"Dari segi penulisan cerita gua masih kurang ... "
Sana menatap tangan seniornya itu, kemudian melihat ke tangannya. "Kek tangan babu." Bisiknya dalam hati. Bagaimana bisa seorang laki-laki memiliki tangan yang lebih lentik, ramping dan juga lebih putih daripada tangan perempuan. Saya iri saya bilang.
"San.."
Sana terjengit kecil ketika pundaknya di sentuh. "Lo suka banget ya sama tulisa gua, apa mau bikin salinannya?" Tanya Kak Firdaus seniornya yang sedang memperlihatkan contoh cerpen yang dia buat.
Sana yang sudah tersadar dari lamunanya, tertawa kecil. "Iya kak gua suka. Apalagi karakternya, mereka punya keunikannya masing-masing. Gua boleh pinjem? Buat contoh." Sana ngeles, padahal dari tadi yang dilihatnya bukan tulisan yang berada di kertas, melainkan tangan yang memegang kertas itu.
"Aaa ... dia malu!!" Teriak Sana dalam hati, matanya sedikit terbelalak melihat reaksi Kak Firdaus yang ngeblus. Orang ini cantik banget!! Wajahnya itu seputih apa sampai bisa keliatan merah. Tapi Sana agak sedikit merasa bersalah, karena dia berbohong padahal orang yang di pujinya sampai seseneng itu.
"Makasih, gua seneng. Lo boleh kok bawa." Kak Firdaus menyodorkan kertas yang berisi cerpennya. Posisinya di organisasi jurnalistik adalah sebagai Ketua. Saat ini pun mereka masih berada di pelataran ruang jurnalistik kampus, seharusnya sudah dari tadi jam pulangnya.
Sana tersenyum. "Boleh, kak? Makasih loh." Dia mengambil kertas itu, sebenarnya dia tidak butuh tetapi mungkin bisa sebagai salah satu referensinya. Tidak buruk juga tulisannya, masih masuk kategori cerita yang Sana suka.
Sana yang sudah berniat berpamitan pergi tetapi urung, karena tiba-tiba teman kak Firdaus datang merangkulnya dari belakang. Dia menutupi setengah wajahnya dengan kertas Hvs beberapa lembar yang di pegangnya.
"Firda ... apa kabar nih?" Ucap senior itu. Firdaus mendorong orang itu menjauh, "Apaan sih lo. Jauh-jauh dari gua." Dia tau orang disampingnya ini hanya ingin menggodanya.
"Firda kalau lagi deket cewe suka jaim ya." Goda senior itu lagi, kemudian dia menatap Sana yang berada di depannya. "Tenang aja. Walaupun Firda cantik, dia tetep suka cewek kok."
Sana hanya mengangguk. "Pergi gak lo darisini. Omongan lo ngelantur." Sentak Kak Firdaus. Senior di depannya malah tertawa mengejek. "Iya iya Firda. Lo jangan marah-marah terus, nanti tambah cantik."
"Adaw." Ringis seniornya itu karena di geplak kepalanya oleh Kak Firdaus. Tapi seniornya setelah itu malah tertawa.
Sana meremat kertas di genggamannya. Rasanya dia ingin berteriak dan menggigiti kertas itu. Dia ingin sekali mengeluarkan ponsel lalu memotret momen di depannya. Gemes banget lohh!! Tapi Sana tetap berusaha tenang.
"Nama lo siapa de?" Tanya Senior itu menoleh ke arah Sana lalu tersenyum sambil menyodorkan tangan untuk bersalaman. Tapi Sana mengabaikan hal itu, dia menundukan kepalanya dengan tangan yang masih memegang kertas menutupi setengah wajahnya, lalu berbalik pergi darisana tanpa sepatah katapun.
"Lo ya Fikar! Dia marahkan."
"Ya maap, gua gak tau."
Sana masih bisa mendengar suara mereka di belakangnya. Dia harus pergi darisana untuk keselamatan jantungnya. Sebenarnya dia sudah mengetahui nama seniornya dari awal yaitu Fikar nama yang sangat Sana kenal. "Jantung gua, gak bakalan bisa lupa sih." Gumam Sana.
Saat mulai jauh, Sana menurunkan kertas dari wajahnya dan bernafas lega. Tak lupa Senyumnya tidak lepas dari bibirnya. Sana sekarang sedang menuju parkiran, untuk menghabiskan waktu menunggu jemputan kakaknya dia rela membantu merapikan ruang organisasi jurnalistik bersama ketuanya.
Dan tidak sengaja Sana menemukan tulisan hasil kak Firdaus, awalnya dia tidak mengetahuinya, dia kira itu tulisan anggota jurnalistik lain yang memang sengaja di tinggal disana. Karena itu lah percakapan tentang tulis menulis mengalir begitu saja diantara mereka, dan Sana cukup menikmatinya.
Dia juga sangat senang bisa bertemu kembali dengan Kak Fikar.
"Ada kejadian ya? Cerita-cerita dong." Sana tersentak kaget, senyumnya luntur seketika dari wajahnya ketika melihat siapa orang yang berbicara di samping telinganya.
"Gak ada apa-apa? Lo juga baru selesai?" Tanya Sana mengalihkan pembicaraan. Gak mungkin kan dia bilang lagi ngayalin yang aneh-aneh.
"Iya baru aja. Gebetan baru ya? romannya mukanya seneng banget." Goda Sarah dengan tangan masuk ke dalam kantong hoodienya.
"Mana ada!" Sanggah Sana membuang wajahnya, menghindari tatapan Sarah. "Masa? Merah lo mukanya." Dia mendekatkan wajahnya pada Sana.
"Dibilang gak ya gak!" Sentak Sana kesal. Sarah mencubit kedua pipinya. "Iya Iya percaya." Kemudian dia melepas cubitannya, dan menjauh.
Sana mengusap pelan kedua pipinya yang sakit. Diam-diam dia menoleh pada jendela yang di lewatinya, untuk melihat pantulannya, memastikan apa perkataan Sarah itu benar. Sarah melihatnya tersenyum. "Jangan lupa traktir kalau jadian."
"Apaan sih, gak ada yang jadian!" Sewot Sana. Mereka pun sampai di parkiran. Sana berhenti untuk menunggu mobil kakaknya. "Gua duluan ya." Ucap Sarah menuju parkiran motor, Sana mengangguk memberikan tanda jempol oke.
Tak lama kemudian, mobil datang dan berhenti tepat depannya. Sana tahu itu mobil kakaknya, dia langsung masuk ke dalamnya. Aroma kopi langsung menyerbu hidungnya, pengharum mobil ini merupakan permintaan Sana. Mana mungkin dia bisa berdiam diri di ruangan yang menggunakan wangi St*** rasa jeruk di dalamnya.
"Gimana kuliahnya?" Sana langsung disambut oleh pertanyaan kakaknya yang bernama Dewa, kepanjangan dari Dewa Anggara.
"Biasa aja. Cape. Banyak tugas, padahal masih maba." Jawab Sana singkat. Dia mengedarkan pandangan, wajahnya langsung sumringhai melihat kotak itu. Seperti biasa kakaknya yang pengertian itu sangat tahu kesukaan adiknya yaitu ayam goreng.
"Makasih kak." Ucap Sana tersenyum senang. Dia membuka kotak yang berisi ayam goreng itu, lalu memakannya. Enakk!! Sana menggelengkan kepalanya senang, saat rasa ayam goreng sampai di lidahnya.
Dari samping kanan mobilnya, ada suara motor yang berhenti. Dewa tau siapa orangnya , karena itu dia menurunkan kaca jendela mobilnya.
"Hei."
Sarah membuka kaca helmnya, dia tersenyum dan membalas sapaan Dewa. "Gua duluan ya kak."
"Gak mau mampir ke rumah? Masih ada bensin gak?" Tanya Dewa.
"Iya kak. Tapi sekarang kayaknya gua gak bisa." Dia melihat motornya, lalu menoleh menatap Dewa lagi. "Santai tangki motor gua masih penuh."
Tapi Dewa tetap memberikan Sarah uang selembar seratus ribuan. "Nih buat nambah-nambahin bensin."
Sarah tertawa kecil. "Padahal mah gak usah." Meski begitu dia tetap mengambilnya.
Sana mendengus melihatnya. "Sok jaim lo."
"Mmm ... Apa. Liat pipi lo noh awas meletus." Sahut Sarah mengejek. Sana menatapnya sengit. "Dih." Dewa hanya tertawa mendengarnya.
"Yaudah gua berangkat." Ucap Sarah menutup kaca helmnya dan bersiap. Dewa dan Sana pun mengangguk. "Hati-hati di jalan." Ucap Dewa mengingatkan. Sarah mengangguk kecil kemudian melajukan motornya.
Kemudian disusul oleh Dewa yang melajukan mobilnya. Dalam perjalanan hanya terdengar suara musik. Sejak tadi tidak ada yang berbicara karena Sana sedang makan, mereka di ajarkan oleh ke dua orang tuanya ketika sedang makan tidak boleh berbicara.
"Kak Dewa mau?" Ucap Sana sambil menyodorkan ayam di genggamannya, tentu saja potongan ayam yang baru. "Mau, tapi suapin."
"Iya, nih." Menyodorkan ayamnya di depan wajah Dewa. "Jangan lama-lama ngunyahnya. Pegel."
Dewa menggigit ayam yang di sodorkan Sana, tangan dan matanya tetap fokus pada jalanan. Kan tidak lucu kalau mereka kecelakaan gara-gara makan ayam. Mereka lakukan itu sampai satu potong ayam habis.
"Dek, pengen minum!"
Sana membuka botol air mineral, kemudian dia membantu kakaknya minum. Memang sungguh ribet, setelah Kak Dewa minum, dia menaruh kembali botol minumnya dan menyimpan kotak ayam gorengnya. Dia ingin melanjutkan di rumah saja.
"Kak lo waktu magang dimana?" Tanya Sana iseng. Dia penasaran, karena banyak sekali teman-temannya yang sudah ngomongin soal magang padahal mereka Mahasiswa Baru dua Bulan.
"Kenapa? Pengen magang di tempat gua?" Tanya Dewa menanyakan alasan Sana.
"Temen gua banyak yang ngomongin soal magang. Jadi pengen tau aja."
"Ohh. Gua dulu magang di kantor Papa." Senyum Dewa. Sana menoleh bingung.
"Emang ada kantornya? Bukannya bisnis Papa cuma restoran?"
"Gimana sih usaha bapak sendiri gak tau. Resto papa kan udah banyak cabangnya, jadi butuh kantor." Jelas Dewa. "Gua magang jadi pengembang website resto papa, sama penanggung jawab media sosialnya."
"Mereka gak pernah ngasih tau." Sana yang masih bingung bertanya lagi. "Padahal bukannya lo jurusan IT kan? Kok jadi penanggung jawab sosial media?"
Dewa ketawa. "Cuma posisi aja, gua sekalian ngawasin karyawan lain yang Up konten-koten papah. Soalnya gua juga bertanggung jawab sama keamanan di sosial medianya."
"Ohh." Sana mengangguk-angguk. Tanda dia mengerti.
"Saran Gue kalau mau magang nanti aja, agak semester akhir. Santai aja lo mah, kan tinggal bilang Papah." Dewa terkekeh.
Sana ragu. "Tapi bukannya kalau gitu gak adil ya buat mahasiswa yang lain?"
"Ngapain di pikirin." Dewa mengusap kepala Sana. "Papa kan bangun usaha gitu biar keluarga kita hidupnya lebih mudah."
Sana menatap Dewa. Dia tau kakaknya ini orang yang sangat bertanggung jawab. Meskipun saat ini bekerja di perusahaan orang lain, yang katanya untuk mencari pengalaman, tapi Kak Dewa tetap akan meneruskan Usaha, saat Papa pensiun nanti.
Sana menoleh kesamping menatap jalanan, dia diam merenungi ucapan kak Dewa. Setelah itu, perjalanan mereka hanya di iringi musik, karena mengantuk tanpa sadar Sana pun tertidur.
Sana meregangkan tubuh. Ketika membuka matanya, dia melihat sebuah atap, lalu dia menatap sekelilingnya."Hhm ... ini di kamar."Sana menoleh ke arah jam dinding, dia menghela nafas. "Hhm ... Udah jam satu." Gumamnya. dia ingat ada tugas yang harus dia kerjakan karena deadlinenya besok.Dia memaksakan tubuhnya untuk bangun dan berjalan ke kamar mandi untuk cuci muka dan sikat gigi di washtafel. Kemudian dia mengganti bajunya menjadi baju tidur. Setelah itu dia kembali ke kamar.Sana menguap, rasa kantuknya masih ada tapi setidaknya mata dia sudah bisa melek sepenuhnya. Dia menarik kursi belajar, lalu duduk disana. Ketika sudah membuka laptop di atas stand laptopnya, Sana baru menyadari di atas mejanya ada makanan. Ah ... disana juga ada notes kecil di sampingnya.Dear anak mamaJangan lupa di habisinya sayang! ♡Sana tersenyum melihat notes itu, lalu dia menyimpan notes itu ke dalam laci meja belajarnya. Sepertinya dia a
"Baik, kita akhiri pertemuan hari ini." Dosen itu dari tengah-tengah kelas berjalan menuju mejanya. "Ohh iya. Ibu sudah menentukan kelompok untuk tugas minggu depan."Keadaan Kelas saat ini hening. Sebenarnya hanya mahasiswa barisan depan yang mendengarkan dosen berbicara dari awal hingga akhir, sedangkan di paling belakang hanya orang-orang yang tidur. Tentu saja Sana bagian dari barisan depan, meskipun sekarang dia duduk di bagian tengah."Pj kelas disini siapa?" Tanya Dosen itu. Dinda mengangkat tangan, "Saya bu."Dosen itu berjalan ke arah kursi Dinda dan memberikan beberapa lembar kertas. "Disini sudah ada nama-nama kelompok dan tugasnya apa. Tolong bagikan pada teman-temanmu.""Baik bu. Apa bakal di presentasikan tugasnya?" Tanya Dinda, dia duduk di kursi barisan depan. Tipikal anak rajin dan pintar."Benar. Masing-masing satu kelompok setiap minggu mempresentasikan hasil belajarnya." Jelas Dosen itu, membenarkan kaca matanya yang sedikit mel
Sana menghantamkan kepalanya pada meja berkali-kali, "Dasar bego!" Umpatnya, Dan dia melakukan hal itu sudah dari tadi. Orang-orang di perpus yang melihat Sana pun, menatap aneh.Dia kemudian menempelkan pipinya diatas meja. "Apa ini akhir?" lemasnya. Sana menghela nafas. Dia menegakkan tubuhnya, lalu menopangkan wajahnya diatas satu tangan yang bersandar di atas meja. Pikirannya kosong, menatap ke sembarang arah. Dia benar-benar menyesal, Sana menghela nafas lagi.Rasanya ingin bilang kalau dia melakukannya secara tidak sadar, tapi saat itu pikirannya sadar dan jika dilihat secara penglihatan dia benar-benar membanting orang itu. Ketika dia membanting Kak Fikar rasanya jantung Sana ingin jatuh ke perut.Drtt ... drtt ... drttGetaran ponselnya membuat Sana tersadar dari lamunannya. Dia mengambil ponselnya yang berada dalam tote bag. Itu suara alarm yang menandakan kelas selanjutnya akan segera dimulai, lebih tepatnya 15 menit sebelum kelas dimulai.
Sarah menepuk pundak Sana dari belakang. Dia baru saja datang, sepertinya Sana juga sama. "Eh, Sarah." Ucap Sana menoleh padanya. Kemudian mereka berjalan bersama menuju kelas."Mau latih tanding gak?" Tawarnya. Dia tahu anak ini sedang galau karena kejadian waktu itu. Tapi dia bukan orang yang berbakat untuk menghibur orang yang sedang sedih, mungkin dengan begini suasana hati temannya ini akan lebih baik.Sana diam memikirkan jawabannya. Kemudian dia menjawab "Boleh deh. Masih sama kan harinya?""Iya. Lo maunya hari sabtu atau minggu?""Hari sabtunya aja. Besok berarti.""Oke. Anak-anak juga banyak yang nanyain lo. Semenjak lo keluar, gak pernah dateng lagi kata mereka."Sana membalas. "Gua bingung dateng juga ngapain."Sarah memutar bola matanya malas. Lalu mencubit ke dua pipi Sana. "Lo kan bisa latih tanding sama gua."Sana memukul tangannya. "Sakit!" Sarah melepaskan cubitan itu, lalu terkekeh kecil. Dia tidak tahan
Setelah 30 menit perjalanan. Dewa dan Sana sampai di tempat pelatihan beladiri yang mereka tuju. Dewa membuka bagasi mobilnya, lalu mengeluarkan tasnya dan tas Sana, tak lupa tas bekal yang berisi beberapa kotak bekal di dalamnya."Gak ada yang berubah." Gumam Sana melihat gedung di depannya, gedung tempat berlatih beladiri Sana, Sarah dan Dewa sejak mereka sekolah dasar. Tempat ini memang nostalgia sekali."Udah gak ada yang dibawa lagi?" Tanya Dewa. Sana menggelenng. "Udah gak ada. Hp udah di tangan." Tunjuk Sana.Dewa menutup semua pintu, dan memeriksa bahwa mobilnya sudah benar-benar terkunci, baru mereka berjalan memasuki gedung tersebut."Sana!" Sarah mendatanginya dan langsung merangkulnya. Dia ternyata sudah menunggu di depan pos gedung. Karena gedung putri dan putra berbeda, Kak Dewa akan berpisah dengannya disini."Tas Lo nih." Dewa memberikan tasnya, dan memberikan tas yang berisi bekal kepada Sarah. "Dari mama, buat kalian makan b
Tiba-tiba Sosok menjulang menghalangi penglihatan Sana di depannya, saat dia sedang melihat sekeliling tempat yang baru saja dia datangi, Papanya yang membawa Sana ke tempat ini. Dia juga melihat banyak orang yang sedang melakukan gerakan-gerakan aneh di sekelilingnya. "Anak baru!" Ucap anak yang berdiri di depannya itu, dia berdiri sembari mengangkat dagunya angkuh, sambil ke dua tangannya berkacak pinggang. Sana hanya diam menatap anak di depannya. "Liatkan, tadi gerakan gua. Keren kan?" Ucap anak itu, lagi. Dia mendatangi anak baru ini, karena ingin anak ini mengakui kehebatannya. Di tempat ini, tidak ada orang yang tidak memujinya. Tapi Sana sekali lagi tidak mengatakan sepatah katapun, dia masih diam menatap anak di depannya. Anak itu jadi salah tingkah, dan menurunkan tangannya dari pinggangnya karena orang yang dia ajak bicara hanya diam menatapnya tanpa emosi. "Lo bisu ya?" Tapi tidak ada jawaban sama sekali. Kemudi
Kelasnya baru saja selesai. "Mau kemana San?"Sana yang sedang fokus dengan ponsel yang di pegangnya, menjawab. "Mau nganter formulir, ke kak Firdaus."Sarah mengingat. "Ohh kakak cantik, waktu di kantin itu bukan?""Lo tau?" Sana menoleh menatap Sarah. "Mmm ...Tapi dia cowok sih."Sarah terkekeh. "Gua tau. Setelah lu pergi dari kantin, kan waktu itu ada kejadian lagi." Kemudian dia bangkit dari kursinya. "Yaudah, ya. Gua ada kumpulan juga. Bye ... "Sana mengangguk, lalu dia melihat ke arah ponselnya lagi. "Gua bilang bukan kumpulan, ya." Gumamnya.Kak Firdaus belum juga membalas pesannya. Dia sebenarnya sekalian ingin mengantarkan kertas berisi cerpen milik kak Firdaus yang waktu itu, dia pinjam.Karena tak kunjung dapat balasan akhirnya dia menyimpan ponselnya, ke dalam tote bag. Lebih baik dia menunggu di luar kelas, mungkin di taman. Tapo baru saja Sana keluar kelas, ponselnya sudah bergetar. Ah, itu ternyata balasan pesan dari kak
Klek ... pintu kamar Sana terbuka."San, Ini sisa lima makalahnya. Gua taro meja belajar lo, ya." Ucap Kak Dewa yang sudah memasuki kamarnya, di depan meja belajar Sana."Hhmm ... makasih Kak Dewa." Dia saat ini sedang fokus pada komputernya. Lalu Kak Dewa berjalan mendekat padanya. "Tidur lo terlalu dikit. Jangan di biasain.""Lo udah tau kan, jawaban gua." Jawab Sana, menatap fokus pada komputer atau PC di depannya. Jari-jari tangannya tidak berhenti di atas keyboard.Dewa tersenyum, sambil menghela nafas. "Setidaknya, kalau berterima kasih bisa sedikit lebih manis dong. Gua juga cape, loh."Sana berhenti mengetik. Lalu dia menoleh pada Kak Dewa dengan tersenyum lebar. "Makasih Kak Dewa. Berkat Lo, pekerjaan gua jadi lebih ringan. Emang Lo kakak terbaik!" Ucap Sana ceria.Dewa menutup mulutnya. "Hahh ... gua terharu banget.""Hhmm ... Jangan lupa tutup pintunya." Ucap Sana kembali datar, kemudian dia kembali fokus pada komputer di d
Setelah polisi datang, semua preman yang menculik Dinda, di bawa ke kantor polisi. Sebenarnya Sana tidak rela, seharusnya preman itu mati di tangannya."Awas aja kalau gua ngeliat muka orang-orang itu lagi!" Gumanya kesal.Saat ini Sana sedang duduk di kursi tunggu yang berada di klinik, tempat Kak Fikar di rawat sekarang. Ketika itu, polisi sekalian membantu mereka membawa Kak Fikar yang pingsan, ke klinik terdekat.Sedangkan Sarah dan Dinda sekarang sedang membuat laporan tentang penculikan yang sebelumnya terjadi, kepada polisi.Pikiran Sana sekarang sudah mulai jernih dan bisa di gunakan, karena pikiran dia sebelumnya hanya di penuhi ketakutan tentang kematian kak Fikar. Dia menghela nafas kasar, meskipun sekarang dia masih sedikit khawatir.Kakinya dari tadi tidak bisa diam dan terus bergerak, dan matanya menatap kosong ke depan, menunggu hasil pemeriksaan dokter di dalam.Srett ...Pintu ruang rawat Fikar terbuka, keluar l
Sana dan Sarah masih berlari, tapi bau menyengat yang berasal dari perkampungan kumuh ini seakan menjadi uji nyali bagi mereka, apalagi di tambah tanah yang becek, membuat baju mereka basah karena cipratan dari kaki mereka yang sedang berlari.Tapi masih ada satu hal yang Sana syukuri. Hari ini dia memakai celana! Dia tidak bisa membayangkan harus lari-larian menggunakan dress panjang kesukaannya.Dan di perkampungan kumuh ini banyak sekali tikungan-tingkungan kecil yang bisa mengecohkan. Istilah lainnya jalan tikusnya banyak."Belok kanan!" Ucap Sana sepelan mungkin, saat di depan mereka ada pertigaan.Orang-orang yang mengejarnya dibelakang belum sempat melihat mereka berbelok, tikungan seperti ini memang menguntungkan. Saat Sana panik berlari, Sarah menarik tangannya masuk ke dalam kamar mandi umum daerah perkampungan kumuh itu."Hah?" Tanya Sana menggunakan tatapannya saat mereka tatap-tatapan di dalam bilik kamar mandi. "Stss." Sar
Sana turun dari kamarnya ke lantai bawah, keheningan memenuhi ruangan tersebut. Papahnya pergi seperti biasa untuk urusan bisnis dan mamahnya pasti ikut pergi bersama papahnya, sedangkan kak Dewa belum pulang. Karena hari ini dia hanya memiliki satu mata kuliah, jadi dia pulang sendiri naik transportasi online.Dan pastinya dia sudah memberikan pesan pada kakaknya untuk tidak menjemputnya. Sana duduk di sofa ruang TV nya, dia baru sadar rumahnya sebesar ini, dan ternyata rasanya sangat sepi jika dia sendirian saja di dalam rumah. Dia melihat figura-figura foto yang di pajang di dinding rumahnya, dia menghela nafas."Kayaknya, temen gua gak bakal susah nyari aib gua. Tinggal dateng aja ke rumah." Gumam Sana, memperhatikan satu persatu foto-fotonya, disana ada foto dia dari masih kecil sampai terakhir foto kelulusannya waktu sma.Masa Sma ya? Sana tidak begitu mengingat banyak kenangan, ketika masa-masa smanya. Kecuali satu orang, yang sampai saat ini masih sangat
"Dinda." Panggil Hina, temannya yang baru saja datang.Dia menutup buku yang dibacanya, lalu menoleh ke arah temannya. "Lo lama banget! Gua lumutan nungguin lo dibawah pohon gini!""Ya, maap. Gua kan ngikutin dosen gua yang keluarnya ngaret." Jawab Hina, lalu duduk disamping Dinda. Dia melihat buku yang dibaca temannya itu, "Apa ini?""Lo gak tau? Ini namanya buku!"Hina menatap Dinda, "Iya gua tau. Maksudnya, ini buku apa?!""Buku novel." Tunjuknya."Emang pengen banget gua timpuk pake batu, ya. muka lo!" Kesal Hina."Novel Bumi Manusia. Karya Pramoedya Ananta Toer." Jawab Dinda akhirnya, senang sekali dia bisa menggoda temannya itu."Eh, selera lo unik ya?" Hina menatap kelangit, lalu tersenyum. "Biasanya anak remaja kaya kita, lebih suka novel romance yang ringan."Dinda menjawab. "Iya, gua kan, Makhluk langka yang perlu di museum kan.""Gak! Ayo, mending gua bawa lo langsung ke Ragunan. Biar terus
Brakk ... Suara gebrakan meja, membuat sebagian mahasiswa terkejut. "Kalian becanda sama saya!" Marah Bu Dosen, wajahnya bahkan terlihat sangat merah, karena terlalu kesal."Dari semua pertanyaan yang saya beri pada kalian satu-satu! Cuma Sana yang bisa jawab! Sebenernya kalian belajar bareng atau gak?!" Bu Dosen menunjuk-nunjuk anggota kelompok, yang sedang presentasi di depan sekarang.Satu kelas hening tidak ada yang berani berbicara sedikitpun. Bahkan orang yang tidur di belakang kelas dibangunkan oleh teman-teman mereka, karena takut menambah emosi dosennya.Rika akhirnya menjawab dengan percaya diri. "Kita udah diskusi kelompok Bu. Tapi Sana yang buat makalah, jadi dia yang lebih paham materi dari kita.""Huuu." Sorakan pelan dari beberapa anak terdengar. Rika belum sadar dengan ucapannya sendiri, jadi dia tetap tenang. Sedangkan Seren sudah menangis diam-diam karena kemarahan dosennya."Jadi bener! Cuma Sana yang kerja buat makalah! Dari tad
Klek ... pintu kamar Sana terbuka."San, Ini sisa lima makalahnya. Gua taro meja belajar lo, ya." Ucap Kak Dewa yang sudah memasuki kamarnya, di depan meja belajar Sana."Hhmm ... makasih Kak Dewa." Dia saat ini sedang fokus pada komputernya. Lalu Kak Dewa berjalan mendekat padanya. "Tidur lo terlalu dikit. Jangan di biasain.""Lo udah tau kan, jawaban gua." Jawab Sana, menatap fokus pada komputer atau PC di depannya. Jari-jari tangannya tidak berhenti di atas keyboard.Dewa tersenyum, sambil menghela nafas. "Setidaknya, kalau berterima kasih bisa sedikit lebih manis dong. Gua juga cape, loh."Sana berhenti mengetik. Lalu dia menoleh pada Kak Dewa dengan tersenyum lebar. "Makasih Kak Dewa. Berkat Lo, pekerjaan gua jadi lebih ringan. Emang Lo kakak terbaik!" Ucap Sana ceria.Dewa menutup mulutnya. "Hahh ... gua terharu banget.""Hhmm ... Jangan lupa tutup pintunya." Ucap Sana kembali datar, kemudian dia kembali fokus pada komputer di d
Kelasnya baru saja selesai. "Mau kemana San?"Sana yang sedang fokus dengan ponsel yang di pegangnya, menjawab. "Mau nganter formulir, ke kak Firdaus."Sarah mengingat. "Ohh kakak cantik, waktu di kantin itu bukan?""Lo tau?" Sana menoleh menatap Sarah. "Mmm ...Tapi dia cowok sih."Sarah terkekeh. "Gua tau. Setelah lu pergi dari kantin, kan waktu itu ada kejadian lagi." Kemudian dia bangkit dari kursinya. "Yaudah, ya. Gua ada kumpulan juga. Bye ... "Sana mengangguk, lalu dia melihat ke arah ponselnya lagi. "Gua bilang bukan kumpulan, ya." Gumamnya.Kak Firdaus belum juga membalas pesannya. Dia sebenarnya sekalian ingin mengantarkan kertas berisi cerpen milik kak Firdaus yang waktu itu, dia pinjam.Karena tak kunjung dapat balasan akhirnya dia menyimpan ponselnya, ke dalam tote bag. Lebih baik dia menunggu di luar kelas, mungkin di taman. Tapo baru saja Sana keluar kelas, ponselnya sudah bergetar. Ah, itu ternyata balasan pesan dari kak
Tiba-tiba Sosok menjulang menghalangi penglihatan Sana di depannya, saat dia sedang melihat sekeliling tempat yang baru saja dia datangi, Papanya yang membawa Sana ke tempat ini. Dia juga melihat banyak orang yang sedang melakukan gerakan-gerakan aneh di sekelilingnya. "Anak baru!" Ucap anak yang berdiri di depannya itu, dia berdiri sembari mengangkat dagunya angkuh, sambil ke dua tangannya berkacak pinggang. Sana hanya diam menatap anak di depannya. "Liatkan, tadi gerakan gua. Keren kan?" Ucap anak itu, lagi. Dia mendatangi anak baru ini, karena ingin anak ini mengakui kehebatannya. Di tempat ini, tidak ada orang yang tidak memujinya. Tapi Sana sekali lagi tidak mengatakan sepatah katapun, dia masih diam menatap anak di depannya. Anak itu jadi salah tingkah, dan menurunkan tangannya dari pinggangnya karena orang yang dia ajak bicara hanya diam menatapnya tanpa emosi. "Lo bisu ya?" Tapi tidak ada jawaban sama sekali. Kemudi
Setelah 30 menit perjalanan. Dewa dan Sana sampai di tempat pelatihan beladiri yang mereka tuju. Dewa membuka bagasi mobilnya, lalu mengeluarkan tasnya dan tas Sana, tak lupa tas bekal yang berisi beberapa kotak bekal di dalamnya."Gak ada yang berubah." Gumam Sana melihat gedung di depannya, gedung tempat berlatih beladiri Sana, Sarah dan Dewa sejak mereka sekolah dasar. Tempat ini memang nostalgia sekali."Udah gak ada yang dibawa lagi?" Tanya Dewa. Sana menggelenng. "Udah gak ada. Hp udah di tangan." Tunjuk Sana.Dewa menutup semua pintu, dan memeriksa bahwa mobilnya sudah benar-benar terkunci, baru mereka berjalan memasuki gedung tersebut."Sana!" Sarah mendatanginya dan langsung merangkulnya. Dia ternyata sudah menunggu di depan pos gedung. Karena gedung putri dan putra berbeda, Kak Dewa akan berpisah dengannya disini."Tas Lo nih." Dewa memberikan tasnya, dan memberikan tas yang berisi bekal kepada Sarah. "Dari mama, buat kalian makan b