Bab 89) Titik TerendahDia segera mengenali sosok itu. Wanita muda pemilik wajah oriental dan merupakan asisten pribadi Rani. Namanya Devanka. Tanpa menghiraukan tatapan orang-orang, Keano menyambar tubuh itu, membopongnya sembari berjalan cepat menuju mobilnya."Bertahanlah Deva. Aku mohon," gumam Keano sembari terus melarikan mobilnya menuju sebuah rumah sakit terdekat.Sesampainya di rumah sakit, Keano membaringkan tubuh Devanka di brankar, kemudian membiarkan orang-orang berpakaian putih-putih itu mendorongnya menuju ruang IGD, sementara ia sendiri duduk bersandar di bangku di depan ruangan itu.Lelaki itu memijat kepalanya sembari memainkan ponsel. Tak ada yang bisa di lakukannya kini kecuali menghubungi Rani. Dia tak terlalu dekat bahkan jarang bertegur sapa dengan Devanka. Tentu saja tak tahu siapa saja keluarganya."Iya Keano. Tumben kamu menelpon Mommy? Ada apa?" Suara Rani terdengar dengan background suara deru kendaraan bermotor."Mom, Devanka mengalami kecelakaan. Dia bera
Bab 90) Siapa Lelaki Itu?"Devanka!" seru Rani tertahan. Gadis itu kembali meronta. Tangannya bermaksud mencabut selang infus dan akan turun dari pembaringan. Secepat kilat Keano menangkap tubuh itu, menekan kedua bahunya supaya Devanka tetap dalam posisi berbaring.Rani memencet bel. Tak sampai semenit, para petugas medis berdatangan. Salah seorang dari mereka menyuntikkan sesuatu yang membuat gadis itu terkulai lemas dan kembali tertidur."Beliau menderita depresi kategori ringan. Sepertinya ada peristiwa yang membuat jiwanya sangat terpukul. Kalau boleh tahu, apa yang sudah terjadi?" Lelaki berpakaian putih itu menatap Rani dan Keano bergantian. Mereka duduk berhadapan di batasi oleh sebuah meja.Kedua orang itu nampak saling berpandangan, kemudian menggeleng secara bersamaan."Kami tidak mengetahui apapun, Dok. Sehari-hari Devanka selalu ceria dan terlihat tak punya masalah," jawab Rani hati-hati."Apa Devanka perlu di tangani psikiater?" timpal Keano."Kalau Bapak dan Ibu setuj
Bab 91) Siapa Lelaki Itu? (2)"Deva," panggil Keano lirih.Gadis itu mengerjapkan matanya berkali-kali dan pemandangan pertama yang dilihatnya adalah sosok lelaki tampan yang barusan ia maki sebagai pahlawan kesiangan. Sial! Rupanya Keano masih berada di sini. Padahal semula ia berharap lelaki itu sudah pergi meninggalkan rumah sakit ini."Kenapa kamu tidak pergi?" sarkas Devanka. Matanya kembali mengerjap. Dia heran, kali ini dia terbangun di ruangan yang berbeda dengan sebelumnya. "Mommy yang minta aku untuk menjagamu, Deva," sahut Keano. "Aku tidak perlu dijaga. Aku juga tidak perlu bantuanmu. Kamu boleh pergi. Kamu itu orang sibuk, kan? Jangan sok baik di hadapan Nyonya Rani," ketusnya. Dia kembali menepis uluran tangan lelaki itu yang bermaksud memegang dahinya."Deva, tanpa harus diminta oleh Mommy pun aku akan menjagamu. Aku peduli sama kamu, Deva....""Aku tidak butuh kepedulianmu, karena yang aku inginkan sekarang adalah mengakhiri semua kesakitan ini. Aku benci hidupku. Ak
Bab 92) Hotel Itu...."Aku pemerkosa?!" Lelaki muda itu sudah kembali berdiri tegak menatap Rani dengan tatapan elangnya. "Sejak kapan aku menjadi seorang pemerkosa, Mom?! Aku akui, aku memang bukan perjaka lagi, tapi aku tidak pernah memaksakan diri untuk melakukan hubungan intim dengan gadis manapun. Semua wanita yang pernah berhubungan denganku melakukannya dengan sukarela dan itu pun jumlahnya bisa dihitung dengan jari." Lelaki itu memaparkan.Rani melirik Devanka yang terbaring. Syukurlah, sepertinya gadis itu memang tengah terlelap, sehingga tidak terganggu dengan sikap spontannya barusan. Tak ingin membuat keributan yang membuat gadis itu terbangun, Rani menyeret Keano ke sebuah lorong yang nampak sepi."Kamu tidak merasa? Kamu tidak ingat, Keano? Iya, mungkin saja, karena waktu itu sepertinya kamu tengah mabuk," ujar Rani sinis."Mabuk?!" Kening lelaki itu seketika berkerut. "Aku pernah mabuk? Kapan ya?" Keano kembali berusaha mengingat-ingat. Lelaki yang satu ini memang cen
Bab 93) Minta Bantuan AiraKeano membenturkan kepalanya ke tembok berkali-kali seolah tengah berperang dengan sakit di dalam batok kepalanya. Sepagi ini dia sudah merasa sangat kacau. Dia baru saja lepas dari jeratan wanita ular bernama Olivia. Lalu sekarang? Tiba-tiba ada seorang gadis diketahui tengah mengandung anaknya."Bagaimana caranya aku menghadapi Devanka? Dia pasti sangat membenciku," gumam Keano."Aku sama sekali tidak punya pengalaman menghadapi seseorang yang mengalami trauma, apalagi sekarang jiwanya pasti semakin terguncang dengan kehamilan yang tidak diinginkan.""Apa aku minta bantuan Aira saja ya?" Tiba-tiba terlintas sosok Aira di benaknya. "Belakangan ini Devanka dan Aira cukup dekat. Siapa tahu mereka bisa berbicara dari hati ke hati. Mungkin kalau Aira yang bicara, Devanka mau mendengar. Semoga saja Aira berada di pihakku, bukan malah ikutan mengamuk seperti Mommy."Merasa menemukan solusi, Keano segera mengambil ponsel dari saku bajunya, lalu mendial nomor Air
Bab 94) Tak Ada Yang Salah Dengan Takdir"Tunggu Aira. Jangan pergi. Dengar dulu penjelasanku!" Lelaki itu mencengkram lengan Aira kuat-kuat."Lepas, Keano!" Aira memutar tubuhnya berusaha melepaskan diri. Namun sebelah tangannya lagi mengunci tubuh Aira, sehingga wanita itu tak lagi bisa berkutik."Please, Keano. Jangan begini. Ini di depan umum, sangat memalukan jika ada orang yang mengenal kita....""Aku tak akan begini jika kamu mau mendengar penjelasanku. Sekarang duduk!" titahnya."Tapi kamu itu jahat. Kamu sudah menghancurkan masa depan seorang wanita! Ini nggak bener!""Jika itu sebuah kesengajaan, ya aku memang jahat. Sedangkan ini murni kecelakaan, Aira. Sudah berkali-kali aku bilang," sergah Keano naik pitam.Misinya kali ini hanya untuk meminta bantuan Aira, agar mau menjelaskan semuanya kepada Devanka. Namun menjelaskan semuanya kepada Aira rupanya bukan hal yang mudah. Wajar, Aira dan Devanka sama-sama wanita. Hanya wanita yang mau mengerti penderitaan wanita lainnya."K
Bab 95) Kedatangan Melinda"Kenapa kamu bisa seperti ini, Mbak Deva?" lirih Aira pilu. Tangan mulus itu kembali terulur membelai lembut rambut gadis itu. Namun kali ini ditepis oleh Devanka. Meskipun tubuhnya lemah, tetapi ternyata dia masih sanggup menyingkirkan tangan Aira dari kepalanya."Karena lelaki kesayangan kalian itu yang sudah membuatku seperti ini. Dia yang sudah melenyapkan jiwaku, jadi apa salah jika aku meminta nyawanya?!"Rani hanya menghela nafas. Wanita ini tahu apa yang diucapkan oleh Devanka hanya ungkapan rasa frustasi. Dia tidak benar-benar ingin melenyapkan nyawa putra angkatnya. Rani berusaha mengabaikan dan tidak ambil pusing."Kamu istirahat dulu, Devanka. Tenangkan hatimu." Rani menyeret Aira kembali menuju sofa tempat mereka barusan duduk."Mom, ini sudah gila! Bagaimana mungkin Devanka meminta kematian Keano?! Ini nggak adil!" Suara Aira bergetar lirih, sangat takut terdengar oleh gadis itu."Tak apa. Dia takkan serius. Kamu nggak perlu khawatir," sahut Ra
Bab 96) Urusanmu, Bukan Urusanku"Itu karena alam yang menginginkan kamu menjadi seseorang yang istimewa. Alam sudah memilihmu...""Alam juga memilihku untuk menerima ketidakadilan ini dan aku membencinya. Mengapa bukan orang lain saja yang menerimanya? Kenapa harus aku? Aku ingin tumbuh seperti gadis-gadis yang lain. Namun semua itu tak bisa ku nikmati karena aku dipaksa untuk dewasa sebelum waktunya...."Lagi-lagi Malinda hanya tersenyum. Tak sepatah kata pun terlontar dari mulutnya demi menyanggah ucapan gadis itu. Dia tak boleh memaksa. Ini adalah kunjungan pertama dan hanya sebatas perkenalan.Devanka terus meracau. Ada beberapa hal yang luput dari data yang sudah ia baca dari dokter Reyhan dan itu baru ia ketahui sekarang. Tapi tak masalah. Dengan begini dia bisa mencarikan solusi yang tepat untuk mengembalikan kondisi mental gadis itu.Setelah merasa cukup mendengarkan ocehan Devanka, Melinda menulis resep obat untuk dia berikan kepada Aira yang kebetulan sudah kembali dari ka