"Saya, Frans!"
Laki-laki itu mengulurkan tangannya ke depan Laras. Ia tersenyum manis sekali saat manik-manik hitam perempuan muda itu menatapnya. Tergugup Laras menjawab, "Aku Laras," katanya seraya menerima tangan Frans. Laki-laki itu tersenyum senang. "Kalo boleh tahu, Mbak Laras kenapa sedih gitu? Lagi ada masalah ya?" Laras buru-buru menggeleng. "Enggak kok! Maaf, aku mesti pulang." Frans manggut-manggut. Matanya memandangi punggung Laras menjauh pergi. Tak lama kemudian dua orang laki-laki menghampirinya. "Ikuti perempuan itu," bisik Frans. Dua orang laki-laki itu mengangguk. Mereka lantas pergi menyusul Laras. * Langkah kecil Laras tiba di depan pintu pagar rumah. Perempuan itu memalingkan wajahnya tampak sedih. Mas Bagas pasti sedang menunggunya pulang. Dengan wajah murung, tangan putih itu membuka pintu pagar. Laras berjalan menuju teras rumah. Dilihatnya Bagas yang sedang sibuk membetulkan motornya. "Maaf, Mas Bagas. Warungnya tutup, jadi Laras nggak bawa kopi buat Mas." Bagas menoleh ke arah sumber suara lirih tersebut. Dilihatnya wajah Laras yang tampak sedikit pucat. "Nggak pa-pa. Mas bisa ngopi di warung dekat proyek," katanya berusaha menyingkirkan kekhawatiran sang istri. Laras cuma mengangguk. Ia lantas berjalan memasuki rumah kecil itu. Mas Bagas pasti berbohong. Bahkan dia tidak menemukan satu uang koin pun di saku kemejanya. Mustahil dia bisa ngopi di warung. Bathin Laras kembali menjerit saat tidak menemukan sebutir beras pun di dapurnya. Ekor matanya melirik ke arah laci meja. Seingatnya masih ada mie instan yang ia simpan di sana. Brak! Laci meja dibuka. Wajah Laras berbinar melihat satu bungkus mie instan di sana. Benda itu seolah tersenyum menyambutnya. "Mas, jangan pergi dulu! Aku buatin mie rebus buat sarapan!" Bagas yang sedang mengengkol motornya cuma melirik ke arah pintu rumah saat mendengar teriakan istrinya. "Buat kamu saja, Laras! Mas sudah kesiangan!" Ngeeengggg! Suara bising motor Bagas membuat Laras terkejut. Diletakkan mangkuk putih yang sedang dipegangnya pada meja. Lantas ia bergegas mencapai pintu keluar. Dilihatnya punggung Bagar yang sudah pergi sambil mengendarai motor bututnya. Laras terpaku di tempat. Suaminya harus pergi dengan perut yang kosong. Entah kemana Mas Bagas akan pergi. Dia tahu, laki-laki blasteran Bali-Sunda itu merupakan lelaki yang bertanggung jawab. Meski terlahir dan berasal dari keluarga kaya raya, Bagas tidak pernah mengeluhkan hidup mereka yang sulit saat ini. "Sekarang kamu pilih, putuskan hubunganmu dengan gadis itu atau kamu keluar dari rumah ini?!" "Maafkan saya, Pak. Saya akan tetap menikahi Laras." "Keras kepala! Enyah kamu dari hadapan saya!" Laras memejamkan matanya seraya menahan sesak di dada. Tiba-tiba saja ia teringat kembali saat orang tua Bagas mengusirnya dari rumah. Dia cuma anak yatim-piatu yang dibesarkan di suatu panti asuhan. Sementara Bagas, dia seorang putra dari keluarga terpandang di kota Solo. Orang tuanya punya banyak perkebunan dan pabrik. Sekarang, demi dirinya Bagas rela kehilangan semua itu. Laras sangat menyesal. Namun cintanya pada Bagas terlalu banyak jika untuk ia lepaskan begitu saja. "Permisi!" Suara seorang laki-laki membuyarkan lamunannya, Laras yang terkejut buru-buru mengusap kedua pipinya yang basah. Lantas dilihatnya siapa yang datang. "Mbak Laras." "Kamu?" Laras jelas terkejut melihat siapa yang datang. Dia laki-laki yang dijumpainya di jalan. Frans tersenyum manis menanggapi wajah heran perempuan muda di depannya. "Maaf kalo saya udah ganggu, Mbak." Laras masih menatap heran pada laki-laki berpakaian rapi di depannya. "Kenapa kamu mencari rumah saya? Ada perlu apa?" Laras bicara dengan ekspresi dingin. Kedatangan Frans membuatnya heran dan curiga. Frans tersenyum tipis. "Maaf kalo saya mencampuri urusan Mbak. Tapi, saya lihat sepertinya Mbak sedang kesusahan." Laras berdecih sinis. "Apa pun masalahku itu bukan urusan kamu. Jadi, tolong tinggalkan rumah ini. Saya sudah bersuami." Frans masih tenang-tenang saja. "Saya bisa bantu Mbak, jikalau Mbak Laras lagi mencari pekerjaan." Laras terkejut kali ini. "Memangnya kamu penyalur TKW, ya?" Frans terkekeh. "Bisa dibilang begitu, tapi saya cuma menyalurkan pekerjaan di dalam negeri saja kok!" Laras menyipit. "Kerjaan apa?" "Jadi ART, Mbak!" Frans menjawab dengan bersemangat. Laras terdiam sambil menatap laki-laki itu. Jadi asisten rumah tangga, sepertinya dia bisa mencobanya juga. Apalagi sekarang dia dan Bagas sedang sangat membutuhkan uang. "Hm, kamu serius mau kasih kerjaan buat aku?" Melihat perempuan muda di depannya mulai tertarik, Frans segera menyakinkan Laras. "Serius lah, Mbak! Buat apa saya bohong? Udah banyak kok, yang kerja sama saya!" Laras manggut-manggut. Sebenarnya dia masih ragu. Bisa saja laki-laki itu cuma penipu. Namun, saat Frans menyodorkan sebuah kartu nama, Laras segera menerimanya. "Hubungi saya kalo Mbak Laras tertarik mau kerja!" Frans pamit. Laras cuma mengangguk. Matanya turun pada sebuah kartu nama dalam genggamnya. 'Frans Prasetyo, Agen resmi penyalur tenaga kerja wanita' * Hari mulai sore, Laras bingung mau masak apa. Tidak ada apa pun yang bisa ia masak untuk makan malam mereka nanti. Matanya melirik ke arah jam dinding. Sudah pukul empat sore, tapi Mas Bagas belum juga pulang. Laras jadi khawatir. Mungkin suaminya sedang mendorong motor bututnya karena kehabisan bahan bakar. Memikirkan semua masalah ekonomi mereka itu, kepalanya jadi pusing. Lantas ia menoleh pada kartu nama yang tergeletak di meja. "Apa saya bisa bekerja besok pagi? Saya sedang butuh uang mendesak!" Frans tersenyum miring mendengarnya suara Laras di ponselnya. Akhirnya perempuan itu menghubunginya juga. "Bisa, Mbak! Sore ini juga Mbak Laras datang saja ke kantor saya. Biar saya urus pendaftarannya!" Laras mengangguk mendengar ucapan Frans dari ponsel jadulnya. "Baik, aku akan datang." Frans tersenyum puas. Kemudian ia menghubungi salah satu nomor di ponselnya. "Selamat sore, Pak Handika! Saya punya barang bagus buat Anda! Dijamin yang ini bisa bikin Anda ketagihan!" Gadis berseragam SMA yang baru masuk rumah dibuat menoleh saat mendengar suara berisik itu. Dilihatnya Frans yang sedang menelpon seseorang. Sang kakak kelihatan begitu senang. "Haha! Siap, Pak!" Frans geleng-geleng sambil tersenyum usai menyudahi panggilan ponselnya. Dia lantas menoleh ke arah gadis berseragam SMA yang sedang berdiri menatapnya. "Baru pulang?" Gadis itu cuma mengangguk. Ia lantas berjalan cepat melewati Frans. Laki-laki itu tidak peduli. * Lampu-lampu jalan sudah menyala saat Bagas menepikan motornya di persimpangan. Matanya menatap pada mobil putih yang sudah menunggunya. "Kamu udah bikin saya nunggu lama. Buruan masuk!" Laki-laki tinggi itu menanggapi dengan sebuah anggukan. Bagas bergegas masuk ke mobil dan meninggalkan motor bututnya di tepi jalan. Bu Rina menoleh ke arah laki-laki muda yang duduk bersamanya di dalam mobil. Perempuan itu tersenyum tipis. "Saya pikir kamu nggak bakal datang." Bagas cuma melirik. Ya, tadinya dia tidak ingin datang dan memenuhi tawaran Bu Rina. Namun, dia tak punya pilihan lagi. Seharian ini ia keluyuran mencari kerjaan, tetapi tidak satu pun pabrik atau kantor mau menerimanya. Meski dia merupakan seorang sarjana, orang-orang mungkin tidak akan percaya karena melihat penampilannya yang lusuh begini. Datang pada Bu Rina memang bukan kemauannya, ini terpaksa. Demi Laras. Dia tidak mau istrinya harus terlunta-lunta di jalan karena mereka tak punya tempat tinggal lagi. Sopir Bu Rina menepikan mobil di pelataran sebuah hotel. Bagas terkejut. Tenggorokannya tercekat tiba-tiba. "Kok kita kesini, Bu?" tanyanya. Bu Rina berdecak jengah. "Di rumah ada suami saya." Bagas cuma menelan ludah kasar. Bu Rina segera menyeretnya menuju lobi hotel. Sampai langkah mereka tiba di depan pintu sebuah kamar, Bagas ingin sekali kabur. Sayangnya, dia tak mampu melakukan itu. "Langsung aja yuk! Saya udah nggak sabar!" Glek! Bagas tercengang saat Bu Rina mendorongnya ke tengah ranjang. Dilihatnya perempuan tua itu yang sedang menanggalkan pakaian begitu bersemangat. Tidak, dia tidak bisa lakukan dosa ini hanya demi uang! "Bagas!" Bu Rina sangat terkejut dan marah melihat laki-laki itu meninggalkan dia di tengah ranjang. Bahkan, mereka belum melakukan apa-apa.Langkah kecil Laras terayun meninggalkan teras rumah. Ia menoleh ke sekitar. Tak lama kemudian, sebuah mini bus menepi tepat di depan pagar rumah."Mas Frans meminta saya untuk menjemput Mbak!" Laras cuma mengangguk menanggapi ucapan sopir. Ia lantas masuk ke mobil tanpa menaruh rasa curiga sedikitpun.Sopir bergegas melajukan mini bus menuju sebuah kantor kecil yang berada di pinggiran kota.Sepanjang perjalanan Laras merasa sangat cemas. Entah di mana Mas Bagas saat ini. Dia tidak meminta izin dulu sebelum pergi. Bagaimana jika suaminya itu tidak setuju kalau dia bekerja?"Sudah sampai, Mbak!"Laras terkejut. "Ah, iya Pak! Terima kasih."Sopir cuma mengangguk. Laras mengikuti langkah laki-laki itu menuju sebuah gedung. Sepertinya kantor Frans ada di sana.Selama ini dia tidak pernah bekerja di pabrik apalagi di kantor. Laras punya cita-cita ingin menjadi seorang guru. Sayangnya, itu cuma mimpi belaka. Setelah lulus SMA, dia hanya membantu pengurus panti mengelola toko rotinya.Baga
Hari mulai pagi. Suara kumandang adzan Subuh menyambangi telinga Bagas. Laki-laki itu terjaga dari tidurnya. Dilihatnya kasur di samping yang masih kosong. Apa Laras tidak pulang?Bergegas ia bangkit. Sambil duduk di tepi ranjang, Bagas mengusap wajahnya lalu menggeleng. Kemana Laras pergi sampai belum pulang pagi ini?Lagi dan lagi, cuma pertanyaan itu yang terus bersarang di kepalanya. Semalam ia sempat mencari Laras. Namun, karena sudah larut malam Bagas tidak bisa meneruskan pencarian. Apa Laras pergi mengunjungi panti?Ah, tidak mungkin!Jikalau istrinya pergi ke suatu tempat, pasti Laras akan berpamitan dan meminta izin padanya lebih dulu. Sedangkan ini tidak. Bagas khawatir jika istrinya kenapa-napa.Sedang kebingungan Bagas, tiba-tiba saja tercium aroma lezat masakan daria arah dapur. Bagas terkesiap."Laras?"Bergegas laki-laki itu beringsut dari ranjang, lantas berjalan cepat menuju dapur. Dilihatnya punggung seorang perempuan yang sedang berdiri menghadap meja makan.Bagas
Siang itu Matahari amat terik. Bagas bekerja dengan giat. Tidak peduli keringat membasahi kemejanya. Wajah sedih Laras terus terkenang di pelupuk mata. Bagas bertekad ingin menyenangkan istrinya dengan terus giat bekerja."Nak Bagas, ayo istirahat dulu!" teriak Pak Kardi pada seorang laki-laki yang sedang mengaduk campuran bahan bangunan.Bagas menoleh sambil memegang cangkul. "Iya, Pak!"Sementara dari kejauhan seorang laki-laki sedang memperhatikan Bagas. Dia, Fandi Gumilang, pemborong yang menangani proyek bangunan di mana Bagas dan Pak Kardi bekerja. Usianya hampir sama dengan Bagas."Saya baru lihat orang itu. Apa dia masih baru?" Fandi bertanya pada mandor yang bertugas di lapangan. Matanya tertuju ke arah Bagas.Pak Darma selaku mandor yang bertugas hari ini pun menjawab, "Benar, Pak. Dia baru bekerja hari ini. Namanya Bagas!"Fandi manggut-manggut. "Saya harap dia bisa terus giat seperti itu, bukan hari ini saja."Pak Darma cuma mengangguk. Dia menoleh satu kali ke arah Bagas
"Laras!"Bagas segera berlari menuju teras rumah setelah menepikan motornya di pelataran.Dengan perasaan gembira laki-laki itu mencari istrinya di seluruh rumah. Hingga kemudian ia mencium wangi masakan yang lezat dari arah dapur. Sepertinya Laras sedang memasak, pikir Bagas."Laras!"Napasnya terengah-engah saat tiba di ambang pintu dapur. Bagas lega menemukan istrinya di sana. Benar dugaannya, Laras sedang menyiapkan makanan untuk mereka.Laras mematikan api kompor, lantas ia memutar ke arah sumber suara yang memanggilnya."Mas Bagas," sapanya seraya tersenyum manis pada laki-laki yang masih terpaku di ambang pintu.Bagas membalas senyuman istrinya, lantas ia berjalan cepat menuju pada Laras dan langsung memeluknya.Laras terdiam dalam pelukan Bagas. Ia membalas pelukan itu dengan perasaan yang mengharu biru. 'Itu bayaran kamu hari ini. Besok pagi kamu harus siap-siap. Ada tiga orang klien yang sudah memesan kamu. Jangan sampai mereka kecewa.''Besok malam aku ingin menyenangkan s
"Mas pamit, ya? Assalamualaikum.""Walaikum salam. Hati-hati Mas Bagas."Bagas melempar senyum manis pada perempuan muda dengan daster bunga-bunga yang sedang berdiri di teras rumah. Kemudian ia segera menunggangi motornya.Sambil berdiri di teras rumah, Laras memandangi Bagas pergi.Selesai sudah dia menjadi istri dari laki-laki baik itu, karena selepas Bagas pergi dia harus kembali ke dunia barunya.Dunia yang bahkan tidak pernah Laras bayangkan. Kini dia harus bersiap-siap untuk segera berangkat memenuhi pesanan para klien."Bagas!""Hei, Bagas! Keluar kamu!"Laras yang sedang bersiap-siap di dalam kamar dibuat terkejut saat mendengar teriakan seseorang dari luar rumah.Bu Rina. Jelas dia hafal suara perempuan itu.Namun sebelum ia menemui tamu tidak diundang yang sedang marah-marah di depan pintu rumah, Laras mengintai lebih dulu dari tepi garis jendela.Bu Rina datang dengan membawa dua orang tukang pukul. Sudah bisa Laras bayangkan apa yang akan mereka lakukan jika dia tidak mem
"Uh, Laras ... terus, Sayang! Oh!"Laki-laki paruh baya itu terus saja mengerang keenakan. Laras cuma mengangkat sepasang matanya sambil memegang batang kecil yang separuhnya ia masukkan ke mulut."Lanjut lagi, Mas."Laras segera naik ke atas tubuh laki-laki itu. Dia menggoyangnya dengan penuh gairah."Ah, Laras! Udah! Saya sesak nafas!"Dasar payah!Laras segera menyudahi permainan. Ia lantas beringsut dari tubuh polos laki-laki itu."Kalau begitu, saya mau pulang," ucap Laras. Ia menoleh ke arah laki-laki tua yang masih terlentang di tengah ranjang.Orang itu cuma mengibaskan tangannya tanpa sanggup bicara lagi. Laras bergegas pergi."Mas Jarwo, ayo ke hotel selanjutnya," kata Laras setelah tiba di samping mini bus putih yang terparkir di area basement hotel.Jarwo yang sedang menikmati batang rokoknya dibuat terkejut melihat Laras sudah kembali. "Loh kok, cepet banget Mbak?" tanyanya heran."Kliennya udah keok duluan, Mas," jawab Laras dengan acuh.Jarwo mengulum senyum mendengarn
Brak!Frans yang sedang menonton video porno di layar laptopnya dibuat terkejut saat tiba-tiba saja ada yang menggebrak meja kerjanya.Wajah laki-laki itu mendongak. Tatapan tajam Laras menyambutnya.Frans tersenyum miring. Ia lantas bangkit. "Ada apa kamu tiba-tiba datang ke sini?"Laras muak dengan semua basa-basi laki-laki bajingan itu. Sambil melipat kedua tangannya di depan dada, ia berkata dengan sinis."Saya tidak mau melakukan transaksi sama anak-anak! Mestinya kamu cek dulu, berapa usia klien yang memesan saya!"Mendengar semua ocehan Laras, Frans tersenyum remeh. Sambil menaruh sebatang rokok ke mulutnya, ia berkata, "Persetan mereka masih di bawah umur, yang penting kan mereka mampu membayar kamu."Laras tercengang. Dengan penuh emosi ia menyambar batang rokok yang baru saja mau Frans nyalakan apinya. Lelaki itu dibuatnya sangat terkejut."Biadab kamu, Frans! Aku nggak mau merusak anak-anak itu! Mulai sekarang kalau kamu masih menerima transaksi dari mereka, maka aku akan k
Pagi itu sangat cerah. Laras terlihat sedang menyapu halaman. Sementara Bagas sudah berangkat bekerja sejak pukul enam pagi.Maklum lah! Tempat bekerja Bagas sekarang cukup jauh. Jadi, dia harus berangkat pagi-pagi.Ponsel jadul yang layarnya sudah buram tak henti berdering. Namun, suara sapu lidi membuat Laras tidak mendengarnya. Perempuan itu sibuk menyapu halaman."Gimana Mas?"Seorang laki-laki sedang duduk di ruangan Frans. Matanya mengincar wajah orang di depannya.Frans kesal karena Laras tidak juga menerima telepon. Entah apa yang sedang perempuan itu lakukan. Apa mungkin Laras sedang enak-enak dengan Bagas?Frans menggeleng, lantas menatap laki-laki di depannya. "Nggak ada jawaban. Sepertinya Laras sedang sibuk."Laki-laki di depan Frans memasang wajah kecewa. "Kalo gitu, boleh saya minta nomor Mbak Laras? Biar nanti saya yang menghubunginya."Frans menggeleng. "Sorry, Mas. Kalo itu nggak bisa, karena privasi kami. Mas bisa mengajukan pesanan lewat situs kami. Silahkan."Meli
Musim hujan di bulan Juni tahun 2011.Angin bertiup kencang menjelang sore. Gerimis mulai turun di tengah langit yang terus saja mendung. Satu tahun sudah berlalu pasca insiden kecelakaan yang merenggut nyawa Laras. Sudah saatnya Bagas menata hidupnya lagi. Tanpa Laras.Pengemudi mobil yang menabrak Laras juga sudah menjalani proses hukum di Lapas Pusat, Jakarta. Pelakunya tidak lain adalah Aryo. Rupanya lelaki itu sudah dibayar oleh Pak Wirya untuk menghabisi Laras dan juga Bagas.Lagi, rencana jahat Pak Wirya gagal lagi. Akhirnya pebisnis itu harus menghabiskan hari tuanya di balik jeruji besi. Hukuman seumur hidup itu rasanya masih belum cukup untuk membayar semua kejahatannya.Hari ini pada tanggal 20 Juni. Jatuh di hari selasa dan bertepatan dengan hari jadi Laras yang ke 25 tahun. Bagas mengunci pintu rumahnya. Lelaki itu berjalan menuju motornya yang sudah menunggu di pelataran.Sebelum ia melajukan motor, Bagas melirik ke arah rumahnya. Dilihatnya Laras yang sedang berdiri di
Hari mulai siang saat mini bus yang dikemudikan oleh Anto terjebak macet di pertigaan jalan menuju arah bandara. Dengan wajah gelisah Laras menoleh ke luar dari kaca jendela mobil.Sudah dua hari ia tidak pulang. Pasti Bagas sudah kelimpungan mencarinya. Namun apa yang harus ia lakukan sekarang? Alex akan mengirim dia ke Jepang siang ini juga.Ekor mata Laras melirik ke arah lelaki yang duduk di sampingnya. Alex tampak sibuk dengan aktifitas ponsel.Membuang nafas berat, Laras kembali memandang ke luar mobil. Dilihatnya mobil Fandi yang juga sedang terjebak macet di sekitar.Apa dia tidak saah lihat? Ya, itu memang mobil Mas Fandi!Ada sedikit cahaya dalam kegelapan yang sedang melanda jiwa Laras. Sepertinya dia bisa minta bantuan kepada Fandi untuk kabur dari Alex."Aduuh!"Laras berpura-pura meringis kesakitan sambil meremas bagian depan dressnya. Alex segera menoleh ke arah perempuan itu."Laras, kamu kenapa?" tanya Alex.Laras meringis, "Perut saya sakit banget, Mas Alex. Bisa kit
Lapas Pusat Jakarta."Saudara Aryo! Anda dibebaskan!"Aryo yang sedang duduk di dalam sel tahanan sangat terkejut saat seorang opsir memberinya kabar itu.Seorang pengusaha datang dengan membawa pengacara. Dia memberi jaminan sampai akhirnya dia dibebaskan. Aryo sangat ingin bertemu dengan orang dernawan tersebut."Jadi, Bapak yang sudah membebaskan saya? Mohon maaf, apa kita saling kenal?" Aryo keheranan saat bertemu dengan pengusaha yang memberinya jaminan.Pak Wirya menaikan sudut bibirnya lalu berkata dengan jumawa, "Saya seorang pebisnis besar! Mana mungkin punya kenalan seorang Narapidana macam kamu!"Aryo menunduk kaget dan malu. "Lalu kenapa Bapak menjamin saya?" tanyanya ragu-ragu.Pak Wirya tersenyum miring, " Saya punya kerjaan buat kamu."Aryo dibuat terkejut. Pak Wirya cuma tersenyum remeh menanggapi tatapan laki-laki itu."Mas Fandi, jangan ngebut-ngebut!"Agus sangat ketakutan dan panik saat duduk di dalam mobil yang sedang Fandi kemudikan. Dia tidak tahu apa masalah an
Fandi mulai terjaga dari tidurnya. Ia sangat terkejut saat melihat sosok perempuan yang sedang duduk di sofa.Elsa membuka kacamata hitam yang menutupi sebagian wajah, "Hai, Fandi. Bagaimana kabar kamu?"Fandi mencengkeram tepi ranjang. Dia segera bangkit lalu melotot pada Elsa. "Ngapain kamu di sini? Puas kamu sekarang, hah?!" gertaknya penuh emosi.Elsa tersenyum remeh menanggapi. Dia lantas bangkit dan segera menuju pada seorang lelaki yang sedang duduk di tengah ranjang pasien."Fandi, mestinya kamu tidak melakukan hal yang bodoh sampai berakhir di rumah sakit ini," ujar Elsa dengan sinis setelah ia berdiri di hadapan Fandi.Lelaki itu mendengus kesal. Segera ia mencabut jarum infus dari lengannya lalu beringsut dari ranjang. Elsa cuma memicingkan alisnya saat lelaki itu mendekat."Kamu dan Bagas, kalian sengaja bersekongkol, kan?! Dasar perempuan murahan kamu, Elsa!" Fandi menunjuk-nunjuk muka Elsa dan menghinanya.Plaak!"Tutup mulut busuk kamu itu!"Elsa tidak tinggal diam saat
"Bawa perempuan itu ke kamar!""Baik, Bos!"Dua orang pengawal segera menuju mobil hitam yang menepi di depan sebuah villa. Mereka segera membuka pintu mobil dan menyeret wanita yang tergolek di dalam sana.Laras tidak sadarkan diri setelah Frans memberinya minuman yang dicampur dengan obat tidur. Kini tubuhnya yang ringkih itu segera dikeluarkan dari mobil dan dibawa masuk villa.Lelaki berperawakan tinggi bernama Alex cuma tersenyum smirk saat para pengawal melewatinya sambil memapah Laras."Elu nggak usah mikirin cewek itu, dia udah aman sama gue," ucapnya lewat sambungan ponselnya.Frans yang dia hubungi. Alex berencana mau mengirim Laras malam ini juga ke Jepang. Namun kecantikan perempuan itu membuatnya tergiur.Alex ingin mencicipi tubuh Laras sebelum mengirim dia ke luar negeri. Oleh karena itu dia membawa Laras ke villanya.Frans tersenyum puas mendengar ucapan Alex lewat sambungan ponsel. "Ya! Kamu atur sajalah! Saya terima beres!"Setelah panggilan berakhir, Alex segera ber
"Uhuk! Uhuk!"Fandi berusaha mengangkat tubuh ringkihnya. Sambil terbatuk-batuk lelaki itu menuju mobil."Gus, jemput saya ..."Ia berujar dengan suara pelan usai meraih ponselnya dari dalam mobil. Kemudian tubuhnya merosot sampai jatuh duduk bersandar di mobil."Uhuk!"Bajingan si Bagas!Lelaki itu menghajar dia sudah seperti preman. Kini tubuhnya terasa lemah tak bertenaga lagi.Untuk kembali bangkit saja Fandi tak kuasa. Pandangannya mulai berubah kabur dan dadanya terasa sangat sesak. Setelah penglihatan memudar, ia pun tak sadarkan diri lagi."Mas Fandi!"Agus berlari menuju sosok yang tergolek di samping mobil. Dia sangat terkejut melihat kondisi Fandi."Tolong segera kirim ambulans!"Usai menghubungi rumah sakit, Agus langsung membenahi ponselnya. Dia berusaha membantu Fandi berdiri.Suara sirine ambulans terdengar begitu cetar saat mereka melarikan lelaki itu menuju rumah sakit.Fandi kritis. Agus segera menghubungi orang tua lelaki itu."Blegedes! Bisa-bisanya lelaki itu biki
"Gua udah hubungi lu dan suruh untuk tangani orang Jepang itu, tapi lu nya kebanyakan menye-menye! Sekarang lu tanggung sendiri akibatnya!"Frans terlihat sedang berhadapan dengan seorang lelaki berpakaian formal. Rupanya lelaki itu adalah orang yang berada di belakang bisnis prostitusi online yang Frans geluti selama ini.Alex, nama lelaki berperawakan tinggi kekar dan selalu berpenampilan layaknya seorang pebisnis itu.Alex datang ke kantor Frans untuk menegur anak buahnya itu yang dirasanya mulai tidak becus mengurus bisnis gelap mereka.Bukan cuma itu, Alex juga mendapat surel dari orang-orangnya di Jepang. Mereka mengatakan jika Yuta akan menutup situs prostitusi online mereka.Entah apa alasannya. Yang pasti dia akan rugi besar kalau situs mereka ditutup. Sedang Yuta sendiri sangat sulit untuk dihubungi.Frans gemetaran mendengar semua penuturan Alex. "Jadi, apa yang harus saya lakukan?"Alex menyipit mendengar ucapan lelaki yang sedang berdiri di depan mejanya. Ia lantas mencon
Brak!Baron menapakkan satu kakinya pada meja yang berada di depan Pak Wirya. Telunjuknya mengangkat dagu lelaki paruh baya yang terikat di kursi. Bibirnya menyeringai tipis saat mata lelah Pak Wirya terangkat ke wajahnya."Blegedes! Kenapa kalian malah menculik saya?!" berang Pak Wirya dengan marah.Baron tersenyum. "Karena lu nggak kasih gue uang muka. Malah tuh cewek yang kasih gue duit 50 juta buat kirim lu ke rumah sakit," desisnya.Pak Wirya tercengang.Sial!Jadi Elsa yang mengirim para preman itu untuk menculik dan memukulinya semalam suntuk. Kini tubuhnya terasa sakit semua. Dia butuh penanganan medis sesegera mungkin.Melihat Pak Wirya menatap, Baron bicara lagi, "Gue bisa aja lepasin lu tapi ada syaratnya.""Syarat?" Pak Wirya menyipitkan mata.Baron mengangguk. "Kalo lu bisa bayar gue lebih dari yang Elsa kasih, maka lu bakal gue lepasin sekarang juga," desisnya ke wajah lelaki paruh baya di hadapannya.Pak Wirya tercengang.Hari berikutnya di kediaman Bagas. Laras sedang
Malam tak juga menemukan pagi. Bagas yang putus asa mencari Laras akhirnya memutuskan untuk pulang. Mungkin Laras sudah sampai di rumah saat ini. Ia berpikir sambil mengendarai motornya menuju pulang.Mini bus putih terlihat melaju meninggalkan pintu pagar rumah. Bagas sangat terkejut melihat punggung seorang perempuan yang sedang menuju rumahnya.Laras?Segera ia melajukan motornya mendekat. "Laras?!"Perempuan yang sedang menuju pintu pagar rumah dibuat terkejut saat ada yang menyerukan namanya. Bergegas ia menoleh. Dilihatnya seorang lelaki yang sedang mengendarai sepeda motor mendekat ke arahnya."Mas Bagas?"Bagas segera melepaskan motornya lantas berlari menuju pada Laras. Wajahnya kelihatan sangat cemas sekaligus senang melihat istrinya sudah pulang."Laras, kamu kemana saja? Mas mencarimu sejak tadi sore," ujar Bagas. Matanya fokus menatap wajah perempuan yang sedang berdiri di depannya saat ini.Laras tidak buru-buru menjawab pertanyaan Bagas. Ia masih bergeming saat lelaki