Bab 72) Penolakan Aira"Kamu bilang aku tidak profesional? Kamulah yang nggak profesional," tukas Keano."Apakah profesional namanya, jika menolak sesuatu yang bahkan kita belum mendengar apa yang mereka tawarkan?" bantah Aira. Dia benar-benar heran dengan Keano. Tidak biasanya Keano bersikap sekeras ini sepanjang mereka bergaul. "Aku harap kamu bisa berpikir ulang untuk menerima tawaran dari Kiara dan Alvino. Mereka itu bukan partner kerja yang baik. Kalau kamu memang ingin membuka kembali restoran ini, aku siap buat modalin kamu. Kamu nggak perlu susah payah kerjasama dengan kedua orang itu...."Namun Aira hanya tersenyum dingin. Tentu saja Keano akan bisa, karena di belakangnya ada kakek Albana yang pasti akan dengan sukarela menggelontorkan dana berapapun demi restoran mendiang putrinya."Terima kasih atas tawaran modal dari kamu, tapi aku mau mendengarkan mereka dulu. Siapa tahu mereka punya visi yang bagus atas restoran ini. Ini bukan soal modal, Keano, tetapi konsep dan strate
Bab 73) Surat CeraiKiara berjalan tergesa, menghambur masuk ke dalam ruangan bercat putih ini. Seorang wanita tengah terbaring. Matanya terpejam. Kalina memang belum juga sadar, padahal sudah dua jam berlalu, sejak dia dibawa ke rumah sakit ini.Wanita itu harus mengalami kekerasan fisik saat melayani kliennya yang belakangan diketahui memiliki kelainan seksual. Bukan cuma satu orang, tetapi dua orang sekaligus, hingga penyiksaan yang diterima Kalina menjadi dua kali lipat beratnya."Mama...." Tangannya terulur menggenggam tangan Kalina yang terhubung dengan selang infus. "Kenapa menjadi begini, Ma? Aku sudah memperingatkan Mama, tapi Mama tak pernah mendengar kata-kataku supaya berhenti dari pekerjaan itu," sesal Kiara. Meskipun tidak lagi tinggal bersama dengan ibunya, tapi bagaimanapun juga, Kalina adalah ibunya. Dia tak tega melihat kondisi wanita itu.Kondisi Kalina begitu memprihatinkan. Bukan cuma tidak sadar, tetapi beberapa bagian tubuhnya terluka dan harus diperban, termas
Bab 74) Kembali Ke Titik AwalSatu jam sudah berlalu dan tak ada kemajuan apapun. Kondisi Kalina masih sama seperti sebelumnya. Merasa tak sabar, akhirnya Kiara berdiri dan merapikan penampilannya. Saat ini juga dia harus segera pergi ke rumah Hendra untuk memastikan semuanya."Kamu mau ke mana, Sayang?" Alvino menegur.Kiara menoleh. "Mau ke rumah Papa Hendra, Al. Aku harus mengurus semuanya, karena kita sudah menerima surat cerai itu. Mama Kalina sudah tidak punya hak lagi tinggal di rumah itu," ujarnya getir."Ya, aku mengerti. Aku akan ikut denganmu." Alvino menyusul berdiri dan menggandeng Kiara menuju pintu.Setelah menitipkan pengawasan ibunya pada petugas jaga, Kiara dan Alvino bergegas keluar dari rumah sakit. Namun baru saja mereka sampai di pelataran rumah sakit, seorang lelaki setengah baya berlari kecil menghampiri mereka."Pak Narto?" Kiara segera mengenali lelaki setengah baya itu."Non, ini ada titipan dari Tuhan Hendra untuk Non Kiara," ujar Pak Narto memberikan secar
Bab 75) Telepon Dari Rumah SakitMeski kepalanya masih terasa berat, Kiara tetap berusaha menyelesaikan pekerjaannya. Di apartemen ini ada dua kamar. Satu ia peruntukkan untuk ibunya dan satunya lagi untuk dirinya sendiri jika ia harus menginap. Barang-barang yang di bawa oleh Pak Narto semuanya adalah barang-barang pribadi, terdiri dari pakaian aksesoris, tas, sepatu, kosmetik, buku-buku dan lain sebagainya, bukan furniture atau peralatan rumah tangga. Otomatis nanti dia harus membeli sendiri dan itu memerlukan sejumlah uang. Otaknya kembali berputar-putar bagaimana caranya dia bisa mengisi apartemen ini sehingga menjadi layak huni.Kiara tidak punya uang lebih, bahkan uang bulanannya saja tidak diberikan oleh Alvino, karena lelaki itu memang belum sanggup memberinya uang bulanan lagi.Hufft.Akhirnya semuanya selesai. Kiara terduduk di lantai keramik dengan kaki berselonjor. Sepasang kakinya terasa pegal setelah bolak-balik dari ruang tamu ke kamar tidur Kalina dan juga kamar tidur
Bab 76) Mati Hati"Tanpa harus kuinginkan pun, Mama sebenarnya sudah mati, lebih tepatnya mati hatinya. Aku sudah memperingatkan Mama agar tidak bersikap keterlaluan terhadap Papa Hendra, tapi nyatanya Mama tetap ngeyel. Jangan salahkan jika aku angkat tangan." Kiara mengangkat tangannya sebentar, lalu menurunkannya lagi. Dia lantas duduk di kursi dekat pembaringan ibunya."Kurang ajar! Dasar anak durhaka! Berani sekali kamu bilang seperti itu kepada ibumu, wanita yang sudah bertaruh nyawa demi melahirkanmu ke dunia ini?" Kalina mendelik. Hanya tubuhnya yang susah di gerakkan, tapi mata dan mulutnya masih bisa berfungsi lancar. Dia masih bisa memarahi putrinya."Pada kenyataannya memang begitu, Ma," balas Kiara."Bukankah aku hanya numpang tinggal dan lahir dari rahim Mama? Selama ini Mama tidak pernah mengajarkan apapun kepadaku, kecuali menanamkan pemahaman bahwa seorang wanita itu akan bahagia jika mendapatkan suami yang kaya raya. Bukankah begitu, Ma?" ujar Tiara santai. Sementara
Bab 77) Percakapan Dengan Mrs. Margaretha Aira paling terkesan dengan sikap sepasang suami istri itu. Keduanya ramah dan rendah hati. Tak ada kesan sombong apalagi arogan sedikitpun, meskipun perusahaan yang dimiliki Mrs. Margaretha adalah perusahaan besar. Bumi Berkah Group beruntung mendapatkan klien sebagus ini. Mr. Albert dan Mrs. Margaretha berdiri saat Aira dan Athar sampai. Mereka membungkukkan tubuhnya sedikit kemudian mengulurkan tangan. Setelah saling berjabat tangan, jamuan makan siang pun dimulai. Mr. Albert dan Athar terlibat pembicaraan serius sesudahnya, sementara Mrs. Margaretha mengajak Aira keluar dari restoran. Keduanya berjalan-jalan di sekitar tempat itu. Di samping restoran itu ada sebuah taman kecil. "Saya senang sekali bisa kenal dengan Mrs. Aira. Sebagai istri dari pimpinan sebuah perusahaan, Anda memiliki kepribadian yang sangat bagus. Saya pikir setelah Mr. Athar menikahi Anda, Bumi Berkah Group akan semakin sukses dan kami semakin yakin bekerja sama den
Bab 78) Permintaan AlbanaAira pikir kedatangannya bersama Athar hanya dalam rangka meluluskan permintaan kakek tua itu. Tidak akan ada tema pembicaraan seputar bisnis, tetapi ternyata anggapannya salah besar. Albana tetaplah Albana. Lelaki pekerja keras yang hidupnya tak bisa lepas dari usaha dan bisnis.Lelaki berkulit keriput yang sehari-hari hanya bisa beraktivitas di seputaran ruang perawatannya itu tetap saja menyasar Athar dengan berbagai topik obrolan seputar bisnis, apalagi di antara mereka ada Bernard, asisten pribadi Albana. Meskipun Diamond Group sudah ditangani sepenuhnya oleh Keano, tetapi Albana tetap tidak bisa lepas tangan. Masih ada beberapa bisnis keluarga yang masih ia tangani, termasuk PT Indo Garment, sebuah perusahaan yang bergerak di bidang garmen milik mendiang Alia."Jangan lagi menambah bebanku, Kek. Sudah cukup Alia Resto and Cafe, kemudian peranku sebagai istri pimpinan Berkah Bumi Group, bahkan di satu sisi aku harus kuliah. Jangan menambah lagi dengan In
Bab 79) Jalani TakdirmuAthar mengerti apa yang Aira rasakan saat ini. Dia pun pernah berada di posisi yang sama. Aira butuh disupport, bukan dipaksa untuk mengerti. Aira butuh seseorang yang bisa memahami gejolak jiwanya. Benar, ini memang terlalu mengejutkan buat Aira. Berawal dari seorang pengantin pengganti, kemudian menjadi seorang istri yang sebenarnya, lalu harus menjalani perannya sebagai pendamping seorang pimpinan Bumi Berkah Group, belajar soal perusahaan perhiasan, di amanahi untuk mengurus Alia Resto and Cafe peninggalan ibunya dan harus kuliah pula. Benar, itu terasa sangat berat bagi seorang Aira yang tidak terbiasa, apalagi sekarang sang kakek meminta Aira untuk menghandle perusahaan peninggalan ibunya yang baru hari ini ia ketahui, PT Indo Garment.Aira tak siap. Itu faktanya. Akan tetapi mau tidak mau Aira harus mau. Kalau bukan Aira, lantas siapa lagi? Tidak mungkin selamanya mengandalkan sang kakek yang kondisinya sudah sakit-sakitan. Mempercayakan perusahaan kep