Pagi ini, aku menghirup udara sejuk. Suara debur ombak meriuhkan suasana meski tidak terlalu banyak orang di sini bersama aku, Ben, Fotografer, dan Make-up Artist yang akan merias sesi pemotretan pra-wedding pernikahanku.
Aku dan ben memutuskan untuk melakukannya dengan tema pantai di pulau yang berada di sebelah kota kami. Lokasinya memang tidak dikunjungi oleh banyak orang karena sebagian besar yang datang ke sini adalah orang-orang yang akan berselancar.
Setelah kepulanganku dari rumah sakit, aku memutuskan untuk mempercepat seluruh persiapan pernikahan. Awalnya Ben bertanya padaku apa tak mengapa jika aku melakukan semua ini segera. Karena menurutnya, aku baru saja sembuh dari masa pemulihanku setelah kecelakaan yang menimpa. Namun aku berkata tak apa. Aku merasa harus cepat menyelesaikan seluruhnya oleh diriku sendiri daripada harus mendengar ocehan Tante Annette. Ben berkata tidak keberatan lalu mengosongkan beberapa jadwal untuk persiapan pernikahan kami dan menyewa vila yang berjarak 20 menit dari pantai.
Aku mengenakan gaun jenis long-sleeves mini dress model v-neck berwarna putih. Rambutku dirias oleh Mona—perias wajah dan busanaku—dengan gaya layer soft bangs. Sedangkan Ben mengenakan jeans selutut berwarna nude dan kemeja putih lengan panjang. Kami telanjang kaki karena sesi pemotretan akan dilakukan di bibir pantai. Setelah semua siap, aku dan Ben berdiri mengikuti instruksi dari Lewis sang Fotografer yang juga berstatus sebagai kawan karib Ben.
"Sudah siap?" memastikan kesiapan kami.
Aku dan Ben mengangguk.
"Okay. Three, two, one ...."
Kilatan flash kamera menyinari aku dan Ben.
"Good."
Lewis menyuruh kami untuk berpindah pose dan lokasi. Aku berdiri di atas sebuah bongkahan dahan kayu yang kering. Tingginya sekitar 150cm. Ben berada di bawah mengulurkan tangannya seolah tengah membantuku untuk turun dari dahan itu.
Wajahnya tersenyum.
Cukup banyak foto dan macam-macam pose yang dipotret saat itu. Terkadang kami harus berjalan kaki beberapa ratus meter untuk mencari tempat yang berbeda. Cukup melelahkan memang. Tetapi hasil jepretannya sangat bagus. Lewis sangat terampil dengan kameranya itu.
Kami beristirahat sebentar sebelum pemotretan terakhir. Untungnya cuaca saat itu tidak begitu panas meski matahari telah berada tepat di atas kepala.
"Capek?" tanya Ben menghampiriku yang duduk di atas dahan pohon kelapa kering sambil memerhatikan pantai.
"Lumayan," jawabku.
Ben duduk di sebelahku dan memberiku sebotol air mineral.
"Thanks," ujarku lalu meneguk air pemberiannya.
Ben tak membalas. Ia ikut memerhatikan luasnya pantai di hadapan kami. Dan seperti biasanya, kami saling diam.
Laut ini terlihat sangat cantik. Sinar matahari membuat ilusi mata seolah di atas permukaan airnya terdapat bulir-bulir cahaya yang mirip layaknya kilauan mutiara. Seperti laut pada umumnya, sejauh mata memandang, terlihat tidak berujung. Sama seperti hubungan pria yang duduk di sampingku ini. Entah bagaimana ujung kisah kami nantinya.
"Besok saat fitting baju, Tante Annette nggak perlu ikut, ya," Ben membuka obrolan.
"Memangnya kenapa?" tanyaku penasaran.
"Biar kamu bisa pilih model gaun sesuai seleramu. Siapa tahu Tante Annette malah menyiapkan tapi kamu kurang suka modelnya."
Aku cukup tersentuh dengan kepeduliannya itu. Namun perkiraan Ben salah. Mana mungkin Tante Annette memerhatikan hal itu. Baju apapun yang kupilih dan kukenakan, ia hanya akan tetap fokus pada tujuannya untuk menikahi aku dengan Ben. Namun aku juga bersyukur Karena Tante Annette tidak perlu ikut serta. Karena aku merasa tak tahan melihat tingkahnya yang bersandiwara di hadapan Ben.
"Iya. Nanti aku bilang ke Mama," ucapku.
"Ben, Mill, ayo siap-siap lagi. Takut hujan!" Lewis berteriak dari belakang.
Aku dan Ben menoleh bersamaan, "Iya!" jawab kami.
Lalu aku dan Ben bertemu pandang. Aku mematung. Mata birunya begitu indah. Namun tiba-tiba kilatan flash kamera mengejutkanku dan juga Ben. Lewis memotret kami.
"Wonderful! Kalian harus simpan foto ini, ya!" ucapnya membuyarkan suasana.
Ben berdiri untuk protes, "Oh ... c'mon, Lewis," ia bertolak pinggang. Lewis tersenyum tanpa menghiraukan Ben.
Ben mengulurkan tangannya padaku. Aku menggapainya, lalu beranjak dan berjalan bersamanya menuju Mona dan langsung melanjutkan pemotretan setelah riasan kami selesai diperbaiki. Kini kami melakukannya di hutan yang berada di pantai ini. Lewis berkata pada kami untuk melakukan pose selanjutnya di bawah salah satu pohon.
"Now, Milly ... sandarkan tubuh kamu ke dahan pohon. Nanti Ben merangkul Milly dan wajahnya berdekatan seperti akan ciuman, mengerti?"
Aku dan Ben mengangguk tanda mengerti.
Ben melangkah mendekat dan menarik tubuhku hingga menempel dengan tubuhnya. Aku terkejut karena sebelumnya aku dan Ben belum pernah sedekat ini.
Spontan aku melepaskan pelukan Ben.
"Mill, are you alright?" Lewis bertanya saat ia melihat tingkahku
"Eh, maaf ...." jawabku.
Tiba-tiba Ben kembali mendekat, lalu jemarinya menata rambutku yang berantakan diterpa angin, "Babe, kamu masih capek?"
"Eh?"
Aku terbelalak dan mematung menatap Ben. Ia mengedipkan satu matanya.
Apa? Babe? ucapku dalam hati.
"E-enggak, kok! Yuk, lanjut lagi!" Aku tersenyum lalu mengatur napas.
Untungnya Ben mengerti kalau aku kaku karena karena belum terbiasa dengan pose pra-wedding ini. Apalagi ketika harus melakukan kontak fisik dengan Ben. Jika hanya sekadar berpegangan tangan, merangkul, menatap satu sama lain dan tersenyum, aku tak apa. Namun dengan yang satu ini, aku perlu latihan ekstra sebelum melakukannya.
Bukan ... bukan karena aku tidak suka. Namun aku butuh adaptasi untuk hal seperti ini.
"Okay, kita lanjut, ya!" ucap Lewis.
Aku kembali ke posisi semula. Kali ini aku meyakinkan diriku. Ben mendekat, meraih tubuhku, medekapku, lalu sorot matanya bertemu dengan mataku.
Mata birunya indah. Aku terpesona. Jantungku berdegup kencang. Kuharap Ben tidak mengetahuinya.
Ben tersenyum, lalu bibir kami mendekat. Aku bisa merasakan hangat deru napasnya saat itu. Aku dan Ben menahan posisi kami, sementara Lewis fokus memotret kami.
"Wait, jangan berubah posisi. But, Ben. Would you kiss her, please?"
Astaga Lewis!
Aku ingin memprotes, namun Ben mendekapku semakin erat. Matanya seolah meyakinkanku kalau kami harus melakukannya. Lalu seperti terkena sihir, tubuhku tidak memberontak. Kupejamkan mataku, lalu bibir kami bertemu.
Tidak! Keperawanan bibirku sudah hilang. Dan itu karena Ben!
"Milly, kenapa kamu kaku begitu? Ayo kita ulang. Kalian kan sepasang kekasih. Kenapa begini?" ucap Lewis kesal karena berulang kali mengambil jepretan foto, namun hasilnya sangat buruk karena sikapku. Aku bisa melihat wajahnya yang letih. Aku merasa tidak enak, namun juga aku tidak bisa merasa nyaman karena ini pertamakalinya seseorang mengecupku. Terlebih itu adalah Ben. "Hanya berpose, tersenyum, lalu aku tekan tombol ini. Tidak begitu sulit, kan?" sambung Lewis. Aku menggerutu di dalam hati. Semudah itu katanya? Jika bukan karena aku harus memaklumi kalau Lewis tidak tahu fakta sebenarnya, mungkin kamera seharga C$4000 yang ada di tangannya itu sudah terombang-ambing di lautan sana. "Maaf ... aku akan benar-benar melakukannya kali ini," ujarku. Ben menghela nafasnya, "Lewis, sorry to say, but would you give us a minute?" "With pleasure," Lewis melangkah menjauh dari kami. Ben menyentuh bahuku dengan kedua telapak tangannya, "Mil, aku minta maaf, ya." "Maaf? Untuk apa?" "M
Aku terjaga dan menyadari tubuhku terbalut selimut tebal. Aku terheran karena aku tidak merasa beranjak dari mobil dan melangkah menuju kamar ini. Kuperiksa ponselku dan jam menunjukkan pukul 10 malam. Ternyata aku tidur berjam-jam lamanya. Aku bolak-balik membenarkan posisi tidurku untuk mencoba terlelap lagi. Namun tidak bisa. Kuputuskan untuk pergi keluar kamar untuk minum dan membasuh wajahku. Kudapati Ben tengah duduk membelakangiku di mini bar. Aku hanya bisa melihat punggungnya yang lebar dan gagah itu. Ia sudah mengganti bajunya menjadi kaos biasa berwarna putih dan celana pendek selutut. "Kamu belum tidur, Ben?" aku menyapanya. Ben menoleh padaku, "Eh, Milly ...." sahutnya sembari membereskan beberapa helai kertas di laptopnya. "Kok aku nggak sadar ya, Ben, pas pindah dari mobil ke kamar?" tanyaku sembari menarik kursi yang ada di hadapan Ben lalu duduk di sana. "Aku yang pindahin kamu," jawabnya. "Kamu? Gimana caranya?" "Aku gendong." "EH?!" Ben menoleh terkejut ka
“Mill .. kita sudah sampai,” ucap Ben sambil mengguncang pelan tubuhku.Aku terbangun dan melihat ke sekeliling. Sepertinya sudah malam. Ben telah memarikirkan mobilnya di garasi sebuah rumah yang berdiri kokoh di hadapanku. Rumah yang nantinya akan kutinggali bersama Ben.“Masih ngantuk, ya? Beresin barangnya mau nanti dulu?” ucapnya yang melihatku masih menguap .Aku menggeleng, “Nggak, kok. Nanti kan bisa istirahat di dalam,” jawabku.Ben mengangguk dan keluar dari dalam mobil, lalu membukakan pintu dan mempersilahkanku untuk keluar. Ben selalu memperlakukanku seperti ini. “Thanks,” ujarku.“Kamu bukain pintu rumah. Biar aku yang bawain koper. Kodenya 090422,” Ben berlalu mennggalkanku dan berjalan menuju bagasi mobil.Tanpa membuang waktu, aku bergegas menuju pintu. Setelah yakin kalau password tersebut benar, aku mendorong pintu dan melangkah ke dalam.Aku memas
Aku berdiam di kamar sementara Rose kubiarkan sendirian di ruang tamu. Kudengar suara mobil Ben dari luar sana. Aku tidak berniat keluar kamar saat Ben membuka password rumah karena Ben pasti akan berpapasan dengan Rose. Beberapa waktu kemudian, Ben mengetuk pintu, “Milly?” panggilnya. Aku tak menggubris. Ben masih terus-terusan mengetuk, “Milly, aku bawa makanannya. Tolong buka dulu,” ucapnya lagi. “Kamu ngobrol sama Rose saja dulu. Nanti aku menyusul,” balasku. Ben tidak menjawab. Sepertinya ia langsung bergegas menemui Rose. Saat kukira itu adalah kedatangan Ben, aku mematung dan terkejut karena ternyata itu adalah Rose. Begitu melihatnya, aku langsung masuk ke kamar dan menutup pintu dengan keras. Rose memanggilku. Kukatakan padanya kalau Ben tengah keluar sebentar dan ia akan kembali beberapa menit lagi. Aku tidak tahu pasti di mana Rose menunggu. Sepertinya di ruang tamu karena aku mendengar langkah sepatunya menjauh dar
Ben memberikanku sweater tebal saat ia melihatku menggigil kedinginan di tepi danau dekat pondok yang kudatangi sejak satu jam yang lalu.“Maaf hanya ini tempat yang bisa kuberikan padamu sebagai tanda malam pertama pernikahan kita,” ucap Ben membuka obrolan.“Aku suka tempatnya,” ujarku.Ben menghela napas dan tersenyum, “Nggak perlu berpura-pura untuk menyenangkan hatiku,” sahutnya.“Siapa yang menyenangkan hatimu?”“Barusan kamu memuji tempat ini bagus.”“Aku memang menyukainya. Karena di sini hening dan aku bisa melihat langit dengan luas.”Ben mengangguk. Sepertinya ia ragu kalau ucapanku barusan benar-benar terus terang apa adanya.“Pondok ini kamu yang bangun sendiri?” Aku mencoba mencari topik.“Iya. Papa dan Mama pun nggak tahu.”“Kenapa kamu rahasiakan?”“Aku butuh ruang dan w
Sore ini aku selesai melaksanakan hari pertama ospek. Aku senang karena akhirnya aku kuliah di fakultas yang kumau. Yaitu jurusan seni musik. Sebetulnya aku tidak bisa bernyanyi. Namun aku bisa memainkan beberapa alat musik seperti piano, gitar, biola, dan sedikit drum. Aku menguasai itu karena sebelumnya papa mengizinkanku untuk ikut les alat musik sewaktu aku masih kecil. Aku menghubungi Ben untuk segera menjemputku. Sebenarnya aku bisa saja pulang sendirian dengan mengendarai mobilku atau naik kendaraan umum. Namun sesuai ketentuan yang diberikan oleh Ben, aku harus di antar jemput olehnya, mengharuskannya mengantar dan menjemputku walau ia sibuk bekerja. Ben merasa perlu memastikan keadaanku untuk tetap baik-baik saja. Seharusnya tidak perlu terlalu khawatir begitu, kan? Ya … bukannya aku merasa risih padanya. Tetapi aku bukan lagi anak kecil. Lagi pula aku malas menunggu kalau Ben terlambat sampai ke kampus. Dan benar saja. Ini adalah hari pertama, namun Ben belum juga
“Hari ini kamu pulang jam berapa?” tanya Ben saat ia baru saja keluar dari kamarnya. Ia berpakaian rapi dengan setelan kemeja putih, jas dan celananya satu warna yakni abu-abu cerah. “Hm, mungkin sekitar jam tiga sore,” jawabku sambil meletakkan sepiring sandwich dan segelas susu untuk Ben. Tercium aroma sampo dari rambut Ben yang masih terlihat basah itu. “Thanks,” ucapnya. Wajah kami berdekatan dan entah mengapa aku merasa Ben terlihat tampan. Diam-diam aku menjadi grogi sendiri karenanya. Sambil menyantap makanan kami, aku coba memberanikan diri untuk meminta izin pada Ben perihal rencanaku dan Kylie, “Nanti selepas kelas terakhir selesai, aku boleh pergi bersama Kylie?” “Kemana?” “Mencari buku sejarah dan sedikit refreshing, hehe ….” “Hanya berdua?” Aku mengangguk, “Boleh, ya? Aku janji nggak akan pulang larut malam,” ucapku dengan mata berbinar yang penuh harapan. Ben sempat menatapku rag
[Milly. Aku mendadak perlu mengadakan rapat di perusahaan. Mungkin tidak lama. Aku mengabari kamu untuk antisipasi kalau saja aku tidak bisa menjemputmu. Kalau memang kamu pulang lebih dulu daripada aku, naik taksi saja ya dengan Kylie. Tak apa, kan? Aku minta maaf, ya ….] Aku terenyuh membaca pesan itu. Meski sibuk, Ben tetap berusaha memberi kabar dan peduli denganku. [Nggak pa-pa. Aku pulang naik taksi saja. Semangat Pak Bos!] Aku membalas pesan dari Ben sambil tersenyum lebar. Suamiku ini memperbaiki suasana hatiku yang buruk. Tak apa kalau aku merasa seperti ada kupu-kupu yang mau terbang di perutku ini, kan? “Milly? Kenapa senyam-senyum begitu?” ucap Kylie mendapatiku tersenyum menatap layar ponsel. Aku menggeleng, “Nggak pa-pa. Nanti pulang pakai taksi denganku, ya?” “Kamu ini … belum juga sampai di mall, tapi sudah membicarakan pulang!” ucapnya sambil melipat kedua tangan di dadanya. Aku mendengus dan
[Milly. Aku mendadak perlu mengadakan rapat di perusahaan. Mungkin tidak lama. Aku mengabari kamu untuk antisipasi kalau saja aku tidak bisa menjemputmu. Kalau memang kamu pulang lebih dulu daripada aku, naik taksi saja ya dengan Kylie. Tak apa, kan? Aku minta maaf, ya ….] Aku terenyuh membaca pesan itu. Meski sibuk, Ben tetap berusaha memberi kabar dan peduli denganku. [Nggak pa-pa. Aku pulang naik taksi saja. Semangat Pak Bos!] Aku membalas pesan dari Ben sambil tersenyum lebar. Suamiku ini memperbaiki suasana hatiku yang buruk. Tak apa kalau aku merasa seperti ada kupu-kupu yang mau terbang di perutku ini, kan? “Milly? Kenapa senyam-senyum begitu?” ucap Kylie mendapatiku tersenyum menatap layar ponsel. Aku menggeleng, “Nggak pa-pa. Nanti pulang pakai taksi denganku, ya?” “Kamu ini … belum juga sampai di mall, tapi sudah membicarakan pulang!” ucapnya sambil melipat kedua tangan di dadanya. Aku mendengus dan
“Hari ini kamu pulang jam berapa?” tanya Ben saat ia baru saja keluar dari kamarnya. Ia berpakaian rapi dengan setelan kemeja putih, jas dan celananya satu warna yakni abu-abu cerah. “Hm, mungkin sekitar jam tiga sore,” jawabku sambil meletakkan sepiring sandwich dan segelas susu untuk Ben. Tercium aroma sampo dari rambut Ben yang masih terlihat basah itu. “Thanks,” ucapnya. Wajah kami berdekatan dan entah mengapa aku merasa Ben terlihat tampan. Diam-diam aku menjadi grogi sendiri karenanya. Sambil menyantap makanan kami, aku coba memberanikan diri untuk meminta izin pada Ben perihal rencanaku dan Kylie, “Nanti selepas kelas terakhir selesai, aku boleh pergi bersama Kylie?” “Kemana?” “Mencari buku sejarah dan sedikit refreshing, hehe ….” “Hanya berdua?” Aku mengangguk, “Boleh, ya? Aku janji nggak akan pulang larut malam,” ucapku dengan mata berbinar yang penuh harapan. Ben sempat menatapku rag
Sore ini aku selesai melaksanakan hari pertama ospek. Aku senang karena akhirnya aku kuliah di fakultas yang kumau. Yaitu jurusan seni musik. Sebetulnya aku tidak bisa bernyanyi. Namun aku bisa memainkan beberapa alat musik seperti piano, gitar, biola, dan sedikit drum. Aku menguasai itu karena sebelumnya papa mengizinkanku untuk ikut les alat musik sewaktu aku masih kecil. Aku menghubungi Ben untuk segera menjemputku. Sebenarnya aku bisa saja pulang sendirian dengan mengendarai mobilku atau naik kendaraan umum. Namun sesuai ketentuan yang diberikan oleh Ben, aku harus di antar jemput olehnya, mengharuskannya mengantar dan menjemputku walau ia sibuk bekerja. Ben merasa perlu memastikan keadaanku untuk tetap baik-baik saja. Seharusnya tidak perlu terlalu khawatir begitu, kan? Ya … bukannya aku merasa risih padanya. Tetapi aku bukan lagi anak kecil. Lagi pula aku malas menunggu kalau Ben terlambat sampai ke kampus. Dan benar saja. Ini adalah hari pertama, namun Ben belum juga
Ben memberikanku sweater tebal saat ia melihatku menggigil kedinginan di tepi danau dekat pondok yang kudatangi sejak satu jam yang lalu.“Maaf hanya ini tempat yang bisa kuberikan padamu sebagai tanda malam pertama pernikahan kita,” ucap Ben membuka obrolan.“Aku suka tempatnya,” ujarku.Ben menghela napas dan tersenyum, “Nggak perlu berpura-pura untuk menyenangkan hatiku,” sahutnya.“Siapa yang menyenangkan hatimu?”“Barusan kamu memuji tempat ini bagus.”“Aku memang menyukainya. Karena di sini hening dan aku bisa melihat langit dengan luas.”Ben mengangguk. Sepertinya ia ragu kalau ucapanku barusan benar-benar terus terang apa adanya.“Pondok ini kamu yang bangun sendiri?” Aku mencoba mencari topik.“Iya. Papa dan Mama pun nggak tahu.”“Kenapa kamu rahasiakan?”“Aku butuh ruang dan w
Aku berdiam di kamar sementara Rose kubiarkan sendirian di ruang tamu. Kudengar suara mobil Ben dari luar sana. Aku tidak berniat keluar kamar saat Ben membuka password rumah karena Ben pasti akan berpapasan dengan Rose. Beberapa waktu kemudian, Ben mengetuk pintu, “Milly?” panggilnya. Aku tak menggubris. Ben masih terus-terusan mengetuk, “Milly, aku bawa makanannya. Tolong buka dulu,” ucapnya lagi. “Kamu ngobrol sama Rose saja dulu. Nanti aku menyusul,” balasku. Ben tidak menjawab. Sepertinya ia langsung bergegas menemui Rose. Saat kukira itu adalah kedatangan Ben, aku mematung dan terkejut karena ternyata itu adalah Rose. Begitu melihatnya, aku langsung masuk ke kamar dan menutup pintu dengan keras. Rose memanggilku. Kukatakan padanya kalau Ben tengah keluar sebentar dan ia akan kembali beberapa menit lagi. Aku tidak tahu pasti di mana Rose menunggu. Sepertinya di ruang tamu karena aku mendengar langkah sepatunya menjauh dar
“Mill .. kita sudah sampai,” ucap Ben sambil mengguncang pelan tubuhku.Aku terbangun dan melihat ke sekeliling. Sepertinya sudah malam. Ben telah memarikirkan mobilnya di garasi sebuah rumah yang berdiri kokoh di hadapanku. Rumah yang nantinya akan kutinggali bersama Ben.“Masih ngantuk, ya? Beresin barangnya mau nanti dulu?” ucapnya yang melihatku masih menguap .Aku menggeleng, “Nggak, kok. Nanti kan bisa istirahat di dalam,” jawabku.Ben mengangguk dan keluar dari dalam mobil, lalu membukakan pintu dan mempersilahkanku untuk keluar. Ben selalu memperlakukanku seperti ini. “Thanks,” ujarku.“Kamu bukain pintu rumah. Biar aku yang bawain koper. Kodenya 090422,” Ben berlalu mennggalkanku dan berjalan menuju bagasi mobil.Tanpa membuang waktu, aku bergegas menuju pintu. Setelah yakin kalau password tersebut benar, aku mendorong pintu dan melangkah ke dalam.Aku memas
Aku terjaga dan menyadari tubuhku terbalut selimut tebal. Aku terheran karena aku tidak merasa beranjak dari mobil dan melangkah menuju kamar ini. Kuperiksa ponselku dan jam menunjukkan pukul 10 malam. Ternyata aku tidur berjam-jam lamanya. Aku bolak-balik membenarkan posisi tidurku untuk mencoba terlelap lagi. Namun tidak bisa. Kuputuskan untuk pergi keluar kamar untuk minum dan membasuh wajahku. Kudapati Ben tengah duduk membelakangiku di mini bar. Aku hanya bisa melihat punggungnya yang lebar dan gagah itu. Ia sudah mengganti bajunya menjadi kaos biasa berwarna putih dan celana pendek selutut. "Kamu belum tidur, Ben?" aku menyapanya. Ben menoleh padaku, "Eh, Milly ...." sahutnya sembari membereskan beberapa helai kertas di laptopnya. "Kok aku nggak sadar ya, Ben, pas pindah dari mobil ke kamar?" tanyaku sembari menarik kursi yang ada di hadapan Ben lalu duduk di sana. "Aku yang pindahin kamu," jawabnya. "Kamu? Gimana caranya?" "Aku gendong." "EH?!" Ben menoleh terkejut ka
"Milly, kenapa kamu kaku begitu? Ayo kita ulang. Kalian kan sepasang kekasih. Kenapa begini?" ucap Lewis kesal karena berulang kali mengambil jepretan foto, namun hasilnya sangat buruk karena sikapku. Aku bisa melihat wajahnya yang letih. Aku merasa tidak enak, namun juga aku tidak bisa merasa nyaman karena ini pertamakalinya seseorang mengecupku. Terlebih itu adalah Ben. "Hanya berpose, tersenyum, lalu aku tekan tombol ini. Tidak begitu sulit, kan?" sambung Lewis. Aku menggerutu di dalam hati. Semudah itu katanya? Jika bukan karena aku harus memaklumi kalau Lewis tidak tahu fakta sebenarnya, mungkin kamera seharga C$4000 yang ada di tangannya itu sudah terombang-ambing di lautan sana. "Maaf ... aku akan benar-benar melakukannya kali ini," ujarku. Ben menghela nafasnya, "Lewis, sorry to say, but would you give us a minute?" "With pleasure," Lewis melangkah menjauh dari kami. Ben menyentuh bahuku dengan kedua telapak tangannya, "Mil, aku minta maaf, ya." "Maaf? Untuk apa?" "M
Pagi ini, aku menghirup udara sejuk. Suara debur ombak meriuhkan suasana meski tidak terlalu banyak orang di sini bersama aku, Ben, Fotografer, dan Make-up Artist yang akan merias sesi pemotretan pra-wedding pernikahanku. Aku dan ben memutuskan untuk melakukannya dengan tema pantai di pulau yang berada di sebelah kota kami. Lokasinya memang tidak dikunjungi oleh banyak orang karena sebagian besar yang datang ke sini adalah orang-orang yang akan berselancar. Setelah kepulanganku dari rumah sakit, aku memutuskan untuk mempercepat seluruh persiapan pernikahan. Awalnya Ben bertanya padaku apa tak mengapa jika aku melakukan semua ini segera. Karena menurutnya, aku baru saja sembuh dari masa pemulihanku setelah kecelakaan yang menimpa. Namun aku berkata tak apa. Aku merasa harus cepat menyelesaikan seluruhnya oleh diriku sendiri daripada harus mendengar ocehan Tante Annette. Ben berkata tidak keberatan lalu mengosongkan beberapa jadwal untuk persiapan pernikahan kami dan menyewa vila yang