Siang itu Matahari amat terik. Bagas bekerja dengan giat. Tidak peduli keringat membasahi kemejanya. Wajah sedih Laras terus terkenang di pelupuk mata. Bagas bertekad ingin menyenangkan istrinya dengan terus giat bekerja.
"Nak Bagas, ayo istirahat dulu!" teriak Pak Kardi pada seorang laki-laki yang sedang mengaduk campuran bahan bangunan. Bagas menoleh sambil memegang cangkul. "Iya, Pak!" Sementara dari kejauhan seorang laki-laki sedang memperhatikan Bagas. Dia, Fandi Gumilang, pemborong yang menangani proyek bangunan di mana Bagas dan Pak Kardi bekerja. Usianya hampir sama dengan Bagas. "Saya baru lihat orang itu. Apa dia masih baru?" Fandi bertanya pada mandor yang bertugas di lapangan. Matanya tertuju ke arah Bagas. Pak Darma selaku mandor yang bertugas hari ini pun menjawab, "Benar, Pak. Dia baru bekerja hari ini. Namanya Bagas!" Fandi manggut-manggut. "Saya harap dia bisa terus giat seperti itu, bukan hari ini saja." Pak Darma cuma mengangguk. Dia menoleh satu kali ke arah Bagas yang sedang berteduh bersama buruh lainnya, lantas melanjutkan langkahnya menyusul Fandi. "Kamu pasti capek ya kerja kasar begini? Mestinya sarjana kayak kamu ini kerjanya di kantor yang ada AC nya, persis Pak Fandi!" Pak Kardi bicara pada Bagas sambil menuangkan air untuk minum. Bagas tersenyum tipis. "Namanya juga kerja, Pak! Apa pun itu, tetap saja capek! Saya justru bersyukur bisa dapat kerjaan yang halal," katanya lantas meraih gelas berisi air putih yang Pak Kardi sodorkan. Pak Kardi manggut-manggut. "Saya turut prihatin atas keputusan Pak Handoko. Saya yakin, Pak Handoko akan kesulitan mengelola banyak pabrik dan perkebunannya. Suatu hari pasti dia akan memanggil kamu lagi," katanya sambil menatap Bagas. Bagas terdiam lalu tersenyum. "Saya lebih berharap bisa bekerja tanpa campur tangan ayah saya," katanya sama Pak Kardi. Pak Kardi cuma manggut-manggut menanggapi. Kemudian mereka mulai membuka nasi bungkus yang tersaji di depannya. Sambil mendengarkan cerita masa muda Pak Kardi, Bagas mulai makan. ~•~ Hari mulai petang saat mini bus putih menepi di tepi jalan. Dari tepi jendela, mata Laras mengintai. Benar dugaannya. Frans sudah mengirim sopir untuk menjemputnya sore ini. Namun, apa dia harus pergi sekarang? "Mas Frans minta Mbak Laras jangan lama-lama, karena jadwal hari ini cukup padat." Jarwo bicara setelah pintu di depannya dibuka. Laras tertegun di tempat. Dan saat tangan sopir itu menyambar tas yang ia bawa, jiwa Laras terasa melayang tak tentu arah. Jarwo bergegas melajukan mobil usai menutup pintunya rapat-rapat. Matanya melirik ke belakang di mana Laras duduk. Dilihatnya wajah perempuan itu yang sedang menunduk. "Kenapa kita kesini, Mas?" tanya Laras pada Jarwo. Dia keheranan karena sopir menepikan mobil yang membawanya di depan sebuah hotel. Jarwo menoleh ke belakang. "Mas Frans yang meminta saya mengantar Mbak kesini." Laras tidak bertanya lagi. Perempuan itu segera turun dari mobil setelah Jarwo membukakan pintu. Langkah kecil Laras terayun menuju lobi hotel. Ia melirik ke sekitar. Bagaimana jika ada yang melihatnya? Jarwo mengikuti langah Laras sambil menenteng tas yang berisi perlengkapan Laras. Semacam pakaian dinas, alat make up dan lain-lain yang Laras butuhkan saat melayani klien. "Silakan masuk, Mbak!" Glek! Laras menelan ludah kasar. Jantungnya berdegup kencang saat Jarwo membukakan pintu sebuah kamar yang berada di lantai dua belas hotel tersebut. Entah seperti apa kliennya malam ini. Laras ketakutan dan ingin segera kabur. "Pak Beni sudah menunggu Mbak di dalam. Saya tunggu di mobil ya, Mbak?" Jarwo bergegas pergi setelah menaruh tas Laras di sofa. Laras cuma mengangguk. Suara pintu ditutup dari luar membuatnya kaget. "Nama kamu Laras?" Suara seorang laki-laki dari arah belakang membuat jantung Laras nyaris copot. Masih dengan gemetaran, perempuan itu memutar tubuhnya untuk melihat rupa laki-laki tersebut. "Saya Beni, Beni Wicaksana. Saya pengusaha tembakau di Solo. Saya dengar dari Frans kalo kamu juga berasal dari Sono, ya?" Laki-laki itu melempar senyum pada Laras. Laras cuma mengangguk dengan canggung. Matanya memandangi sosok yang kini berdiri di depannya. Beni memiliki postur tubuh yang tinggi kekar. Usianya sekitaran 45 tahun. Kulitnya sawo matang. Tangan, kaki dan dadanya berbulu hitam. Ada janggut tipis-tipis juga di dagunya. Laki-laki itu tidak pakai baju. Cuma handuk putih yang melilit di pinggangnya. Beni menyeringai melihat cara Laras menatapnya. Kemudian dia berjalan menuju ranjang luas di kamar itu. Mata Laras mengikutinya dengan perasaan gusar. "Sini, temani saya." Glek! Tenggorakan Laras terasa tercekat. Beni menepuk kasur kosong di sampingnya sambil duduk di tepi ranjang. Wajah laki-laki itu sudah kelihatan bernafsu sekali. "Hm, saya mau ganti baju dulu. Mas Beni bisa tunggu sebentar," kata Laras. Dengan acuh dan berdebar-debar ia melenggang pergi menuju kamar mandi. Beni mencengkeram kasur di kedua sisinya. Dia kesal dengan sikap sok jual mahal Laras. Maka dengan langkah cepat dia segera menyusul perempuan itu. Brak! "Ah, Mas Beni?!" Laras yang hendak bertukar pakaian dibuat kaget saat Beni mendorong pintu kamar mandi dengan paksa. Dia segera mundur saat laki-laki itu maju ke depannya. Beni tidak bisa menunggu lagi saat mendapati Laras yang cuma mengenakan pakaian dalam saja. Laki-laki itu segera mencekal lengan Laras, lantas mendesaknya ke dinding. Laras memejamkan matanya rapat-rapat. Dia tak mau melihat wajah lawan mainnya. Sementara Beni yang sudah bernafsu terus saja menyentuh Laras dengan banyak ciuman. "Ah, kamu bikin saya nggak tahan lagi, Laras!" Beni yang segera menyeret Laras menuju ranjang. Perempuan itu terjerembab ke kasur setelah dilemparnya dengan kasar. Dengan gairah yang memburu panas, Beni segera menyambar handuk putih yang menutupi keperkasaannya. "Gimana, Laras? Kamu suka, kan?" "Uh, kamu kok sempit banget, sih?" Laki-laki itu terus mengerang nikmat saat berhasil membenamkan miliknya pada Laras. Beni terus mencium dan menggigit di sekitar leher dan dada. Laras dibuatnya kewalahan. Sementara itu di tempat kontruksi. Bagas sedang mencuci tangannya. Jam kerja sudah selesai, dia dan para buruh lainnya akan segera pulang. "Bagas!" Mandor tiba-tiba memanggilnya. Bagas keheranan dan merasa cemas. Dia menoleh ke arah Pak Kardi. Laki-laki paruh baya itu cuma mengangguk menyakinkan Bagas, jika tidak ada yang perlu ditakutkannya. "Bapak memanggil saya?" Bagas bertanya dengan sungkan saat menghadap mandor. Pak Darma mengangguk, lantas menoleh ke arah laki-laki berpakaian rapi yang berdiri di sampingnya. Fandi mengangguk menanggapi. "Saya suka kinerja kamu. Saya ingin kamu ikut dengan tim yang sedang membangun gedung di pusat kota. Saya rasa kamu cocok bergabung dengan mereka." Pak Darma cuma manggut-manggut menanggapi ucapan Fandi pada Bagas. Mereka bertiga bicara sambil duduk di warung kopi yang tidak jauh dari lokasi proyek. Bagas jelas terkejut mendengar tawaran itu. "Bapak serius?" Pak Darma dan Fandi tertawa renyah menanggapi wajah terkejut sekaligus senangnya Bagas. "Iyalah, Bagas! Masa Pak Bos bohong?" timpal Pak Darma kemudian. Fandi mengangguk sambil tersenyum saat Bagas mentapanya. "Terima kasih, Pak! Saya memang sangat membutuhkan pekerjaan ini." Bagas terharu. Dia menyalami tangan Fandi dan Pak Darma secara bergantian. Fandi mengangguk. "Mulai besok kamu ikut saya ke pusat kota, ya?" "Baik, Pak!" Bagas senang tidak terkira. Akhirnya dia bisa dapat kerjaan yang lebih baik. Laras pasti senang mendengar kabar ini. Dia pun segera pamit. Sambil mengendarai motor bututnya, Bagas terus bersiul riang. Dia tidak sabar ingin segera tiba di rumah lalu menyampaikan kabar gembira ini pada istrinya, Laras."Laras!"Bagas segera berlari menuju teras rumah setelah menepikan motornya di pelataran.Dengan perasaan gembira laki-laki itu mencari istrinya di seluruh rumah. Hingga kemudian ia mencium wangi masakan yang lezat dari arah dapur. Sepertinya Laras sedang memasak, pikir Bagas."Laras!"Napasnya terengah-engah saat tiba di ambang pintu dapur. Bagas lega menemukan istrinya di sana. Benar dugaannya, Laras sedang menyiapkan makanan untuk mereka.Laras mematikan api kompor, lantas ia memutar ke arah sumber suara yang memanggilnya."Mas Bagas," sapanya seraya tersenyum manis pada laki-laki yang masih terpaku di ambang pintu.Bagas membalas senyuman istrinya, lantas ia berjalan cepat menuju pada Laras dan langsung memeluknya.Laras terdiam dalam pelukan Bagas. Ia membalas pelukan itu dengan perasaan yang mengharu biru. 'Itu bayaran kamu hari ini. Besok pagi kamu harus siap-siap. Ada tiga orang klien yang sudah memesan kamu. Jangan sampai mereka kecewa.''Besok malam aku ingin menyenangkan s
"Mas pamit, ya? Assalamualaikum.""Walaikum salam. Hati-hati Mas Bagas."Bagas melempar senyum manis pada perempuan muda dengan daster bunga-bunga yang sedang berdiri di teras rumah. Kemudian ia segera menunggangi motornya.Sambil berdiri di teras rumah, Laras memandangi Bagas pergi.Selesai sudah dia menjadi istri dari laki-laki baik itu, karena selepas Bagas pergi dia harus kembali ke dunia barunya.Dunia yang bahkan tidak pernah Laras bayangkan. Kini dia harus bersiap-siap untuk segera berangkat memenuhi pesanan para klien."Bagas!""Hei, Bagas! Keluar kamu!"Laras yang sedang bersiap-siap di dalam kamar dibuat terkejut saat mendengar teriakan seseorang dari luar rumah.Bu Rina. Jelas dia hafal suara perempuan itu.Namun sebelum ia menemui tamu tidak diundang yang sedang marah-marah di depan pintu rumah, Laras mengintai lebih dulu dari tepi garis jendela.Bu Rina datang dengan membawa dua orang tukang pukul. Sudah bisa Laras bayangkan apa yang akan mereka lakukan jika dia tidak mem
"Uh, Laras ... terus, Sayang! Oh!"Laki-laki paruh baya itu terus saja mengerang keenakan. Laras cuma mengangkat sepasang matanya sambil memegang batang kecil yang separuhnya ia masukkan ke mulut."Lanjut lagi, Mas."Laras segera naik ke atas tubuh laki-laki itu. Dia menggoyangnya dengan penuh gairah."Ah, Laras! Udah! Saya sesak nafas!"Dasar payah!Laras segera menyudahi permainan. Ia lantas beringsut dari tubuh polos laki-laki itu."Kalau begitu, saya mau pulang," ucap Laras. Ia menoleh ke arah laki-laki tua yang masih terlentang di tengah ranjang.Orang itu cuma mengibaskan tangannya tanpa sanggup bicara lagi. Laras bergegas pergi."Mas Jarwo, ayo ke hotel selanjutnya," kata Laras setelah tiba di samping mini bus putih yang terparkir di area basement hotel.Jarwo yang sedang menikmati batang rokoknya dibuat terkejut melihat Laras sudah kembali. "Loh kok, cepet banget Mbak?" tanyanya heran."Kliennya udah keok duluan, Mas," jawab Laras dengan acuh.Jarwo mengulum senyum mendengarn
Brak!Frans yang sedang menonton video porno di layar laptopnya dibuat terkejut saat tiba-tiba saja ada yang menggebrak meja kerjanya.Wajah laki-laki itu mendongak. Tatapan tajam Laras menyambutnya.Frans tersenyum miring. Ia lantas bangkit. "Ada apa kamu tiba-tiba datang ke sini?"Laras muak dengan semua basa-basi laki-laki bajingan itu. Sambil melipat kedua tangannya di depan dada, ia berkata dengan sinis."Saya tidak mau melakukan transaksi sama anak-anak! Mestinya kamu cek dulu, berapa usia klien yang memesan saya!"Mendengar semua ocehan Laras, Frans tersenyum remeh. Sambil menaruh sebatang rokok ke mulutnya, ia berkata, "Persetan mereka masih di bawah umur, yang penting kan mereka mampu membayar kamu."Laras tercengang. Dengan penuh emosi ia menyambar batang rokok yang baru saja mau Frans nyalakan apinya. Lelaki itu dibuatnya sangat terkejut."Biadab kamu, Frans! Aku nggak mau merusak anak-anak itu! Mulai sekarang kalau kamu masih menerima transaksi dari mereka, maka aku akan k
Pagi itu sangat cerah. Laras terlihat sedang menyapu halaman. Sementara Bagas sudah berangkat bekerja sejak pukul enam pagi.Maklum lah! Tempat bekerja Bagas sekarang cukup jauh. Jadi, dia harus berangkat pagi-pagi.Ponsel jadul yang layarnya sudah buram tak henti berdering. Namun, suara sapu lidi membuat Laras tidak mendengarnya. Perempuan itu sibuk menyapu halaman."Gimana Mas?"Seorang laki-laki sedang duduk di ruangan Frans. Matanya mengincar wajah orang di depannya.Frans kesal karena Laras tidak juga menerima telepon. Entah apa yang sedang perempuan itu lakukan. Apa mungkin Laras sedang enak-enak dengan Bagas?Frans menggeleng, lantas menatap laki-laki di depannya. "Nggak ada jawaban. Sepertinya Laras sedang sibuk."Laki-laki di depan Frans memasang wajah kecewa. "Kalo gitu, boleh saya minta nomor Mbak Laras? Biar nanti saya yang menghubunginya."Frans menggeleng. "Sorry, Mas. Kalo itu nggak bisa, karena privasi kami. Mas bisa mengajukan pesanan lewat situs kami. Silahkan."Meli
"Aaah! Aaah!"Suara lenguhan kenikmatan itu menguar di seluruh kamar hotel di mana Laras berada.Tangan perempuan itu mencengkeram punggung laki-laki seumuran Bagas yang sedang bergerak dengan tempo yang cepat.Laras tak tahan dengan permainan hebat lelaki itu. Dia mulai keenakan hingga melingkarkan kedua kakinya ke pinggang lawan mainnya.Laki-laki itu bernama Zaki. Dia berasal dari kota Bandung. Usianya sekitaran 25 tahun. Zaki sudah lama menunggu saat ini tiba.Sudah lama dia menyukai Laras dan ingin sekali dapat kesempatan untuk bisa bercinta dengan bintang yang sedang bersinar di situs dewasa milik Frans itu.Zaki mengumpulkan banyak uang sampai akhirnya bisa menggumuli tubuh polos Laras sepuasnya."Ah, Mas Zaki ..."Laras hanya bisa berdesah-desah saat Zaki melakukannya sambil berdiri. Sementara setengah tubuh Laras terlentang di atas meja.Gerakan yang gencar membuat meja terus bergetar. Laras melingkarkan tangannya ke tengkuk leher Zaki, lantas mereka berciuman."Laras, aku mo
Pagi telah tiba. Laras dibuat terkejut saat mendapati kasur di sampingnya yang sudah kosong. Kemana Mas Bagas? Apa dia sudah berangkat bekerja?Masih dengan kesadaran yang belum pulih benar, Laras segera menyingkap selimut tebal yang menutupi sebagian tubuh. Lantas ia beringsut dari ranjang.Di mana Mas Bagas?Langkah kecil itu terayun menuju kamar mandi. Mungkin dia bisa melihat punggung suaminya di sana, karena tidak mungkin jam segini Mas Bagas sudah berangkat bekerja. Bahkan kumandang adzan subuh saja belum terdengar.Sepasang mata Laras memindai ke sekitar lalu fokus ke pintu kaca kamar mandi. Namun, aroma lezat nasi goreng dari arah dapur membuyarkan rasa gelisahnya."Mas Bagas?"Laki-laki yang sedang berdiri menghadap meja makan di dapur dibuat menoleh saat ia memanggilnya.Bagas menyambutnya dengan menyematkan senyum manis di wajahnya yang tampan."Laras, kamu sudah bangun?"Laras belum menjawab. Matanya melihat ke arah meja makan. Dua piring nasi goreng sudah tersaji di sana.
Siang itu di lokasi kontruksi tempat di mana Bagas bekerja."Tambah lagi, Mas?""Sepertinya sudah cukup. Kamu bisa membantu yang lainnya menurunkan bahan bangunan yang baru datang!""Baik, Mas!"Bagas segera berjalan menuju para buruh yang sedang berkumpul di samping mobil yang mengangkut bahan bangunan."Kiri! Kiri!""Stop!"Sopir segera turun setelah menepikan mobil. Sementara para buruh segera maju untuk menurunkan ratusan semen yang diangkut."Ayo bantu!" Mandor berseru. Maka para buruh yang sedang berdiri segera maju. Tidak terkecuali dengan Bagas.Satu demi satu bahan bangunan dipikul oleh para buruh menuju tempat penyimpanan. Dari dalam mobil, Elsa memperhatikan.Meski cuaca teramat terik, dan perempuan itu sangat sensitif dengan panasnya Matahari Elsa tetap mendatangi lokasi kontruksi.Pintu mobil dibanting cukup keras. Elsa segera berjalan menuju seorang laki-laki yang sedang mencuci tangan di dekat toilet."Ehem!"Bagas yang sedang bicara dengan rekan kerjanya dibuat terkej
Musim hujan di bulan Juni tahun 2011.Angin bertiup kencang menjelang sore. Gerimis mulai turun di tengah langit yang terus saja mendung. Satu tahun sudah berlalu pasca insiden kecelakaan yang merenggut nyawa Laras. Sudah saatnya Bagas menata hidupnya lagi. Tanpa Laras.Pengemudi mobil yang menabrak Laras juga sudah menjalani proses hukum di Lapas Pusat, Jakarta. Pelakunya tidak lain adalah Aryo. Rupanya lelaki itu sudah dibayar oleh Pak Wirya untuk menghabisi Laras dan juga Bagas.Lagi, rencana jahat Pak Wirya gagal lagi. Akhirnya pebisnis itu harus menghabiskan hari tuanya di balik jeruji besi. Hukuman seumur hidup itu rasanya masih belum cukup untuk membayar semua kejahatannya.Hari ini pada tanggal 20 Juni. Jatuh di hari selasa dan bertepatan dengan hari jadi Laras yang ke 25 tahun. Bagas mengunci pintu rumahnya. Lelaki itu berjalan menuju motornya yang sudah menunggu di pelataran.Sebelum ia melajukan motor, Bagas melirik ke arah rumahnya. Dilihatnya Laras yang sedang berdiri di
Hari mulai siang saat mini bus yang dikemudikan oleh Anto terjebak macet di pertigaan jalan menuju arah bandara. Dengan wajah gelisah Laras menoleh ke luar dari kaca jendela mobil.Sudah dua hari ia tidak pulang. Pasti Bagas sudah kelimpungan mencarinya. Namun apa yang harus ia lakukan sekarang? Alex akan mengirim dia ke Jepang siang ini juga.Ekor mata Laras melirik ke arah lelaki yang duduk di sampingnya. Alex tampak sibuk dengan aktifitas ponsel.Membuang nafas berat, Laras kembali memandang ke luar mobil. Dilihatnya mobil Fandi yang juga sedang terjebak macet di sekitar.Apa dia tidak saah lihat? Ya, itu memang mobil Mas Fandi!Ada sedikit cahaya dalam kegelapan yang sedang melanda jiwa Laras. Sepertinya dia bisa minta bantuan kepada Fandi untuk kabur dari Alex."Aduuh!"Laras berpura-pura meringis kesakitan sambil meremas bagian depan dressnya. Alex segera menoleh ke arah perempuan itu."Laras, kamu kenapa?" tanya Alex.Laras meringis, "Perut saya sakit banget, Mas Alex. Bisa kit
Lapas Pusat Jakarta."Saudara Aryo! Anda dibebaskan!"Aryo yang sedang duduk di dalam sel tahanan sangat terkejut saat seorang opsir memberinya kabar itu.Seorang pengusaha datang dengan membawa pengacara. Dia memberi jaminan sampai akhirnya dia dibebaskan. Aryo sangat ingin bertemu dengan orang dernawan tersebut."Jadi, Bapak yang sudah membebaskan saya? Mohon maaf, apa kita saling kenal?" Aryo keheranan saat bertemu dengan pengusaha yang memberinya jaminan.Pak Wirya menaikan sudut bibirnya lalu berkata dengan jumawa, "Saya seorang pebisnis besar! Mana mungkin punya kenalan seorang Narapidana macam kamu!"Aryo menunduk kaget dan malu. "Lalu kenapa Bapak menjamin saya?" tanyanya ragu-ragu.Pak Wirya tersenyum miring, " Saya punya kerjaan buat kamu."Aryo dibuat terkejut. Pak Wirya cuma tersenyum remeh menanggapi tatapan laki-laki itu."Mas Fandi, jangan ngebut-ngebut!"Agus sangat ketakutan dan panik saat duduk di dalam mobil yang sedang Fandi kemudikan. Dia tidak tahu apa masalah an
Fandi mulai terjaga dari tidurnya. Ia sangat terkejut saat melihat sosok perempuan yang sedang duduk di sofa.Elsa membuka kacamata hitam yang menutupi sebagian wajah, "Hai, Fandi. Bagaimana kabar kamu?"Fandi mencengkeram tepi ranjang. Dia segera bangkit lalu melotot pada Elsa. "Ngapain kamu di sini? Puas kamu sekarang, hah?!" gertaknya penuh emosi.Elsa tersenyum remeh menanggapi. Dia lantas bangkit dan segera menuju pada seorang lelaki yang sedang duduk di tengah ranjang pasien."Fandi, mestinya kamu tidak melakukan hal yang bodoh sampai berakhir di rumah sakit ini," ujar Elsa dengan sinis setelah ia berdiri di hadapan Fandi.Lelaki itu mendengus kesal. Segera ia mencabut jarum infus dari lengannya lalu beringsut dari ranjang. Elsa cuma memicingkan alisnya saat lelaki itu mendekat."Kamu dan Bagas, kalian sengaja bersekongkol, kan?! Dasar perempuan murahan kamu, Elsa!" Fandi menunjuk-nunjuk muka Elsa dan menghinanya.Plaak!"Tutup mulut busuk kamu itu!"Elsa tidak tinggal diam saat
"Bawa perempuan itu ke kamar!""Baik, Bos!"Dua orang pengawal segera menuju mobil hitam yang menepi di depan sebuah villa. Mereka segera membuka pintu mobil dan menyeret wanita yang tergolek di dalam sana.Laras tidak sadarkan diri setelah Frans memberinya minuman yang dicampur dengan obat tidur. Kini tubuhnya yang ringkih itu segera dikeluarkan dari mobil dan dibawa masuk villa.Lelaki berperawakan tinggi bernama Alex cuma tersenyum smirk saat para pengawal melewatinya sambil memapah Laras."Elu nggak usah mikirin cewek itu, dia udah aman sama gue," ucapnya lewat sambungan ponselnya.Frans yang dia hubungi. Alex berencana mau mengirim Laras malam ini juga ke Jepang. Namun kecantikan perempuan itu membuatnya tergiur.Alex ingin mencicipi tubuh Laras sebelum mengirim dia ke luar negeri. Oleh karena itu dia membawa Laras ke villanya.Frans tersenyum puas mendengar ucapan Alex lewat sambungan ponsel. "Ya! Kamu atur sajalah! Saya terima beres!"Setelah panggilan berakhir, Alex segera ber
"Uhuk! Uhuk!"Fandi berusaha mengangkat tubuh ringkihnya. Sambil terbatuk-batuk lelaki itu menuju mobil."Gus, jemput saya ..."Ia berujar dengan suara pelan usai meraih ponselnya dari dalam mobil. Kemudian tubuhnya merosot sampai jatuh duduk bersandar di mobil."Uhuk!"Bajingan si Bagas!Lelaki itu menghajar dia sudah seperti preman. Kini tubuhnya terasa lemah tak bertenaga lagi.Untuk kembali bangkit saja Fandi tak kuasa. Pandangannya mulai berubah kabur dan dadanya terasa sangat sesak. Setelah penglihatan memudar, ia pun tak sadarkan diri lagi."Mas Fandi!"Agus berlari menuju sosok yang tergolek di samping mobil. Dia sangat terkejut melihat kondisi Fandi."Tolong segera kirim ambulans!"Usai menghubungi rumah sakit, Agus langsung membenahi ponselnya. Dia berusaha membantu Fandi berdiri.Suara sirine ambulans terdengar begitu cetar saat mereka melarikan lelaki itu menuju rumah sakit.Fandi kritis. Agus segera menghubungi orang tua lelaki itu."Blegedes! Bisa-bisanya lelaki itu biki
"Gua udah hubungi lu dan suruh untuk tangani orang Jepang itu, tapi lu nya kebanyakan menye-menye! Sekarang lu tanggung sendiri akibatnya!"Frans terlihat sedang berhadapan dengan seorang lelaki berpakaian formal. Rupanya lelaki itu adalah orang yang berada di belakang bisnis prostitusi online yang Frans geluti selama ini.Alex, nama lelaki berperawakan tinggi kekar dan selalu berpenampilan layaknya seorang pebisnis itu.Alex datang ke kantor Frans untuk menegur anak buahnya itu yang dirasanya mulai tidak becus mengurus bisnis gelap mereka.Bukan cuma itu, Alex juga mendapat surel dari orang-orangnya di Jepang. Mereka mengatakan jika Yuta akan menutup situs prostitusi online mereka.Entah apa alasannya. Yang pasti dia akan rugi besar kalau situs mereka ditutup. Sedang Yuta sendiri sangat sulit untuk dihubungi.Frans gemetaran mendengar semua penuturan Alex. "Jadi, apa yang harus saya lakukan?"Alex menyipit mendengar ucapan lelaki yang sedang berdiri di depan mejanya. Ia lantas mencon
Brak!Baron menapakkan satu kakinya pada meja yang berada di depan Pak Wirya. Telunjuknya mengangkat dagu lelaki paruh baya yang terikat di kursi. Bibirnya menyeringai tipis saat mata lelah Pak Wirya terangkat ke wajahnya."Blegedes! Kenapa kalian malah menculik saya?!" berang Pak Wirya dengan marah.Baron tersenyum. "Karena lu nggak kasih gue uang muka. Malah tuh cewek yang kasih gue duit 50 juta buat kirim lu ke rumah sakit," desisnya.Pak Wirya tercengang.Sial!Jadi Elsa yang mengirim para preman itu untuk menculik dan memukulinya semalam suntuk. Kini tubuhnya terasa sakit semua. Dia butuh penanganan medis sesegera mungkin.Melihat Pak Wirya menatap, Baron bicara lagi, "Gue bisa aja lepasin lu tapi ada syaratnya.""Syarat?" Pak Wirya menyipitkan mata.Baron mengangguk. "Kalo lu bisa bayar gue lebih dari yang Elsa kasih, maka lu bakal gue lepasin sekarang juga," desisnya ke wajah lelaki paruh baya di hadapannya.Pak Wirya tercengang.Hari berikutnya di kediaman Bagas. Laras sedang
Malam tak juga menemukan pagi. Bagas yang putus asa mencari Laras akhirnya memutuskan untuk pulang. Mungkin Laras sudah sampai di rumah saat ini. Ia berpikir sambil mengendarai motornya menuju pulang.Mini bus putih terlihat melaju meninggalkan pintu pagar rumah. Bagas sangat terkejut melihat punggung seorang perempuan yang sedang menuju rumahnya.Laras?Segera ia melajukan motornya mendekat. "Laras?!"Perempuan yang sedang menuju pintu pagar rumah dibuat terkejut saat ada yang menyerukan namanya. Bergegas ia menoleh. Dilihatnya seorang lelaki yang sedang mengendarai sepeda motor mendekat ke arahnya."Mas Bagas?"Bagas segera melepaskan motornya lantas berlari menuju pada Laras. Wajahnya kelihatan sangat cemas sekaligus senang melihat istrinya sudah pulang."Laras, kamu kemana saja? Mas mencarimu sejak tadi sore," ujar Bagas. Matanya fokus menatap wajah perempuan yang sedang berdiri di depannya saat ini.Laras tidak buru-buru menjawab pertanyaan Bagas. Ia masih bergeming saat lelaki