"Baik, kita akhiri pertemuan hari ini." Dosen itu dari tengah-tengah kelas berjalan menuju mejanya. "Ohh iya. Ibu sudah menentukan kelompok untuk tugas minggu depan."
Keadaan Kelas saat ini hening. Sebenarnya hanya mahasiswa barisan depan yang mendengarkan dosen berbicara dari awal hingga akhir, sedangkan di paling belakang hanya orang-orang yang tidur. Tentu saja Sana bagian dari barisan depan, meskipun sekarang dia duduk di bagian tengah.
"Pj kelas disini siapa?" Tanya Dosen itu. Dinda mengangkat tangan, "Saya bu."
Dosen itu berjalan ke arah kursi Dinda dan memberikan beberapa lembar kertas. "Disini sudah ada nama-nama kelompok dan tugasnya apa. Tolong bagikan pada teman-temanmu."
"Baik bu. Apa bakal di presentasikan tugasnya?" Tanya Dinda, dia duduk di kursi barisan depan. Tipikal anak rajin dan pintar.
"Benar. Masing-masing satu kelompok setiap minggu mempresentasikan hasil belajarnya." Jelas Dosen itu, membenarkan kaca matanya yang sedikit melorot.
Dinda mengangguk, lalu tersenyum. "Baik Bu."
"Terimakasih, ya." Ucap Dosen pada Dinda, lalu kembali ke kursi khusus dosen disana.
"San. Masih lama gak?" Bisik Sarah disamping telinganya. Sana balas berbisik dengan jengkel. "Lu jangan tidur terus. Kita lg dibagiin kelompok."
Sarah menguap lalu menegakkan tubuhnya. Dia melihat teman-teman di barisan depannya sedang membicarakan sesuatu, dan dosennya di depan sana sedang duduk tenang, memegang ponsel.
"Emang sekarang matkul apa?" Tanya Sarah pada Sana cukup keras. Beberapa orang disamping mereka menoleh kearah Sarah dengan pandangan tidak enak. Sana menunduk, lalu menelungkupkan wajahnya kedalam lipatan tangannya di atas meja.
"Jangan ngomong sama gue!" Bisik Sana tajam. Sarah tertawa, " Santai aja kali."
"Nama yang di panggil. Tolong ambil kertas ini ke depan." Suara Dinda itu, mengintrupsi semua orang di kelas.
Kemudian satu persatu orang yang di panggil maju ke depan, sepertinya hanya perwakilan kelompok saja yang maju untuk mengambil kertasnya, tidak semuanya.
"Dewi Sana." Sana berdiri, lalu berjalan menuju kursi PJ nya di barisan depan. Sana merasa semua mata sedang tertuju kepadanya, dia sedikit merasa minder.
"Ini ada nama-nama orang di kelompok lo, ya. Di kertas juga ada topik buat tugas kelompok lo." Ucap Dinda pada Sana. Dia mengangguk lalu mengambil kertas itu, kemudian kembali pergi ke kursinya.
Sarah langsung mengambil kertas di tangan Sana, padahal dia belum duduk. Sarah melihat isi kertas itu, lalu bergumam. "Gue nya gak ada. Kita gak sekelompok San." Dia memberikan Sana kembali kertas tersebut.
Sana duduk lalu melihat kertas itu, dia memiliki 6 anggota kelompok termasuk dirinya.
"Oke semuanya. Kalian boleh memulai berdiskusi kelompok hari ini, minggu depan akan di presentasikan." Ucap Dosennya yang sudah berdiri di tengah kelas. Setelah itu semua orang sibuk mencari rekan kelompoknya begitupun juga Sana.
"Ehh?" Sana berdiri bingung, anggota kelompoknya sudah membuat lingkaran menggunakan kursi mereka dan berdiskusi. "Eh, Sana. Kayaknya lo gak muat deh. Lo tau kan disini kecil banget jaraknya, sedangkan lo..." orang itu menatap rendah Sana dari atas kebawah. "Pokoknya disini udah sempit."
Sana tertawa terpaksa, dia mengepalkan tangannya erat. " iya gak papa. Gue duduk dibelakang kalian aja."
"Maaf, ya San." Ucap yang lain.
Sana mengangguk sambil tersenyum pahit. Lalu dia duduk di kursinya yang dia bawa, dibelakang mereka yang berposisi melingkar.
Ini berawal dari Setelah Sana menyebutkan nama kelompoknya siapa saja, anggota kelompoknya langsung berkumpul, kemudian Sana berjalan ketempat berkumpul kelompoknya, setelah itu kejadiannya seperti tadi. Dia menghela nafas diam-diam.
Kemudian diskusi kelompoknya pun dilanjutkan, banyak yang mereka obrolkan. Sana dibelakang mereka hanya diam sambil melihat jam terus-menerus, berharap sisa waktu 15 menit yang dimiliki, terlewat dengan cepat.
Ketika menatap ke sembarang arah, dia tak sengaja melihat Sarah, Sana sedikit iri melihatnya, kelompok Sarah solid dan terlihat sangat kompak. Sarah itu orang yang gampang disukai oleh orang lain, sehingga mudar berbaur. Apalagi ditunjang dengan wajahnya yang cantik khas campuran, sayangnya dia hanya memiliki mantan satu karena kebanyakan yang menembak Sarah adalah perempuan. Sedangkan kebanyakan laki-laki minder mendekatinya karena takut kalah saing kerennya.
***
Saat terakhir pembagian tugas, Sana mengajukan diri sebagai pembuat makalah setelah melihat mereka membuat-buat alasan agar tidak mengerjakan makalah. Setelah keluar kelas, Sana bernafas lega. Rasanya seperti beban hidupnya terangkat semua dari pundaknya.
Dia dan Sarah sekarang sedang berjalan menuju kantin Umum di kampusnya, mereka memutuskan kesana karena kantin disana lebih besar dan banyak pilihan. Yang banyak mau bukan Sana sebenarnya, tapi orang yang berjalan di sebelahnya.
Sarah dan Sana sampai di depan kantin. "Lo cari kursi ya!" Ucap Sarah yang berjalan lebih dulu di depannya, Sana ingin berucap. Tapi Sarah lebih dulu tahu maksudnya. "Ayam gorengkan, oke nanti gua beliin."
Sana tersenyum memberikan jempolnya. Lalu dia melihat sekelilingnya, disana ramai oleh mahasiswa kelaparan sepertinya. Ah, dia menemukan meja kosong untuk empat orang. Dia berjalan ke arah meja itu lalu mendudukinya. Sana mengeluarkan ponselnya, sembari menunggu Sarah, dia membuka aplikasi tempat dimana membaca komik online.
"Makanan udah datang." Ucap Sarah meriah, Sana mendongak, kok dia merasa aneh dengan sikap orang di depannya ini, tidak seperti biasanya. Dia menatap curiga, tapi tetap mengambil ayam goreng yang di pesannya, ada tiga potong ayam goreng dan satu nasi sedangkan Sarah membeli Baso jumbo.
"Gak gua apa-apain kok makanannya." Jelas Sarah. Sana tambah curiga, dia mengkerutkan alisnya. "Beneran! Coba lo liat makannya. Gak ada apa-apakan!" Ucap Sarah lagi, membela diri.
"Ohh." Respon Sana, setelah itu dia memulai makan. Selama makan mereka hening, tidak ada yang bicara sedikitpun. Sana kembali melanjutkan menscrol Ponselnya untuk membaca komik online sembari makan.
Ketika makanan mereka tinggal sedikit, Sarah berbicara. "Apa mau gua habisin mereka itu?"
Sana mendongak, sedikit terkejut tapi dia berpura-pura tidak mengerti. Dia menaruh ponselnya ke atas meja. "Habisin siapa?"
"Jangan pura-pura gak tau. Lo di kelas tadi gak nyaman kan sama mereka. Gak di ajakin sama sekali lagi." Jawab Sarah dengan suara rendah.
Sana mendongakkan kepala keatas menatap langit, lalu menarik nafasnya kencang. Dia suka merasa terharu sampai menangis, kalau ada orang yang mengetahui kesedihannya. Karena itu dia selalu diam ketika menghadapi masalah.
"Gak usah, gak papa. Biar gua aja yang nyelesaian." Ucap Sana setelah tenang dan menurunkan kepalanya. Dia mengambil tisu yang disodorkan Sarah, untuk mengelap hidung dan sedikit air mata yang keluar di matanya.
Kemudian Sana tertawa kecil. "Udah lanjut makan aja." Tapi tidak dengan Sarah. Dia menatap Sana serius. Tapi Sana tetap melanjutkan makannya, dan tidak menggubris tatapan yang diberikan padanya.
Akhirnya mereka selesai makan. Setelah mereka menghabiskan minum, mereka beranjak dari kursi. "Abis ini mau kemana?" Tanya Sarah.
"Ke perpus. Gua mau baca." Jawab Sana. Dia juga bertanya. "Kalau lo mau kemana?"
"Club gua ngadain kumpulan dadakan."
Sana mengangguk. "Yaudah bareng aja keluar kantinnya." Sarah pun juga mengangguki.
Mereka berjalan beriringan menuju pintu keluar kantin. Sana menoleh ketika mendengar seseorang yang memanggilnya. Itu kakak tingkatnya, kak Firdaus. Sana dan Sarah pun berhenti.
"Iya, Ada apa ya kak?" Tanya Sana pada Firdaus, si ketua Jurnalistik.
"San gue gak ganggu kan?" Sana menggelengkan kepala, padahal dia sedikit berat hati menjawabnya. "Ini Formulir pendaftaran Jurnalis, nanti bagiin di kelas lo, ya. Takut ada lagi yang mau masuk Jurnalis di kelas lo." Ucap Kating itu, memberikan kertas formulirnya.
"Oke siap kak, nanti gue bagiin. Kalau udah, dikasih ke lo nya dimana?" Balas Sana bertanya. Dia menerima formulir itu. Sebenarnya dia malas.
"Makasih. Lo langsung aja anter ke kelas gue, di fakultas ekonomi kelas Bisnis. Lebih detailnya nanti gue chat aja ya." Ucap Kating yang namanya Kak Firdaus, sambil memberikannya tanda jempol oke.
"Siap kak. Gua dul ... " belum sempat Sana melanjutkan ucapannya, matanya mengintip sedikit dan terbelalak.
Dari samping kanannya tiba-tiba ada seseorang yang merangkulnya dan memotong pembicaraan. "Eh , Lo yang waktu itu di ruang Jurnaliskan? Kita belum kenalan nih." Ucap Kak Fikar yang baru datang itu, menatap Sana Sambil menunjuknya.
Fikar menoleh pada Firdaus, lalu menyapanya. "Eh, Firda." Firdaus hanya diam saja, tidak meladeni anak itu.
Sarah yang berada disamping kiri Sana, membentuk huruf Woo di mulutnya tanpa bersuara. Berani banget ni orang, tapi kalau Sana pasti bakal selow aja sih, Batinnya.
Perkiraan Sarah meleset, "Arrgghhh." Suara teriakan itu menggema di seluruh kantin, karena tangan laki-laki itu di pelintir kemudian tubuhnya di banting ke lantai oleh Sana. Sarah menahan nafas melihatnya.
Dia melihat Sana menatap tajam senior itu dan menggumamkan kata-kata yang hanya bisa di dengar oleh Sarah dan 2 senior, di depannya dan yang terkapar dilantai. "Jangan Sok kenal lo!!"
Firdaus yang mencoba mencerna apa yang sebenarnya terjadi, terdiam di tempat.
Sana menoleh menatap lelaki itu sebentar, sebelum pergi berlalu dari kantin dengan cepat. Sarah tersadar dari rasa tercengangnya karna mendengar ringisan dari korban.
"To ... longin gue."
Firdaus juga tersadar, dia menatap temannya itu dengan kasihan. Saat ingin membantu, dia menoleh karena merasa pundaknya disentuh ringan. "Mau gua bantuin gak kak. Takutnya lo gak kuat." Tawar Sarah tersenyum ramah.
Firdaus tercengang mendengar itu. "Hah?"
Sarah mengambil satu tangan Firdaus lalu mengusapnya menggunakan dua ibu jarinya dengan penuh perasaan. "Tangan lo yang indah, dan rapuh ini, bakal iritasi kalau harus ngangkat gorilla itu." Ucap Sarah tersenyum lembut.
"Dia Cowok!"
"Eh?" Sarah dan Fajar sama-sama diam. Semuanya tiba-tiba hening.
"Beneran Cowok." Ucap Fikar lagi. Dia akhirnya berusaha duduk sendiri, karena orang-orang di depannya sibuk dengan dunianya. Padahal saat ini mereka menjadi pusat perhatian, tapi apa tidak ada yang berniat menolongnya?
Sarah melepas tangan itu, lalu menggaruk belakang lehernya yang tak gatal sambil tertawa garing. "Kayaknya gua ada urusan mendadak. Dah!" Dia langsung berlari darisana secepat mungkin.
"Pfftt ... "
Secara mengejutkan wajah Firdaus sudah di depan wajah Fikar, matanya menatap tajam, lalu berbisik. "Gua bunuh kalau ketawa!" Tawa Fikar tertahan di tenggorokan. Dia terdiam dilantai.
Sana menghantamkan kepalanya pada meja berkali-kali, "Dasar bego!" Umpatnya, Dan dia melakukan hal itu sudah dari tadi. Orang-orang di perpus yang melihat Sana pun, menatap aneh.Dia kemudian menempelkan pipinya diatas meja. "Apa ini akhir?" lemasnya. Sana menghela nafas. Dia menegakkan tubuhnya, lalu menopangkan wajahnya diatas satu tangan yang bersandar di atas meja. Pikirannya kosong, menatap ke sembarang arah. Dia benar-benar menyesal, Sana menghela nafas lagi.Rasanya ingin bilang kalau dia melakukannya secara tidak sadar, tapi saat itu pikirannya sadar dan jika dilihat secara penglihatan dia benar-benar membanting orang itu. Ketika dia membanting Kak Fikar rasanya jantung Sana ingin jatuh ke perut.Drtt ... drtt ... drttGetaran ponselnya membuat Sana tersadar dari lamunannya. Dia mengambil ponselnya yang berada dalam tote bag. Itu suara alarm yang menandakan kelas selanjutnya akan segera dimulai, lebih tepatnya 15 menit sebelum kelas dimulai.
Sarah menepuk pundak Sana dari belakang. Dia baru saja datang, sepertinya Sana juga sama. "Eh, Sarah." Ucap Sana menoleh padanya. Kemudian mereka berjalan bersama menuju kelas."Mau latih tanding gak?" Tawarnya. Dia tahu anak ini sedang galau karena kejadian waktu itu. Tapi dia bukan orang yang berbakat untuk menghibur orang yang sedang sedih, mungkin dengan begini suasana hati temannya ini akan lebih baik.Sana diam memikirkan jawabannya. Kemudian dia menjawab "Boleh deh. Masih sama kan harinya?""Iya. Lo maunya hari sabtu atau minggu?""Hari sabtunya aja. Besok berarti.""Oke. Anak-anak juga banyak yang nanyain lo. Semenjak lo keluar, gak pernah dateng lagi kata mereka."Sana membalas. "Gua bingung dateng juga ngapain."Sarah memutar bola matanya malas. Lalu mencubit ke dua pipi Sana. "Lo kan bisa latih tanding sama gua."Sana memukul tangannya. "Sakit!" Sarah melepaskan cubitan itu, lalu terkekeh kecil. Dia tidak tahan
Setelah 30 menit perjalanan. Dewa dan Sana sampai di tempat pelatihan beladiri yang mereka tuju. Dewa membuka bagasi mobilnya, lalu mengeluarkan tasnya dan tas Sana, tak lupa tas bekal yang berisi beberapa kotak bekal di dalamnya."Gak ada yang berubah." Gumam Sana melihat gedung di depannya, gedung tempat berlatih beladiri Sana, Sarah dan Dewa sejak mereka sekolah dasar. Tempat ini memang nostalgia sekali."Udah gak ada yang dibawa lagi?" Tanya Dewa. Sana menggelenng. "Udah gak ada. Hp udah di tangan." Tunjuk Sana.Dewa menutup semua pintu, dan memeriksa bahwa mobilnya sudah benar-benar terkunci, baru mereka berjalan memasuki gedung tersebut."Sana!" Sarah mendatanginya dan langsung merangkulnya. Dia ternyata sudah menunggu di depan pos gedung. Karena gedung putri dan putra berbeda, Kak Dewa akan berpisah dengannya disini."Tas Lo nih." Dewa memberikan tasnya, dan memberikan tas yang berisi bekal kepada Sarah. "Dari mama, buat kalian makan b
Tiba-tiba Sosok menjulang menghalangi penglihatan Sana di depannya, saat dia sedang melihat sekeliling tempat yang baru saja dia datangi, Papanya yang membawa Sana ke tempat ini. Dia juga melihat banyak orang yang sedang melakukan gerakan-gerakan aneh di sekelilingnya. "Anak baru!" Ucap anak yang berdiri di depannya itu, dia berdiri sembari mengangkat dagunya angkuh, sambil ke dua tangannya berkacak pinggang. Sana hanya diam menatap anak di depannya. "Liatkan, tadi gerakan gua. Keren kan?" Ucap anak itu, lagi. Dia mendatangi anak baru ini, karena ingin anak ini mengakui kehebatannya. Di tempat ini, tidak ada orang yang tidak memujinya. Tapi Sana sekali lagi tidak mengatakan sepatah katapun, dia masih diam menatap anak di depannya. Anak itu jadi salah tingkah, dan menurunkan tangannya dari pinggangnya karena orang yang dia ajak bicara hanya diam menatapnya tanpa emosi. "Lo bisu ya?" Tapi tidak ada jawaban sama sekali. Kemudi
Kelasnya baru saja selesai. "Mau kemana San?"Sana yang sedang fokus dengan ponsel yang di pegangnya, menjawab. "Mau nganter formulir, ke kak Firdaus."Sarah mengingat. "Ohh kakak cantik, waktu di kantin itu bukan?""Lo tau?" Sana menoleh menatap Sarah. "Mmm ...Tapi dia cowok sih."Sarah terkekeh. "Gua tau. Setelah lu pergi dari kantin, kan waktu itu ada kejadian lagi." Kemudian dia bangkit dari kursinya. "Yaudah, ya. Gua ada kumpulan juga. Bye ... "Sana mengangguk, lalu dia melihat ke arah ponselnya lagi. "Gua bilang bukan kumpulan, ya." Gumamnya.Kak Firdaus belum juga membalas pesannya. Dia sebenarnya sekalian ingin mengantarkan kertas berisi cerpen milik kak Firdaus yang waktu itu, dia pinjam.Karena tak kunjung dapat balasan akhirnya dia menyimpan ponselnya, ke dalam tote bag. Lebih baik dia menunggu di luar kelas, mungkin di taman. Tapo baru saja Sana keluar kelas, ponselnya sudah bergetar. Ah, itu ternyata balasan pesan dari kak
Klek ... pintu kamar Sana terbuka."San, Ini sisa lima makalahnya. Gua taro meja belajar lo, ya." Ucap Kak Dewa yang sudah memasuki kamarnya, di depan meja belajar Sana."Hhmm ... makasih Kak Dewa." Dia saat ini sedang fokus pada komputernya. Lalu Kak Dewa berjalan mendekat padanya. "Tidur lo terlalu dikit. Jangan di biasain.""Lo udah tau kan, jawaban gua." Jawab Sana, menatap fokus pada komputer atau PC di depannya. Jari-jari tangannya tidak berhenti di atas keyboard.Dewa tersenyum, sambil menghela nafas. "Setidaknya, kalau berterima kasih bisa sedikit lebih manis dong. Gua juga cape, loh."Sana berhenti mengetik. Lalu dia menoleh pada Kak Dewa dengan tersenyum lebar. "Makasih Kak Dewa. Berkat Lo, pekerjaan gua jadi lebih ringan. Emang Lo kakak terbaik!" Ucap Sana ceria.Dewa menutup mulutnya. "Hahh ... gua terharu banget.""Hhmm ... Jangan lupa tutup pintunya." Ucap Sana kembali datar, kemudian dia kembali fokus pada komputer di d
Brakk ... Suara gebrakan meja, membuat sebagian mahasiswa terkejut. "Kalian becanda sama saya!" Marah Bu Dosen, wajahnya bahkan terlihat sangat merah, karena terlalu kesal."Dari semua pertanyaan yang saya beri pada kalian satu-satu! Cuma Sana yang bisa jawab! Sebenernya kalian belajar bareng atau gak?!" Bu Dosen menunjuk-nunjuk anggota kelompok, yang sedang presentasi di depan sekarang.Satu kelas hening tidak ada yang berani berbicara sedikitpun. Bahkan orang yang tidur di belakang kelas dibangunkan oleh teman-teman mereka, karena takut menambah emosi dosennya.Rika akhirnya menjawab dengan percaya diri. "Kita udah diskusi kelompok Bu. Tapi Sana yang buat makalah, jadi dia yang lebih paham materi dari kita.""Huuu." Sorakan pelan dari beberapa anak terdengar. Rika belum sadar dengan ucapannya sendiri, jadi dia tetap tenang. Sedangkan Seren sudah menangis diam-diam karena kemarahan dosennya."Jadi bener! Cuma Sana yang kerja buat makalah! Dari tad
"Dinda." Panggil Hina, temannya yang baru saja datang.Dia menutup buku yang dibacanya, lalu menoleh ke arah temannya. "Lo lama banget! Gua lumutan nungguin lo dibawah pohon gini!""Ya, maap. Gua kan ngikutin dosen gua yang keluarnya ngaret." Jawab Hina, lalu duduk disamping Dinda. Dia melihat buku yang dibaca temannya itu, "Apa ini?""Lo gak tau? Ini namanya buku!"Hina menatap Dinda, "Iya gua tau. Maksudnya, ini buku apa?!""Buku novel." Tunjuknya."Emang pengen banget gua timpuk pake batu, ya. muka lo!" Kesal Hina."Novel Bumi Manusia. Karya Pramoedya Ananta Toer." Jawab Dinda akhirnya, senang sekali dia bisa menggoda temannya itu."Eh, selera lo unik ya?" Hina menatap kelangit, lalu tersenyum. "Biasanya anak remaja kaya kita, lebih suka novel romance yang ringan."Dinda menjawab. "Iya, gua kan, Makhluk langka yang perlu di museum kan.""Gak! Ayo, mending gua bawa lo langsung ke Ragunan. Biar terus
Setelah polisi datang, semua preman yang menculik Dinda, di bawa ke kantor polisi. Sebenarnya Sana tidak rela, seharusnya preman itu mati di tangannya."Awas aja kalau gua ngeliat muka orang-orang itu lagi!" Gumanya kesal.Saat ini Sana sedang duduk di kursi tunggu yang berada di klinik, tempat Kak Fikar di rawat sekarang. Ketika itu, polisi sekalian membantu mereka membawa Kak Fikar yang pingsan, ke klinik terdekat.Sedangkan Sarah dan Dinda sekarang sedang membuat laporan tentang penculikan yang sebelumnya terjadi, kepada polisi.Pikiran Sana sekarang sudah mulai jernih dan bisa di gunakan, karena pikiran dia sebelumnya hanya di penuhi ketakutan tentang kematian kak Fikar. Dia menghela nafas kasar, meskipun sekarang dia masih sedikit khawatir.Kakinya dari tadi tidak bisa diam dan terus bergerak, dan matanya menatap kosong ke depan, menunggu hasil pemeriksaan dokter di dalam.Srett ...Pintu ruang rawat Fikar terbuka, keluar l
Sana dan Sarah masih berlari, tapi bau menyengat yang berasal dari perkampungan kumuh ini seakan menjadi uji nyali bagi mereka, apalagi di tambah tanah yang becek, membuat baju mereka basah karena cipratan dari kaki mereka yang sedang berlari.Tapi masih ada satu hal yang Sana syukuri. Hari ini dia memakai celana! Dia tidak bisa membayangkan harus lari-larian menggunakan dress panjang kesukaannya.Dan di perkampungan kumuh ini banyak sekali tikungan-tingkungan kecil yang bisa mengecohkan. Istilah lainnya jalan tikusnya banyak."Belok kanan!" Ucap Sana sepelan mungkin, saat di depan mereka ada pertigaan.Orang-orang yang mengejarnya dibelakang belum sempat melihat mereka berbelok, tikungan seperti ini memang menguntungkan. Saat Sana panik berlari, Sarah menarik tangannya masuk ke dalam kamar mandi umum daerah perkampungan kumuh itu."Hah?" Tanya Sana menggunakan tatapannya saat mereka tatap-tatapan di dalam bilik kamar mandi. "Stss." Sar
Sana turun dari kamarnya ke lantai bawah, keheningan memenuhi ruangan tersebut. Papahnya pergi seperti biasa untuk urusan bisnis dan mamahnya pasti ikut pergi bersama papahnya, sedangkan kak Dewa belum pulang. Karena hari ini dia hanya memiliki satu mata kuliah, jadi dia pulang sendiri naik transportasi online.Dan pastinya dia sudah memberikan pesan pada kakaknya untuk tidak menjemputnya. Sana duduk di sofa ruang TV nya, dia baru sadar rumahnya sebesar ini, dan ternyata rasanya sangat sepi jika dia sendirian saja di dalam rumah. Dia melihat figura-figura foto yang di pajang di dinding rumahnya, dia menghela nafas."Kayaknya, temen gua gak bakal susah nyari aib gua. Tinggal dateng aja ke rumah." Gumam Sana, memperhatikan satu persatu foto-fotonya, disana ada foto dia dari masih kecil sampai terakhir foto kelulusannya waktu sma.Masa Sma ya? Sana tidak begitu mengingat banyak kenangan, ketika masa-masa smanya. Kecuali satu orang, yang sampai saat ini masih sangat
"Dinda." Panggil Hina, temannya yang baru saja datang.Dia menutup buku yang dibacanya, lalu menoleh ke arah temannya. "Lo lama banget! Gua lumutan nungguin lo dibawah pohon gini!""Ya, maap. Gua kan ngikutin dosen gua yang keluarnya ngaret." Jawab Hina, lalu duduk disamping Dinda. Dia melihat buku yang dibaca temannya itu, "Apa ini?""Lo gak tau? Ini namanya buku!"Hina menatap Dinda, "Iya gua tau. Maksudnya, ini buku apa?!""Buku novel." Tunjuknya."Emang pengen banget gua timpuk pake batu, ya. muka lo!" Kesal Hina."Novel Bumi Manusia. Karya Pramoedya Ananta Toer." Jawab Dinda akhirnya, senang sekali dia bisa menggoda temannya itu."Eh, selera lo unik ya?" Hina menatap kelangit, lalu tersenyum. "Biasanya anak remaja kaya kita, lebih suka novel romance yang ringan."Dinda menjawab. "Iya, gua kan, Makhluk langka yang perlu di museum kan.""Gak! Ayo, mending gua bawa lo langsung ke Ragunan. Biar terus
Brakk ... Suara gebrakan meja, membuat sebagian mahasiswa terkejut. "Kalian becanda sama saya!" Marah Bu Dosen, wajahnya bahkan terlihat sangat merah, karena terlalu kesal."Dari semua pertanyaan yang saya beri pada kalian satu-satu! Cuma Sana yang bisa jawab! Sebenernya kalian belajar bareng atau gak?!" Bu Dosen menunjuk-nunjuk anggota kelompok, yang sedang presentasi di depan sekarang.Satu kelas hening tidak ada yang berani berbicara sedikitpun. Bahkan orang yang tidur di belakang kelas dibangunkan oleh teman-teman mereka, karena takut menambah emosi dosennya.Rika akhirnya menjawab dengan percaya diri. "Kita udah diskusi kelompok Bu. Tapi Sana yang buat makalah, jadi dia yang lebih paham materi dari kita.""Huuu." Sorakan pelan dari beberapa anak terdengar. Rika belum sadar dengan ucapannya sendiri, jadi dia tetap tenang. Sedangkan Seren sudah menangis diam-diam karena kemarahan dosennya."Jadi bener! Cuma Sana yang kerja buat makalah! Dari tad
Klek ... pintu kamar Sana terbuka."San, Ini sisa lima makalahnya. Gua taro meja belajar lo, ya." Ucap Kak Dewa yang sudah memasuki kamarnya, di depan meja belajar Sana."Hhmm ... makasih Kak Dewa." Dia saat ini sedang fokus pada komputernya. Lalu Kak Dewa berjalan mendekat padanya. "Tidur lo terlalu dikit. Jangan di biasain.""Lo udah tau kan, jawaban gua." Jawab Sana, menatap fokus pada komputer atau PC di depannya. Jari-jari tangannya tidak berhenti di atas keyboard.Dewa tersenyum, sambil menghela nafas. "Setidaknya, kalau berterima kasih bisa sedikit lebih manis dong. Gua juga cape, loh."Sana berhenti mengetik. Lalu dia menoleh pada Kak Dewa dengan tersenyum lebar. "Makasih Kak Dewa. Berkat Lo, pekerjaan gua jadi lebih ringan. Emang Lo kakak terbaik!" Ucap Sana ceria.Dewa menutup mulutnya. "Hahh ... gua terharu banget.""Hhmm ... Jangan lupa tutup pintunya." Ucap Sana kembali datar, kemudian dia kembali fokus pada komputer di d
Kelasnya baru saja selesai. "Mau kemana San?"Sana yang sedang fokus dengan ponsel yang di pegangnya, menjawab. "Mau nganter formulir, ke kak Firdaus."Sarah mengingat. "Ohh kakak cantik, waktu di kantin itu bukan?""Lo tau?" Sana menoleh menatap Sarah. "Mmm ...Tapi dia cowok sih."Sarah terkekeh. "Gua tau. Setelah lu pergi dari kantin, kan waktu itu ada kejadian lagi." Kemudian dia bangkit dari kursinya. "Yaudah, ya. Gua ada kumpulan juga. Bye ... "Sana mengangguk, lalu dia melihat ke arah ponselnya lagi. "Gua bilang bukan kumpulan, ya." Gumamnya.Kak Firdaus belum juga membalas pesannya. Dia sebenarnya sekalian ingin mengantarkan kertas berisi cerpen milik kak Firdaus yang waktu itu, dia pinjam.Karena tak kunjung dapat balasan akhirnya dia menyimpan ponselnya, ke dalam tote bag. Lebih baik dia menunggu di luar kelas, mungkin di taman. Tapo baru saja Sana keluar kelas, ponselnya sudah bergetar. Ah, itu ternyata balasan pesan dari kak
Tiba-tiba Sosok menjulang menghalangi penglihatan Sana di depannya, saat dia sedang melihat sekeliling tempat yang baru saja dia datangi, Papanya yang membawa Sana ke tempat ini. Dia juga melihat banyak orang yang sedang melakukan gerakan-gerakan aneh di sekelilingnya. "Anak baru!" Ucap anak yang berdiri di depannya itu, dia berdiri sembari mengangkat dagunya angkuh, sambil ke dua tangannya berkacak pinggang. Sana hanya diam menatap anak di depannya. "Liatkan, tadi gerakan gua. Keren kan?" Ucap anak itu, lagi. Dia mendatangi anak baru ini, karena ingin anak ini mengakui kehebatannya. Di tempat ini, tidak ada orang yang tidak memujinya. Tapi Sana sekali lagi tidak mengatakan sepatah katapun, dia masih diam menatap anak di depannya. Anak itu jadi salah tingkah, dan menurunkan tangannya dari pinggangnya karena orang yang dia ajak bicara hanya diam menatapnya tanpa emosi. "Lo bisu ya?" Tapi tidak ada jawaban sama sekali. Kemudi
Setelah 30 menit perjalanan. Dewa dan Sana sampai di tempat pelatihan beladiri yang mereka tuju. Dewa membuka bagasi mobilnya, lalu mengeluarkan tasnya dan tas Sana, tak lupa tas bekal yang berisi beberapa kotak bekal di dalamnya."Gak ada yang berubah." Gumam Sana melihat gedung di depannya, gedung tempat berlatih beladiri Sana, Sarah dan Dewa sejak mereka sekolah dasar. Tempat ini memang nostalgia sekali."Udah gak ada yang dibawa lagi?" Tanya Dewa. Sana menggelenng. "Udah gak ada. Hp udah di tangan." Tunjuk Sana.Dewa menutup semua pintu, dan memeriksa bahwa mobilnya sudah benar-benar terkunci, baru mereka berjalan memasuki gedung tersebut."Sana!" Sarah mendatanginya dan langsung merangkulnya. Dia ternyata sudah menunggu di depan pos gedung. Karena gedung putri dan putra berbeda, Kak Dewa akan berpisah dengannya disini."Tas Lo nih." Dewa memberikan tasnya, dan memberikan tas yang berisi bekal kepada Sarah. "Dari mama, buat kalian makan b