Sarah menepuk pundak Sana dari belakang. Dia baru saja datang, sepertinya Sana juga sama. "Eh, Sarah." Ucap Sana menoleh padanya. Kemudian mereka berjalan bersama menuju kelas.
"Mau latih tanding gak?" Tawarnya. Dia tahu anak ini sedang galau karena kejadian waktu itu. Tapi dia bukan orang yang berbakat untuk menghibur orang yang sedang sedih, mungkin dengan begini suasana hati temannya ini akan lebih baik.
Sana diam memikirkan jawabannya. Kemudian dia menjawab "Boleh deh. Masih sama kan harinya?"
"Iya. Lo maunya hari sabtu atau minggu?"
"Hari sabtunya aja. Besok berarti."
"Oke. Anak-anak juga banyak yang nanyain lo. Semenjak lo keluar, gak pernah dateng lagi kata mereka."
Sana membalas. "Gua bingung dateng juga ngapain."
Sarah memutar bola matanya malas. Lalu mencubit ke dua pipi Sana. "Lo kan bisa latih tanding sama gua."
Sana memukul tangannya. "Sakit!" Sarah melepaskan cubitan itu, lalu terkekeh kecil. Dia tidak tahan. Pipi cuby Sana seakan menggoda dia untuk mencubitnya terus.
"Gua yang males latih tanding!" Jelas Sana. Dia kemudian melanjutkan ucapannya. "Tapi kali ini gua butuh pelampiasan!" Dia Mengepalkan tangan, Dengan mata yang membara.
Sarah tersenyum lebar. dia menepuk ke dua pundak Sana dengan keras. "Nah gitu dong!" Sana menoleh cepat, menatapnya kesal.
"Tapi gua yakin gua lebih kuat! Jadi siap-siap aja kalah." Ucap Sarah sambil tertawa sombong.
Sana menatapnya sinis. "Cih!" Dia tidak bisa menyangkal, karena nyatanya Sarah sampai saat ini masih mengukuti pelatihan beladiri di tempat mereka dulu. Meskipun sekarang gelar Sarah sudah menjadi pelatih.
Mereka pun melanjutkan obrolannya sepanjang jalan, hingga mereka sampai di kelas.
***
Setelah keluar dari ruang dosennya, Sana menghirup dan mengeluarkan nafasnya lega. Karena di dalam ruangan dosennya tadi, dia merasakan hawa ketegangan yang sangat tinggi. "Selesai juga pekerjaan gua." Syukur Sana meregangkan tangannya. Dia sedang berjalan kembali menuju kelasnya.
Langkah Sana terhenti, dia merasa seperti melihat orang yang dikenalnya. Dia menoleh ke arah kanan, ah Ketemu! Ternyata itu Dinda, Pj di kelasnya. Kenapa orang itu berada di taman, depan kantor dosennya? Terlebih dia hanya diam saja dibawah pohon besar itu.
Sana tersenyum, dia berniat untuk mendatangi Dinda. Sana sudah di depan Dinda sekarang sambil tersenyum. "Lo ngapain?"
Dinda menatap gugup. "Gu ... a lagi ngadem aja di bawah pohon." Dia sangat terkejut ketika Sana mengelap keringat di leher dan wajahnya. Dia langsung mencengkram pergelangan tangan Sana.
"Dinda lo gapapa?" Tanya Sana khawatir. "Tangan sama badan lo keringetan banyak banget."
Dinda memaksakan senyumnya, keringat muncul dari pelipisnya satu persatu. "Gua gak papa!"
Sana menarik tangannya dari genggaman Dinda. Dia mengangguk mengerti. "Yaudah kalau gitu." Dia memberikan sapu tangannya pada Dinda. "Nih, buat lap keringat lo."
Dinda menerimanya. Sana tersenyum lalu menyentuh pundaknya ringan. "Jaga diri baik-baik ya!" Setelah mengucapkan itu dia pergi dari hadapan Dinda.
Sana melanjutkan perjalanannya menuju kelas, jarak dari ruang dosen menuju kelasnya lumayan jauh. Dia sudah berusaha sejauh ini jangan sampe pekerjaannya sia-sia! Dan temannya itu agak aneh. dia mengendikkan bahunya, tapi itu bukan urusannya sih.
Di tengah perjalanan Sana beristirahat sebentar di kursi taman yang sudah di sediakan. Dia bersender pada kursi itu lalu menyipitkan mata, menatap langit yang sedang mendung. Dia menikmati udara sejuk di sekitarnya. "Damainya." Gumam Sana.
Orang-orang yang lewat maupun berdiam diri di taman ini sangat sedikit, mungkin hampir tidak ada. Karena itu dia merasa sangat betah berdiam diri di ke damaian ini. Sana menegakkan tubuhnya dengan cepat. dia mendengar suara orang yang sangat di kenalnya, lalu dia menoleh mencari sumber suara itu, benar saja di lorong sana ada Kak Fikar sedang berjalan bersama Kak Firdaus disampingnya.
Tatapan mereka tak sengaja bertemu. Belum sempat Sana pergi darisana. "SANA!" teriakan itu membuatnya malu setengah mati. Dia menutupi wajahnya menggunakan kedua tangannya. mungkin saat ini wajahnya sudah merah, karena rasanya sangat panas sekali! Apalagi beberapa orang menoleh menatap mereka. Arrghh orang itu kenapa sih!!
Dia bergegas bangun dari kursinya. sebelum pergi, Sana menyempatkan untuk menoleh sekali lagi ke arah Kak Fikar. Disana orang itu masih melambaikan tangannya sambil tersenyum tidak tahu malu ke arahnya!
"SANA!" Teriakan ke dua kali itu tidak menghentikan Sana lari darisana. Dia tidak bisa berkata apa-apa.
Sana berhenti di tempat sepi, lalu berjongkok disana. Dia menutup mulutnya menggunakan satu tangannya dan menunduk. Perasaan yang membuncah dan jantung yang berdebar kencang, membuat dia tidak berdaya.
"Erghh ... apa-apan sih dia ituh!" Sana masih menutup mulutnya. Mungkin jika tidak, dia akan berteriak sekarang disini. "Cin ... ta?!" Dia menggeleng kencang. Dia tahu kalau dirinya menyukai orang itu, tapi apa yang dia pahami tentang sebuah Cinta?! Bisa gila emang! Memang lebih baik dia menjaga jarak.
Tapi tidak bisa di pungkiri dia merasa senang, karena faktanya orang itu tidak marah atau membencinya. Perasaan yang membebaninya beberapa hari ini tiba-tiba hilang entah kemana, dia merasa lega sekarang.
***
Sana memasukan semua pakaian dan barang-barang untuk latih tandingnya kali ini dengan Sarah. Dia bersandung kecil, saat memasukan semua itu. Perasaan dan moodnya sedang baik hari ini.
Sebenarnya tempat yang akan mereka datangi kali ini, merupakan tempat yang cukup istimewa, karena Sarah dan Sana awal di pertemukan dan menjadi sahabat baik disana.
Menggelikan sekali jika di ingat pertemuan pertamanya dengan Sarah. Seorang bocah kecil, yang sedikit lebih tinggi darinya dan memiliki sifat yang sangat sombong dan arogan! bisa-bisanya dulu dia memulai pertemanan dengan seseorang seperti itu.
"Dah siap!" Kemudian Sana melihat pantulannya dikaca, memeriksa apakah sudah rapih atau belum. Saat ini dia memakai dress panjangnya, berwarna hijau "Sekarang tinggal berangkat!"
Dia mengambil tas besar yang diselempangkan di tangan kanannya. Setelah diperiksa dan tidak ada yang tertinggal, Sana berjalan keluar kamarnya. Katanya hari ini juga kak Dewa akan ikut sekaligus mengantarnya. Pasti teman-temannya disana senang, karena bisa melihat pelatih idaman mereka lagi.
Saat sampai dibawah. Sana disambut oleh banyak makanan di meja makan. "Mah itu buat dibawa?"
"Bawa semuanya. Sekalian makan bareng sama teman-teman kamu disana." Titah mamahnya yang saat ini sedang memasak di dapur, yang berada disamping meja makannya.
Sana mengangguk, "Iya Mah." dia mencomot ayam goreng yang berada di atas meja makan dari dalam kotak bekal. Sembari memakannya dia duduk di kursi meja makan, menunggu kak Dewa.
"Eh, Anak gadis Papa." Papa nya baru saja keluar dari kamar sambil merentangkan tangannya lalu memeluk Sana, dia membelas pelukan itu. "Pagi-pagi begini kamu udah cerah banget, secerah matahari."
"Iya dong! Anak mamah Fina gitu loh." Bangga Sana sambil tersenyum.
"Cakep!" Papah mengusak rambut sana bangga. Lalu dia duduk di kursi meja makan. "Kamu hari ini mau kemana?"
"Mau latih tanding sama Sarah pah," jawab Sana. Dia mengambil tisu lalu menaruh sisa tulangnya diatas tisu. Kemudian Dia mengambil satu potong lagi ayam goreng.
"Bagus. Biar kuat kaya mama mu!"
Sana menatap papanya. "Papa juga pernah latih tanding bareng mama?"
"Iya dong! Tiap ma ... "
Plang ... brakk suara berisik panci yang jatuh memotong ucapan papa nya. Tapi Sana masih penasaran dengan kelanjutan cerita Papa nya.
Papa terlihat menoleh ke arah mama nya, lalu lanjut berbicara. "Maksudnya kita pernah latih tanding di tempat kamu. Dan mamah pemenangnya ha ha ha."
"Ohh ... mama hebat banget dong!" Ucap Sana Yang semakin exited.
"Iya! mama kamu waktu muda udah kaya samson kuatnya." Ucap Papanya. Dia melanjutkan ucapannya. "Makanya nurun ke kamu dan kakakmu."
Sana tertawa. "Tapi Kak Dewa lebih kuat. Medali dia aja banyak banget."
Papanya mengusap kepalanya. "Kamu juga kuat. Kalau ada cowok yang ganggu, kamu bisa langsung hajar dia! Atau gak bilang sama kakakmu biar di hajar dia!"
"Sana sendiri aja juga udah bisa ngalahin kroco-kroco kaya mereka pah." Kak Dewa yang baru saja tiba dari atas langsung menyahuti ucapan Papanya. Seperti biasa kakaknya selalu rapih dan wangi, menambah ke tampanannya.
Kak Dewa juga bergabung dengan mereka duduk di kursi meja makan. Dia juga membawa tas yang tak kalah besar sepertinya.
"Iya Pasti!" Ucap Papa nya sambil tertawa. "Kamu ikut kan sama Sana?" Tanya Papa ke kak Dewa.
"Iya pah. Dewa juga kayaknya pengen latih tanding sama pelatih-pelatih baru disana."
"Oh bagus!" Ucap Papanya menempuk pundak kak Dewa pelan. Mata mereka saling melihat satu sama lain, seperti sedang memberi kode. Kemudian kak Dewa mengangguk.
"Kalian ngapain sih?" Curiga Sana. Dia punya firasat tidak enak.
"Kita gak ngapa-ngapain. Kamu gak pergi sekarang?" Tanya papanya mengalihkan pembicaraan. Sedangkan Dewa pura-pura tidak mendengar.
"Pasti kalian mau foto aku diam-diam kan?" Tuduh Sana.
"Nggak diam-diam kok, tenang aja." Elak Papanya. Sana melotot.
"Pokoknya aku gak mau di foto! Dan jangan ambil foto aku juga!" Ketus Sana cemberut.
"Ada apa nih anak mama Marah-marah?" Ucap Mamanya datang ke meja makan membawakan makanan yang baru saja selesai di masak. Sepertinya makanan kali ini untuk Papanya.
"Itu mah. Masa Papa sama kak Dewa mau foto aku disana!" Adunya pada Mamanya.
"Emang kenapa gitu kalau di foto?" Tanya Mamanya yang sudah duduk di kursi meja makan.
Sana menatap tidak percaya pada mamanya. "Emang Foto dari pintu masuk sampe tembok atas masih kurang foto Sana!"
Papahnya tiba-tiba berbicara." Udah-udah sana pergi. Noh udah jam berapa! Takut temen-temen kamu nunggu."
Sana menatap kesal, papanya. "Iya, iya gak bakal di foto." Ucap papanya.
Sana pun bangkit dari kursinya setelah mendengar itu. Dia sedikit tidak percaya dengan ucapan papanya. Kemudian dia dan Kak Dewa menyalami Papa, Mama nya sebelum pergi.
"Hati-hati ya Sayang." Ucap mamanya pada mereka berdua. Mereka berdua mengangguk, lalu pergi menuju garasi mobil.
"Sini tasnya gua bawa." Tawar Kak Dewa padanya. Sana menggeleng." Gak usah kak, tas sama bekel yang lo bawa aja udah berat."
"Udah sini!" Kak Dewa langsung menarik tas Sana, kemudian memimpin jalan di depannya. Akhirnya dia hanya pasrah saja mengikuti kemauan kakaknya itu.
Setelah 30 menit perjalanan. Dewa dan Sana sampai di tempat pelatihan beladiri yang mereka tuju. Dewa membuka bagasi mobilnya, lalu mengeluarkan tasnya dan tas Sana, tak lupa tas bekal yang berisi beberapa kotak bekal di dalamnya."Gak ada yang berubah." Gumam Sana melihat gedung di depannya, gedung tempat berlatih beladiri Sana, Sarah dan Dewa sejak mereka sekolah dasar. Tempat ini memang nostalgia sekali."Udah gak ada yang dibawa lagi?" Tanya Dewa. Sana menggelenng. "Udah gak ada. Hp udah di tangan." Tunjuk Sana.Dewa menutup semua pintu, dan memeriksa bahwa mobilnya sudah benar-benar terkunci, baru mereka berjalan memasuki gedung tersebut."Sana!" Sarah mendatanginya dan langsung merangkulnya. Dia ternyata sudah menunggu di depan pos gedung. Karena gedung putri dan putra berbeda, Kak Dewa akan berpisah dengannya disini."Tas Lo nih." Dewa memberikan tasnya, dan memberikan tas yang berisi bekal kepada Sarah. "Dari mama, buat kalian makan b
Tiba-tiba Sosok menjulang menghalangi penglihatan Sana di depannya, saat dia sedang melihat sekeliling tempat yang baru saja dia datangi, Papanya yang membawa Sana ke tempat ini. Dia juga melihat banyak orang yang sedang melakukan gerakan-gerakan aneh di sekelilingnya. "Anak baru!" Ucap anak yang berdiri di depannya itu, dia berdiri sembari mengangkat dagunya angkuh, sambil ke dua tangannya berkacak pinggang. Sana hanya diam menatap anak di depannya. "Liatkan, tadi gerakan gua. Keren kan?" Ucap anak itu, lagi. Dia mendatangi anak baru ini, karena ingin anak ini mengakui kehebatannya. Di tempat ini, tidak ada orang yang tidak memujinya. Tapi Sana sekali lagi tidak mengatakan sepatah katapun, dia masih diam menatap anak di depannya. Anak itu jadi salah tingkah, dan menurunkan tangannya dari pinggangnya karena orang yang dia ajak bicara hanya diam menatapnya tanpa emosi. "Lo bisu ya?" Tapi tidak ada jawaban sama sekali. Kemudi
Kelasnya baru saja selesai. "Mau kemana San?"Sana yang sedang fokus dengan ponsel yang di pegangnya, menjawab. "Mau nganter formulir, ke kak Firdaus."Sarah mengingat. "Ohh kakak cantik, waktu di kantin itu bukan?""Lo tau?" Sana menoleh menatap Sarah. "Mmm ...Tapi dia cowok sih."Sarah terkekeh. "Gua tau. Setelah lu pergi dari kantin, kan waktu itu ada kejadian lagi." Kemudian dia bangkit dari kursinya. "Yaudah, ya. Gua ada kumpulan juga. Bye ... "Sana mengangguk, lalu dia melihat ke arah ponselnya lagi. "Gua bilang bukan kumpulan, ya." Gumamnya.Kak Firdaus belum juga membalas pesannya. Dia sebenarnya sekalian ingin mengantarkan kertas berisi cerpen milik kak Firdaus yang waktu itu, dia pinjam.Karena tak kunjung dapat balasan akhirnya dia menyimpan ponselnya, ke dalam tote bag. Lebih baik dia menunggu di luar kelas, mungkin di taman. Tapo baru saja Sana keluar kelas, ponselnya sudah bergetar. Ah, itu ternyata balasan pesan dari kak
Klek ... pintu kamar Sana terbuka."San, Ini sisa lima makalahnya. Gua taro meja belajar lo, ya." Ucap Kak Dewa yang sudah memasuki kamarnya, di depan meja belajar Sana."Hhmm ... makasih Kak Dewa." Dia saat ini sedang fokus pada komputernya. Lalu Kak Dewa berjalan mendekat padanya. "Tidur lo terlalu dikit. Jangan di biasain.""Lo udah tau kan, jawaban gua." Jawab Sana, menatap fokus pada komputer atau PC di depannya. Jari-jari tangannya tidak berhenti di atas keyboard.Dewa tersenyum, sambil menghela nafas. "Setidaknya, kalau berterima kasih bisa sedikit lebih manis dong. Gua juga cape, loh."Sana berhenti mengetik. Lalu dia menoleh pada Kak Dewa dengan tersenyum lebar. "Makasih Kak Dewa. Berkat Lo, pekerjaan gua jadi lebih ringan. Emang Lo kakak terbaik!" Ucap Sana ceria.Dewa menutup mulutnya. "Hahh ... gua terharu banget.""Hhmm ... Jangan lupa tutup pintunya." Ucap Sana kembali datar, kemudian dia kembali fokus pada komputer di d
Brakk ... Suara gebrakan meja, membuat sebagian mahasiswa terkejut. "Kalian becanda sama saya!" Marah Bu Dosen, wajahnya bahkan terlihat sangat merah, karena terlalu kesal."Dari semua pertanyaan yang saya beri pada kalian satu-satu! Cuma Sana yang bisa jawab! Sebenernya kalian belajar bareng atau gak?!" Bu Dosen menunjuk-nunjuk anggota kelompok, yang sedang presentasi di depan sekarang.Satu kelas hening tidak ada yang berani berbicara sedikitpun. Bahkan orang yang tidur di belakang kelas dibangunkan oleh teman-teman mereka, karena takut menambah emosi dosennya.Rika akhirnya menjawab dengan percaya diri. "Kita udah diskusi kelompok Bu. Tapi Sana yang buat makalah, jadi dia yang lebih paham materi dari kita.""Huuu." Sorakan pelan dari beberapa anak terdengar. Rika belum sadar dengan ucapannya sendiri, jadi dia tetap tenang. Sedangkan Seren sudah menangis diam-diam karena kemarahan dosennya."Jadi bener! Cuma Sana yang kerja buat makalah! Dari tad
"Dinda." Panggil Hina, temannya yang baru saja datang.Dia menutup buku yang dibacanya, lalu menoleh ke arah temannya. "Lo lama banget! Gua lumutan nungguin lo dibawah pohon gini!""Ya, maap. Gua kan ngikutin dosen gua yang keluarnya ngaret." Jawab Hina, lalu duduk disamping Dinda. Dia melihat buku yang dibaca temannya itu, "Apa ini?""Lo gak tau? Ini namanya buku!"Hina menatap Dinda, "Iya gua tau. Maksudnya, ini buku apa?!""Buku novel." Tunjuknya."Emang pengen banget gua timpuk pake batu, ya. muka lo!" Kesal Hina."Novel Bumi Manusia. Karya Pramoedya Ananta Toer." Jawab Dinda akhirnya, senang sekali dia bisa menggoda temannya itu."Eh, selera lo unik ya?" Hina menatap kelangit, lalu tersenyum. "Biasanya anak remaja kaya kita, lebih suka novel romance yang ringan."Dinda menjawab. "Iya, gua kan, Makhluk langka yang perlu di museum kan.""Gak! Ayo, mending gua bawa lo langsung ke Ragunan. Biar terus
Sana turun dari kamarnya ke lantai bawah, keheningan memenuhi ruangan tersebut. Papahnya pergi seperti biasa untuk urusan bisnis dan mamahnya pasti ikut pergi bersama papahnya, sedangkan kak Dewa belum pulang. Karena hari ini dia hanya memiliki satu mata kuliah, jadi dia pulang sendiri naik transportasi online.Dan pastinya dia sudah memberikan pesan pada kakaknya untuk tidak menjemputnya. Sana duduk di sofa ruang TV nya, dia baru sadar rumahnya sebesar ini, dan ternyata rasanya sangat sepi jika dia sendirian saja di dalam rumah. Dia melihat figura-figura foto yang di pajang di dinding rumahnya, dia menghela nafas."Kayaknya, temen gua gak bakal susah nyari aib gua. Tinggal dateng aja ke rumah." Gumam Sana, memperhatikan satu persatu foto-fotonya, disana ada foto dia dari masih kecil sampai terakhir foto kelulusannya waktu sma.Masa Sma ya? Sana tidak begitu mengingat banyak kenangan, ketika masa-masa smanya. Kecuali satu orang, yang sampai saat ini masih sangat
Sana dan Sarah masih berlari, tapi bau menyengat yang berasal dari perkampungan kumuh ini seakan menjadi uji nyali bagi mereka, apalagi di tambah tanah yang becek, membuat baju mereka basah karena cipratan dari kaki mereka yang sedang berlari.Tapi masih ada satu hal yang Sana syukuri. Hari ini dia memakai celana! Dia tidak bisa membayangkan harus lari-larian menggunakan dress panjang kesukaannya.Dan di perkampungan kumuh ini banyak sekali tikungan-tingkungan kecil yang bisa mengecohkan. Istilah lainnya jalan tikusnya banyak."Belok kanan!" Ucap Sana sepelan mungkin, saat di depan mereka ada pertigaan.Orang-orang yang mengejarnya dibelakang belum sempat melihat mereka berbelok, tikungan seperti ini memang menguntungkan. Saat Sana panik berlari, Sarah menarik tangannya masuk ke dalam kamar mandi umum daerah perkampungan kumuh itu."Hah?" Tanya Sana menggunakan tatapannya saat mereka tatap-tatapan di dalam bilik kamar mandi. "Stss." Sar
Setelah polisi datang, semua preman yang menculik Dinda, di bawa ke kantor polisi. Sebenarnya Sana tidak rela, seharusnya preman itu mati di tangannya."Awas aja kalau gua ngeliat muka orang-orang itu lagi!" Gumanya kesal.Saat ini Sana sedang duduk di kursi tunggu yang berada di klinik, tempat Kak Fikar di rawat sekarang. Ketika itu, polisi sekalian membantu mereka membawa Kak Fikar yang pingsan, ke klinik terdekat.Sedangkan Sarah dan Dinda sekarang sedang membuat laporan tentang penculikan yang sebelumnya terjadi, kepada polisi.Pikiran Sana sekarang sudah mulai jernih dan bisa di gunakan, karena pikiran dia sebelumnya hanya di penuhi ketakutan tentang kematian kak Fikar. Dia menghela nafas kasar, meskipun sekarang dia masih sedikit khawatir.Kakinya dari tadi tidak bisa diam dan terus bergerak, dan matanya menatap kosong ke depan, menunggu hasil pemeriksaan dokter di dalam.Srett ...Pintu ruang rawat Fikar terbuka, keluar l
Sana dan Sarah masih berlari, tapi bau menyengat yang berasal dari perkampungan kumuh ini seakan menjadi uji nyali bagi mereka, apalagi di tambah tanah yang becek, membuat baju mereka basah karena cipratan dari kaki mereka yang sedang berlari.Tapi masih ada satu hal yang Sana syukuri. Hari ini dia memakai celana! Dia tidak bisa membayangkan harus lari-larian menggunakan dress panjang kesukaannya.Dan di perkampungan kumuh ini banyak sekali tikungan-tingkungan kecil yang bisa mengecohkan. Istilah lainnya jalan tikusnya banyak."Belok kanan!" Ucap Sana sepelan mungkin, saat di depan mereka ada pertigaan.Orang-orang yang mengejarnya dibelakang belum sempat melihat mereka berbelok, tikungan seperti ini memang menguntungkan. Saat Sana panik berlari, Sarah menarik tangannya masuk ke dalam kamar mandi umum daerah perkampungan kumuh itu."Hah?" Tanya Sana menggunakan tatapannya saat mereka tatap-tatapan di dalam bilik kamar mandi. "Stss." Sar
Sana turun dari kamarnya ke lantai bawah, keheningan memenuhi ruangan tersebut. Papahnya pergi seperti biasa untuk urusan bisnis dan mamahnya pasti ikut pergi bersama papahnya, sedangkan kak Dewa belum pulang. Karena hari ini dia hanya memiliki satu mata kuliah, jadi dia pulang sendiri naik transportasi online.Dan pastinya dia sudah memberikan pesan pada kakaknya untuk tidak menjemputnya. Sana duduk di sofa ruang TV nya, dia baru sadar rumahnya sebesar ini, dan ternyata rasanya sangat sepi jika dia sendirian saja di dalam rumah. Dia melihat figura-figura foto yang di pajang di dinding rumahnya, dia menghela nafas."Kayaknya, temen gua gak bakal susah nyari aib gua. Tinggal dateng aja ke rumah." Gumam Sana, memperhatikan satu persatu foto-fotonya, disana ada foto dia dari masih kecil sampai terakhir foto kelulusannya waktu sma.Masa Sma ya? Sana tidak begitu mengingat banyak kenangan, ketika masa-masa smanya. Kecuali satu orang, yang sampai saat ini masih sangat
"Dinda." Panggil Hina, temannya yang baru saja datang.Dia menutup buku yang dibacanya, lalu menoleh ke arah temannya. "Lo lama banget! Gua lumutan nungguin lo dibawah pohon gini!""Ya, maap. Gua kan ngikutin dosen gua yang keluarnya ngaret." Jawab Hina, lalu duduk disamping Dinda. Dia melihat buku yang dibaca temannya itu, "Apa ini?""Lo gak tau? Ini namanya buku!"Hina menatap Dinda, "Iya gua tau. Maksudnya, ini buku apa?!""Buku novel." Tunjuknya."Emang pengen banget gua timpuk pake batu, ya. muka lo!" Kesal Hina."Novel Bumi Manusia. Karya Pramoedya Ananta Toer." Jawab Dinda akhirnya, senang sekali dia bisa menggoda temannya itu."Eh, selera lo unik ya?" Hina menatap kelangit, lalu tersenyum. "Biasanya anak remaja kaya kita, lebih suka novel romance yang ringan."Dinda menjawab. "Iya, gua kan, Makhluk langka yang perlu di museum kan.""Gak! Ayo, mending gua bawa lo langsung ke Ragunan. Biar terus
Brakk ... Suara gebrakan meja, membuat sebagian mahasiswa terkejut. "Kalian becanda sama saya!" Marah Bu Dosen, wajahnya bahkan terlihat sangat merah, karena terlalu kesal."Dari semua pertanyaan yang saya beri pada kalian satu-satu! Cuma Sana yang bisa jawab! Sebenernya kalian belajar bareng atau gak?!" Bu Dosen menunjuk-nunjuk anggota kelompok, yang sedang presentasi di depan sekarang.Satu kelas hening tidak ada yang berani berbicara sedikitpun. Bahkan orang yang tidur di belakang kelas dibangunkan oleh teman-teman mereka, karena takut menambah emosi dosennya.Rika akhirnya menjawab dengan percaya diri. "Kita udah diskusi kelompok Bu. Tapi Sana yang buat makalah, jadi dia yang lebih paham materi dari kita.""Huuu." Sorakan pelan dari beberapa anak terdengar. Rika belum sadar dengan ucapannya sendiri, jadi dia tetap tenang. Sedangkan Seren sudah menangis diam-diam karena kemarahan dosennya."Jadi bener! Cuma Sana yang kerja buat makalah! Dari tad
Klek ... pintu kamar Sana terbuka."San, Ini sisa lima makalahnya. Gua taro meja belajar lo, ya." Ucap Kak Dewa yang sudah memasuki kamarnya, di depan meja belajar Sana."Hhmm ... makasih Kak Dewa." Dia saat ini sedang fokus pada komputernya. Lalu Kak Dewa berjalan mendekat padanya. "Tidur lo terlalu dikit. Jangan di biasain.""Lo udah tau kan, jawaban gua." Jawab Sana, menatap fokus pada komputer atau PC di depannya. Jari-jari tangannya tidak berhenti di atas keyboard.Dewa tersenyum, sambil menghela nafas. "Setidaknya, kalau berterima kasih bisa sedikit lebih manis dong. Gua juga cape, loh."Sana berhenti mengetik. Lalu dia menoleh pada Kak Dewa dengan tersenyum lebar. "Makasih Kak Dewa. Berkat Lo, pekerjaan gua jadi lebih ringan. Emang Lo kakak terbaik!" Ucap Sana ceria.Dewa menutup mulutnya. "Hahh ... gua terharu banget.""Hhmm ... Jangan lupa tutup pintunya." Ucap Sana kembali datar, kemudian dia kembali fokus pada komputer di d
Kelasnya baru saja selesai. "Mau kemana San?"Sana yang sedang fokus dengan ponsel yang di pegangnya, menjawab. "Mau nganter formulir, ke kak Firdaus."Sarah mengingat. "Ohh kakak cantik, waktu di kantin itu bukan?""Lo tau?" Sana menoleh menatap Sarah. "Mmm ...Tapi dia cowok sih."Sarah terkekeh. "Gua tau. Setelah lu pergi dari kantin, kan waktu itu ada kejadian lagi." Kemudian dia bangkit dari kursinya. "Yaudah, ya. Gua ada kumpulan juga. Bye ... "Sana mengangguk, lalu dia melihat ke arah ponselnya lagi. "Gua bilang bukan kumpulan, ya." Gumamnya.Kak Firdaus belum juga membalas pesannya. Dia sebenarnya sekalian ingin mengantarkan kertas berisi cerpen milik kak Firdaus yang waktu itu, dia pinjam.Karena tak kunjung dapat balasan akhirnya dia menyimpan ponselnya, ke dalam tote bag. Lebih baik dia menunggu di luar kelas, mungkin di taman. Tapo baru saja Sana keluar kelas, ponselnya sudah bergetar. Ah, itu ternyata balasan pesan dari kak
Tiba-tiba Sosok menjulang menghalangi penglihatan Sana di depannya, saat dia sedang melihat sekeliling tempat yang baru saja dia datangi, Papanya yang membawa Sana ke tempat ini. Dia juga melihat banyak orang yang sedang melakukan gerakan-gerakan aneh di sekelilingnya. "Anak baru!" Ucap anak yang berdiri di depannya itu, dia berdiri sembari mengangkat dagunya angkuh, sambil ke dua tangannya berkacak pinggang. Sana hanya diam menatap anak di depannya. "Liatkan, tadi gerakan gua. Keren kan?" Ucap anak itu, lagi. Dia mendatangi anak baru ini, karena ingin anak ini mengakui kehebatannya. Di tempat ini, tidak ada orang yang tidak memujinya. Tapi Sana sekali lagi tidak mengatakan sepatah katapun, dia masih diam menatap anak di depannya. Anak itu jadi salah tingkah, dan menurunkan tangannya dari pinggangnya karena orang yang dia ajak bicara hanya diam menatapnya tanpa emosi. "Lo bisu ya?" Tapi tidak ada jawaban sama sekali. Kemudi
Setelah 30 menit perjalanan. Dewa dan Sana sampai di tempat pelatihan beladiri yang mereka tuju. Dewa membuka bagasi mobilnya, lalu mengeluarkan tasnya dan tas Sana, tak lupa tas bekal yang berisi beberapa kotak bekal di dalamnya."Gak ada yang berubah." Gumam Sana melihat gedung di depannya, gedung tempat berlatih beladiri Sana, Sarah dan Dewa sejak mereka sekolah dasar. Tempat ini memang nostalgia sekali."Udah gak ada yang dibawa lagi?" Tanya Dewa. Sana menggelenng. "Udah gak ada. Hp udah di tangan." Tunjuk Sana.Dewa menutup semua pintu, dan memeriksa bahwa mobilnya sudah benar-benar terkunci, baru mereka berjalan memasuki gedung tersebut."Sana!" Sarah mendatanginya dan langsung merangkulnya. Dia ternyata sudah menunggu di depan pos gedung. Karena gedung putri dan putra berbeda, Kak Dewa akan berpisah dengannya disini."Tas Lo nih." Dewa memberikan tasnya, dan memberikan tas yang berisi bekal kepada Sarah. "Dari mama, buat kalian makan b