang minum alkohol tapi seingatnya tidak banyak dan entah kenapa dia merasa begitu berhasrat sampai tidak bisa mengendalikan diri.***“Pi … tolong Biru… Biru dibawa petugas ke kantor Polisi.” Adalah kalimat pertama yang Biru ucapkan setelah pagi-pagi buta menggganggu tidur sang Jendral melalui panggilan telepon.Papi tidak langsung menjawab, ada hening membentang selama beberapa detik yang membuat Biru semakin cemas.“Apa yang kamu lakukan?” Suara tegas di sana membuat Biru meremang.“Biru enggak sengaja memperkosa seorang gadis.” Biru menjawab.Dua orang petugas di kanan dan kirinya menoleh bersamaan.Mungkin mereka tidak percaya mendengar pengakuan Biru kepada sang papi.Papi terkekeh. “Kamu bilang enggak sengaja?”“Biru mabuk, Pi.”Jadi Biru masih beranggapan kalau dia dalam keadaan mabuk saat melecehkan Jingga.Papi mengembuskan napas berat.“Kamu sudah sampai kantor polisi?”“Belum, Pi.”“Sambungkan sama Kapolsek atau Kapolres di kantor itu sesampainya kamu di sana.”“Pi ….”“Apalagi?” Suara papi meninggi.“Maafin Biru.” Biru sungguh-sungguh mengatakannya.Ada jeda cukup lama sampai akhirnya sambungan telepon terputus dan papi tidak menjawab permintaan maafnya.Biru mengusap wajah bersama hembusan napas panjang.Dia menundukan kepala, perasaan bersalah menyerangnya begitu hebat.Biru pasrah, dia akan terima dengan lapang dada bila harus masuk penjara mempertanggung jawabkan perbuatannya.Tapi yang Biru sesali adalah dia telah membuat mami dan papinya kecewa, mungkin juga akan membahayakan karir papi dalam TNI.Setibanya di kantor polisi, Biru yang tangannya tidak diborgol karena bersikap kooperatif dan menghormati jabatan papi—menyeret kakinya melewati lorong demi lorong di gedung kantor Polisi.Di melewati sebuah pintu di mana di dalamnya ada seorang gadis menangis dikerumuni oleh tiga gadis lainnya.Entah apa tang terjadi dengan gadis itu.Dan kenapa wajah gadis itu rasanya tidak asing.Lalu dia tiba di sebuah ruangan dengan beberapa meja dan diminta duduk di salah satu meja yang terdapat seorang petugas sedang duduk menghadap sebuah komputer.“Apa betul ini KTP Anda?” Petugas polisi memberikan kartu identitas.Biru tercengang melihat KTP miliknya ada di tangan petugas polisi.“Sebelum pelapor meninggalkan kamar anda, pelapor sempat mencuri kartu identitas Anda,” ujar sang petugas menjelaskan.Biru hanya diam, dia tidak berkomentar.Polisi tersebut kemudian melakukan interogasi.FLASH BACK ON “Sayang!” Geisha berseru sambil melambaikan tangan memanggil sang kekasih yang rela datang ke Bali atas permintaannya. Sudah dua minggu Geisha berada di Australia untuk syuting sebuah film terbaru dan sebelum kembali ke Jakarta, timnya merayakan kelancaran dan kesuksesan syuting dengan berkunjung ke Bali untuk sejenak melepas penat. Geisha sudah tidak bisa menahan rindu sehingga memaksa Biru menyusulnya ke Bali. Biru sampai harus membatalkan jadwal praktik di hari Sabtu demi dirinya dan Geisha senang sekali. Tubuh tinggi besar itu langsung memeluk Geisha yang duduk di stool meja bar. Geisha tenggelam di dada sang kekasih yang bidang. Dia selalu suka aroma Biru, lelah karena syuting dari pagi hingga pagi selama dua minggu terakhir seketika sirna seakan Biru adalah charger yang bisa mengisi dayanya kembali. “Aku kangen.” Geisha berujar manja. Dia mendapat kecupan di kepala dari Biru yang juga begitu merindukan Geisha sampai ti
“Gue lupa, Ra … gue lupa kamar kita itu 325 apa 352 … gue ketuk kamar 325 dan berakhir kaya gini, apa yang harus gue bilang sama Davian.” Jingga meracau di sela isak tangis, terus mengulang kalimat penyesalannya tersebut. Andaikan dia mendengarkan baik-baik nomor kamar yang diberitahu Kiara mungkin dia tidak akan salah kamar. Ketiga sahabatnya memeluk Jingga, mereka semua pun menangis ikut merasakan penderitaan Jingga. “Nanti kita bantu jelasin, ini musibah … kalau Davian cinta sama lo … dia pasti akan nerima lo.” Kiara mencoba menjelaskan. Terdengar suara langkah kaki mendekat, keempat gadis itu menoleh ke arah pintu. “Ibu Jingga sudah bisa dibawa kembali ke hotel agar bisa beristirahat.” Petugas berpakaian preman yang tidak lain adalah AKP Rizky yang menjabat sebagai Kapolsek di sana memberi ijin kepada Jingga untuk kembali ke hotel. “Lalu bagaimana kelanjutan kasusnya? Apa laki-laki itu sudah dit
“Menurut kronologis yang disampaikan ibu Jingga, dia memang ragu apakah kamar sahabatnya di nomor 325 atau 352 … tapi karena tidak bisa menghubungi ponsel ketiga sahabatnya yang mati kehabisan batre jadi ibu Jingga mencoba mencari tahu dengan mengetuk kamar bernomor 325 yang ternyata adalah kamar pak Biru yang tengah dalam pengaruh obat … begitu mendapat rekaman CCTV kami langsung mendatangi kamar ibu Geisha tapi dia dan timnya sudah keluar dari hotel … kami melakukan pencarian dan dari informasi yang kami terima secara langsung dari Managernya melalui sambungan telepon yang nomornya berhasil kami dapatkan dari data booking kamar—ternyata mereka sudah menyeberang pulau dengan alasan ibu Geisha harus segera berada di Jakarta untuk pekerjaan.” Geisha langsung pergi setelah mendengar berita ini dari Biru melalui sambungan telepon dini hari tadi. Ada perasaan lega menjalar di dada papi mendapati semua bukti tidak memberatkan putranya bahkan bisa dibilang kalau p
Liburan Jingga dan ketiga sahabatnya yang berakhir tragedi itu menyisakan kenangan pilu. Mereka berempat beserta papa Reza kembali ke Jakarta sore harinya. “Maafin gue ya Jingga … kalau aja gue enggak maksa lo datang ke Bali, mungkin lo enggak akan kaya gini.” Kiara yang paling menyesal karena dia yang paling bersikeras agar Jingga datang ke acara ulang tahunnya. “Bukan salah lo … gue yang salah karena lupa nomor kamar.” Jingga mengatakannya sambil menahan isakan. Mereka semua menangis, saling berpelukan di depan pintu kedatangan sebelum berpisah kembali ke rumah masing-masing. “Berkabar ya, hubungin kita kalau lo butuh sesuatu.” Sabila berujar sambil menatap sendu Jingga. “Sabar ya, gue tau lo pasti bisa ngelewatinya.” Ghea memeluk Jingga lagi kemudian dengan berat hati melepaskannya. “Maafin kami semua ya, Om.” Tidak lupa Kiara meminta maaf kepada papa Reza. “Sudah lah, ini
Di waktu yang sama ketika papa Reza dan ayah Roni bertemu untuk membicarakan pembatalan pernikahan anak-anak mereka—di tempat berbeda Jingga mengajak Davian untuk bertemu. Jingga memang harus segera memberitahu Davian mengenai musibah yang telah menimpanya. Dia juga ingin tahu bagaimana respon Davian. Jujur, hati kecil Jingga ingin Davian tetap mempertahankannya dan melanjutkan rencana pernikahan mereka. Jingga sampai lebih dulu ke restoran yang telah ditentukan. Gugup melanda, telapak tangannya sampai dingin dan basah. Beberapa saat kemudian sosok pria jangkung bertubuh atletis berjalan tegap melewati pintu utama dengan masih menggunakan seragam Abdi Negaranya. Begitu tampan dan gagah, memesona setiap kaum hawa yang melihat. Davian melemparkan senyum manis membuat hati Jingga berdebar. Pria itu adalah pria yang sangat Jingga cintai, pria yang selama dua tahun ini menemani Ji
Hebatnya Jingga, dia tidak mengambil cuti setelah akhir minggunya dirundung musibah. Hari Seninnya dia tetap bekerja seolah tidak ada apapun yang terjadi dengannya. Jingga bergerilya turun langsung ke lapangan untuk memenuhi target tim. Itu dilakukan Jingga untuk melupakan semua masalahnya. Jingga merasa waras jika tetap bekerja. Hari demi hari pun berlalu, papa Reza sudah memutuskan untuk menerima lamaran papi Yuna untuk Biru. Kegundahan Jingga semakin menjadi namun tidak berdampak pada kinerjanya di kantor. “Saya duluan Bu,” pamit seorang sales yang merupakan anggota tim Jingga. Jingga hanya memberikan senyum dan anggukan samar. Pria itu pun keluar dari ruangan. “Jingga, lo belum pulang?” tanya Melissa teman sekantor yang selevel dengannya. “Belum … rapihin aplikasi tim dulu.” Dia beralasan padahal jika sudah sampai rumah dia akan kesepian dan gundah
“Aah … Biru, eemmhh … yaah … yaah ….” Geisha memang selalu berisik setiap kali bercinta tapi itu justru membuat hasrat Biru memuncak. Biru terus menggerakan bokong menghentak dari belakang sementara Geisha membungkuk membelakanginya. Dengan satu gerakan mudah Biru menarik pinggang Geisha, mengubah posisi mereka. Biru duduk di sisi ranjang sedangkan Geisha naik ke atas pangkuannya. Geisha mulai bergerak naik turun, dia melempar senyum sebelum memagut bibir Biru. Cukup lama kemudian dia membusungkan dada membuat Biru mudah meraup puncak dadanya menggunakan bibir. Kepala Geisha menengadah, rambut panjang nan tebalnya terjuntai di punggung menambah kesan seksi. Sambil masih menghisap dada Geisha, kedua tangan Biru ikut membantu bokong Geisha agar gerakannya semakin cepat karena dia akan sampai. “Biruuuu.” Geisha merengek, dia hampir sampai. “Bersama sayang.” Biru meng
Biru dan Jingga tidak pernah bertemu lagi setelah tragedi di Bali. Selama tiga bulan mempersiapkan pernikahan, Jingga selalu menghindar setiap kali Wedding Organizer mengajak meeting bersama kedua calon mempelai pengantin untuk acara besar nanti. Tapi Biru selalu datang, dia menunjukkan kesungguhannya menikahi Jingga. Memang tidak banyak yang harus dilakukan lagi karena melanjutkan yang sudah dimulai hanya saja calon mempelai pengantin prianya bukan Davian melainkan Biru. Jingga sempat berulah dengan menolak fitting gaun pengantin karena gaun itu adalah pilihan Davian sementara yang akan dia nikahi adalah Biru. Tidak ada bridal shower padahal sudah masuk dalam paket pernikahan sebab lagi-lagi Jingga menolak. Mama dan papa juga ketiga sahabatnya khawatir dengan kondisi psikis Jingga namun Jingga memperlihatkan kalau dirinya baik-baik saja meski sedikit berulah. Sampai akhirnya hari yang semestinya ditunggu-t
Biru merangkul pundak Jingga, mengecup pelipisnya sebagai ungkapan Terimakasih yang sudah ribuan kali dia ungkapkan semenjak Jingga dengan kesadaran sendiri mengajak Biru ke dokter kandungan setahun lalu untuk membuka KB IUD.Katanya Jingga merindukan suara tawa bayi dan pekerjaannya yang sekarang pun tidak seberat dulu.Jadi Jingga merasa mungkin sudah waktunya memiliki anak ke tiga.Dan tanpa dia duga, hanya dalam jangka waktu kurang lebih setahun setelah membuka KB IUD—Tuhan mempercayakan malaikat kecilnya lagi kepada mereka. Semua bahagia mendengar kabar kehamilan Jingga.Kehamilannya yang ketiga ini pun begitu dinikmati oleh Jingga.Pekerjaan Jingga tidak terganggu karena tidak ada kendala berarti selama kehamilan.Sampai Jingga lupa mengajukan cuti hamil, dia tetap pergi ke kantor meski kandungannya sudah memasuki masa persalinan.Pagi itu satu kantor geger karena Jingga ditemukan jatuh di kamar mandi oleh stafnya dengan ketuban pecah.“Panggil ambulan!” Atasan Jingga berseru k
Papi sudah pensiun sebagai Panglima TNI Republik Indonesia, sekarang beliau sedang menikmati masa tua di rumah saja. Ada beberapa bisnis yang digeluti papi yang sudah dipersiapkan sebelum pensiun tapi tidak memerlukan perhatian khusus dari beliau.Hanya sesekali saja mengecek dan sisa waktunya papi bisa habiskan dengan bermain bersama cucu.Setelah Cinta menjadi sarjana meski sempat terseok menjalaninya karena harus melahirkan anak ke tiga, papi meminta besannya yaitu papanya Jingga untuk memasukan Cinta menjadi pegawai Bank dari jalur Officer Development Program.Kebetulan Cinta berkuliah di kampus unggulan dan memiliki IPK yang baik dan ternyata Cinta bisa lulus menjalani test yang dilakukan pihak ketiga dan sekarang Cinta seperti kakak iparnya, menjadi seorang bankir.Davian tidak melarang Cinta berkarir, seperti halnya Biru yang justru mendukung karir Jingga.Meski sekarang Jingga lebih menikmati bekerja dibalik meja menjadi backoffice berkutat setiap harinya dengan kertas dan an
Hari berikutnya dan hari-hari selanjutnya, Cinta seakan bukan miliknya lagi.Cinta dikuasai oleh Kiana dan Bara apalagi Bara yang masih sering tantrum, kalau kata bunda dan mami—mungkin Bara tahu akan memiliki adik sementara dia masih ingin kasih sayang dan perhatian full dari kedua orang tuanya.Baiklah, ingatkan Davian untuk meminta Cinta pasang KB setelah melahirkan anak ketiga mereka nanti.Karena sesungguhnya, tanpa ada yang tahu kalau Cinta tertekan.Dia lelah karena harus membagi waktu dengan anak-anak dan kuliah.Berimbas pada bobot tubuh Cinta yang menurun padahal sedang mengandung.“Sayang.” Suara Davian yang baru saja masuk ke dalam kamar membuat Cinta refleks mengusap air mata di pipi.“Kamu nangis?” Davian bergerak mendekat dengan langkah cepat.Pria yang gagah dan selalu tampan di mata Cinta dengan seragam Polisinya itu langsung menangkup wajah Cinta menggunakan tangannya yang besar.“Kamu nangis?” Davian mengulang.“Enggak, tadi aku pakai obat tetes mata karena mata aku
Semenjak kejadian Davian menyusul Cinta yang pergi tanpa ijinnya ke Puncak, Cinta jadi banyak berubah.Sekarang Cinta lebih mementingkan keluarga kecilnya.Cinta sudah tidak lagi melimpahkan urusan anak-anak kepada Nanny kalau dia ada di rumah.Meski keteteran dengan tugas kuliah tapi sebisa mungkin Cinta yang mengambil peran untuk mengurus anak-anaknya.Davian juga sebagai suami tidak merasa dirinya paling benar, dia berpikir kalau Cinta sempat khilaf pasti karena kesalahannya juga.Bila dulu Davian jarang sekali mengajak Cinta jalan-jalan, setelah kejadian itu Davian membuat jadwal kencan berdua dengan Cinta di malam minggu.Jadi setiap malam minggu, Davian dan Cinta akan mengantarkan Kiana dan Bara bergantian antara rumah papinya Cinta atau rumah ayahnya Davian untuk menitipkan mereka sementara dia dan Cinta menghabiskan malam minggu berdua.Entah itu hanya makan malam, nonton konser, nonton film atau checkin di hotel berbintang dan pulang keesokan harinya. Dan malam ini—selagi ka
Davian menarik pundak Cinta kemudian mengecup pelipis istrinya.“Aku pake baju dulu ya, kasian papi sama mami udah nungguin.” Tidak ada respon dari Cinta, raut wajahnya masih masam.“Papi ganti baju dulu ya, Kiana duduk sini sama bunda.”Cinta merangkul Kiana sehingga Kiana mau duduk di atas pangkuannya sedangkan Davian pergi ke walk in closet memakai pakaian.“Kakak kenapa pukul ade? Adenya disayang ya?” Cinta menegur Kiana dengan suara lembut.Melihat jejak air mata di wajah sang bunda membuat perasaan Kiana jadi tidak nyaman.Dia memeluk sang bunda.“Maafin Kiana Buna.” “Harus sayang sama ade ya?” pinta sang bunda dengan pendar sendu di mata.Kiana mengangguk.Davian bisa mendengar percakapan Cinta dengan Kiana dari dalam walk in closet kemudian bibirnya tersenyum karena hatinya menghangat.*** Mobil yang kemudikan Davian dan Biru bersamaan tiba di pelataran parkir sebuah studio.Protokoler papi yang mengetahui kedatangan mobil putra dan menantu sang Jendral langsung mengarahkan
“Mas … tolong jawab dulu itu telepon enggak tahu dari siapa,” kata Cinta meminta bantuan saat sang suami masuk ke dalam kamar anak-anak untuk mencari tahu kenapa anak-anak menangis.“Oh … oke.” Davian bergerak ke sebuah meja di mana ponsel sang istri berada.“Kiana … hey, udah nangisnya … tadi Bunda ‘kan harus menyusui ade Bara dulu.”“Hallo ….” Suara Davian terdengar menyahut.Om Ridho sampai menjauhkan ponsel dari telinga untuk mengecek apakah mungkin dia salah menekan nomor karena bukan suara Cinta yang seharusnya dia dengar malah suara seorang pria.“Om Ridho!” Davian berseru karena telah melihat nama di layar ponsel Cinta. “Oh … ini Mas Davian ya?” Ridho memastikan.“Iya, Om.” “Uuuh sayang … sayang …” Suara Cinta bersama tangisan anak kecil masih bisa didengar oleh Ridho.Seperti dejavu karena saat menghubungi Biru tadi dia juga mendengar hal yang sama.“Ini kalian masih di rumah ya? Ibu sama Bapak udah sampai, beliau meminta kalian segera datang.” Om Ridho memberitahu.“Iya Om
Mengetahui kalau Biru dengan Davian telah berdamai, papi dan mami berinisiatif untuk melakukan foto keluarga bersama anak, cucu, menantunya.Kebahagiaan yang setiap tahun dirasakan mami dan papi dengan kehadiran cucu-cucu patut diabadikan.Studio foto milik photographer ternama yang menjadi pilihan papi dan mami untuk mengabadikan moment kelengkapan keluarga mereka.“Lho … Biru sama Cinta belum sampai?” Papi bicara pada Ridho-sang ajudan begitu tiba di studio foto dan tidak mendapati anak cucu dan menantunya di sana.Ya mana Ridho tahu, ‘kan dia pergi dari rumah bersama papi.“Sepertinya belum, Pak.” Ridho menjawab.“Mungkin mereka kejebak macet. “Mami menimpali.”“Selamat siang Pak Yuna Dewangga.” Sang photographer menyambut.“Selamat siang.” Papi dan pria Photographer saling menjabat tangan, setelah itu pria photographer beralih pada mami.“Anak dan menantu beserta cucu-cucu saya belum datang, bisa kita tunggu sebentar?“ kata papi meminta waktu.“Oh … tidak masalah, bagaimana kalau
“Raina itu sekertaris aku … aku akan selalu ngajak dia ke pesta untuk cari tahu tentang klien dari sekertaris mereka … aku sengaja beliin dia gaun biar dia enggak ngoceh di luaran kalau uangnya habis beli gaun untuk nemenin aku ke pesta … hubungan aku sama Raina hanya sebatas pekerjaan.” Reyshaka akhirnya bersuara setelah beberapa lama diam sambil memeluk Namira.Namira tidak menyahut, membiarkan kalimat penjelasan Reyshaka menguap begitu saja.Gemas karena Namira tidak memberikan respon, pria itu lantas menegakan tubuh membawa Namira dalam pelukannya.“Terus … penjelasan kamu apa?” tanya Reyshaka menuntut setelah mengurai pelukan.Mata almond Namira mengerjap, istri cantiknya melongo bingung.“Penjelasan atas apa?” Namira bertanya polos.“Tadi ‘kan aku udah jelasin kenapa aku harus pergi ke pesta dengan Raina dan beliin dia gaun … sekarang aku mau denger penjelasan kamu kenapa bisa makan siang sama Erwan?”Namira tersenyum di dalam hati, suaminya ternyata benar-benar cemburu dan dia
“Pagi, Pak …,” sapa Jingga saat netranya bertemu dengan netra sang bos yang duduk di balik meja kerja.“Pagi … duduk, Bu Jingga.” Pak Kurnia mempersilahkan.Jingga tahu kalau dia akan dicecar habis-habisan karena target timnya masih merah sedangkan lima hari lagi akhir bulan.Jingga duduk, senyumnya tampak kaku tapi dia siap menerima apapun yang akan disampaikan pak Kurnia.“Begini Bu Jingga, mengingat hampir sepanjang tahun target Bu Jingga antara merah kuning belum pernah mencapai hijau … maka kemarin dalam panel saya terus dicecar oleh Bos … saya sudah mencoba mempertahankan Bu Jingga karena saya tahu kinerja Bu Jingga sebelum menikah tapi ternyata mereka tidak mau tahu … dan tetap memutuskan untuk mengganti Bu Jingga ….” Pak Kurnia menjeda mencari tahu ekspresi Jingga namun bawahannya itu memasang ekspresi datar hanya kerjapan mata sebagai respon.“Bu Jingga tidak diberhentikan tapi dipindahkan ke divisi lain, backoffice.” Pak Kurnia melanjutkan.Jingga mengembuskan napas berat,