Hari mulai pagi. Suara kumandang adzan Subuh menyambangi telinga Bagas. Laki-laki itu terjaga dari tidurnya. Dilihatnya kasur di samping yang masih kosong. Apa Laras tidak pulang?
Bergegas ia bangkit. Sambil duduk di tepi ranjang, Bagas mengusap wajahnya lalu menggeleng. Kemana Laras pergi sampai belum pulang pagi ini? Lagi dan lagi, cuma pertanyaan itu yang terus bersarang di kepalanya. Semalam ia sempat mencari Laras. Namun, karena sudah larut malam Bagas tidak bisa meneruskan pencarian. Apa Laras pergi mengunjungi panti? Ah, tidak mungkin! Jikalau istrinya pergi ke suatu tempat, pasti Laras akan berpamitan dan meminta izin padanya lebih dulu. Sedangkan ini tidak. Bagas khawatir jika istrinya kenapa-napa. Sedang kebingungan Bagas, tiba-tiba saja tercium aroma lezat masakan daria arah dapur. Bagas terkesiap. "Laras?" Bergegas laki-laki itu beringsut dari ranjang, lantas berjalan cepat menuju dapur. Dilihatnya punggung seorang perempuan yang sedang berdiri menghadap meja makan. Bagas tersenyum lega. Ia segera menghampiri Laras. "Mas Bagas sudah bangun? Aku sedang menyiapkan sarapan buat Mas. Sebaiknya Mas ambil air wudhu dulu. Selepas shalat Subuh kita sarapan bareng." Bagas tersenyum. Dia tidak berkata apa pun. Laras dibuat terkejut saat laki-laki itu langsung memeluknya. "Mas takut sekali kamu kenapa-napa! Kenapa pergi tidak kasih tahu Mas dulu?" lirih Bagas. Laras tersenyum pahit. "Aku minta maaf, Mas. Kemarin aku ketemu sama teman lamaku. Dia mengajak aku kerja sebagai buruh cuci gosok di perumahan yang tidak jauh dari sini." Bagas mengangguk. Dia percaya saja dengan ucapan istrinya. Lantas dilepaskan pelukan itu dari Laras. Dipandanginya dalam-dalam wajah istrinya. "Mas cuma takut sesuatu yang buruk menimpa kamu, Laras. Mas lega kamu udah pulang." Laras tersenyum. "Yaudah, ayo kita shalat Subuh dulu, Mas." Bagas cuma mengangguk sambil tersenyum. Selanjutnya ia menggiring Laras menuju teras belakang rumah di mana mereka akan mengambil air wudhu. Laras hanya terdiam sambil berdiri memandangi Bagas yang sedang berwudhu. Ia merasa sudah berdosa sekali karena telah membohongi suaminya tersebut. Dipejamkan mata basah itu oleh Laras. Ia kembali teringat malam laknat yang sudah merenggut mahkotanya sebagai seorang istri. "Kamu sudah menipuku! Bajingan kamu. Frans!" Laki-laki yang sedang berdiri sambil menghitung uang cuma tersenyum mendengar teriakan, tangisan dan cacian Laras. Setelah memasukan beberapa gepok uang ke dalam tas, Frans memutar tubuhnya sambil melempar banyak uang kertas ke depan Laras. Wanita itu menanggapi dengan marah. "Aku bukan pelacur!" Frans menyeringai tipis. "Terserah kamu mau ngomong apa! Nyatanya kamu sudah tidur dengan banyak laki-laki malam ini. Dan uang itu buat kamu." Laras masih menatap dengan manik yang berapi-api. Frans kembali menunjukkan senyuman yang remeh pada wanita di hadapannya. "Kamu pikir kamu itu siapa? Kamu cuma pendatang di sini. Jutaan pribumi saja masih menganggur dan kamu mau kerjaan dari saya? Ini Jakarta, Laras! Kalo kamu nggak mau mati kelaparan di sini, maka terima saja kerjaan ini." "Aku tidak sudi!" Frans tersenyum miring. Laki-laki itu lantas mendekat pada Laras. Wanita itu dibuat terkejut saat tangan Frans mencengkeram dagunya. Laras menatapnya dengan sengit. "Kamu pikir setelah malam ini kamu bisa terlepas dari saya begitu saja? Kamar ini sudah dipasangi CCTV. Saya bisa saja kasih tahu suami kamu tentang apa yang terjadi di sini. Saya juga penasaran, bagaimana reaksi Bagas kalo tahu istrinya yang cantik ini sudah digilir empat orang laki-laki dalam satu malam," desis Frans ke wajah Laras. "Biadab kamu, Frans!" cerca Laras seraya menepis tangan Bagas darinya. "Haha! Makanya jangan banyak bacot kamu! Nurut aja sama saya. Bukannya kamu juga sedang butuh duit?" Frans melirik ke arah Laras yang masih duduk di tepi ranjang. Wanita itu menatapnya penuh kebencian. Frans tersenyum remeh menanggapi. Setelah menyalakan api rokoknya, laki-laki itu melanjutkan, "Bagas Paku Handoko, dia anak orang berpengaruh di Solo. Lulusan bisnis pulak! Saya rasa laki-laki berpendidikan seperti dia tidak akan sudi menerima kamu setelah tahu semuanya." Laras mengepalkan buku-buku jemarinya penuh emosi. Dia lantas bangkit dan langsung menyerang Frans. Namun, satu tamparan keras berhasil membuatnya jatuh terjerembab ke sofa. "Bajingan kamu, Frans!" Sambil memegang pipinya yang perih, Laras menatap murka saat laki-laki itu mendekat. Frans menyeringai. "Kalo mau hidup kamu aman, ikuti permainan ini, Laras." "Laras!" Deg! Laras dibuat terkejut saat Bagas memanggilnya. Buru-buru ia menyeka matanya yang basah, lantas memasang senyum untuk suaminya. "Kamu kok melamun? Ayo ambil wudhu. Mas tunggu di dalam, ya?" Laras cuma mengangguk. Bagas tersenyum manis, lantas laki-laki itu segera melangkah pergi. Tinggallah Laras seorang diri di teras belakang. Dipandanginya punggung kekar suaminya yang kian menjauh. "Mas Bagas ... Laras udah kotor, Mas ... Maafkan Laras ..." Laras jatuh hingga bersimpuh di tanah. Ia menunduk dalam tangis yang pecah. Hatinya sakit, bathinnya hancur. Dia merasa kotor dan tidak pantas lagi untuk Bagas. ~•~ Bagas yang sudah bersiap mau mendirikan shalat dibuat keheranan karena Laras belum kunjung datang. Ada apa dengan istrinya itu? Sikap Laras sedikit aneh pagi ini. "Mbak Laras?!" "Tolong!" "Mas Bagas!" Suara teriakan itu mengejutkan Bagas yang sedang memikirkan Laras. Segera ia melompat keluar untuk melihatnya. Bagas terkejut melihat Laras yang tak sedang sadarkan diri. Sementara sorang perempuan sedang berteriak meminta tolong. "Mbak Desi, Laras kenapa?!" tanya Bagas dengan ekspresi heran dan panik. Dia segera mengangkat Laras dan menggendongnya memasuki rumah. Desi mengikuti. "Laras?" "Mbak Laras!" Perlahan-lahan mata Laras terbuka. Samar-samar ia melihat wajah Bagas dan Desi. "Mas bagas," gumamnya pelan. "Jangan bangun dulu. Rebahan aja," kata Bagas yang segera menahan istrinya. Desi menoleh ke arah Bagas dan Laras. "Syukurlah Mabak Laras udah sadar. Saya pamit dulu, ya?" Bagas mengangguk sambil tersenyum tipis. "Terima kasih, Mbak Desi." Desi cuma mengangguk. Dia menoleh satu kali ke arah Laras, lantas segera melenggang pergi. Laras masih terdiam. Kondisinya sangat lemas usai dibantai empat laki-laki tadi malam. Dia tak punya banyak tenaga. Dan wajah cemas Bagas membuatnya ingin menjerit kencang. "Laras, kamu istirahat saja di rumah. Sepertinya kamu kelelahan karena bekerja sampai larut malam. Hari ini biar Mas saja yang kerja. Kemarin Mas ketemu sama Pak Kardi. Beliau mengajak Mas kerja bersamanya jadi buruh proyek," kata Bagas seraya duduk di tepi dipan di mana Laras bersandar di tengahnya. Laras memalingkan wajahnya. Dia tidak mau Bagas melihat kehancuran di matanya. 'Besok malam ada dua klien yang pingin kamu senengin. Nanti Jarwo bakal jemput kamu. Siap-siap, ya?' Bathin Laras meraung hebat mengingat pesan Frans padanya. Dia sungguh tidak mau melakukannya lagi, tapi apa daya laki-laki biadab itu terus mengancamnya. Dia takut sekali Bagas akan tahu. Laras tidak mau kehilangan suaminya. "Kok melamun? Mas pamit, ya?" Bagas tersenyum memandangi wajah pucat Laras. Istrinya pasti sangat menderita sejak menikah dengan dia. Bagas merasa sudah menjadi suami yang gagal bagi Laras. Meski memiliki ijazah dan gelar sarjana, dia kesulitan untuk mendapat pekerjaan. Andai saja orang tuanya mau menerima pernikahannya dengan Laras, pasti hidup mereka tidak akan melarat seperti ini. Namun apa daya, Bagas tidak mau meninggalkan Laras dan tetap menikahinya. Pun orang tuanya yang tetap pada prinsipnya juga. "Hati-hati, Mas." Bagas mengangguk. Diusap pipi istrinya sebelum ia bangkit dan meninggalkan kamar. Dari tempatnya bersandar, Laras memandangi punggung suaminya pergi dengan berlinangan air mata. "Mas Bagas ..."Siang itu Matahari amat terik. Bagas bekerja dengan giat. Tidak peduli keringat membasahi kemejanya. Wajah sedih Laras terus terkenang di pelupuk mata. Bagas bertekad ingin menyenangkan istrinya dengan terus giat bekerja."Nak Bagas, ayo istirahat dulu!" teriak Pak Kardi pada seorang laki-laki yang sedang mengaduk campuran bahan bangunan.Bagas menoleh sambil memegang cangkul. "Iya, Pak!"Sementara dari kejauhan seorang laki-laki sedang memperhatikan Bagas. Dia, Fandi Gumilang, pemborong yang menangani proyek bangunan di mana Bagas dan Pak Kardi bekerja. Usianya hampir sama dengan Bagas."Saya baru lihat orang itu. Apa dia masih baru?" Fandi bertanya pada mandor yang bertugas di lapangan. Matanya tertuju ke arah Bagas.Pak Darma selaku mandor yang bertugas hari ini pun menjawab, "Benar, Pak. Dia baru bekerja hari ini. Namanya Bagas!"Fandi manggut-manggut. "Saya harap dia bisa terus giat seperti itu, bukan hari ini saja."Pak Darma cuma mengangguk. Dia menoleh satu kali ke arah Bagas
"Laras!"Bagas segera berlari menuju teras rumah setelah menepikan motornya di pelataran.Dengan perasaan gembira laki-laki itu mencari istrinya di seluruh rumah. Hingga kemudian ia mencium wangi masakan yang lezat dari arah dapur. Sepertinya Laras sedang memasak, pikir Bagas."Laras!"Napasnya terengah-engah saat tiba di ambang pintu dapur. Bagas lega menemukan istrinya di sana. Benar dugaannya, Laras sedang menyiapkan makanan untuk mereka.Laras mematikan api kompor, lantas ia memutar ke arah sumber suara yang memanggilnya."Mas Bagas," sapanya seraya tersenyum manis pada laki-laki yang masih terpaku di ambang pintu.Bagas membalas senyuman istrinya, lantas ia berjalan cepat menuju pada Laras dan langsung memeluknya.Laras terdiam dalam pelukan Bagas. Ia membalas pelukan itu dengan perasaan yang mengharu biru. 'Itu bayaran kamu hari ini. Besok pagi kamu harus siap-siap. Ada tiga orang klien yang sudah memesan kamu. Jangan sampai mereka kecewa.''Besok malam aku ingin menyenangkan s
"Mas pamit, ya? Assalamualaikum.""Walaikum salam. Hati-hati Mas Bagas."Bagas melempar senyum manis pada perempuan muda dengan daster bunga-bunga yang sedang berdiri di teras rumah. Kemudian ia segera menunggangi motornya.Sambil berdiri di teras rumah, Laras memandangi Bagas pergi.Selesai sudah dia menjadi istri dari laki-laki baik itu, karena selepas Bagas pergi dia harus kembali ke dunia barunya.Dunia yang bahkan tidak pernah Laras bayangkan. Kini dia harus bersiap-siap untuk segera berangkat memenuhi pesanan para klien."Bagas!""Hei, Bagas! Keluar kamu!"Laras yang sedang bersiap-siap di dalam kamar dibuat terkejut saat mendengar teriakan seseorang dari luar rumah.Bu Rina. Jelas dia hafal suara perempuan itu.Namun sebelum ia menemui tamu tidak diundang yang sedang marah-marah di depan pintu rumah, Laras mengintai lebih dulu dari tepi garis jendela.Bu Rina datang dengan membawa dua orang tukang pukul. Sudah bisa Laras bayangkan apa yang akan mereka lakukan jika dia tidak mem
"Uh, Laras ... terus, Sayang! Oh!"Laki-laki paruh baya itu terus saja mengerang keenakan. Laras cuma mengangkat sepasang matanya sambil memegang batang kecil yang separuhnya ia masukkan ke mulut."Lanjut lagi, Mas."Laras segera naik ke atas tubuh laki-laki itu. Dia menggoyangnya dengan penuh gairah."Ah, Laras! Udah! Saya sesak nafas!"Dasar payah!Laras segera menyudahi permainan. Ia lantas beringsut dari tubuh polos laki-laki itu."Kalau begitu, saya mau pulang," ucap Laras. Ia menoleh ke arah laki-laki tua yang masih terlentang di tengah ranjang.Orang itu cuma mengibaskan tangannya tanpa sanggup bicara lagi. Laras bergegas pergi."Mas Jarwo, ayo ke hotel selanjutnya," kata Laras setelah tiba di samping mini bus putih yang terparkir di area basement hotel.Jarwo yang sedang menikmati batang rokoknya dibuat terkejut melihat Laras sudah kembali. "Loh kok, cepet banget Mbak?" tanyanya heran."Kliennya udah keok duluan, Mas," jawab Laras dengan acuh.Jarwo mengulum senyum mendengarn
Brak!Frans yang sedang menonton video porno di layar laptopnya dibuat terkejut saat tiba-tiba saja ada yang menggebrak meja kerjanya.Wajah laki-laki itu mendongak. Tatapan tajam Laras menyambutnya.Frans tersenyum miring. Ia lantas bangkit. "Ada apa kamu tiba-tiba datang ke sini?"Laras muak dengan semua basa-basi laki-laki bajingan itu. Sambil melipat kedua tangannya di depan dada, ia berkata dengan sinis."Saya tidak mau melakukan transaksi sama anak-anak! Mestinya kamu cek dulu, berapa usia klien yang memesan saya!"Mendengar semua ocehan Laras, Frans tersenyum remeh. Sambil menaruh sebatang rokok ke mulutnya, ia berkata, "Persetan mereka masih di bawah umur, yang penting kan mereka mampu membayar kamu."Laras tercengang. Dengan penuh emosi ia menyambar batang rokok yang baru saja mau Frans nyalakan apinya. Lelaki itu dibuatnya sangat terkejut."Biadab kamu, Frans! Aku nggak mau merusak anak-anak itu! Mulai sekarang kalau kamu masih menerima transaksi dari mereka, maka aku akan k
Pagi itu sangat cerah. Laras terlihat sedang menyapu halaman. Sementara Bagas sudah berangkat bekerja sejak pukul enam pagi.Maklum lah! Tempat bekerja Bagas sekarang cukup jauh. Jadi, dia harus berangkat pagi-pagi.Ponsel jadul yang layarnya sudah buram tak henti berdering. Namun, suara sapu lidi membuat Laras tidak mendengarnya. Perempuan itu sibuk menyapu halaman."Gimana Mas?"Seorang laki-laki sedang duduk di ruangan Frans. Matanya mengincar wajah orang di depannya.Frans kesal karena Laras tidak juga menerima telepon. Entah apa yang sedang perempuan itu lakukan. Apa mungkin Laras sedang enak-enak dengan Bagas?Frans menggeleng, lantas menatap laki-laki di depannya. "Nggak ada jawaban. Sepertinya Laras sedang sibuk."Laki-laki di depan Frans memasang wajah kecewa. "Kalo gitu, boleh saya minta nomor Mbak Laras? Biar nanti saya yang menghubunginya."Frans menggeleng. "Sorry, Mas. Kalo itu nggak bisa, karena privasi kami. Mas bisa mengajukan pesanan lewat situs kami. Silahkan."Meli
"Aaah! Aaah!"Suara lenguhan kenikmatan itu menguar di seluruh kamar hotel di mana Laras berada.Tangan perempuan itu mencengkeram punggung laki-laki seumuran Bagas yang sedang bergerak dengan tempo yang cepat.Laras tak tahan dengan permainan hebat lelaki itu. Dia mulai keenakan hingga melingkarkan kedua kakinya ke pinggang lawan mainnya.Laki-laki itu bernama Zaki. Dia berasal dari kota Bandung. Usianya sekitaran 25 tahun. Zaki sudah lama menunggu saat ini tiba.Sudah lama dia menyukai Laras dan ingin sekali dapat kesempatan untuk bisa bercinta dengan bintang yang sedang bersinar di situs dewasa milik Frans itu.Zaki mengumpulkan banyak uang sampai akhirnya bisa menggumuli tubuh polos Laras sepuasnya."Ah, Mas Zaki ..."Laras hanya bisa berdesah-desah saat Zaki melakukannya sambil berdiri. Sementara setengah tubuh Laras terlentang di atas meja.Gerakan yang gencar membuat meja terus bergetar. Laras melingkarkan tangannya ke tengkuk leher Zaki, lantas mereka berciuman."Laras, aku mo
Pagi telah tiba. Laras dibuat terkejut saat mendapati kasur di sampingnya yang sudah kosong. Kemana Mas Bagas? Apa dia sudah berangkat bekerja?Masih dengan kesadaran yang belum pulih benar, Laras segera menyingkap selimut tebal yang menutupi sebagian tubuh. Lantas ia beringsut dari ranjang.Di mana Mas Bagas?Langkah kecil itu terayun menuju kamar mandi. Mungkin dia bisa melihat punggung suaminya di sana, karena tidak mungkin jam segini Mas Bagas sudah berangkat bekerja. Bahkan kumandang adzan subuh saja belum terdengar.Sepasang mata Laras memindai ke sekitar lalu fokus ke pintu kaca kamar mandi. Namun, aroma lezat nasi goreng dari arah dapur membuyarkan rasa gelisahnya."Mas Bagas?"Laki-laki yang sedang berdiri menghadap meja makan di dapur dibuat menoleh saat ia memanggilnya.Bagas menyambutnya dengan menyematkan senyum manis di wajahnya yang tampan."Laras, kamu sudah bangun?"Laras belum menjawab. Matanya melihat ke arah meja makan. Dua piring nasi goreng sudah tersaji di sana.
"Kok melamun?"Laras dibuat terkejut saat hidungnya di cubit oleh Bagas. Dilihatnya laki-laki itu yang sedang tersenyum menggodanya.Astaga, rupanya cuma halusinasinya saja. Nyatanya mereka masih berada di dalam restoran saat ini.Dan saat mata Laras melihat seorang pelayan restoran menuju pada mereka, ia mulai bergetar. "Selamat malam, Mbak Laras dan Mas Bagas! Dikarenakan hari ini ulang tahun restoran kami, jadi Mas tidak perlu membayar tagihan. Dan sebagai rasa cinta kami pada pelanggan, maka restoran kami menyajikan dessert strawberry ini untuk kalian. Selamat menikmati!"Bagas tercengang mendengar semua penuturan si pelayan. Matanya menatap ke arah Laras. Dan sang istri cuma tersenyum manis menanggapinya.'Mbak, tolong saya. Tolong katakan ini pada suami saya ...'Laras teringat saat ia meminta pelayan itu untuk membantunya membohongi Bagas.Ulang tahun restoran cuma rekayasa saja. Sebenarnya Laras sudah membayar tagihan di bagian kasir restoran tanpa sepengetahuan Bagas.Sement
Mobil taksi yang membawa Bagas dan Laras pun tiba di pelataran sebuah restoran.Bagas memindai tempat di mana mereka saat ini. Dia terkejut dengan restoran yang dipilih Laras. Bagas merasa was-was karena tidak punya cukup uang untuk duduk dan memesan makanan di dalam sana."Laras, apa tidak sebaiknya kita makan di angkringan saja? Mas nggak punya uang lebih jika uang kamu kurang nantinya."Laras tersenyum mendengar ucapan Bagas. Ia lantas menoleh ke arah restoran.Mobil-mobil mewah tampak berderet di area basement. Sedang dari dinding kaca, terlihat tampak orang-orang kaya yang sedang duduk di dalam sana.Bagas masih menatap saat mata Laras tertuju padanya. "Mas nggak usah kuatir, uang Laras insyaallah cukup kok!""Tapi ...""Udah, ayo!"Laras segera menggamit lengan Bagas, lantas menggandeng suaminya memasuki area restoran.Meja yang berada di tengah restoran yang Laras pilih. Sebagai orang yang dulu pernah hidup mewah, Bagas tahu jika itu meja VIP."Laras, kok kita duduk di sini? Me
Laras sedang mematut penampilannya di depan cermin saat terdengar suara motor yang menepi di pelataran rumah. Ah, itu pasti Mas Bagas sudah pulang. Dengan bersemangat ia segera meninggalkan kamar.Di luar rumah Bagas baru saja menepikan motornya. Dilihatnya rumah yang lampunya sudah menyala. Sepertinya Laras sudah pulang, pikir Bagas seraya berjalan mantap menuju pintu."Mas Bagas!"Kemunculan seorang perempuan saat kedua daun pintu terbuka membuat Bagas terkejut. Laras melempar senyum manis ke arahnya dengan pipi yang bersemu merah.Bagas tertegun melihat penampilan sang istri yang teramat berbeda sore ini. Laras mengenakan gaun malam warna merah panjang sampai ke lutut. Rambutnya yang panjang berkumpul di bahu kirinya. Sementara bahu kanan menampilkan kulitnya yang putih mulus disebabkan model gaunnya yang terbuka."Laras."Ia masih terkesima akan kecantikan Laras. Tatapannya membuat perempuan itu jadi tersipu malu."Mas sudah pulang?" Laras segera memecah keheningan di antara mere
Siang itu di lokasi kontruksi tempat di mana Bagas bekerja."Tambah lagi, Mas?""Sepertinya sudah cukup. Kamu bisa membantu yang lainnya menurunkan bahan bangunan yang baru datang!""Baik, Mas!"Bagas segera berjalan menuju para buruh yang sedang berkumpul di samping mobil yang mengangkut bahan bangunan."Kiri! Kiri!""Stop!"Sopir segera turun setelah menepikan mobil. Sementara para buruh segera maju untuk menurunkan ratusan semen yang diangkut."Ayo bantu!" Mandor berseru. Maka para buruh yang sedang berdiri segera maju. Tidak terkecuali dengan Bagas.Satu demi satu bahan bangunan dipikul oleh para buruh menuju tempat penyimpanan. Dari dalam mobil, Elsa memperhatikan.Meski cuaca teramat terik, dan perempuan itu sangat sensitif dengan panasnya Matahari Elsa tetap mendatangi lokasi kontruksi.Pintu mobil dibanting cukup keras. Elsa segera berjalan menuju seorang laki-laki yang sedang mencuci tangan di dekat toilet."Ehem!"Bagas yang sedang bicara dengan rekan kerjanya dibuat terkej
Pagi telah tiba. Laras dibuat terkejut saat mendapati kasur di sampingnya yang sudah kosong. Kemana Mas Bagas? Apa dia sudah berangkat bekerja?Masih dengan kesadaran yang belum pulih benar, Laras segera menyingkap selimut tebal yang menutupi sebagian tubuh. Lantas ia beringsut dari ranjang.Di mana Mas Bagas?Langkah kecil itu terayun menuju kamar mandi. Mungkin dia bisa melihat punggung suaminya di sana, karena tidak mungkin jam segini Mas Bagas sudah berangkat bekerja. Bahkan kumandang adzan subuh saja belum terdengar.Sepasang mata Laras memindai ke sekitar lalu fokus ke pintu kaca kamar mandi. Namun, aroma lezat nasi goreng dari arah dapur membuyarkan rasa gelisahnya."Mas Bagas?"Laki-laki yang sedang berdiri menghadap meja makan di dapur dibuat menoleh saat ia memanggilnya.Bagas menyambutnya dengan menyematkan senyum manis di wajahnya yang tampan."Laras, kamu sudah bangun?"Laras belum menjawab. Matanya melihat ke arah meja makan. Dua piring nasi goreng sudah tersaji di sana.
"Aaah! Aaah!"Suara lenguhan kenikmatan itu menguar di seluruh kamar hotel di mana Laras berada.Tangan perempuan itu mencengkeram punggung laki-laki seumuran Bagas yang sedang bergerak dengan tempo yang cepat.Laras tak tahan dengan permainan hebat lelaki itu. Dia mulai keenakan hingga melingkarkan kedua kakinya ke pinggang lawan mainnya.Laki-laki itu bernama Zaki. Dia berasal dari kota Bandung. Usianya sekitaran 25 tahun. Zaki sudah lama menunggu saat ini tiba.Sudah lama dia menyukai Laras dan ingin sekali dapat kesempatan untuk bisa bercinta dengan bintang yang sedang bersinar di situs dewasa milik Frans itu.Zaki mengumpulkan banyak uang sampai akhirnya bisa menggumuli tubuh polos Laras sepuasnya."Ah, Mas Zaki ..."Laras hanya bisa berdesah-desah saat Zaki melakukannya sambil berdiri. Sementara setengah tubuh Laras terlentang di atas meja.Gerakan yang gencar membuat meja terus bergetar. Laras melingkarkan tangannya ke tengkuk leher Zaki, lantas mereka berciuman."Laras, aku mo
Pagi itu sangat cerah. Laras terlihat sedang menyapu halaman. Sementara Bagas sudah berangkat bekerja sejak pukul enam pagi.Maklum lah! Tempat bekerja Bagas sekarang cukup jauh. Jadi, dia harus berangkat pagi-pagi.Ponsel jadul yang layarnya sudah buram tak henti berdering. Namun, suara sapu lidi membuat Laras tidak mendengarnya. Perempuan itu sibuk menyapu halaman."Gimana Mas?"Seorang laki-laki sedang duduk di ruangan Frans. Matanya mengincar wajah orang di depannya.Frans kesal karena Laras tidak juga menerima telepon. Entah apa yang sedang perempuan itu lakukan. Apa mungkin Laras sedang enak-enak dengan Bagas?Frans menggeleng, lantas menatap laki-laki di depannya. "Nggak ada jawaban. Sepertinya Laras sedang sibuk."Laki-laki di depan Frans memasang wajah kecewa. "Kalo gitu, boleh saya minta nomor Mbak Laras? Biar nanti saya yang menghubunginya."Frans menggeleng. "Sorry, Mas. Kalo itu nggak bisa, karena privasi kami. Mas bisa mengajukan pesanan lewat situs kami. Silahkan."Meli
Brak!Frans yang sedang menonton video porno di layar laptopnya dibuat terkejut saat tiba-tiba saja ada yang menggebrak meja kerjanya.Wajah laki-laki itu mendongak. Tatapan tajam Laras menyambutnya.Frans tersenyum miring. Ia lantas bangkit. "Ada apa kamu tiba-tiba datang ke sini?"Laras muak dengan semua basa-basi laki-laki bajingan itu. Sambil melipat kedua tangannya di depan dada, ia berkata dengan sinis."Saya tidak mau melakukan transaksi sama anak-anak! Mestinya kamu cek dulu, berapa usia klien yang memesan saya!"Mendengar semua ocehan Laras, Frans tersenyum remeh. Sambil menaruh sebatang rokok ke mulutnya, ia berkata, "Persetan mereka masih di bawah umur, yang penting kan mereka mampu membayar kamu."Laras tercengang. Dengan penuh emosi ia menyambar batang rokok yang baru saja mau Frans nyalakan apinya. Lelaki itu dibuatnya sangat terkejut."Biadab kamu, Frans! Aku nggak mau merusak anak-anak itu! Mulai sekarang kalau kamu masih menerima transaksi dari mereka, maka aku akan k
"Uh, Laras ... terus, Sayang! Oh!"Laki-laki paruh baya itu terus saja mengerang keenakan. Laras cuma mengangkat sepasang matanya sambil memegang batang kecil yang separuhnya ia masukkan ke mulut."Lanjut lagi, Mas."Laras segera naik ke atas tubuh laki-laki itu. Dia menggoyangnya dengan penuh gairah."Ah, Laras! Udah! Saya sesak nafas!"Dasar payah!Laras segera menyudahi permainan. Ia lantas beringsut dari tubuh polos laki-laki itu."Kalau begitu, saya mau pulang," ucap Laras. Ia menoleh ke arah laki-laki tua yang masih terlentang di tengah ranjang.Orang itu cuma mengibaskan tangannya tanpa sanggup bicara lagi. Laras bergegas pergi."Mas Jarwo, ayo ke hotel selanjutnya," kata Laras setelah tiba di samping mini bus putih yang terparkir di area basement hotel.Jarwo yang sedang menikmati batang rokoknya dibuat terkejut melihat Laras sudah kembali. "Loh kok, cepet banget Mbak?" tanyanya heran."Kliennya udah keok duluan, Mas," jawab Laras dengan acuh.Jarwo mengulum senyum mendengarn