Setelah 30 menit perjalanan. Dewa dan Sana sampai di tempat pelatihan beladiri yang mereka tuju. Dewa membuka bagasi mobilnya, lalu mengeluarkan tasnya dan tas Sana, tak lupa tas bekal yang berisi beberapa kotak bekal di dalamnya.
"Gak ada yang berubah." Gumam Sana melihat gedung di depannya, gedung tempat berlatih beladiri Sana, Sarah dan Dewa sejak mereka sekolah dasar. Tempat ini memang nostalgia sekali.
"Udah gak ada yang dibawa lagi?" Tanya Dewa. Sana menggelenng. "Udah gak ada. Hp udah di tangan." Tunjuk Sana.
Dewa menutup semua pintu, dan memeriksa bahwa mobilnya sudah benar-benar terkunci, baru mereka berjalan memasuki gedung tersebut.
"Sana!" Sarah mendatanginya dan langsung merangkulnya. Dia ternyata sudah menunggu di depan pos gedung. Karena gedung putri dan putra berbeda, Kak Dewa akan berpisah dengannya disini.
"Tas Lo nih." Dewa memberikan tasnya, dan memberikan tas yang berisi bekal kepada Sarah. "Dari mama, buat kalian makan bareng di dalem. Jangan lupa habisin ya."
"Masakan mama Fina! Enak nih pasti. Masih kak." Senang Sarah yang menerima tas bekal itu tanpa jaim - jaim. Memang Sarah doang temannya yang tidak tertarik oleh kak Dewa.
"Yaudah. Gua duluan masuk." Ucap Dewa pada Sana dan Sarah. Mereka mengangguk, dan Sana melambaikan tangannya sampai Kak Dewa sudah tidak terlihat pandangannya.
"Yaudah yok, kita masuk. Murid-murid lo udah nungguin di ruang istirahat."
Sana mengangguk semangat. "Yok."
Ketika Sana sudah masuk ke dalam gedung, dia masuk ke ruang istirahat. Disana dia melihat muka-muka orang yang di kenalnya dan muka asing yang belum pernah dilihatnya.
"Pelatih Sana!" Setelah satu orang yang bernama Ria berbicara seperti itu, semua orang yang ada di ruang istirahat langsung melihat ke arahnya.
Orang-orang yang dikenalnya langsung berlarian kearahnya, dan memeluknya.
"Pelatih! Kok gak pernah kesini?"
"Kita kangen di ajar sama pelatih Sana." Ucap yang lain.
"Pelatih Sana mau ngajar lagi?"
"Eitss .. stop ... stop kalian biarin pelatih Sananya duduk dulu, dan kalau mau nanya satu-satu. Liat tuh orangnya sampe kebingungan gitu." Ucap Sarah mendorong mereka menjauh, karena Sana terlihat sesak dikerubungi seperti itu.
Sekarang semua sudah duduk rapih berbaris, dan Sana duduk di depan mereka menggunakan kursi. Tentu saja ini pekerjaan Sarah yang mengatur murid-muridnya untuk duduk dengan rapih. Dan sekarang Belum ada yang bicara satupun.
Sana canggung. Sudah lama tidak berbicara di depan muridnya seperti ini. "Apa pelatih duduk dibawa aja ya? Biar enak ngomongnya."
"Iya"
"Ya bener"
"Iya pelatih."
Kemudian Sana duduk dibawah. Kemudian dia berdehem. "Pelatih kesini sebenarnya ingin latih tanding dengan pelatih Sarah. Jadi ada yang mau ditanyakan? Satu-satu ya."
"Pelatih Sana makin cuby dan cantik." Itu Ria muridnya, dia tertawa. "Auranya juga lebih cerah."
Sarah tertawa kecil, menyenggol bahunya menggoda Sana, tapi dia tak peduli. "Makasih Ria. Kalau Ria Gimana sekarang latihannya?"
Dia tertawa kecil. "Ria sekarang harus semangat. semenjak gak ada pelatih Sana, pelatih yang lain galak-galak."
"Kalau mau ngomongin orang jangan di depannya dong. Sindir aja." Sahut Sarah bercanda. Sana tertawa mendengarnya.
Sarah menggosok hidungnya menggunakan satu jarinya dan mendongak angkuh. "Liat aja nanti Latih tanding. Pelatih Sana pasti kalah dengan mudah!"
Sana mendengus mendengar itu. Anak-anak yang lain pun tidak peduli dengan ucapan Sarah.
Kemudian pertanyaan-pertanyaan lain berdatangan dari murid-muridnya. Jadi selama tiga puluh menit kedepan, mereka mengadakan sesi tanya jawab.
"Pelatih Sana. Hari ini harus latih kita!"
"Kita pengen dilatih sama pelatih Sana lagi, walaupun sehari!"
Kemudian murid-murid yang lain juga meminta Sana untuk melatih mereka lagi hari ini. Sana tersenyum terpaksa, dia bingung harus jawab apa. Rasanya mata dia berputar karena terlalu banyak mendengar suara.
"Hei, hei, udah! Pelatih Sana dateng kesini cuma buat latih tanding, bukan ngelatih kalian." Itu Tika. Teman seperjuangannya juga waktu itu. Sekarang dia juga sudah menjadi pelatih. Dia datang bersama Rani dan Alia, yang juga sudah menjadi seorang pelatih.
Semua mata tertuju pada mereka, dan untungnya, muridnya diam setelah mereka datang. "Apa kabar kalian?" Tanya Sana, tersenyum menatap temannya.
"Baik, kok." Jawab mereka bertiga, sambil tersenyum.
"Kalian latihan dulu sendiri! Pelatih disini, ada yang ingin dibicarakan." Ucap Alia, mengusir murid-muridnya. Meskipun sambil ngedumel, mereka akhirnya bubar.
"Datang juga kalian." Ucap Sarah, yang duduk disamping Sana. Sedangkan dia akhirnya bisa duduk dengan santai bersama teman-temannya.
Tika langsung duduk mendekati Sana. "Lo kesini bareng kak Dewa?" Ucapnya menahan senang. Sana sedikit menjauhkan diri dan mengalihkan pandangan karna temannya itu terlalu dekat. "Iya." Jawabnya
"Lo jangan terlalu deket banget!" Sana akhirnya mendorong wajah Tika.
"Tik lo ya. ketemu Sana tuh nanyain kabar dia, atau apa kek. Ini malah nanyain kakaknya." Sewot Alia, disamping Rani. Mereka duduk saling berhadapan.
"Kenapa sirik ya lo! Ini juga usaha kakak ipar mendekatkan diri!" Balas Tika tak kalah ketusnya.
Alia memeragakan seperti orang mau muntah, kemudian dia bicara. "Kaya Kak Dewa mau aja sama Lo!"
Rani hanya menatap Sana sambil tersenyum meminta maaf. Sana menggeleng sambil tersenyum. "Gak papa." Ucapnya pelan.
Memang hanya Rani temannya yang paling kalem diantara semuanya, rasanya Sana ingin memeluknya dan mengusap kepalanya karena bersyukur temannya tidak berubah seperti yang lain. Dia juga bingung, kenapa orang-orang dihidupnya kebanyakan bar-bar.
"Stss. Berisik lo pada! Gua sama Sana sekarang mau latih tanding." Ucap Sarah yang menutup ke dua mulut Tika dan Alia menggunakan kedua tangannya. Jika tidak seperti itu, mulut mereka tidak akan berhenti.
Setelah berbincang sebentar, dan berganti pakaian. Mereka akhirnya pergi ke aula tempat latih tanding, disana juga banyak murid-murid yang sedang latih tanding. Suasana nya juga sangat ramai, karena beberapa penonton ada yang bersorak cukup keras.
Rani, Tika, Alia dan Sarah tak lupa mengenalkan Sana dengan pelatih baru, yang asing dengannya. Total semua pelatih di gedung putri adalah 15 orang dan 1 master. Master adalah pelatih dari pelatih, dialah yang mengajarkan Sana beladiri sejak kelas 3 Sd hingga dia naik ke kelas 12 Sma. Karena itu dia sangat menghormati masternya ini.
"Halo master!" Ucap Sana sambil membungkukkan tubuhnya sebentar, untuk menghormati masternya.
"Ah, Sana! Gimana kabarnya?" Tanya Masternya. Masternya adalah laki-laki paruh baya. Meskipun hampir menjelang sepuh dan seluruh rambutnya berwarna putih, tetapi tubuhnya masih sangat bugar.
Sana tersenyum. " Baik, master. Master bagaimana kabarnya?"
"Sangat sehat." Jawabnya sambil tertawa. "Katanya kalian ingin latih tanding disini?"
"Iya benar master. Mohon bantuannya, master."
"Baiklah. Jangan sungkan untuk melawan cucu master." Masternya tertawa lagi, sambil menepuk-nepuk pucuk kepala Sarah yang sudah di sampingnya. Sana tertawa kecil mengejek menatap Sarah, apalagi melihat muka Sarah yang kesal karena diperlakukan seperti anak kecil. Merupakan hiburan baginya.
Mereka pun di bawa ke aula utama. Biasanya tempat itu digunakan untuk latih tanding bagi anak yang ingin mengikuti kejuaraan nasional, maupun kejuaraan provinsi.
Dan bisa di akses oleh murid perempuan ataupun laki-laki, kali ini pun penonton yang melihat Sana dan Sarah latih tanding, bukan hanya perempuan saja. Sana jadi sedikit gugup melihat penonton segitu banyaknya. Padahal dia hanya ingin latih tanding biasa di gedung putri.
Sekarang Sana dan Sarah sudah berada di dalam arena pertandingan, di tengah-tengah aula yang besar, yang ditonton oleh banyak orang. Mereka berdiri saling berhadapan.
"Mulai!"
Pertandingan pun dimulai. Mereka berdiam diri menatap satu sama lain, memikirkan strategi apa yang akan lawan mereka gunakan.
Sana pikir, Sarah adalah orang yang to the point dari perhitungannya, dia akan menggunakan tendangan lurus dengan cepat dan bertubi-tubi. Benar saja perkiraannya, untungnya dia masih bisa menghindari serangan tersebut, meskipun sedikit mengenai tubuhnya. Soal refleks Sarah memang yang paling cepat.
Sana membalas menendang mencari titik lemah Sarah. Lalu membantingnya. Semua orang refleks berteriak melihat itu! Babak pertama di menangkan oleh Sana.
"Selesai!"
Mereka beristirahat. "Boleh juga San gerakannya!" Ucap Sarah yang mendatanginya sambil membawa botol air mineral. Sana hanya tersenyum, dia masih sulit bernafas. Lalu dia menerima air yang diberikan Sarah dan meminumnya.
Kemudian pertandingan dilanjutkan. Total semua babak ada 4. Babak pertama, seperti yang kita tahu di menangkan oleh Sana. Babak kedua dimenangkan oleh Sarah. Babak ketiga dimenangkan oleh Sana lagi, dan babak terakhir di menangkan oleh Sarah lagi. Akhirnya pertandingan dinyatakan seri!
Sana telantang di pinggir arena. "Akhirnya selesai! Plong semuanya udah!" Gumamnya sambil tertawa kecil. Dia masih merasa sangat lelah.
Sana duduk, lalu menatap Sarah disampingnya, dengan senyum miring. "Hahaha." Dia tertawa mengejek. Wajahnya seolah berbicara, Mana hasil latihan setahunnya? Cuma segitu doang?
Muncul sudut dua di dahinya, Dia menatap Sana dengan aura gelap disekitarnya. "Bisa berhenti gak! Ngeselin anjir!"
***
"ERGGHHH."
"Anjir lah!"
"Jorok lo!"
"Lo kalau mau bertahak, suaranya ditahan dong. Jijik gua!"
"Ish!"
Protesan mereka hanya dianggap lalu oleh Sarah. Karena dia hanya tertawa, dan lanjut memakan makanannya. Mereka menatap kesal Sarah yang tidak merasa bersalah sedikit pun.
Sekarang mereka sedang memakan bekal yang sudah di buatkan oleh Mama Fina, di ruang istirahat khusus untuk makan.
"Gua jadi pengen cepet-cepet jadi menantu Mama Fina, biar bisa di masakin terus makanan enak kayak gini!" Ucap Tika Semangat, nasi berjatuhan dari mulutnya ketika dia berbicara.
Sana, Rani dan Alia menatap jijik Tika sedangkan Sarah tidak peduli dengan apa yang di omongin oleh Tika bahkan dia tidak menoleh sedikit pun.
"Kak Dewa gak suka sama perempuan yang kalau makan ngomong terus makannya berantakan, loh." Ucap Sana mengingatkan. Dia ingat bagaimana berisiknya Kak Dewa ketika dia berantakan dan berbicara saat makan.
Tika langsung sigap duduk tegap dan rapih. "Gua bakal kalem."
Sana menatap prihatin Tika, kemudian berbicara. "Cuma info aja nih. Kak Dewa udah punya pasangan."
Tika menyemburkan nasi dari mulutnya. Mulutnya menganga, mendengar ucapan Sana.
"IYYUH banget lo Tika!" Teriak Alia yang jijik melihat nasi yang berhamburan ke tangan dan tempat makan miliknya. Sedangkan yang lain hanya menampilkan raut jijik ingin muntah melihat itu.
Mereka pun berdiri untuk mencari lagi tempat untuk makan, dan terpenting Tika tidak diajak oleh mereka.
"Jangan tinggalin gua!" Protes Tika.
"Ogah! Beresin tuh bekas lo." Ketus Alia jijik. Dia kemudian berjalan mengikuti ke tiga temannya pergi darisana.
Tiba-tiba Sosok menjulang menghalangi penglihatan Sana di depannya, saat dia sedang melihat sekeliling tempat yang baru saja dia datangi, Papanya yang membawa Sana ke tempat ini. Dia juga melihat banyak orang yang sedang melakukan gerakan-gerakan aneh di sekelilingnya. "Anak baru!" Ucap anak yang berdiri di depannya itu, dia berdiri sembari mengangkat dagunya angkuh, sambil ke dua tangannya berkacak pinggang. Sana hanya diam menatap anak di depannya. "Liatkan, tadi gerakan gua. Keren kan?" Ucap anak itu, lagi. Dia mendatangi anak baru ini, karena ingin anak ini mengakui kehebatannya. Di tempat ini, tidak ada orang yang tidak memujinya. Tapi Sana sekali lagi tidak mengatakan sepatah katapun, dia masih diam menatap anak di depannya. Anak itu jadi salah tingkah, dan menurunkan tangannya dari pinggangnya karena orang yang dia ajak bicara hanya diam menatapnya tanpa emosi. "Lo bisu ya?" Tapi tidak ada jawaban sama sekali. Kemudi
Kelasnya baru saja selesai. "Mau kemana San?"Sana yang sedang fokus dengan ponsel yang di pegangnya, menjawab. "Mau nganter formulir, ke kak Firdaus."Sarah mengingat. "Ohh kakak cantik, waktu di kantin itu bukan?""Lo tau?" Sana menoleh menatap Sarah. "Mmm ...Tapi dia cowok sih."Sarah terkekeh. "Gua tau. Setelah lu pergi dari kantin, kan waktu itu ada kejadian lagi." Kemudian dia bangkit dari kursinya. "Yaudah, ya. Gua ada kumpulan juga. Bye ... "Sana mengangguk, lalu dia melihat ke arah ponselnya lagi. "Gua bilang bukan kumpulan, ya." Gumamnya.Kak Firdaus belum juga membalas pesannya. Dia sebenarnya sekalian ingin mengantarkan kertas berisi cerpen milik kak Firdaus yang waktu itu, dia pinjam.Karena tak kunjung dapat balasan akhirnya dia menyimpan ponselnya, ke dalam tote bag. Lebih baik dia menunggu di luar kelas, mungkin di taman. Tapo baru saja Sana keluar kelas, ponselnya sudah bergetar. Ah, itu ternyata balasan pesan dari kak
Klek ... pintu kamar Sana terbuka."San, Ini sisa lima makalahnya. Gua taro meja belajar lo, ya." Ucap Kak Dewa yang sudah memasuki kamarnya, di depan meja belajar Sana."Hhmm ... makasih Kak Dewa." Dia saat ini sedang fokus pada komputernya. Lalu Kak Dewa berjalan mendekat padanya. "Tidur lo terlalu dikit. Jangan di biasain.""Lo udah tau kan, jawaban gua." Jawab Sana, menatap fokus pada komputer atau PC di depannya. Jari-jari tangannya tidak berhenti di atas keyboard.Dewa tersenyum, sambil menghela nafas. "Setidaknya, kalau berterima kasih bisa sedikit lebih manis dong. Gua juga cape, loh."Sana berhenti mengetik. Lalu dia menoleh pada Kak Dewa dengan tersenyum lebar. "Makasih Kak Dewa. Berkat Lo, pekerjaan gua jadi lebih ringan. Emang Lo kakak terbaik!" Ucap Sana ceria.Dewa menutup mulutnya. "Hahh ... gua terharu banget.""Hhmm ... Jangan lupa tutup pintunya." Ucap Sana kembali datar, kemudian dia kembali fokus pada komputer di d
Brakk ... Suara gebrakan meja, membuat sebagian mahasiswa terkejut. "Kalian becanda sama saya!" Marah Bu Dosen, wajahnya bahkan terlihat sangat merah, karena terlalu kesal."Dari semua pertanyaan yang saya beri pada kalian satu-satu! Cuma Sana yang bisa jawab! Sebenernya kalian belajar bareng atau gak?!" Bu Dosen menunjuk-nunjuk anggota kelompok, yang sedang presentasi di depan sekarang.Satu kelas hening tidak ada yang berani berbicara sedikitpun. Bahkan orang yang tidur di belakang kelas dibangunkan oleh teman-teman mereka, karena takut menambah emosi dosennya.Rika akhirnya menjawab dengan percaya diri. "Kita udah diskusi kelompok Bu. Tapi Sana yang buat makalah, jadi dia yang lebih paham materi dari kita.""Huuu." Sorakan pelan dari beberapa anak terdengar. Rika belum sadar dengan ucapannya sendiri, jadi dia tetap tenang. Sedangkan Seren sudah menangis diam-diam karena kemarahan dosennya."Jadi bener! Cuma Sana yang kerja buat makalah! Dari tad
"Dinda." Panggil Hina, temannya yang baru saja datang.Dia menutup buku yang dibacanya, lalu menoleh ke arah temannya. "Lo lama banget! Gua lumutan nungguin lo dibawah pohon gini!""Ya, maap. Gua kan ngikutin dosen gua yang keluarnya ngaret." Jawab Hina, lalu duduk disamping Dinda. Dia melihat buku yang dibaca temannya itu, "Apa ini?""Lo gak tau? Ini namanya buku!"Hina menatap Dinda, "Iya gua tau. Maksudnya, ini buku apa?!""Buku novel." Tunjuknya."Emang pengen banget gua timpuk pake batu, ya. muka lo!" Kesal Hina."Novel Bumi Manusia. Karya Pramoedya Ananta Toer." Jawab Dinda akhirnya, senang sekali dia bisa menggoda temannya itu."Eh, selera lo unik ya?" Hina menatap kelangit, lalu tersenyum. "Biasanya anak remaja kaya kita, lebih suka novel romance yang ringan."Dinda menjawab. "Iya, gua kan, Makhluk langka yang perlu di museum kan.""Gak! Ayo, mending gua bawa lo langsung ke Ragunan. Biar terus
Sana turun dari kamarnya ke lantai bawah, keheningan memenuhi ruangan tersebut. Papahnya pergi seperti biasa untuk urusan bisnis dan mamahnya pasti ikut pergi bersama papahnya, sedangkan kak Dewa belum pulang. Karena hari ini dia hanya memiliki satu mata kuliah, jadi dia pulang sendiri naik transportasi online.Dan pastinya dia sudah memberikan pesan pada kakaknya untuk tidak menjemputnya. Sana duduk di sofa ruang TV nya, dia baru sadar rumahnya sebesar ini, dan ternyata rasanya sangat sepi jika dia sendirian saja di dalam rumah. Dia melihat figura-figura foto yang di pajang di dinding rumahnya, dia menghela nafas."Kayaknya, temen gua gak bakal susah nyari aib gua. Tinggal dateng aja ke rumah." Gumam Sana, memperhatikan satu persatu foto-fotonya, disana ada foto dia dari masih kecil sampai terakhir foto kelulusannya waktu sma.Masa Sma ya? Sana tidak begitu mengingat banyak kenangan, ketika masa-masa smanya. Kecuali satu orang, yang sampai saat ini masih sangat
Sana dan Sarah masih berlari, tapi bau menyengat yang berasal dari perkampungan kumuh ini seakan menjadi uji nyali bagi mereka, apalagi di tambah tanah yang becek, membuat baju mereka basah karena cipratan dari kaki mereka yang sedang berlari.Tapi masih ada satu hal yang Sana syukuri. Hari ini dia memakai celana! Dia tidak bisa membayangkan harus lari-larian menggunakan dress panjang kesukaannya.Dan di perkampungan kumuh ini banyak sekali tikungan-tingkungan kecil yang bisa mengecohkan. Istilah lainnya jalan tikusnya banyak."Belok kanan!" Ucap Sana sepelan mungkin, saat di depan mereka ada pertigaan.Orang-orang yang mengejarnya dibelakang belum sempat melihat mereka berbelok, tikungan seperti ini memang menguntungkan. Saat Sana panik berlari, Sarah menarik tangannya masuk ke dalam kamar mandi umum daerah perkampungan kumuh itu."Hah?" Tanya Sana menggunakan tatapannya saat mereka tatap-tatapan di dalam bilik kamar mandi. "Stss." Sar
Setelah polisi datang, semua preman yang menculik Dinda, di bawa ke kantor polisi. Sebenarnya Sana tidak rela, seharusnya preman itu mati di tangannya."Awas aja kalau gua ngeliat muka orang-orang itu lagi!" Gumanya kesal.Saat ini Sana sedang duduk di kursi tunggu yang berada di klinik, tempat Kak Fikar di rawat sekarang. Ketika itu, polisi sekalian membantu mereka membawa Kak Fikar yang pingsan, ke klinik terdekat.Sedangkan Sarah dan Dinda sekarang sedang membuat laporan tentang penculikan yang sebelumnya terjadi, kepada polisi.Pikiran Sana sekarang sudah mulai jernih dan bisa di gunakan, karena pikiran dia sebelumnya hanya di penuhi ketakutan tentang kematian kak Fikar. Dia menghela nafas kasar, meskipun sekarang dia masih sedikit khawatir.Kakinya dari tadi tidak bisa diam dan terus bergerak, dan matanya menatap kosong ke depan, menunggu hasil pemeriksaan dokter di dalam.Srett ...Pintu ruang rawat Fikar terbuka, keluar l
Setelah polisi datang, semua preman yang menculik Dinda, di bawa ke kantor polisi. Sebenarnya Sana tidak rela, seharusnya preman itu mati di tangannya."Awas aja kalau gua ngeliat muka orang-orang itu lagi!" Gumanya kesal.Saat ini Sana sedang duduk di kursi tunggu yang berada di klinik, tempat Kak Fikar di rawat sekarang. Ketika itu, polisi sekalian membantu mereka membawa Kak Fikar yang pingsan, ke klinik terdekat.Sedangkan Sarah dan Dinda sekarang sedang membuat laporan tentang penculikan yang sebelumnya terjadi, kepada polisi.Pikiran Sana sekarang sudah mulai jernih dan bisa di gunakan, karena pikiran dia sebelumnya hanya di penuhi ketakutan tentang kematian kak Fikar. Dia menghela nafas kasar, meskipun sekarang dia masih sedikit khawatir.Kakinya dari tadi tidak bisa diam dan terus bergerak, dan matanya menatap kosong ke depan, menunggu hasil pemeriksaan dokter di dalam.Srett ...Pintu ruang rawat Fikar terbuka, keluar l
Sana dan Sarah masih berlari, tapi bau menyengat yang berasal dari perkampungan kumuh ini seakan menjadi uji nyali bagi mereka, apalagi di tambah tanah yang becek, membuat baju mereka basah karena cipratan dari kaki mereka yang sedang berlari.Tapi masih ada satu hal yang Sana syukuri. Hari ini dia memakai celana! Dia tidak bisa membayangkan harus lari-larian menggunakan dress panjang kesukaannya.Dan di perkampungan kumuh ini banyak sekali tikungan-tingkungan kecil yang bisa mengecohkan. Istilah lainnya jalan tikusnya banyak."Belok kanan!" Ucap Sana sepelan mungkin, saat di depan mereka ada pertigaan.Orang-orang yang mengejarnya dibelakang belum sempat melihat mereka berbelok, tikungan seperti ini memang menguntungkan. Saat Sana panik berlari, Sarah menarik tangannya masuk ke dalam kamar mandi umum daerah perkampungan kumuh itu."Hah?" Tanya Sana menggunakan tatapannya saat mereka tatap-tatapan di dalam bilik kamar mandi. "Stss." Sar
Sana turun dari kamarnya ke lantai bawah, keheningan memenuhi ruangan tersebut. Papahnya pergi seperti biasa untuk urusan bisnis dan mamahnya pasti ikut pergi bersama papahnya, sedangkan kak Dewa belum pulang. Karena hari ini dia hanya memiliki satu mata kuliah, jadi dia pulang sendiri naik transportasi online.Dan pastinya dia sudah memberikan pesan pada kakaknya untuk tidak menjemputnya. Sana duduk di sofa ruang TV nya, dia baru sadar rumahnya sebesar ini, dan ternyata rasanya sangat sepi jika dia sendirian saja di dalam rumah. Dia melihat figura-figura foto yang di pajang di dinding rumahnya, dia menghela nafas."Kayaknya, temen gua gak bakal susah nyari aib gua. Tinggal dateng aja ke rumah." Gumam Sana, memperhatikan satu persatu foto-fotonya, disana ada foto dia dari masih kecil sampai terakhir foto kelulusannya waktu sma.Masa Sma ya? Sana tidak begitu mengingat banyak kenangan, ketika masa-masa smanya. Kecuali satu orang, yang sampai saat ini masih sangat
"Dinda." Panggil Hina, temannya yang baru saja datang.Dia menutup buku yang dibacanya, lalu menoleh ke arah temannya. "Lo lama banget! Gua lumutan nungguin lo dibawah pohon gini!""Ya, maap. Gua kan ngikutin dosen gua yang keluarnya ngaret." Jawab Hina, lalu duduk disamping Dinda. Dia melihat buku yang dibaca temannya itu, "Apa ini?""Lo gak tau? Ini namanya buku!"Hina menatap Dinda, "Iya gua tau. Maksudnya, ini buku apa?!""Buku novel." Tunjuknya."Emang pengen banget gua timpuk pake batu, ya. muka lo!" Kesal Hina."Novel Bumi Manusia. Karya Pramoedya Ananta Toer." Jawab Dinda akhirnya, senang sekali dia bisa menggoda temannya itu."Eh, selera lo unik ya?" Hina menatap kelangit, lalu tersenyum. "Biasanya anak remaja kaya kita, lebih suka novel romance yang ringan."Dinda menjawab. "Iya, gua kan, Makhluk langka yang perlu di museum kan.""Gak! Ayo, mending gua bawa lo langsung ke Ragunan. Biar terus
Brakk ... Suara gebrakan meja, membuat sebagian mahasiswa terkejut. "Kalian becanda sama saya!" Marah Bu Dosen, wajahnya bahkan terlihat sangat merah, karena terlalu kesal."Dari semua pertanyaan yang saya beri pada kalian satu-satu! Cuma Sana yang bisa jawab! Sebenernya kalian belajar bareng atau gak?!" Bu Dosen menunjuk-nunjuk anggota kelompok, yang sedang presentasi di depan sekarang.Satu kelas hening tidak ada yang berani berbicara sedikitpun. Bahkan orang yang tidur di belakang kelas dibangunkan oleh teman-teman mereka, karena takut menambah emosi dosennya.Rika akhirnya menjawab dengan percaya diri. "Kita udah diskusi kelompok Bu. Tapi Sana yang buat makalah, jadi dia yang lebih paham materi dari kita.""Huuu." Sorakan pelan dari beberapa anak terdengar. Rika belum sadar dengan ucapannya sendiri, jadi dia tetap tenang. Sedangkan Seren sudah menangis diam-diam karena kemarahan dosennya."Jadi bener! Cuma Sana yang kerja buat makalah! Dari tad
Klek ... pintu kamar Sana terbuka."San, Ini sisa lima makalahnya. Gua taro meja belajar lo, ya." Ucap Kak Dewa yang sudah memasuki kamarnya, di depan meja belajar Sana."Hhmm ... makasih Kak Dewa." Dia saat ini sedang fokus pada komputernya. Lalu Kak Dewa berjalan mendekat padanya. "Tidur lo terlalu dikit. Jangan di biasain.""Lo udah tau kan, jawaban gua." Jawab Sana, menatap fokus pada komputer atau PC di depannya. Jari-jari tangannya tidak berhenti di atas keyboard.Dewa tersenyum, sambil menghela nafas. "Setidaknya, kalau berterima kasih bisa sedikit lebih manis dong. Gua juga cape, loh."Sana berhenti mengetik. Lalu dia menoleh pada Kak Dewa dengan tersenyum lebar. "Makasih Kak Dewa. Berkat Lo, pekerjaan gua jadi lebih ringan. Emang Lo kakak terbaik!" Ucap Sana ceria.Dewa menutup mulutnya. "Hahh ... gua terharu banget.""Hhmm ... Jangan lupa tutup pintunya." Ucap Sana kembali datar, kemudian dia kembali fokus pada komputer di d
Kelasnya baru saja selesai. "Mau kemana San?"Sana yang sedang fokus dengan ponsel yang di pegangnya, menjawab. "Mau nganter formulir, ke kak Firdaus."Sarah mengingat. "Ohh kakak cantik, waktu di kantin itu bukan?""Lo tau?" Sana menoleh menatap Sarah. "Mmm ...Tapi dia cowok sih."Sarah terkekeh. "Gua tau. Setelah lu pergi dari kantin, kan waktu itu ada kejadian lagi." Kemudian dia bangkit dari kursinya. "Yaudah, ya. Gua ada kumpulan juga. Bye ... "Sana mengangguk, lalu dia melihat ke arah ponselnya lagi. "Gua bilang bukan kumpulan, ya." Gumamnya.Kak Firdaus belum juga membalas pesannya. Dia sebenarnya sekalian ingin mengantarkan kertas berisi cerpen milik kak Firdaus yang waktu itu, dia pinjam.Karena tak kunjung dapat balasan akhirnya dia menyimpan ponselnya, ke dalam tote bag. Lebih baik dia menunggu di luar kelas, mungkin di taman. Tapo baru saja Sana keluar kelas, ponselnya sudah bergetar. Ah, itu ternyata balasan pesan dari kak
Tiba-tiba Sosok menjulang menghalangi penglihatan Sana di depannya, saat dia sedang melihat sekeliling tempat yang baru saja dia datangi, Papanya yang membawa Sana ke tempat ini. Dia juga melihat banyak orang yang sedang melakukan gerakan-gerakan aneh di sekelilingnya. "Anak baru!" Ucap anak yang berdiri di depannya itu, dia berdiri sembari mengangkat dagunya angkuh, sambil ke dua tangannya berkacak pinggang. Sana hanya diam menatap anak di depannya. "Liatkan, tadi gerakan gua. Keren kan?" Ucap anak itu, lagi. Dia mendatangi anak baru ini, karena ingin anak ini mengakui kehebatannya. Di tempat ini, tidak ada orang yang tidak memujinya. Tapi Sana sekali lagi tidak mengatakan sepatah katapun, dia masih diam menatap anak di depannya. Anak itu jadi salah tingkah, dan menurunkan tangannya dari pinggangnya karena orang yang dia ajak bicara hanya diam menatapnya tanpa emosi. "Lo bisu ya?" Tapi tidak ada jawaban sama sekali. Kemudi
Setelah 30 menit perjalanan. Dewa dan Sana sampai di tempat pelatihan beladiri yang mereka tuju. Dewa membuka bagasi mobilnya, lalu mengeluarkan tasnya dan tas Sana, tak lupa tas bekal yang berisi beberapa kotak bekal di dalamnya."Gak ada yang berubah." Gumam Sana melihat gedung di depannya, gedung tempat berlatih beladiri Sana, Sarah dan Dewa sejak mereka sekolah dasar. Tempat ini memang nostalgia sekali."Udah gak ada yang dibawa lagi?" Tanya Dewa. Sana menggelenng. "Udah gak ada. Hp udah di tangan." Tunjuk Sana.Dewa menutup semua pintu, dan memeriksa bahwa mobilnya sudah benar-benar terkunci, baru mereka berjalan memasuki gedung tersebut."Sana!" Sarah mendatanginya dan langsung merangkulnya. Dia ternyata sudah menunggu di depan pos gedung. Karena gedung putri dan putra berbeda, Kak Dewa akan berpisah dengannya disini."Tas Lo nih." Dewa memberikan tasnya, dan memberikan tas yang berisi bekal kepada Sarah. "Dari mama, buat kalian makan b