"Saya, Frans!"
Laki-laki itu mengulurkan tangannya ke depan Laras. Ia tersenyum manis sekali saat manik-manik hitam perempuan muda itu menatapnya. Tergugup Laras menjawab, "Aku Laras," katanya seraya menerima tangan Frans. Laki-laki itu tersenyum senang. "Kalo boleh tahu, Mbak Laras kenapa sedih gitu? Lagi ada masalah ya?" Laras buru-buru menggeleng. "Enggak kok! Maaf, aku mesti pulang." Frans manggut-manggut. Matanya memandangi punggung Laras menjauh pergi. Tak lama kemudian dua orang laki-laki menghampirinya. "Ikuti perempuan itu," bisik Frans. Dua orang laki-laki itu mengangguk. Mereka lantas pergi menyusul Laras. * Langkah kecil Laras tiba di depan pintu pagar rumah. Perempuan itu memalingkan wajahnya tampak sedih. Mas Bagas pasti sedang menunggunya pulang. Dengan wajah murung, tangan putih itu membuka pintu pagar. Laras berjalan menuju teras rumah. Dilihatnya Bagas yang sedang sibuk membetulkan motornya. "Maaf, Mas Bagas. Warungnya tutup, jadi Laras nggak bawa kopi buat Mas." Bagas menoleh ke arah sumber suara lirih tersebut. Dilihatnya wajah Laras yang tampak sedikit pucat. "Nggak pa-pa. Mas bisa ngopi di warung dekat proyek," katanya berusaha menyingkirkan kekhawatiran sang istri. Laras cuma mengangguk. Ia lantas berjalan memasuki rumah kecil itu. Mas Bagas pasti berbohong. Bahkan dia tidak menemukan satu uang koin pun di saku kemejanya. Mustahil dia bisa ngopi di warung. Bathin Laras kembali menjerit saat tidak menemukan sebutir beras pun di dapurnya. Ekor matanya melirik ke arah laci meja. Seingatnya masih ada mie instan yang ia simpan di sana. Brak! Laci meja dibuka. Wajah Laras berbinar melihat satu bungkus mie instan di sana. Benda itu seolah tersenyum menyambutnya. "Mas, jangan pergi dulu! Aku buatin mie rebus buat sarapan!" Bagas yang sedang mengengkol motornya cuma melirik ke arah pintu rumah saat mendengar teriakan istrinya. "Buat kamu saja, Laras! Mas sudah kesiangan!" Ngeeengggg! Suara bising motor Bagas membuat Laras terkejut. Diletakkan mangkuk putih yang sedang dipegangnya pada meja. Lantas ia bergegas mencapai pintu keluar. Dilihatnya punggung Bagar yang sudah pergi sambil mengendarai motor bututnya. Laras terpaku di tempat. Suaminya harus pergi dengan perut yang kosong. Entah kemana Mas Bagas akan pergi. Dia tahu, laki-laki blasteran Bali-Sunda itu merupakan lelaki yang bertanggung jawab. Meski terlahir dan berasal dari keluarga kaya raya, Bagas tidak pernah mengeluhkan hidup mereka yang sulit saat ini. "Sekarang kamu pilih, putuskan hubunganmu dengan gadis itu atau kamu keluar dari rumah ini?!" "Maafkan saya, Pak. Saya akan tetap menikahi Laras." "Keras kepala! Enyah kamu dari hadapan saya!" Laras memejamkan matanya seraya menahan sesak di dada. Tiba-tiba saja ia teringat kembali saat orang tua Bagas mengusirnya dari rumah. Dia cuma anak yatim-piatu yang dibesarkan di suatu panti asuhan. Sementara Bagas, dia seorang putra dari keluarga terpandang di kota Solo. Orang tuanya punya banyak perkebunan dan pabrik. Sekarang, demi dirinya Bagas rela kehilangan semua itu. Laras sangat menyesal. Namun cintanya pada Bagas terlalu banyak jika untuk ia lepaskan begitu saja. "Permisi!" Suara seorang laki-laki membuyarkan lamunannya, Laras yang terkejut buru-buru mengusap kedua pipinya yang basah. Lantas dilihatnya siapa yang datang. "Mbak Laras." "Kamu?" Laras jelas terkejut melihat siapa yang datang. Dia laki-laki yang dijumpainya di jalan. Frans tersenyum manis menanggapi wajah heran perempuan muda di depannya. "Maaf kalo saya udah ganggu, Mbak." Laras masih menatap heran pada laki-laki berpakaian rapi di depannya. "Kenapa kamu mencari rumah saya? Ada perlu apa?" Laras bicara dengan ekspresi dingin. Kedatangan Frans membuatnya heran dan curiga. Frans tersenyum tipis. "Maaf kalo saya mencampuri urusan Mbak. Tapi, saya lihat sepertinya Mbak sedang kesusahan." Laras berdecih sinis. "Apa pun masalahku itu bukan urusan kamu. Jadi, tolong tinggalkan rumah ini. Saya sudah bersuami." Frans masih tenang-tenang saja. "Saya bisa bantu Mbak, jikalau Mbak Laras lagi mencari pekerjaan." Laras terkejut kali ini. "Memangnya kamu penyalur TKW, ya?" Frans terkekeh. "Bisa dibilang begitu, tapi saya cuma menyalurkan pekerjaan di dalam negeri saja kok!" Laras menyipit. "Kerjaan apa?" "Jadi ART, Mbak!" Frans menjawab dengan bersemangat. Laras terdiam sambil menatap laki-laki itu. Jadi asisten rumah tangga, sepertinya dia bisa mencobanya juga. Apalagi sekarang dia dan Bagas sedang sangat membutuhkan uang. "Hm, kamu serius mau kasih kerjaan buat aku?" Melihat perempuan muda di depannya mulai tertarik, Frans segera menyakinkan Laras. "Serius lah, Mbak! Buat apa saya bohong? Udah banyak kok, yang kerja sama saya!" Laras manggut-manggut. Sebenarnya dia masih ragu. Bisa saja laki-laki itu cuma penipu. Namun, saat Frans menyodorkan sebuah kartu nama, Laras segera menerimanya. "Hubungi saya kalo Mbak Laras tertarik mau kerja!" Frans pamit. Laras cuma mengangguk. Matanya turun pada sebuah kartu nama dalam genggamnya. 'Frans Prasetyo, Agen resmi penyalur tenaga kerja wanita' * Hari mulai sore, Laras bingung mau masak apa. Tidak ada apa pun yang bisa ia masak untuk makan malam mereka nanti. Matanya melirik ke arah jam dinding. Sudah pukul empat sore, tapi Mas Bagas belum juga pulang. Laras jadi khawatir. Mungkin suaminya sedang mendorong motor bututnya karena kehabisan bahan bakar. Memikirkan semua masalah ekonomi mereka itu, kepalanya jadi pusing. Lantas ia menoleh pada kartu nama yang tergeletak di meja. "Apa saya bisa bekerja besok pagi? Saya sedang butuh uang mendesak!" Frans tersenyum miring mendengarnya suara Laras di ponselnya. Akhirnya perempuan itu menghubunginya juga. "Bisa, Mbak! Sore ini juga Mbak Laras datang saja ke kantor saya. Biar saya urus pendaftarannya!" Laras mengangguk mendengar ucapan Frans dari ponsel jadulnya. "Baik, aku akan datang." Frans tersenyum puas. Kemudian ia menghubungi salah satu nomor di ponselnya. "Selamat sore, Pak Handika! Saya punya barang bagus buat Anda! Dijamin yang ini bisa bikin Anda ketagihan!" Gadis berseragam SMA yang baru masuk rumah dibuat menoleh saat mendengar suara berisik itu. Dilihatnya Frans yang sedang menelpon seseorang. Sang kakak kelihatan begitu senang. "Haha! Siap, Pak!" Frans geleng-geleng sambil tersenyum usai menyudahi panggilan ponselnya. Dia lantas menoleh ke arah gadis berseragam SMA yang sedang berdiri menatapnya. "Baru pulang?" Gadis itu cuma mengangguk. Ia lantas berjalan cepat melewati Frans. Laki-laki itu tidak peduli. * Lampu-lampu jalan sudah menyala saat Bagas menepikan motornya di persimpangan. Matanya menatap pada mobil putih yang sudah menunggunya. "Kamu udah bikin saya nunggu lama. Buruan masuk!" Laki-laki tinggi itu menanggapi dengan sebuah anggukan. Bagas bergegas masuk ke mobil dan meninggalkan motor bututnya di tepi jalan. Bu Rina menoleh ke arah laki-laki muda yang duduk bersamanya di dalam mobil. Perempuan itu tersenyum tipis. "Saya pikir kamu nggak bakal datang." Bagas cuma melirik. Ya, tadinya dia tidak ingin datang dan memenuhi tawaran Bu Rina. Namun, dia tak punya pilihan lagi. Seharian ini ia keluyuran mencari kerjaan, tetapi tidak satu pun pabrik atau kantor mau menerimanya. Meski dia merupakan seorang sarjana, orang-orang mungkin tidak akan percaya karena melihat penampilannya yang lusuh begini. Datang pada Bu Rina memang bukan kemauannya, ini terpaksa. Demi Laras. Dia tidak mau istrinya harus terlunta-lunta di jalan karena mereka tak punya tempat tinggal lagi. Sopir Bu Rina menepikan mobil di pelataran sebuah hotel. Bagas terkejut. Tenggorokannya tercekat tiba-tiba. "Kok kita kesini, Bu?" tanyanya. Bu Rina berdecak jengah. "Di rumah ada suami saya." Bagas cuma menelan ludah kasar. Bu Rina segera menyeretnya menuju lobi hotel. Sampai langkah mereka tiba di depan pintu sebuah kamar, Bagas ingin sekali kabur. Sayangnya, dia tak mampu melakukan itu. "Langsung aja yuk! Saya udah nggak sabar!" Glek! Bagas tercengang saat Bu Rina mendorongnya ke tengah ranjang. Dilihatnya perempuan tua itu yang sedang menanggalkan pakaian begitu bersemangat. Tidak, dia tidak bisa lakukan dosa ini hanya demi uang! "Bagas!" Bu Rina sangat terkejut dan marah melihat laki-laki itu meninggalkan dia di tengah ranjang. Bahkan, mereka belum melakukan apa-apa.Langkah kecil Laras terayun meninggalkan teras rumah. Ia menoleh ke sekitar. Tak lama kemudian, sebuah mini bus menepi tepat di depan pagar rumah."Mas Frans meminta saya untuk menjemput Mbak!" Laras cuma mengangguk menanggapi ucapan sopir. Ia lantas masuk ke mobil tanpa menaruh rasa curiga sedikitpun.Sopir bergegas melajukan mini bus menuju sebuah kantor kecil yang berada di pinggiran kota.Sepanjang perjalanan Laras merasa sangat cemas. Entah di mana Mas Bagas saat ini. Dia tidak meminta izin dulu sebelum pergi. Bagaimana jika suaminya itu tidak setuju kalau dia bekerja?"Sudah sampai, Mbak!"Laras terkejut. "Ah, iya Pak! Terima kasih."Sopir cuma mengangguk. Laras mengikuti langkah laki-laki itu menuju sebuah gedung. Sepertinya kantor Frans ada di sana.Selama ini dia tidak pernah bekerja di pabrik apalagi di kantor. Laras punya cita-cita ingin menjadi seorang guru. Sayangnya, itu cuma mimpi belaka. Setelah lulus SMA, dia hanya membantu pengurus panti mengelola toko rotinya.Baga
Hari mulai pagi. Suara kumandang adzan Subuh menyambangi telinga Bagas. Laki-laki itu terjaga dari tidurnya. Dilihatnya kasur di samping yang masih kosong. Apa Laras tidak pulang?Bergegas ia bangkit. Sambil duduk di tepi ranjang, Bagas mengusap wajahnya lalu menggeleng. Kemana Laras pergi sampai belum pulang pagi ini?Lagi dan lagi, cuma pertanyaan itu yang terus bersarang di kepalanya. Semalam ia sempat mencari Laras. Namun, karena sudah larut malam Bagas tidak bisa meneruskan pencarian. Apa Laras pergi mengunjungi panti?Ah, tidak mungkin!Jikalau istrinya pergi ke suatu tempat, pasti Laras akan berpamitan dan meminta izin padanya lebih dulu. Sedangkan ini tidak. Bagas khawatir jika istrinya kenapa-napa.Sedang kebingungan Bagas, tiba-tiba saja tercium aroma lezat masakan daria arah dapur. Bagas terkesiap."Laras?"Bergegas laki-laki itu beringsut dari ranjang, lantas berjalan cepat menuju dapur. Dilihatnya punggung seorang perempuan yang sedang berdiri menghadap meja makan.Bagas
Siang itu Matahari amat terik. Bagas bekerja dengan giat. Tidak peduli keringat membasahi kemejanya. Wajah sedih Laras terus terkenang di pelupuk mata. Bagas bertekad ingin menyenangkan istrinya dengan terus giat bekerja."Nak Bagas, ayo istirahat dulu!" teriak Pak Kardi pada seorang laki-laki yang sedang mengaduk campuran bahan bangunan.Bagas menoleh sambil memegang cangkul. "Iya, Pak!"Sementara dari kejauhan seorang laki-laki sedang memperhatikan Bagas. Dia, Fandi Gumilang, pemborong yang menangani proyek bangunan di mana Bagas dan Pak Kardi bekerja. Usianya hampir sama dengan Bagas."Saya baru lihat orang itu. Apa dia masih baru?" Fandi bertanya pada mandor yang bertugas di lapangan. Matanya tertuju ke arah Bagas.Pak Darma selaku mandor yang bertugas hari ini pun menjawab, "Benar, Pak. Dia baru bekerja hari ini. Namanya Bagas!"Fandi manggut-manggut. "Saya harap dia bisa terus giat seperti itu, bukan hari ini saja."Pak Darma cuma mengangguk. Dia menoleh satu kali ke arah Bagas
"Laras!"Bagas segera berlari menuju teras rumah setelah menepikan motornya di pelataran.Dengan perasaan gembira laki-laki itu mencari istrinya di seluruh rumah. Hingga kemudian ia mencium wangi masakan yang lezat dari arah dapur. Sepertinya Laras sedang memasak, pikir Bagas."Laras!"Napasnya terengah-engah saat tiba di ambang pintu dapur. Bagas lega menemukan istrinya di sana. Benar dugaannya, Laras sedang menyiapkan makanan untuk mereka.Laras mematikan api kompor, lantas ia memutar ke arah sumber suara yang memanggilnya."Mas Bagas," sapanya seraya tersenyum manis pada laki-laki yang masih terpaku di ambang pintu.Bagas membalas senyuman istrinya, lantas ia berjalan cepat menuju pada Laras dan langsung memeluknya.Laras terdiam dalam pelukan Bagas. Ia membalas pelukan itu dengan perasaan yang mengharu biru. 'Itu bayaran kamu hari ini. Besok pagi kamu harus siap-siap. Ada tiga orang klien yang sudah memesan kamu. Jangan sampai mereka kecewa.''Besok malam aku ingin menyenangkan s
"Mas pamit, ya? Assalamualaikum.""Walaikum salam. Hati-hati Mas Bagas."Bagas melempar senyum manis pada perempuan muda dengan daster bunga-bunga yang sedang berdiri di teras rumah. Kemudian ia segera menunggangi motornya.Sambil berdiri di teras rumah, Laras memandangi Bagas pergi.Selesai sudah dia menjadi istri dari laki-laki baik itu, karena selepas Bagas pergi dia harus kembali ke dunia barunya.Dunia yang bahkan tidak pernah Laras bayangkan. Kini dia harus bersiap-siap untuk segera berangkat memenuhi pesanan para klien."Bagas!""Hei, Bagas! Keluar kamu!"Laras yang sedang bersiap-siap di dalam kamar dibuat terkejut saat mendengar teriakan seseorang dari luar rumah.Bu Rina. Jelas dia hafal suara perempuan itu.Namun sebelum ia menemui tamu tidak diundang yang sedang marah-marah di depan pintu rumah, Laras mengintai lebih dulu dari tepi garis jendela.Bu Rina datang dengan membawa dua orang tukang pukul. Sudah bisa Laras bayangkan apa yang akan mereka lakukan jika dia tidak mem
"Uh, Laras ... terus, Sayang! Oh!"Laki-laki paruh baya itu terus saja mengerang keenakan. Laras cuma mengangkat sepasang matanya sambil memegang batang kecil yang separuhnya ia masukkan ke mulut."Lanjut lagi, Mas."Laras segera naik ke atas tubuh laki-laki itu. Dia menggoyangnya dengan penuh gairah."Ah, Laras! Udah! Saya sesak nafas!"Dasar payah!Laras segera menyudahi permainan. Ia lantas beringsut dari tubuh polos laki-laki itu."Kalau begitu, saya mau pulang," ucap Laras. Ia menoleh ke arah laki-laki tua yang masih terlentang di tengah ranjang.Orang itu cuma mengibaskan tangannya tanpa sanggup bicara lagi. Laras bergegas pergi."Mas Jarwo, ayo ke hotel selanjutnya," kata Laras setelah tiba di samping mini bus putih yang terparkir di area basement hotel.Jarwo yang sedang menikmati batang rokoknya dibuat terkejut melihat Laras sudah kembali. "Loh kok, cepet banget Mbak?" tanyanya heran."Kliennya udah keok duluan, Mas," jawab Laras dengan acuh.Jarwo mengulum senyum mendengarn
Brak!Frans yang sedang menonton video porno di layar laptopnya dibuat terkejut saat tiba-tiba saja ada yang menggebrak meja kerjanya.Wajah laki-laki itu mendongak. Tatapan tajam Laras menyambutnya.Frans tersenyum miring. Ia lantas bangkit. "Ada apa kamu tiba-tiba datang ke sini?"Laras muak dengan semua basa-basi laki-laki bajingan itu. Sambil melipat kedua tangannya di depan dada, ia berkata dengan sinis."Saya tidak mau melakukan transaksi sama anak-anak! Mestinya kamu cek dulu, berapa usia klien yang memesan saya!"Mendengar semua ocehan Laras, Frans tersenyum remeh. Sambil menaruh sebatang rokok ke mulutnya, ia berkata, "Persetan mereka masih di bawah umur, yang penting kan mereka mampu membayar kamu."Laras tercengang. Dengan penuh emosi ia menyambar batang rokok yang baru saja mau Frans nyalakan apinya. Lelaki itu dibuatnya sangat terkejut."Biadab kamu, Frans! Aku nggak mau merusak anak-anak itu! Mulai sekarang kalau kamu masih menerima transaksi dari mereka, maka aku akan k
Pagi itu sangat cerah. Laras terlihat sedang menyapu halaman. Sementara Bagas sudah berangkat bekerja sejak pukul enam pagi.Maklum lah! Tempat bekerja Bagas sekarang cukup jauh. Jadi, dia harus berangkat pagi-pagi.Ponsel jadul yang layarnya sudah buram tak henti berdering. Namun, suara sapu lidi membuat Laras tidak mendengarnya. Perempuan itu sibuk menyapu halaman."Gimana Mas?"Seorang laki-laki sedang duduk di ruangan Frans. Matanya mengincar wajah orang di depannya.Frans kesal karena Laras tidak juga menerima telepon. Entah apa yang sedang perempuan itu lakukan. Apa mungkin Laras sedang enak-enak dengan Bagas?Frans menggeleng, lantas menatap laki-laki di depannya. "Nggak ada jawaban. Sepertinya Laras sedang sibuk."Laki-laki di depan Frans memasang wajah kecewa. "Kalo gitu, boleh saya minta nomor Mbak Laras? Biar nanti saya yang menghubunginya."Frans menggeleng. "Sorry, Mas. Kalo itu nggak bisa, karena privasi kami. Mas bisa mengajukan pesanan lewat situs kami. Silahkan."Meli
"Kok melamun?"Laras dibuat terkejut saat hidungnya di cubit oleh Bagas. Dilihatnya laki-laki itu yang sedang tersenyum menggodanya.Astaga, rupanya cuma halusinasinya saja. Nyatanya mereka masih berada di dalam restoran saat ini.Dan saat mata Laras melihat seorang pelayan restoran menuju pada mereka, ia mulai bergetar. "Selamat malam, Mbak Laras dan Mas Bagas! Dikarenakan hari ini ulang tahun restoran kami, jadi Mas tidak perlu membayar tagihan. Dan sebagai rasa cinta kami pada pelanggan, maka restoran kami menyajikan dessert strawberry ini untuk kalian. Selamat menikmati!"Bagas tercengang mendengar semua penuturan si pelayan. Matanya menatap ke arah Laras. Dan sang istri cuma tersenyum manis menanggapinya.'Mbak, tolong saya. Tolong katakan ini pada suami saya ...'Laras teringat saat ia meminta pelayan itu untuk membantunya membohongi Bagas.Ulang tahun restoran cuma rekayasa saja. Sebenarnya Laras sudah membayar tagihan di bagian kasir restoran tanpa sepengetahuan Bagas.Sement
Mobil taksi yang membawa Bagas dan Laras pun tiba di pelataran sebuah restoran.Bagas memindai tempat di mana mereka saat ini. Dia terkejut dengan restoran yang dipilih Laras. Bagas merasa was-was karena tidak punya cukup uang untuk duduk dan memesan makanan di dalam sana."Laras, apa tidak sebaiknya kita makan di angkringan saja? Mas nggak punya uang lebih jika uang kamu kurang nantinya."Laras tersenyum mendengar ucapan Bagas. Ia lantas menoleh ke arah restoran.Mobil-mobil mewah tampak berderet di area basement. Sedang dari dinding kaca, terlihat tampak orang-orang kaya yang sedang duduk di dalam sana.Bagas masih menatap saat mata Laras tertuju padanya. "Mas nggak usah kuatir, uang Laras insyaallah cukup kok!""Tapi ...""Udah, ayo!"Laras segera menggamit lengan Bagas, lantas menggandeng suaminya memasuki area restoran.Meja yang berada di tengah restoran yang Laras pilih. Sebagai orang yang dulu pernah hidup mewah, Bagas tahu jika itu meja VIP."Laras, kok kita duduk di sini? Me
Laras sedang mematut penampilannya di depan cermin saat terdengar suara motor yang menepi di pelataran rumah. Ah, itu pasti Mas Bagas sudah pulang. Dengan bersemangat ia segera meninggalkan kamar.Di luar rumah Bagas baru saja menepikan motornya. Dilihatnya rumah yang lampunya sudah menyala. Sepertinya Laras sudah pulang, pikir Bagas seraya berjalan mantap menuju pintu."Mas Bagas!"Kemunculan seorang perempuan saat kedua daun pintu terbuka membuat Bagas terkejut. Laras melempar senyum manis ke arahnya dengan pipi yang bersemu merah.Bagas tertegun melihat penampilan sang istri yang teramat berbeda sore ini. Laras mengenakan gaun malam warna merah panjang sampai ke lutut. Rambutnya yang panjang berkumpul di bahu kirinya. Sementara bahu kanan menampilkan kulitnya yang putih mulus disebabkan model gaunnya yang terbuka."Laras."Ia masih terkesima akan kecantikan Laras. Tatapannya membuat perempuan itu jadi tersipu malu."Mas sudah pulang?" Laras segera memecah keheningan di antara mere
Siang itu di lokasi kontruksi tempat di mana Bagas bekerja."Tambah lagi, Mas?""Sepertinya sudah cukup. Kamu bisa membantu yang lainnya menurunkan bahan bangunan yang baru datang!""Baik, Mas!"Bagas segera berjalan menuju para buruh yang sedang berkumpul di samping mobil yang mengangkut bahan bangunan."Kiri! Kiri!""Stop!"Sopir segera turun setelah menepikan mobil. Sementara para buruh segera maju untuk menurunkan ratusan semen yang diangkut."Ayo bantu!" Mandor berseru. Maka para buruh yang sedang berdiri segera maju. Tidak terkecuali dengan Bagas.Satu demi satu bahan bangunan dipikul oleh para buruh menuju tempat penyimpanan. Dari dalam mobil, Elsa memperhatikan.Meski cuaca teramat terik, dan perempuan itu sangat sensitif dengan panasnya Matahari Elsa tetap mendatangi lokasi kontruksi.Pintu mobil dibanting cukup keras. Elsa segera berjalan menuju seorang laki-laki yang sedang mencuci tangan di dekat toilet."Ehem!"Bagas yang sedang bicara dengan rekan kerjanya dibuat terkej
Pagi telah tiba. Laras dibuat terkejut saat mendapati kasur di sampingnya yang sudah kosong. Kemana Mas Bagas? Apa dia sudah berangkat bekerja?Masih dengan kesadaran yang belum pulih benar, Laras segera menyingkap selimut tebal yang menutupi sebagian tubuh. Lantas ia beringsut dari ranjang.Di mana Mas Bagas?Langkah kecil itu terayun menuju kamar mandi. Mungkin dia bisa melihat punggung suaminya di sana, karena tidak mungkin jam segini Mas Bagas sudah berangkat bekerja. Bahkan kumandang adzan subuh saja belum terdengar.Sepasang mata Laras memindai ke sekitar lalu fokus ke pintu kaca kamar mandi. Namun, aroma lezat nasi goreng dari arah dapur membuyarkan rasa gelisahnya."Mas Bagas?"Laki-laki yang sedang berdiri menghadap meja makan di dapur dibuat menoleh saat ia memanggilnya.Bagas menyambutnya dengan menyematkan senyum manis di wajahnya yang tampan."Laras, kamu sudah bangun?"Laras belum menjawab. Matanya melihat ke arah meja makan. Dua piring nasi goreng sudah tersaji di sana.
"Aaah! Aaah!"Suara lenguhan kenikmatan itu menguar di seluruh kamar hotel di mana Laras berada.Tangan perempuan itu mencengkeram punggung laki-laki seumuran Bagas yang sedang bergerak dengan tempo yang cepat.Laras tak tahan dengan permainan hebat lelaki itu. Dia mulai keenakan hingga melingkarkan kedua kakinya ke pinggang lawan mainnya.Laki-laki itu bernama Zaki. Dia berasal dari kota Bandung. Usianya sekitaran 25 tahun. Zaki sudah lama menunggu saat ini tiba.Sudah lama dia menyukai Laras dan ingin sekali dapat kesempatan untuk bisa bercinta dengan bintang yang sedang bersinar di situs dewasa milik Frans itu.Zaki mengumpulkan banyak uang sampai akhirnya bisa menggumuli tubuh polos Laras sepuasnya."Ah, Mas Zaki ..."Laras hanya bisa berdesah-desah saat Zaki melakukannya sambil berdiri. Sementara setengah tubuh Laras terlentang di atas meja.Gerakan yang gencar membuat meja terus bergetar. Laras melingkarkan tangannya ke tengkuk leher Zaki, lantas mereka berciuman."Laras, aku mo
Pagi itu sangat cerah. Laras terlihat sedang menyapu halaman. Sementara Bagas sudah berangkat bekerja sejak pukul enam pagi.Maklum lah! Tempat bekerja Bagas sekarang cukup jauh. Jadi, dia harus berangkat pagi-pagi.Ponsel jadul yang layarnya sudah buram tak henti berdering. Namun, suara sapu lidi membuat Laras tidak mendengarnya. Perempuan itu sibuk menyapu halaman."Gimana Mas?"Seorang laki-laki sedang duduk di ruangan Frans. Matanya mengincar wajah orang di depannya.Frans kesal karena Laras tidak juga menerima telepon. Entah apa yang sedang perempuan itu lakukan. Apa mungkin Laras sedang enak-enak dengan Bagas?Frans menggeleng, lantas menatap laki-laki di depannya. "Nggak ada jawaban. Sepertinya Laras sedang sibuk."Laki-laki di depan Frans memasang wajah kecewa. "Kalo gitu, boleh saya minta nomor Mbak Laras? Biar nanti saya yang menghubunginya."Frans menggeleng. "Sorry, Mas. Kalo itu nggak bisa, karena privasi kami. Mas bisa mengajukan pesanan lewat situs kami. Silahkan."Meli
Brak!Frans yang sedang menonton video porno di layar laptopnya dibuat terkejut saat tiba-tiba saja ada yang menggebrak meja kerjanya.Wajah laki-laki itu mendongak. Tatapan tajam Laras menyambutnya.Frans tersenyum miring. Ia lantas bangkit. "Ada apa kamu tiba-tiba datang ke sini?"Laras muak dengan semua basa-basi laki-laki bajingan itu. Sambil melipat kedua tangannya di depan dada, ia berkata dengan sinis."Saya tidak mau melakukan transaksi sama anak-anak! Mestinya kamu cek dulu, berapa usia klien yang memesan saya!"Mendengar semua ocehan Laras, Frans tersenyum remeh. Sambil menaruh sebatang rokok ke mulutnya, ia berkata, "Persetan mereka masih di bawah umur, yang penting kan mereka mampu membayar kamu."Laras tercengang. Dengan penuh emosi ia menyambar batang rokok yang baru saja mau Frans nyalakan apinya. Lelaki itu dibuatnya sangat terkejut."Biadab kamu, Frans! Aku nggak mau merusak anak-anak itu! Mulai sekarang kalau kamu masih menerima transaksi dari mereka, maka aku akan k
"Uh, Laras ... terus, Sayang! Oh!"Laki-laki paruh baya itu terus saja mengerang keenakan. Laras cuma mengangkat sepasang matanya sambil memegang batang kecil yang separuhnya ia masukkan ke mulut."Lanjut lagi, Mas."Laras segera naik ke atas tubuh laki-laki itu. Dia menggoyangnya dengan penuh gairah."Ah, Laras! Udah! Saya sesak nafas!"Dasar payah!Laras segera menyudahi permainan. Ia lantas beringsut dari tubuh polos laki-laki itu."Kalau begitu, saya mau pulang," ucap Laras. Ia menoleh ke arah laki-laki tua yang masih terlentang di tengah ranjang.Orang itu cuma mengibaskan tangannya tanpa sanggup bicara lagi. Laras bergegas pergi."Mas Jarwo, ayo ke hotel selanjutnya," kata Laras setelah tiba di samping mini bus putih yang terparkir di area basement hotel.Jarwo yang sedang menikmati batang rokoknya dibuat terkejut melihat Laras sudah kembali. "Loh kok, cepet banget Mbak?" tanyanya heran."Kliennya udah keok duluan, Mas," jawab Laras dengan acuh.Jarwo mengulum senyum mendengarn