Sana meregangkan tubuh. Ketika membuka matanya, dia melihat sebuah atap, lalu dia menatap sekelilingnya."Hhm ... ini di kamar."
Sana menoleh ke arah jam dinding, dia menghela nafas. "Hhm ... Udah jam satu." Gumamnya. dia ingat ada tugas yang harus dia kerjakan karena deadlinenya besok.
Dia memaksakan tubuhnya untuk bangun dan berjalan ke kamar mandi untuk cuci muka dan sikat gigi di washtafel. Kemudian dia mengganti bajunya menjadi baju tidur. Setelah itu dia kembali ke kamar.
Sana menguap, rasa kantuknya masih ada tapi setidaknya mata dia sudah bisa melek sepenuhnya. Dia menarik kursi belajar, lalu duduk disana. Ketika sudah membuka laptop di atas stand laptopnya, Sana baru menyadari di atas mejanya ada makanan. Ah ... disana juga ada notes kecil di sampingnya.
Dear anak mama
Jangan lupa di habisin ya sayang! ♡Sana tersenyum melihat notes itu, lalu dia menyimpan notes itu ke dalam laci meja belajarnya. Sepertinya dia akan makan terlebih dahulu.
Side dish yang disiapkan Adalah dua buah apel sedang, tiga buah anggur kecil, dan menu utamanya nasi dengan lauk berupa sayur-sayuran yang disukai Sana, tak lupa sisa ayam goreng yang diberikan kakaknya, berada dalam kotak.
"Hp, mana Hp?" Dia celingak-celinguk mencari Handphonenya. Ketemu! Itu berada di samping stand laptopnya, sepertinya kak Dewa yang merapikan. Sana pun akhirnya asik menscrol layar ponselnya untuk membaca komik kesukaannya dari Internet, sambil memakan makanannya.
Tak terasa tiga puluh menit telah berlalu. Makanan yang dimakannya hanya tingggal buah-buahan nya saja. Sana menyempatkan untuk melihat aplikasi chattingnya. Oh, dia melihat satu pesan masuk dari Sarah.
Sarah : Bikin dua tugasnya ya. Buat gue ☺
Sudut bibir Sana terangkat, di dahinya mungkin sekarang nampak sudut dua. Benar sekali, dia kesal! Apalagi sekarang Sarah sedang tidak aktif, percuma saja dia membalas pesannya juga. Akhirnya dia mengerjakannya. Meskipun sambil mencak-mencak, tetapi dia tetap membuatkan tugas salinan untuk Sarah, yang dia bedakan sedikit-sedikit. "Nyusahin emang anak satu!"
Tepat pukul 2.30 pagi. Dia menguap, tugas nya baru saja selesai. Tapi Sana ingat dia masih memiliki satu pekerjaan lagi, semacam tugas individu yang diberikan untuk anggota baru, di organisasinya.
Tugasnya adalah membuat cerpen, meskipun deadlinenya masih tiga hari lagi, tapi dia ingin segera menyelesaikannya.
Sana teringat sesuatu. "Dimana ya? Terakhirkan di pegang di mobil. Kertasnya dimana ya?" Gumamnya bingung, Sana pun beranjak dari kursinya, kertas itu milik Kak Firdaus, jangan sampe hilang ditangannya! Dia kemudian mengecek tas, kasurnya, isi lemari dan setiap laci yang dia miliki di kamar, tapi tetap saja hasilnya nihil.
Sana menghela nafas, dia menyerah! Dia mulai merasa frustasi! akhirnya dia kembali duduk di kursi belajar dan menyandarkan dirinya ke kursi. Dia melipat ke dua tangannya di atas meja lalu menelungkupkan wajahnya disana. "Capek!"
"Gak ada yang bener!" Keluhnya, Sana memiringkan kepalanya agar leluasa bernafas, satu tangannya menumpu kepalanya di meja. Jari-jarinya menggambar abstak di atas meja. "Orang itu juga. Pasti, dia gak bakalan suka perempuan kasar."
Sana memukul kepalanya. "Dasar bego! Kenapa punya kelakuan aneh sih!" Padahal dia selalu menunggu-nunggu orang itu, tapi dia juga tidak bisa mendekat. Ini seperti kutukan untuknya!
Dia menatap tangannya dan bergumam "Lo tuh nakutin tau gak." Kemudian Dia kembali menelungkupkan wajahnya ke dalam lipatan tangan.
***
Tuttt Tuttt Tutttt
Tangan Sana meraba-raba mencari sumber suara. Saat menemukannya dia lalu mematikan alarm dari ponsel, dan menegakkan tubuhnya, ah ternyata dia ketiduran. Matanya terbelalak melihat jam di ponselnya menunjukan pukul 6 pagi. Dia melihat kertas yang berserakan di atas mejanya, lalu menghela nafas. Dia mengacak rambutnya. "Gak tau lah." Lalu beranjak dari kursi menuju kamar mandi.
Sana menghabiskan waktu lumayan lama di dalam kamar mandi, setelah itu dia keluar menggunakan Bathrobe. Dia berjalan menuju lemari, lalu mengambil dress panjang lengan pendek dan juga outer satu set, tak lupa mengambil stoking warna kulit di bagian lemari lain.
Setelah semua pakaian dipakai, Sana mengeringkan rambutnya menggunakan hairdryer, kemudian mengikat ekor kuda rambutnya. Tak lupa dia memasukan kembali kertas-kertas tugasnya, pulpen dan binder miliknya, yang berada di atas meja ke dalam tote bag.
Sana juga memasang Smartwatch berwarna ungu di tangannya. Disana sudah menunjukan pukul 6.45. Dia mengambil apel sisa subuh tadi yang masih utuh di atas meja, lalu memakannya.
"Pasti sempet." Optimis Sana. Jarak dari rumah ke kampusnya sekitar 30 menit, dan kelas paginya dimulai pukul 8. Dia juga mengambil ponselnya yang berada di atas meja.
Kemudian Sana mengambil sneakers berwarna hitam yang berada di tempat sepatu, dekat pintu kamarnya. Apel ditangannya ia gigit di mulutnya, lalu kedua tangannya ia gunakan untuk memakaikan sepatu.
"Selesai juga. Ayo berangkat!" Gumam Sana ceria. Begitulah rutinitas Sana setiap pagi, mungkin sedikit berbeda karena hari ini agak siang. Biasanya pukul 6.30 Sana sudah siap untuk berangkat.
Sana keluar kamar sambil memakan apel ditangannya. Kamar dia dan Kak Dewa berada diatas dan bersampingan, sedangkan Mama dan Papanya berada dibawah. Katanya capek harus bolak-balik turun tangga setiap hari.
"Ehh. Tumben sepi. Biasanya rame suara Papa." Gumam Sana menuruni tangga. Saat di ujung tangga bawah, dia melihat kakaknya sedang duduk di meja makan. "Kak, Papa sama Mama dimana?"
"Argghhh."
"Itu apa kak?" Panik Sana, karena suara itu berasal dari kamar ke dua orang tuanya. Terlebih lagi seperti suara Papanya yang berteriak.
Dewa menggaruk lehernya yang tak atal. "Ngg ... kayaknya Papa lagi main di kamarnya. Gak usah di urusin."
Sana duduk di meja makan. "Main? Main apaan?" Dia sesekali melihat kamar orang tuanya, karena masih penasaran.
Dewa berpikir. "Mm ... itu Papa kan kemarin beli PS baru. Mungkin dia lagi kesenengan jadi teriak-teriak gitu."
"Ohh. Tapi kok Mama gak keluar sih?" Tanya Sana lagi, yang dia tahu Mamanya gak suka main hal seperti itu, kemudian dia meminum susunya yang sudah disiapkan diatas meja akan, sampai habis.
"Mama lagi main bareng Papa."
"Ohh ... Asik dong! Gua juga jadi pengen main ba ... "
"Jangan!" Potong Dewa
Sana menatap Dewa bingung. "Ma ... Maksud gua. Mama sama Papakan jarang main bareng kayak gitu, jadi jangan di ganggu. Kalau mau main bareng sama gua aja." Jelas Dewa, lalu dia berdehem.
Sana mengangguk saja, meskipun merasa ada yang janggal. "Kak ayo jalan. Takut telat nih gua."
Dewa melihat jam sudah pukul 7.05 agi. "Ayo. Lo lama banget!"
Sana cengengesan. "Gua kesiangan bangunnya."
Dewa menggelengkan kepala melihatnya, merekapun beranjak dari meja makan menuju garasi mobil. Sana sekalian jalan membuang buah apel yang telah habis dimakan kedalam tempat sampah yang di lewatinya. Setelah sampai mereka masuk ke dalam mobil Kakaknya, di rumah ini yang tidak bisa mengendarai kendaraan hanya dia seorang. Jadi diabelum memiliki mobil sendiri.
Dewa pun melajukan mobilnya. 30 menit kemudian mobil Dewa sampai di parkiran kampus. Sana turun disana. Dewa membuka kaca mobilnya lalu berkata. "Nanti gua jemput."
"Iya. Hati-hati kak." Ucap Sana sambil melambaikan tangan pada kakaknya, lalu berbalik pergi masuk ke kampus. Orang-orang juga banyak yang baru datang, jadi Sana merasa tenang.
Sana berjalan di koridor kampus. Letak kelasnya hari ini berada di lantai tiga, untungnya kampus dia memiliki fasilitas lift jadi tidak perlu cape naik tangga.
Sana terdorong ke depan. "Lemes amat Pren." Rangkulan Sarah hampir membuatnya terjatuh.
"Bisa gak sih, datengnya secara normal!" Sentak Sana. Sarah tertawa. Dia mencubit ke dua pipi Sana, kemudian menguyel-menguyel wajahnya menggunakan telapak tangannya.
Sana menyentak tangan Sarah dari wajahnya. "Asin anjir tangan lu!" Kemudian dia mendorong tubuh Sarah menjauh. "Gerah gue! Jangan deket-deket!" Sarah tidak kapok, dia kembali merangkul Sana kemudian menangkup pipinya lalu menjepitnya menggunakan satu tangan. "Argghh Sakit! Gua gigit tangan lo ya!"
Sarah tertawa puas, karena kasian akhirnya dia melepaskan tangannya dari wajah Sana tapi tidak rangkulannya. "Gak lupakan tugas yang gua minta semalem." Ucap Sarah setelah itu.
"Tugas yang mana!" Ucap Sana tidak peduli, dia mengusap-usap pipinya pelan sambil mengalihkan pandangannya. "Pipi lo bakal meletus loh." Ancam Sarah. Sana yang tau maksudnya, langsung menatap sengit Sarah. "Anjir emang!" Umpatnya.
"Nih tugas lo! Bayar lo!" Sana menyodorkan tugas salinan yang di khususkan untuk Sarah.
"Iya nanti gua beliin es cekek kantin."
Sana pun menggeplak kepala Sarah. "Aduh, gak kerasa." Ucap Sarah.
"Iya iya. Nanti gua beliin ayam goreng." Ucap Sarah tersenyum pada Sana. "Nabung balon gua, tiap hari." Sambil menusuk-nusuk pipi Sana.
Dia hanya mendiamkan ulah Sarah itu. Tak terasa mereka pun sampai di depan kelas, terlihat sudah banyak orang yang datang dan untung dosennya belum. Kemudian Sarah dan Sana memasuki kelas.
"Baik, kita akhiri pertemuan hari ini." Dosen itu dari tengah-tengah kelas berjalan menuju mejanya. "Ohh iya. Ibu sudah menentukan kelompok untuk tugas minggu depan."Keadaan Kelas saat ini hening. Sebenarnya hanya mahasiswa barisan depan yang mendengarkan dosen berbicara dari awal hingga akhir, sedangkan di paling belakang hanya orang-orang yang tidur. Tentu saja Sana bagian dari barisan depan, meskipun sekarang dia duduk di bagian tengah."Pj kelas disini siapa?" Tanya Dosen itu. Dinda mengangkat tangan, "Saya bu."Dosen itu berjalan ke arah kursi Dinda dan memberikan beberapa lembar kertas. "Disini sudah ada nama-nama kelompok dan tugasnya apa. Tolong bagikan pada teman-temanmu.""Baik bu. Apa bakal di presentasikan tugasnya?" Tanya Dinda, dia duduk di kursi barisan depan. Tipikal anak rajin dan pintar."Benar. Masing-masing satu kelompok setiap minggu mempresentasikan hasil belajarnya." Jelas Dosen itu, membenarkan kaca matanya yang sedikit mel
Sana menghantamkan kepalanya pada meja berkali-kali, "Dasar bego!" Umpatnya, Dan dia melakukan hal itu sudah dari tadi. Orang-orang di perpus yang melihat Sana pun, menatap aneh.Dia kemudian menempelkan pipinya diatas meja. "Apa ini akhir?" lemasnya. Sana menghela nafas. Dia menegakkan tubuhnya, lalu menopangkan wajahnya diatas satu tangan yang bersandar di atas meja. Pikirannya kosong, menatap ke sembarang arah. Dia benar-benar menyesal, Sana menghela nafas lagi.Rasanya ingin bilang kalau dia melakukannya secara tidak sadar, tapi saat itu pikirannya sadar dan jika dilihat secara penglihatan dia benar-benar membanting orang itu. Ketika dia membanting Kak Fikar rasanya jantung Sana ingin jatuh ke perut.Drtt ... drtt ... drttGetaran ponselnya membuat Sana tersadar dari lamunannya. Dia mengambil ponselnya yang berada dalam tote bag. Itu suara alarm yang menandakan kelas selanjutnya akan segera dimulai, lebih tepatnya 15 menit sebelum kelas dimulai.
Sarah menepuk pundak Sana dari belakang. Dia baru saja datang, sepertinya Sana juga sama. "Eh, Sarah." Ucap Sana menoleh padanya. Kemudian mereka berjalan bersama menuju kelas."Mau latih tanding gak?" Tawarnya. Dia tahu anak ini sedang galau karena kejadian waktu itu. Tapi dia bukan orang yang berbakat untuk menghibur orang yang sedang sedih, mungkin dengan begini suasana hati temannya ini akan lebih baik.Sana diam memikirkan jawabannya. Kemudian dia menjawab "Boleh deh. Masih sama kan harinya?""Iya. Lo maunya hari sabtu atau minggu?""Hari sabtunya aja. Besok berarti.""Oke. Anak-anak juga banyak yang nanyain lo. Semenjak lo keluar, gak pernah dateng lagi kata mereka."Sana membalas. "Gua bingung dateng juga ngapain."Sarah memutar bola matanya malas. Lalu mencubit ke dua pipi Sana. "Lo kan bisa latih tanding sama gua."Sana memukul tangannya. "Sakit!" Sarah melepaskan cubitan itu, lalu terkekeh kecil. Dia tidak tahan
Setelah 30 menit perjalanan. Dewa dan Sana sampai di tempat pelatihan beladiri yang mereka tuju. Dewa membuka bagasi mobilnya, lalu mengeluarkan tasnya dan tas Sana, tak lupa tas bekal yang berisi beberapa kotak bekal di dalamnya."Gak ada yang berubah." Gumam Sana melihat gedung di depannya, gedung tempat berlatih beladiri Sana, Sarah dan Dewa sejak mereka sekolah dasar. Tempat ini memang nostalgia sekali."Udah gak ada yang dibawa lagi?" Tanya Dewa. Sana menggelenng. "Udah gak ada. Hp udah di tangan." Tunjuk Sana.Dewa menutup semua pintu, dan memeriksa bahwa mobilnya sudah benar-benar terkunci, baru mereka berjalan memasuki gedung tersebut."Sana!" Sarah mendatanginya dan langsung merangkulnya. Dia ternyata sudah menunggu di depan pos gedung. Karena gedung putri dan putra berbeda, Kak Dewa akan berpisah dengannya disini."Tas Lo nih." Dewa memberikan tasnya, dan memberikan tas yang berisi bekal kepada Sarah. "Dari mama, buat kalian makan b
Tiba-tiba Sosok menjulang menghalangi penglihatan Sana di depannya, saat dia sedang melihat sekeliling tempat yang baru saja dia datangi, Papanya yang membawa Sana ke tempat ini. Dia juga melihat banyak orang yang sedang melakukan gerakan-gerakan aneh di sekelilingnya. "Anak baru!" Ucap anak yang berdiri di depannya itu, dia berdiri sembari mengangkat dagunya angkuh, sambil ke dua tangannya berkacak pinggang. Sana hanya diam menatap anak di depannya. "Liatkan, tadi gerakan gua. Keren kan?" Ucap anak itu, lagi. Dia mendatangi anak baru ini, karena ingin anak ini mengakui kehebatannya. Di tempat ini, tidak ada orang yang tidak memujinya. Tapi Sana sekali lagi tidak mengatakan sepatah katapun, dia masih diam menatap anak di depannya. Anak itu jadi salah tingkah, dan menurunkan tangannya dari pinggangnya karena orang yang dia ajak bicara hanya diam menatapnya tanpa emosi. "Lo bisu ya?" Tapi tidak ada jawaban sama sekali. Kemudi
Kelasnya baru saja selesai. "Mau kemana San?"Sana yang sedang fokus dengan ponsel yang di pegangnya, menjawab. "Mau nganter formulir, ke kak Firdaus."Sarah mengingat. "Ohh kakak cantik, waktu di kantin itu bukan?""Lo tau?" Sana menoleh menatap Sarah. "Mmm ...Tapi dia cowok sih."Sarah terkekeh. "Gua tau. Setelah lu pergi dari kantin, kan waktu itu ada kejadian lagi." Kemudian dia bangkit dari kursinya. "Yaudah, ya. Gua ada kumpulan juga. Bye ... "Sana mengangguk, lalu dia melihat ke arah ponselnya lagi. "Gua bilang bukan kumpulan, ya." Gumamnya.Kak Firdaus belum juga membalas pesannya. Dia sebenarnya sekalian ingin mengantarkan kertas berisi cerpen milik kak Firdaus yang waktu itu, dia pinjam.Karena tak kunjung dapat balasan akhirnya dia menyimpan ponselnya, ke dalam tote bag. Lebih baik dia menunggu di luar kelas, mungkin di taman. Tapo baru saja Sana keluar kelas, ponselnya sudah bergetar. Ah, itu ternyata balasan pesan dari kak
Klek ... pintu kamar Sana terbuka."San, Ini sisa lima makalahnya. Gua taro meja belajar lo, ya." Ucap Kak Dewa yang sudah memasuki kamarnya, di depan meja belajar Sana."Hhmm ... makasih Kak Dewa." Dia saat ini sedang fokus pada komputernya. Lalu Kak Dewa berjalan mendekat padanya. "Tidur lo terlalu dikit. Jangan di biasain.""Lo udah tau kan, jawaban gua." Jawab Sana, menatap fokus pada komputer atau PC di depannya. Jari-jari tangannya tidak berhenti di atas keyboard.Dewa tersenyum, sambil menghela nafas. "Setidaknya, kalau berterima kasih bisa sedikit lebih manis dong. Gua juga cape, loh."Sana berhenti mengetik. Lalu dia menoleh pada Kak Dewa dengan tersenyum lebar. "Makasih Kak Dewa. Berkat Lo, pekerjaan gua jadi lebih ringan. Emang Lo kakak terbaik!" Ucap Sana ceria.Dewa menutup mulutnya. "Hahh ... gua terharu banget.""Hhmm ... Jangan lupa tutup pintunya." Ucap Sana kembali datar, kemudian dia kembali fokus pada komputer di d
Brakk ... Suara gebrakan meja, membuat sebagian mahasiswa terkejut. "Kalian becanda sama saya!" Marah Bu Dosen, wajahnya bahkan terlihat sangat merah, karena terlalu kesal."Dari semua pertanyaan yang saya beri pada kalian satu-satu! Cuma Sana yang bisa jawab! Sebenernya kalian belajar bareng atau gak?!" Bu Dosen menunjuk-nunjuk anggota kelompok, yang sedang presentasi di depan sekarang.Satu kelas hening tidak ada yang berani berbicara sedikitpun. Bahkan orang yang tidur di belakang kelas dibangunkan oleh teman-teman mereka, karena takut menambah emosi dosennya.Rika akhirnya menjawab dengan percaya diri. "Kita udah diskusi kelompok Bu. Tapi Sana yang buat makalah, jadi dia yang lebih paham materi dari kita.""Huuu." Sorakan pelan dari beberapa anak terdengar. Rika belum sadar dengan ucapannya sendiri, jadi dia tetap tenang. Sedangkan Seren sudah menangis diam-diam karena kemarahan dosennya."Jadi bener! Cuma Sana yang kerja buat makalah! Dari tad
Setelah polisi datang, semua preman yang menculik Dinda, di bawa ke kantor polisi. Sebenarnya Sana tidak rela, seharusnya preman itu mati di tangannya."Awas aja kalau gua ngeliat muka orang-orang itu lagi!" Gumanya kesal.Saat ini Sana sedang duduk di kursi tunggu yang berada di klinik, tempat Kak Fikar di rawat sekarang. Ketika itu, polisi sekalian membantu mereka membawa Kak Fikar yang pingsan, ke klinik terdekat.Sedangkan Sarah dan Dinda sekarang sedang membuat laporan tentang penculikan yang sebelumnya terjadi, kepada polisi.Pikiran Sana sekarang sudah mulai jernih dan bisa di gunakan, karena pikiran dia sebelumnya hanya di penuhi ketakutan tentang kematian kak Fikar. Dia menghela nafas kasar, meskipun sekarang dia masih sedikit khawatir.Kakinya dari tadi tidak bisa diam dan terus bergerak, dan matanya menatap kosong ke depan, menunggu hasil pemeriksaan dokter di dalam.Srett ...Pintu ruang rawat Fikar terbuka, keluar l
Sana dan Sarah masih berlari, tapi bau menyengat yang berasal dari perkampungan kumuh ini seakan menjadi uji nyali bagi mereka, apalagi di tambah tanah yang becek, membuat baju mereka basah karena cipratan dari kaki mereka yang sedang berlari.Tapi masih ada satu hal yang Sana syukuri. Hari ini dia memakai celana! Dia tidak bisa membayangkan harus lari-larian menggunakan dress panjang kesukaannya.Dan di perkampungan kumuh ini banyak sekali tikungan-tingkungan kecil yang bisa mengecohkan. Istilah lainnya jalan tikusnya banyak."Belok kanan!" Ucap Sana sepelan mungkin, saat di depan mereka ada pertigaan.Orang-orang yang mengejarnya dibelakang belum sempat melihat mereka berbelok, tikungan seperti ini memang menguntungkan. Saat Sana panik berlari, Sarah menarik tangannya masuk ke dalam kamar mandi umum daerah perkampungan kumuh itu."Hah?" Tanya Sana menggunakan tatapannya saat mereka tatap-tatapan di dalam bilik kamar mandi. "Stss." Sar
Sana turun dari kamarnya ke lantai bawah, keheningan memenuhi ruangan tersebut. Papahnya pergi seperti biasa untuk urusan bisnis dan mamahnya pasti ikut pergi bersama papahnya, sedangkan kak Dewa belum pulang. Karena hari ini dia hanya memiliki satu mata kuliah, jadi dia pulang sendiri naik transportasi online.Dan pastinya dia sudah memberikan pesan pada kakaknya untuk tidak menjemputnya. Sana duduk di sofa ruang TV nya, dia baru sadar rumahnya sebesar ini, dan ternyata rasanya sangat sepi jika dia sendirian saja di dalam rumah. Dia melihat figura-figura foto yang di pajang di dinding rumahnya, dia menghela nafas."Kayaknya, temen gua gak bakal susah nyari aib gua. Tinggal dateng aja ke rumah." Gumam Sana, memperhatikan satu persatu foto-fotonya, disana ada foto dia dari masih kecil sampai terakhir foto kelulusannya waktu sma.Masa Sma ya? Sana tidak begitu mengingat banyak kenangan, ketika masa-masa smanya. Kecuali satu orang, yang sampai saat ini masih sangat
"Dinda." Panggil Hina, temannya yang baru saja datang.Dia menutup buku yang dibacanya, lalu menoleh ke arah temannya. "Lo lama banget! Gua lumutan nungguin lo dibawah pohon gini!""Ya, maap. Gua kan ngikutin dosen gua yang keluarnya ngaret." Jawab Hina, lalu duduk disamping Dinda. Dia melihat buku yang dibaca temannya itu, "Apa ini?""Lo gak tau? Ini namanya buku!"Hina menatap Dinda, "Iya gua tau. Maksudnya, ini buku apa?!""Buku novel." Tunjuknya."Emang pengen banget gua timpuk pake batu, ya. muka lo!" Kesal Hina."Novel Bumi Manusia. Karya Pramoedya Ananta Toer." Jawab Dinda akhirnya, senang sekali dia bisa menggoda temannya itu."Eh, selera lo unik ya?" Hina menatap kelangit, lalu tersenyum. "Biasanya anak remaja kaya kita, lebih suka novel romance yang ringan."Dinda menjawab. "Iya, gua kan, Makhluk langka yang perlu di museum kan.""Gak! Ayo, mending gua bawa lo langsung ke Ragunan. Biar terus
Brakk ... Suara gebrakan meja, membuat sebagian mahasiswa terkejut. "Kalian becanda sama saya!" Marah Bu Dosen, wajahnya bahkan terlihat sangat merah, karena terlalu kesal."Dari semua pertanyaan yang saya beri pada kalian satu-satu! Cuma Sana yang bisa jawab! Sebenernya kalian belajar bareng atau gak?!" Bu Dosen menunjuk-nunjuk anggota kelompok, yang sedang presentasi di depan sekarang.Satu kelas hening tidak ada yang berani berbicara sedikitpun. Bahkan orang yang tidur di belakang kelas dibangunkan oleh teman-teman mereka, karena takut menambah emosi dosennya.Rika akhirnya menjawab dengan percaya diri. "Kita udah diskusi kelompok Bu. Tapi Sana yang buat makalah, jadi dia yang lebih paham materi dari kita.""Huuu." Sorakan pelan dari beberapa anak terdengar. Rika belum sadar dengan ucapannya sendiri, jadi dia tetap tenang. Sedangkan Seren sudah menangis diam-diam karena kemarahan dosennya."Jadi bener! Cuma Sana yang kerja buat makalah! Dari tad
Klek ... pintu kamar Sana terbuka."San, Ini sisa lima makalahnya. Gua taro meja belajar lo, ya." Ucap Kak Dewa yang sudah memasuki kamarnya, di depan meja belajar Sana."Hhmm ... makasih Kak Dewa." Dia saat ini sedang fokus pada komputernya. Lalu Kak Dewa berjalan mendekat padanya. "Tidur lo terlalu dikit. Jangan di biasain.""Lo udah tau kan, jawaban gua." Jawab Sana, menatap fokus pada komputer atau PC di depannya. Jari-jari tangannya tidak berhenti di atas keyboard.Dewa tersenyum, sambil menghela nafas. "Setidaknya, kalau berterima kasih bisa sedikit lebih manis dong. Gua juga cape, loh."Sana berhenti mengetik. Lalu dia menoleh pada Kak Dewa dengan tersenyum lebar. "Makasih Kak Dewa. Berkat Lo, pekerjaan gua jadi lebih ringan. Emang Lo kakak terbaik!" Ucap Sana ceria.Dewa menutup mulutnya. "Hahh ... gua terharu banget.""Hhmm ... Jangan lupa tutup pintunya." Ucap Sana kembali datar, kemudian dia kembali fokus pada komputer di d
Kelasnya baru saja selesai. "Mau kemana San?"Sana yang sedang fokus dengan ponsel yang di pegangnya, menjawab. "Mau nganter formulir, ke kak Firdaus."Sarah mengingat. "Ohh kakak cantik, waktu di kantin itu bukan?""Lo tau?" Sana menoleh menatap Sarah. "Mmm ...Tapi dia cowok sih."Sarah terkekeh. "Gua tau. Setelah lu pergi dari kantin, kan waktu itu ada kejadian lagi." Kemudian dia bangkit dari kursinya. "Yaudah, ya. Gua ada kumpulan juga. Bye ... "Sana mengangguk, lalu dia melihat ke arah ponselnya lagi. "Gua bilang bukan kumpulan, ya." Gumamnya.Kak Firdaus belum juga membalas pesannya. Dia sebenarnya sekalian ingin mengantarkan kertas berisi cerpen milik kak Firdaus yang waktu itu, dia pinjam.Karena tak kunjung dapat balasan akhirnya dia menyimpan ponselnya, ke dalam tote bag. Lebih baik dia menunggu di luar kelas, mungkin di taman. Tapo baru saja Sana keluar kelas, ponselnya sudah bergetar. Ah, itu ternyata balasan pesan dari kak
Tiba-tiba Sosok menjulang menghalangi penglihatan Sana di depannya, saat dia sedang melihat sekeliling tempat yang baru saja dia datangi, Papanya yang membawa Sana ke tempat ini. Dia juga melihat banyak orang yang sedang melakukan gerakan-gerakan aneh di sekelilingnya. "Anak baru!" Ucap anak yang berdiri di depannya itu, dia berdiri sembari mengangkat dagunya angkuh, sambil ke dua tangannya berkacak pinggang. Sana hanya diam menatap anak di depannya. "Liatkan, tadi gerakan gua. Keren kan?" Ucap anak itu, lagi. Dia mendatangi anak baru ini, karena ingin anak ini mengakui kehebatannya. Di tempat ini, tidak ada orang yang tidak memujinya. Tapi Sana sekali lagi tidak mengatakan sepatah katapun, dia masih diam menatap anak di depannya. Anak itu jadi salah tingkah, dan menurunkan tangannya dari pinggangnya karena orang yang dia ajak bicara hanya diam menatapnya tanpa emosi. "Lo bisu ya?" Tapi tidak ada jawaban sama sekali. Kemudi
Setelah 30 menit perjalanan. Dewa dan Sana sampai di tempat pelatihan beladiri yang mereka tuju. Dewa membuka bagasi mobilnya, lalu mengeluarkan tasnya dan tas Sana, tak lupa tas bekal yang berisi beberapa kotak bekal di dalamnya."Gak ada yang berubah." Gumam Sana melihat gedung di depannya, gedung tempat berlatih beladiri Sana, Sarah dan Dewa sejak mereka sekolah dasar. Tempat ini memang nostalgia sekali."Udah gak ada yang dibawa lagi?" Tanya Dewa. Sana menggelenng. "Udah gak ada. Hp udah di tangan." Tunjuk Sana.Dewa menutup semua pintu, dan memeriksa bahwa mobilnya sudah benar-benar terkunci, baru mereka berjalan memasuki gedung tersebut."Sana!" Sarah mendatanginya dan langsung merangkulnya. Dia ternyata sudah menunggu di depan pos gedung. Karena gedung putri dan putra berbeda, Kak Dewa akan berpisah dengannya disini."Tas Lo nih." Dewa memberikan tasnya, dan memberikan tas yang berisi bekal kepada Sarah. "Dari mama, buat kalian makan b