Keesokan paginya, aku dijemput Ben. Kebetulan saat itu adalah weekend sehingga ia bisa menyempatkan waktunya untuk menjemputku.
Sesampainya di rumah, Tante Annette menyambut kami, "Hai, Milly. Sudah membaik?"
Baru saja sembuh, sudah harus berhadapan dengan wanita ini."Sudah, Ma," jawabku ragu.
"Terima kasih ya, Ben karena kamu selalu meluangkan waktu untuk menjaga Milly," ucapnya kepada Ben.
"Iya, Tante. Sama-sama. Aku mau izin bantuin Milly buat beresin barang-barangnya ya, Tan. Boleh?"
"Silahkan. Dengan senang hati."
Tante Annette mempersilahkan kami untuk masuk.
"Tante panggil pelayan dapur dulu, ya. Untuk nyiapin camilan buat kalian," lanjutnya.
Sementara Tante Annette berlalu meninggalkan aku dan Ben, kami naik ke lantai atas menuju kamarku.
"Kamar kamu masih sama kaya yang dulu?" tanya Ben.
"Iya."
Aku mempersilahkan Ben untuk masuk ke kamarku.
"Ternyata nggak berubah, ya ...." Ben mengelilingi kamarku yang berbentuk kubus berukuran 8x8 meter.
"Iya. Tapi ada beberapa hal yang berubah setelah kepergian Papa," sahutku sambil tersenyum pahit.
Ben menoleh ke arahku. Kami saling bertatapan.
"Permisi, Nona Milly. Saya bawa camilan yang Madam suruh," ucap salah seorang pelayan dapur di rumahku. Madam adalah sebutan Tante Annette di rumah ini. Para karyawan perusahaan dan pekerja di rumahku memanggilnya begitu.
Tangan pelayan itu memegang nampan yang berisi dua gelas jus jeruk dan dua potong kue Saskatoon Berry Pie. Camilan khas negaraku.
"Tolong letakkan di meja saya. Terima kasih ya."
Asisten itu mengangguk dan meletakan camilan kami, lalu permisi untuk kembali ke dapur.
"Mau makan dulu?"
"Boleh."
Aku dan Ben melahap pie kami masing-masing. Ben bertanya padaku tentang masa sekolahku. Aku bercerita apa adanya dan tidak ada yang spesial. Lalu kami kembali saling diam hingga pie kami habis.
"Mau langsung beresin barang-barang kamu?" tanya Ben.
"Nggak perlu. Nanti asisten rumah yang bakalan beresin. Aku kayaknya mau lanjut istirahat. Kamu mau lanjut apa abis ini?"
"Aku mungkin lanjut ke kantor."
"Kantor?"
"Iya."
"Untuk apa?"
"Mengurus pekerjaan. Ada meeting penting pagi ini."
"Oh ya? Ya sudah kamu langsung berangkat aja. Ini kan sudah siang. Tadi harusnya kamu nggak perlu bantuin aku bawain barang-barang," ujarku merasa tidak enak kepada Ben.
"Nggak pa-pa, Milly. Kan aku yang mau. Kalo gitu, aku pamit, ya. Kamu langsung istirahat," perintah Ben.
Tiba-tiba Tante Annette muncul, "Ben sudah mau pulang? Kenapa buru-buru?"
"Aku ada meeting, Tante. Maaf ya, Tan. Aku nggak bisa nemenin Milly lama-lama," jawab Ben.
"Iya, nggak pa-pa. Tadi Tante juga sudah telepon Mama kamu untuk membahas soal pernikahan kalian."
"Loh? Bukannya Milly baru sembuh? Kenapa buru-buru?" Aku bisa merasakan emosi tersembunyi dari Ben. Kenapa sih, wanita ini nggak mau sedikit bersabar dengan keegoisannya?
Tante Annette tersenyum kebingungan.
Aku langsung memotong pembicaraan mereka, "Hm ... Ben. Nanti kamu telat. Sebaiknya kamu cepat-cepat berangkat."
Ben mengangguk, "Kalau bisa, jangan nyetir sendirian dulu. Aku pamit," ucap Ben dan langsung berlalu meninggalkan kami.
"Hati-hati ya, Ben," Tante Annette melambaikan tangan kepada Ben.
Kini bebanku untuk menghadapi wanita ini dimulai.
"Aku tahu Tante udah punya jadwal untuk persiapan pernikahanku dengan Ben," ucapku setelah Ben sudah tak terlihat lagi.
Tante Annette menoleh dan tersenyum padaku, "Anak pintar,"
"Aku mau lihat jadwalnya."
"Tumben kamu tidak berontak."
"Emang aku bisa?"
"Bisa. Tapi tidak akan mengubah apa-apa."
Aku mendengus kesal.
"Aku mau istirahat. Sekarang aku mohon sama Tante untuk nggak ganggu aku dulu. Dengan begitu, aku akan turutin kemauan tante."
"Oke. Saya pun nggak mau membuang waktu untuk hal yang tidak penting. Jaga dirimu baik-baik demi keuntunganku!"
Wanita itu berlalu meninggalkanku. Rasanya ingin kubanting pintu kamar.
Entahlah. Aku yang awalnya merasa takut dan sedih karena mengetahui bahwa ia bukan ibuku, mendadak menjadi merasa kesal dan membencinya.
Aku tahu dia tidak memiliki seorang anak. Dan aku bukan anaknya. Bahkan ia pun membenci pernikahannya dengan Papa. Tapi mengapa hatinya sangat beku?
Dan ... mengapa aku menangis?
Mungkin rasanya tidak akan sesakit ini jika aku tidak menyayanginya yang bahkan tidak pernah peduli padaku.
Pagi ini, aku menghirup udara sejuk. Suara debur ombak meriuhkan suasana meski tidak terlalu banyak orang di sini bersama aku, Ben, Fotografer, dan Make-up Artist yang akan merias sesi pemotretan pra-wedding pernikahanku. Aku dan ben memutuskan untuk melakukannya dengan tema pantai di pulau yang berada di sebelah kota kami. Lokasinya memang tidak dikunjungi oleh banyak orang karena sebagian besar yang datang ke sini adalah orang-orang yang akan berselancar. Setelah kepulanganku dari rumah sakit, aku memutuskan untuk mempercepat seluruh persiapan pernikahan. Awalnya Ben bertanya padaku apa tak mengapa jika aku melakukan semua ini segera. Karena menurutnya, aku baru saja sembuh dari masa pemulihanku setelah kecelakaan yang menimpa. Namun aku berkata tak apa. Aku merasa harus cepat menyelesaikan seluruhnya oleh diriku sendiri daripada harus mendengar ocehan Tante Annette. Ben berkata tidak keberatan lalu mengosongkan beberapa jadwal untuk persiapan pernikahan kami dan menyewa vila yang
"Milly, kenapa kamu kaku begitu? Ayo kita ulang. Kalian kan sepasang kekasih. Kenapa begini?" ucap Lewis kesal karena berulang kali mengambil jepretan foto, namun hasilnya sangat buruk karena sikapku. Aku bisa melihat wajahnya yang letih. Aku merasa tidak enak, namun juga aku tidak bisa merasa nyaman karena ini pertamakalinya seseorang mengecupku. Terlebih itu adalah Ben. "Hanya berpose, tersenyum, lalu aku tekan tombol ini. Tidak begitu sulit, kan?" sambung Lewis. Aku menggerutu di dalam hati. Semudah itu katanya? Jika bukan karena aku harus memaklumi kalau Lewis tidak tahu fakta sebenarnya, mungkin kamera seharga C$4000 yang ada di tangannya itu sudah terombang-ambing di lautan sana. "Maaf ... aku akan benar-benar melakukannya kali ini," ujarku. Ben menghela nafasnya, "Lewis, sorry to say, but would you give us a minute?" "With pleasure," Lewis melangkah menjauh dari kami. Ben menyentuh bahuku dengan kedua telapak tangannya, "Mil, aku minta maaf, ya." "Maaf? Untuk apa?" "M
Aku terjaga dan menyadari tubuhku terbalut selimut tebal. Aku terheran karena aku tidak merasa beranjak dari mobil dan melangkah menuju kamar ini. Kuperiksa ponselku dan jam menunjukkan pukul 10 malam. Ternyata aku tidur berjam-jam lamanya. Aku bolak-balik membenarkan posisi tidurku untuk mencoba terlelap lagi. Namun tidak bisa. Kuputuskan untuk pergi keluar kamar untuk minum dan membasuh wajahku. Kudapati Ben tengah duduk membelakangiku di mini bar. Aku hanya bisa melihat punggungnya yang lebar dan gagah itu. Ia sudah mengganti bajunya menjadi kaos biasa berwarna putih dan celana pendek selutut. "Kamu belum tidur, Ben?" aku menyapanya. Ben menoleh padaku, "Eh, Milly ...." sahutnya sembari membereskan beberapa helai kertas di laptopnya. "Kok aku nggak sadar ya, Ben, pas pindah dari mobil ke kamar?" tanyaku sembari menarik kursi yang ada di hadapan Ben lalu duduk di sana. "Aku yang pindahin kamu," jawabnya. "Kamu? Gimana caranya?" "Aku gendong." "EH?!" Ben menoleh terkejut ka
“Mill .. kita sudah sampai,” ucap Ben sambil mengguncang pelan tubuhku.Aku terbangun dan melihat ke sekeliling. Sepertinya sudah malam. Ben telah memarikirkan mobilnya di garasi sebuah rumah yang berdiri kokoh di hadapanku. Rumah yang nantinya akan kutinggali bersama Ben.“Masih ngantuk, ya? Beresin barangnya mau nanti dulu?” ucapnya yang melihatku masih menguap .Aku menggeleng, “Nggak, kok. Nanti kan bisa istirahat di dalam,” jawabku.Ben mengangguk dan keluar dari dalam mobil, lalu membukakan pintu dan mempersilahkanku untuk keluar. Ben selalu memperlakukanku seperti ini. “Thanks,” ujarku.“Kamu bukain pintu rumah. Biar aku yang bawain koper. Kodenya 090422,” Ben berlalu mennggalkanku dan berjalan menuju bagasi mobil.Tanpa membuang waktu, aku bergegas menuju pintu. Setelah yakin kalau password tersebut benar, aku mendorong pintu dan melangkah ke dalam.Aku memas
Aku berdiam di kamar sementara Rose kubiarkan sendirian di ruang tamu. Kudengar suara mobil Ben dari luar sana. Aku tidak berniat keluar kamar saat Ben membuka password rumah karena Ben pasti akan berpapasan dengan Rose. Beberapa waktu kemudian, Ben mengetuk pintu, “Milly?” panggilnya. Aku tak menggubris. Ben masih terus-terusan mengetuk, “Milly, aku bawa makanannya. Tolong buka dulu,” ucapnya lagi. “Kamu ngobrol sama Rose saja dulu. Nanti aku menyusul,” balasku. Ben tidak menjawab. Sepertinya ia langsung bergegas menemui Rose. Saat kukira itu adalah kedatangan Ben, aku mematung dan terkejut karena ternyata itu adalah Rose. Begitu melihatnya, aku langsung masuk ke kamar dan menutup pintu dengan keras. Rose memanggilku. Kukatakan padanya kalau Ben tengah keluar sebentar dan ia akan kembali beberapa menit lagi. Aku tidak tahu pasti di mana Rose menunggu. Sepertinya di ruang tamu karena aku mendengar langkah sepatunya menjauh dar
Ben memberikanku sweater tebal saat ia melihatku menggigil kedinginan di tepi danau dekat pondok yang kudatangi sejak satu jam yang lalu.“Maaf hanya ini tempat yang bisa kuberikan padamu sebagai tanda malam pertama pernikahan kita,” ucap Ben membuka obrolan.“Aku suka tempatnya,” ujarku.Ben menghela napas dan tersenyum, “Nggak perlu berpura-pura untuk menyenangkan hatiku,” sahutnya.“Siapa yang menyenangkan hatimu?”“Barusan kamu memuji tempat ini bagus.”“Aku memang menyukainya. Karena di sini hening dan aku bisa melihat langit dengan luas.”Ben mengangguk. Sepertinya ia ragu kalau ucapanku barusan benar-benar terus terang apa adanya.“Pondok ini kamu yang bangun sendiri?” Aku mencoba mencari topik.“Iya. Papa dan Mama pun nggak tahu.”“Kenapa kamu rahasiakan?”“Aku butuh ruang dan w
Sore ini aku selesai melaksanakan hari pertama ospek. Aku senang karena akhirnya aku kuliah di fakultas yang kumau. Yaitu jurusan seni musik. Sebetulnya aku tidak bisa bernyanyi. Namun aku bisa memainkan beberapa alat musik seperti piano, gitar, biola, dan sedikit drum. Aku menguasai itu karena sebelumnya papa mengizinkanku untuk ikut les alat musik sewaktu aku masih kecil. Aku menghubungi Ben untuk segera menjemputku. Sebenarnya aku bisa saja pulang sendirian dengan mengendarai mobilku atau naik kendaraan umum. Namun sesuai ketentuan yang diberikan oleh Ben, aku harus di antar jemput olehnya, mengharuskannya mengantar dan menjemputku walau ia sibuk bekerja. Ben merasa perlu memastikan keadaanku untuk tetap baik-baik saja. Seharusnya tidak perlu terlalu khawatir begitu, kan? Ya … bukannya aku merasa risih padanya. Tetapi aku bukan lagi anak kecil. Lagi pula aku malas menunggu kalau Ben terlambat sampai ke kampus. Dan benar saja. Ini adalah hari pertama, namun Ben belum juga
“Hari ini kamu pulang jam berapa?” tanya Ben saat ia baru saja keluar dari kamarnya. Ia berpakaian rapi dengan setelan kemeja putih, jas dan celananya satu warna yakni abu-abu cerah. “Hm, mungkin sekitar jam tiga sore,” jawabku sambil meletakkan sepiring sandwich dan segelas susu untuk Ben. Tercium aroma sampo dari rambut Ben yang masih terlihat basah itu. “Thanks,” ucapnya. Wajah kami berdekatan dan entah mengapa aku merasa Ben terlihat tampan. Diam-diam aku menjadi grogi sendiri karenanya. Sambil menyantap makanan kami, aku coba memberanikan diri untuk meminta izin pada Ben perihal rencanaku dan Kylie, “Nanti selepas kelas terakhir selesai, aku boleh pergi bersama Kylie?” “Kemana?” “Mencari buku sejarah dan sedikit refreshing, hehe ….” “Hanya berdua?” Aku mengangguk, “Boleh, ya? Aku janji nggak akan pulang larut malam,” ucapku dengan mata berbinar yang penuh harapan. Ben sempat menatapku rag
[Milly. Aku mendadak perlu mengadakan rapat di perusahaan. Mungkin tidak lama. Aku mengabari kamu untuk antisipasi kalau saja aku tidak bisa menjemputmu. Kalau memang kamu pulang lebih dulu daripada aku, naik taksi saja ya dengan Kylie. Tak apa, kan? Aku minta maaf, ya ….] Aku terenyuh membaca pesan itu. Meski sibuk, Ben tetap berusaha memberi kabar dan peduli denganku. [Nggak pa-pa. Aku pulang naik taksi saja. Semangat Pak Bos!] Aku membalas pesan dari Ben sambil tersenyum lebar. Suamiku ini memperbaiki suasana hatiku yang buruk. Tak apa kalau aku merasa seperti ada kupu-kupu yang mau terbang di perutku ini, kan? “Milly? Kenapa senyam-senyum begitu?” ucap Kylie mendapatiku tersenyum menatap layar ponsel. Aku menggeleng, “Nggak pa-pa. Nanti pulang pakai taksi denganku, ya?” “Kamu ini … belum juga sampai di mall, tapi sudah membicarakan pulang!” ucapnya sambil melipat kedua tangan di dadanya. Aku mendengus dan
“Hari ini kamu pulang jam berapa?” tanya Ben saat ia baru saja keluar dari kamarnya. Ia berpakaian rapi dengan setelan kemeja putih, jas dan celananya satu warna yakni abu-abu cerah. “Hm, mungkin sekitar jam tiga sore,” jawabku sambil meletakkan sepiring sandwich dan segelas susu untuk Ben. Tercium aroma sampo dari rambut Ben yang masih terlihat basah itu. “Thanks,” ucapnya. Wajah kami berdekatan dan entah mengapa aku merasa Ben terlihat tampan. Diam-diam aku menjadi grogi sendiri karenanya. Sambil menyantap makanan kami, aku coba memberanikan diri untuk meminta izin pada Ben perihal rencanaku dan Kylie, “Nanti selepas kelas terakhir selesai, aku boleh pergi bersama Kylie?” “Kemana?” “Mencari buku sejarah dan sedikit refreshing, hehe ….” “Hanya berdua?” Aku mengangguk, “Boleh, ya? Aku janji nggak akan pulang larut malam,” ucapku dengan mata berbinar yang penuh harapan. Ben sempat menatapku rag
Sore ini aku selesai melaksanakan hari pertama ospek. Aku senang karena akhirnya aku kuliah di fakultas yang kumau. Yaitu jurusan seni musik. Sebetulnya aku tidak bisa bernyanyi. Namun aku bisa memainkan beberapa alat musik seperti piano, gitar, biola, dan sedikit drum. Aku menguasai itu karena sebelumnya papa mengizinkanku untuk ikut les alat musik sewaktu aku masih kecil. Aku menghubungi Ben untuk segera menjemputku. Sebenarnya aku bisa saja pulang sendirian dengan mengendarai mobilku atau naik kendaraan umum. Namun sesuai ketentuan yang diberikan oleh Ben, aku harus di antar jemput olehnya, mengharuskannya mengantar dan menjemputku walau ia sibuk bekerja. Ben merasa perlu memastikan keadaanku untuk tetap baik-baik saja. Seharusnya tidak perlu terlalu khawatir begitu, kan? Ya … bukannya aku merasa risih padanya. Tetapi aku bukan lagi anak kecil. Lagi pula aku malas menunggu kalau Ben terlambat sampai ke kampus. Dan benar saja. Ini adalah hari pertama, namun Ben belum juga
Ben memberikanku sweater tebal saat ia melihatku menggigil kedinginan di tepi danau dekat pondok yang kudatangi sejak satu jam yang lalu.“Maaf hanya ini tempat yang bisa kuberikan padamu sebagai tanda malam pertama pernikahan kita,” ucap Ben membuka obrolan.“Aku suka tempatnya,” ujarku.Ben menghela napas dan tersenyum, “Nggak perlu berpura-pura untuk menyenangkan hatiku,” sahutnya.“Siapa yang menyenangkan hatimu?”“Barusan kamu memuji tempat ini bagus.”“Aku memang menyukainya. Karena di sini hening dan aku bisa melihat langit dengan luas.”Ben mengangguk. Sepertinya ia ragu kalau ucapanku barusan benar-benar terus terang apa adanya.“Pondok ini kamu yang bangun sendiri?” Aku mencoba mencari topik.“Iya. Papa dan Mama pun nggak tahu.”“Kenapa kamu rahasiakan?”“Aku butuh ruang dan w
Aku berdiam di kamar sementara Rose kubiarkan sendirian di ruang tamu. Kudengar suara mobil Ben dari luar sana. Aku tidak berniat keluar kamar saat Ben membuka password rumah karena Ben pasti akan berpapasan dengan Rose. Beberapa waktu kemudian, Ben mengetuk pintu, “Milly?” panggilnya. Aku tak menggubris. Ben masih terus-terusan mengetuk, “Milly, aku bawa makanannya. Tolong buka dulu,” ucapnya lagi. “Kamu ngobrol sama Rose saja dulu. Nanti aku menyusul,” balasku. Ben tidak menjawab. Sepertinya ia langsung bergegas menemui Rose. Saat kukira itu adalah kedatangan Ben, aku mematung dan terkejut karena ternyata itu adalah Rose. Begitu melihatnya, aku langsung masuk ke kamar dan menutup pintu dengan keras. Rose memanggilku. Kukatakan padanya kalau Ben tengah keluar sebentar dan ia akan kembali beberapa menit lagi. Aku tidak tahu pasti di mana Rose menunggu. Sepertinya di ruang tamu karena aku mendengar langkah sepatunya menjauh dar
“Mill .. kita sudah sampai,” ucap Ben sambil mengguncang pelan tubuhku.Aku terbangun dan melihat ke sekeliling. Sepertinya sudah malam. Ben telah memarikirkan mobilnya di garasi sebuah rumah yang berdiri kokoh di hadapanku. Rumah yang nantinya akan kutinggali bersama Ben.“Masih ngantuk, ya? Beresin barangnya mau nanti dulu?” ucapnya yang melihatku masih menguap .Aku menggeleng, “Nggak, kok. Nanti kan bisa istirahat di dalam,” jawabku.Ben mengangguk dan keluar dari dalam mobil, lalu membukakan pintu dan mempersilahkanku untuk keluar. Ben selalu memperlakukanku seperti ini. “Thanks,” ujarku.“Kamu bukain pintu rumah. Biar aku yang bawain koper. Kodenya 090422,” Ben berlalu mennggalkanku dan berjalan menuju bagasi mobil.Tanpa membuang waktu, aku bergegas menuju pintu. Setelah yakin kalau password tersebut benar, aku mendorong pintu dan melangkah ke dalam.Aku memas
Aku terjaga dan menyadari tubuhku terbalut selimut tebal. Aku terheran karena aku tidak merasa beranjak dari mobil dan melangkah menuju kamar ini. Kuperiksa ponselku dan jam menunjukkan pukul 10 malam. Ternyata aku tidur berjam-jam lamanya. Aku bolak-balik membenarkan posisi tidurku untuk mencoba terlelap lagi. Namun tidak bisa. Kuputuskan untuk pergi keluar kamar untuk minum dan membasuh wajahku. Kudapati Ben tengah duduk membelakangiku di mini bar. Aku hanya bisa melihat punggungnya yang lebar dan gagah itu. Ia sudah mengganti bajunya menjadi kaos biasa berwarna putih dan celana pendek selutut. "Kamu belum tidur, Ben?" aku menyapanya. Ben menoleh padaku, "Eh, Milly ...." sahutnya sembari membereskan beberapa helai kertas di laptopnya. "Kok aku nggak sadar ya, Ben, pas pindah dari mobil ke kamar?" tanyaku sembari menarik kursi yang ada di hadapan Ben lalu duduk di sana. "Aku yang pindahin kamu," jawabnya. "Kamu? Gimana caranya?" "Aku gendong." "EH?!" Ben menoleh terkejut ka
"Milly, kenapa kamu kaku begitu? Ayo kita ulang. Kalian kan sepasang kekasih. Kenapa begini?" ucap Lewis kesal karena berulang kali mengambil jepretan foto, namun hasilnya sangat buruk karena sikapku. Aku bisa melihat wajahnya yang letih. Aku merasa tidak enak, namun juga aku tidak bisa merasa nyaman karena ini pertamakalinya seseorang mengecupku. Terlebih itu adalah Ben. "Hanya berpose, tersenyum, lalu aku tekan tombol ini. Tidak begitu sulit, kan?" sambung Lewis. Aku menggerutu di dalam hati. Semudah itu katanya? Jika bukan karena aku harus memaklumi kalau Lewis tidak tahu fakta sebenarnya, mungkin kamera seharga C$4000 yang ada di tangannya itu sudah terombang-ambing di lautan sana. "Maaf ... aku akan benar-benar melakukannya kali ini," ujarku. Ben menghela nafasnya, "Lewis, sorry to say, but would you give us a minute?" "With pleasure," Lewis melangkah menjauh dari kami. Ben menyentuh bahuku dengan kedua telapak tangannya, "Mil, aku minta maaf, ya." "Maaf? Untuk apa?" "M
Pagi ini, aku menghirup udara sejuk. Suara debur ombak meriuhkan suasana meski tidak terlalu banyak orang di sini bersama aku, Ben, Fotografer, dan Make-up Artist yang akan merias sesi pemotretan pra-wedding pernikahanku. Aku dan ben memutuskan untuk melakukannya dengan tema pantai di pulau yang berada di sebelah kota kami. Lokasinya memang tidak dikunjungi oleh banyak orang karena sebagian besar yang datang ke sini adalah orang-orang yang akan berselancar. Setelah kepulanganku dari rumah sakit, aku memutuskan untuk mempercepat seluruh persiapan pernikahan. Awalnya Ben bertanya padaku apa tak mengapa jika aku melakukan semua ini segera. Karena menurutnya, aku baru saja sembuh dari masa pemulihanku setelah kecelakaan yang menimpa. Namun aku berkata tak apa. Aku merasa harus cepat menyelesaikan seluruhnya oleh diriku sendiri daripada harus mendengar ocehan Tante Annette. Ben berkata tidak keberatan lalu mengosongkan beberapa jadwal untuk persiapan pernikahan kami dan menyewa vila yang